Wednesday forum sebagai acara rutin CRCS/ICRS di awal tahun 2016 mengundang Risnawati Utami, seorang aktifis hak asasi untuk masyarakat difable. Bersama dengan organisasinya, OHANA (Organisasi Harapan Nusantara) dia memberikan advokasi untuk masyarakat dengan kebutuhan khusus. Advokasi ini untuk mengawal para difable agar diperlakukan setara dengan masyarakat Indonesia yang lain.
Dalam presentasinya, Risnawati mengatakan bahwa “ masyarakat difabel itu sekitar 15% dari populasi dunia, yang artinya mereka adalah minoritas dengan jumlah terbesar di negara berkembang. Kenapa seorang dengan kebutuhan khusus perlu mendapatkan perhatian, ini karena mereka masih terdiskriminasi”. Dalam model keagamaan- religious model misalnya, Utami memberikan contoh tentang bagaimana orang dengan kebutuhan khusus di Bali. Adat budaya Bali memahami orang dengan kebutuhan khusus adalah akibat karma atau sebagai balasan perbuatan jahat yang dilakukan orang tua mereka. Ketika mereka punya anak dengan kebutuhan khusus, mereka akan menaruh anak itu di tempat lain, tidak di rumah utama. Ini tidak hanya terjadi di Bali, tapi juga di banyak tempat.
Dalam charity model, Utami mengatakan bahwa mereka masih menjadi object amal, sebagai orang yang membutuhkan pertolongan dan bantuan. Utami menceritakan bagaimana organisasi-organisasi untuk orang dengan kebutuhan khusus mendapatkan banyak sekali bantuan rehabilitasi dan bantuan ekonomi, “ tidak bisakah kita melihat orang dengan kebutuhan khusus sebagai orang normal” kata Utami. Dalam medical model, utami menceritakan keadaanya sendiri. Ketika dia berusia 4 tahun, dia terkena polio dan tidak bisa berjalan. Orang tuanya mengupayakan agar dia bisa normal seperti sedia kala. Utami tidak setuju dengan model ini, karena melihat kebutuhan khusus sebagai ketidak normalan.
Penggunaan istilah difable pun masih menjadi masalah. Di Indonesia masih banyak yang mengunakan istilah “penyandang cacat” yang merujuk pada “kebutuhan khusus”. Itu artinya, kita masih melabeli mereka sebagaia “cacat”. Dalam advokasi, kita mengunakan istilah “orang” bukan “penyandang cacat”, karena kita menghargai hak-hak asasi mereka sebagaimana manuisa yang lain. Menurut CRPD (Convention on the Rights of Person with Disabilities), orang-orang dengan kebutuhan khusus menginginkan kesetaraan dengan yang lain, termasuk dalam kebebasan beragama.
Pasal ketiga dari CRPD menuntut untuk pengakuan hak asasi dan perbedaan. Menurut Utami, Indonesia belum memenuhi poin ini, hal ini bisa dilihat bagaimana LGBT (Lesbian Gay Bisexual and Transgender) di Indonesia tidak bisa menjadi pemimpin agama. seorang gay, memiliki ‘cacat’ dan tidak bisa menjadi imam bagi laki-laki lain dalam beribadah. Salah satu contoh lain ada dalam hukum pernikahan, dimana seorang laki-laki bisa menceraikan istrinya atau menikah dengan wanita lain ketika istrinya menyandang ‘cacat’. Ini adalah diskriminasi terhadap penyandang cacat, tegas Utami.
Utami menceritakan kisahnya ketika masih anak-anak. Ketika pengasuhnya membawanya ke Mushola dan banyak yang menanyakan kenapa dia digendong. Di Indoenesia, gedung public tidak didesain untuk orang dengan kebutuhan khusus. Cerita sebaliknya, adalah temanya yang di Inggris, dia buta dan kemana-mana dengan bantuan mata anjingnya, termasuk ke masjid. Situasi seperti ini tidak mungkin terjadi di Indonesia. Ini adalah PR besar untuk pemimpin agama kita; bisakah mereka mengijinkan orang buta yang datang ke masjid untuk solat dengan bantuan anjingnya. Di Amerika, Utami sering diundang ke gereja yang bangunanya bisa diakses melalui kursi roda. Dia merasa kehidupanya sangat berarti di Amerika.
Utami menjelaskan tentang bagaimana bangunan, termasuk bangunan untuk ibadah, seharusnya di desain universal, sehingga mereka yang berkebutuhan khusus memiliki akses teerhadap bangunan yang ada, hal ini untuk mengurangi beban fisik mereka. Terkait kebebasan beragama, tempat-tempat ibadah, bisa menjadi wadah untuk sosialisasi tentang bagaimana rumah ibadah juga mengakomodasi kebutuhan orang-orang berkebutuhan khusus.
Ali Jafar | CRCS | Wednesday Forum Report
Editor: Greg Vanderbilt
Berita Wednesday Forum
Abstract
The freedom to express one’s beliefs and participate fully in one’s religious community is one of the fundamental human rights explicitly stated in the International Convention on Civil and Political Rights. However,in Indonesia like in many other countries, persons with disabilities are one of the groups excluded from enjoying their full human rights.
Two kinds of barriers keep person with disabilities from access houses of worship. Attitudinal barriers including misconceptions in the mindsets of religious leaders about the concept of disability, stigma and prejudice keep persons with disabilitesfrom contributing significantly to or even being involved in their religious communities. Environmental barriers resulting from design and architectural factors prevent persons with disabilities from physical access to the houses of worship and from exercising their spiritual needs equally with everyone else.
The paper will explore how disability is an evolving concept that results from the interaction between persons with impairment and the attitudinal and environmental barriers that hinders their full and effective participation in society on an equal basis with others. In addition, it will explore the policy review, strategies and recommendations based on the UN Convention on the Right of Persons with Disabilities’ ratification through Law number 19/2011 and local regulations/Perda number 9/2015 on the Protection and Fulfillment of the Rights of Persons with Disabilities in Bali Province that seek to ensure the right to freedom of religion is part of human rights of persons with disabilities.
Speaker
Risnawati Utami has been a gender and disability rights activist since 1999 and currently speaks throughout Indonesia and abroad advocating the rights of persons with disabilities and development within the United Nations Conference of State Parties to the Convention on the Rights of Persons with Disabilities. A graduate of the Faculty of Law, University of March 11, Solo,in 2006, she was awarded a Ford Foundation International Fellowship Program to earn Master Degree in International Health Policy and Management at Brandeis University, Massachusetts, USA. Currently, she works for OHANA, a non-profit organization in Yogyakarta which focuses on disability rights advocacy and policy studiesand actively promotes “disability inclusive development” in the Agenda 2030/Sustainable Development Goals at the local, national and global levels.
Ali Ja’far | CRCS |
“Kemanakah arah kebebasan beragama” adalah pertanyaan besar saat ini. Isu ini menjadi sensitif di kalangan masyarakat majemuk dimana isu tentang hukum penodaan agama dan konflik agama masih saja dominan. Berbicara di Wednesday Forum CRCS/ICRS, Dr. Paul Marshal dari Hudson Institute Washington D.C dan Leimena Institute Jakarta berargumentasi bahwa penekanan kebebasan beragama tidak berhubungan dengan konflik agama, tetapi meratanya pelarangan agama justru menjadi penyebabnya. Dalam ringkasan penelitiannya, dengan menggabungkan data pada lebih dari 180 negara, dia menunjukan bahwa ada dua faktor yang berhubungan dengan konflik agama: pembatasan agama dan kesenjangan sosial.
Mengambil data dari Pew Research Forum dan kajian yang lain, Marshal menjelaskan bahwa pembatasan agama berhubungan dengan kejadian konflik keagamaan. China adalah negara yang memiliki sangat banyak kasus pelarangan agama dan konflik keagamaan. Konflik ini timbul karena pemerintahan China melakukan pembatasan agama secara berlebihan. Hal ini berbeda dengan India, pemerintah membatasi pelarangan agama atas nama sekularisme, tetapi kesenjangan sosial mendorong ke arah konflik. Kasus-kasus semacam ini juga terjadi di Eropa dimana jurang kesejahteraan sosial berkembang cukup pesat.
Marshal juga mengungkapkan fenomena yang sama di negara yang melindungi kebebasan beragama seperti Afrika Selatan, Brasil dan yang lainnya. Bahwasanya, kebebasan beragama berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan Hak asasi manusia. Dalam pertumbuhan ekonomi, kebebasan beragama memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, karena menurut Marshal agama mendorong peningkatan nilai penghematan, etika kerja, kejujuran dan keterbukaan pada asing. Hal itu berpengaruh pada perlindungan yang lebih besar terhadap hak asasi manusia, partisipasi wanita di pemerintahan dan kesetaraan pendapatan. Sedangkan membatasi kebebasan beragama berhubungan dengan meningkatnya jumlah korupsi.
Pada akhir presentasinya, Marshal juga berpendapat bahwa pembatasan pemerintah pada agama berhubungan dengan belanja militer, konflik bersenjata, kegagalan negara dan kekerasan agama. Untuk menguatkan argumennya, dia menunjukan data negara-negara pengekang yang mana agama memegang peranan penting di negara itu. Dia menyimpulkan bahwa agama yang dikontrol oleh pemerintah memiliki pengaruh yang negatif, dan kebebasan beragama memiliki pengaruh yang positif pada kerukunan sosial dan kemakmuran ekonomi. Contohnya adalah Indonesia, Malaysia dan Thailand. Dia juga menyimpulkan bahwa Muslim di negara yang memegang kebebasan beragama lebih taat dalam menjalani agamanya.
Setelah Marshal selesai menjelaskan topiknya, moderator membuka ruang dialog. Deva sebagai mahasiswi CRCS angkatan pertama memberikan ulasan tentang peraturan dan keterlibatannya dalam aktivitas keagamaan sebagai “Penyuluh Agama” yang merupakan pegawai negeri sipil di Kementerian Agama di Indonesia. Marshal menjelaskan bahwa akan sangat mudah mencapai kerukunan melalui kebebasan beragama, dan penelitian berlanjut diperlukan tentang bagaimana Kementrian Agama mengatur konflik di masyarakat.
Abdi yang juga mahasiswa pertama CRCS bertanya tentang negara yang telah sukses mengurangi konflik setelah kebebasan beragama. Marshal mendeskripsikan Turki, yang mana PDB (Produk Domestik Bruto) dari negara ini meningkat setelah kebebasan beragama, sebagaimana negara-negara yang memiliki sedikit sumber daya alam seperti Canada dan Australia. Ironisnya, seperti yang dia katakan, adalah China. China sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tetapi tetap secara keseluruhan sangat miskin dan peraturan agama cenderung mengarah pada konflik. Marshal menutup diskusinya dengan menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa membuat seseorang percaya pada apa yang tidak dipercayai oleh mereka. Karena agama adalah keyakinan, dan keyakinan yang murni harusnya bebas.
Abstract:
Inequality between the sexes is often regarded as a salient characteristic of Muslim societies. Despite enormous public and academic interest in the possible relationship between religion and sex-based inequality, few works have systematically compared the status of women and girls in Muslim and non-Muslim communities. This research presentation examines the question of attitudes toward sex-based inequality using an experiment embedded in a cross-national public opinion survey.
The presentation will focus on findings from a national-level survey of Indonesia, but will also provide some comparative data from surveys in Jordan, Lebanon, and Uganda that demonstrate several broad conclusions. First, while we find meaningful variation in the levels of support for female empowerment across these countries, there is little support for the hypothesis that Muslims, in particular, hold attitudes favorable toward the unequal treatment of women. Second, we find that interaction with religious leaders and co-religionists does not have a perceivable effect on attitudes toward gender inequality. Third, we find that a respondent’s sex is a potentially strong predictor of attitudes toward gender inequality. The results of our investigation could have implications for a broad range of political outcomes, including social development, structural inequalities, and inter-confessional conflict.
Abstract
Perhaps the prickliest subject in the emerging field of ‘religion and development’ concerns the question of proselytisation. The melding of religious propagation with development and humanitarian activity is widely regarded as immoral, illegitimate and distasteful. This separation has become such a prominent article of faith in development circles that any suggestion otherwise is tantamount to heresy.
In this seminar I seek to re-think this apparently settled consensus. Precisely because it is seen as such a problem proselytisation is a pivotal concept to think with in research into the cultural politics of development. Drawing on anthropological critiques of the category of ‘religion’ I go beyond examining the pervasive ways that religious and development agendas have been entangled to explore the question of whether development itself is inherently proselytising.
ABSTRACT
In the history of Islam in Indonesia, the pesantren is not the only institution of Muslim religious education, and the tradition it embodies is only one out of several tendencies within Indonesian Islam. Traditionalist, modernist, and fundamentalist discourses emerged and to some extent developed into rigid traditions. The main goal of the pesantrens is the transmission of Islamic knowledge as laid down in scripture such as classical texts of the various Islamic disciplines together with commentaries and discussions on these basic texts written over the ages.