Elma Haryani, alumni CRCS 2001, dalam sebuah wawancara dengan CRCS menjelaskan bahwa aktifitasnya saat ini telah banyak dipengaruhi pengalamannya selama di CRCS. “Saya lebih siap berbeda dan menerima perbedaan, artinya bahwa saya siap membuka diri untuk internal saya, trus eksternal saya siap menerima apapun. Saya lebih bisa mengapresiasi perbedaan,” tegas perempuan yang kerap disapa “Elma” ini. Meskipun demikian, ia juga mempunyai kritik terhadap CRCS berdasarkan pengalamannya tersebut.
Berita Alumni
“CRCS membuat saya lompat dan kayak pondasinya saya di situ. Sehingga kemudian mudah untuk belajar di Amerika.” Demikian ungkapan Samsul Ma’arif, alumni CRCS 2001, ketika ditanya mengenai kontribusi CRCS terhadap karirnya saat ini. Samsul yang akrab dipanggil “Anchu”, saat ini sedang dalam masa penelitian untuk disertasinya mengenai Amatoa Kajang di Sulawesi Selatan. Baginya, keberhasilan yang ia rasakan saat ini adalah kesinambungan dari studinya sejak S1, dan CRCS telah memberikan lompatan besar dalam studinya tersebut.
Oleh: Jimmy Marcos Immanuel
Berdasarkan data dari beberapa penelitian dan pemerintah lokal, semakin hari populasi penganut Marapu di Sumba Timur mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan beberapa faktor, eksternal maupun internal. Hidup selama 2 bulan bersama penganut Marapu di desa Wunga, Sumba Timur, membantu peneliti merasakan dan memahami faktor-faktor tersebut, memprediksi masa depan agama lokal ini, sekaligus merasakan keresahan para penganut Marapu.
Hampir serupa dengan sebagian besar agama-agama lokal lainnya di Indonesia, Marapu hanya diakui sebagai aliran kepercayaan. Para penganutnya hampir tidak mendapatkan porsi di dalam pemerintahan. Untuk menjadi pegawai pemerintahan, seseorang haruslah menganut agama nasional, yakni keenam agama besar di Indonesia. Di desa tempat peneliti tinggal, aparat desa masih ditoleransi beragama Marapu oleh karena keterbatasan sumber daya manusia. Lebih dari 80 persen dari total penduduk desa Wunga adalah penganut Marapu.
Aktivitas dari seorang Hastho Bramanto, alumni CRCS angkatan 2002, semakin bertambah dengan launching buku yang baru saja ia terjemahkan ke bahasa Indonesia, “Kakawin Sutasoma”. Laki-laki yang kerap disapa “Bram” ini telah berkeliling beberapa tempat di Jawa dan Bali untuk launching tersebut. “Buku ini menjelaskan bagaimana pada jaman Majapahit masyarakat dengan segala perbedaannya dapat hidup bersama dengan local wisdom yang mereka miliki,” jelas Bram.
Sebagai Ketua dari Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra, Kopeng, Kabupaten Semarang, Bram melihat bahwa dialog dan penghargaan terhadap perbedaan itu sangat dibutuhkan. Hal ini seturut dengan gagasan dalam buku barunya itu. Ia merasakan bahwa pengalaman belajarnya selama di CRCS telah banyak membantu pemikiran dan pekerjaannya sebagai seorang pengajar dan penulis.
Bukan hal yang baru bagi seorang Zaky, alumni CRCS angkatan 2002, berjuang bersama komunitas yang dimarginalkan untuk hak-hak kemanusiaan yang sudah seharusnya mereka dapatkan. Laki-laki yang menjabat sebagai program manager untuk youth center pada Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) ini telah dikenal baik oleh rekan-rekan komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender and Queer (LGBTQ) di yogyakarta maupun di daerah lain, termasuk pada beberapa komunitas HIV/AIDS. Ini semua karena perjuangannya bersama mereka tersebut.
“Paradigma yang open-minded. Mungkin CRCS tidak memberikan semua ilmu, tapi CRCS memberikan paradigma tentang ke mana harus melangkah.” Demikian jawaban dari Izak Y. M. Lattu, alumni CRCS angkatan 2000, ketika ditanyakan mengenai kontribusi CRCS terhadap pekerjaannya saat ini. Laki-laki yang kerap disapa dengan nama “Chaken” ini bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, serta menjabat sebagai Ketua Program Studi (Kaprogdi).