• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • page. 15
Arsip:

Berita

Freedom of Religion in the Perspective of the Rights of Persons with Disabilities

BeritaBerita Wednesday Forum Friday, 5 February 2016

WED-FORUM-02-10-BANNER-CRCS
Abstract
The freedom to express one’s beliefs and participate fully in one’s religious community is one of the fundamental human rights explicitly stated in the International Convention on Civil and Political Rights. However,in Indonesia like in many other countries, persons with disabilities are one of the groups excluded from enjoying  their full human rights.
Two kinds of barriers keep person with disabilities from access houses of worship. Attitudinal barriers including misconceptions in the mindsets of religious leaders about the concept of disability, stigma and prejudice keep persons with disabilitesfrom contributing significantly to or even being involved in their religious communities. Environmental barriers resulting from design and architectural factors prevent persons with disabilities from physical access to the houses  of worship and  from exercising their spiritual needs equally with everyone else.
The paper will explore how disability is an evolving concept that results from the interaction between persons with impairment and the attitudinal and environmental barriers that hinders their full and effective participation in society on an equal basis with others. In addition, it will explore the policy review, strategies and recommendations based on the UN Convention on the Right of Persons with Disabilities’ ratification through Law number 19/2011 and local regulations/Perda number 9/2015 on the Protection and Fulfillment of the Rights of Persons with Disabilities in Bali Province that seek to ensure the right to freedom of religion is part of human rights of persons with disabilities.
Speaker
Risnawati Utami has been a gender and disability rights activist since 1999 and currently speaks throughout Indonesia and abroad advocating the rights of persons with disabilities and development within the United Nations Conference of State Parties to the Convention on the Rights of Persons with Disabilities. A graduate of the Faculty of Law, University of March 11, Solo,in 2006, she was awarded a Ford Foundation International Fellowship Program to earn Master Degree in International Health Policy and Management at Brandeis University, Massachusetts, USA. Currently, she works for OHANA, a non-profit organization in Yogyakarta which focuses on disability rights advocacy and policy studiesand actively promotes “disability inclusive development” in the Agenda 2030/Sustainable Development Goals at the local, national and global levels.

Islam, Kekerasan, dan Ambivalensi Kitab Suci: Tanggapan untuk Chaiwat Satha-Anand

Bedah BukuBeritaBeritaBerita Utama Tuesday, 1 December 2015

BOOK-REVIEW-CHAIWATH
Kamis, 8 Oktober 2015, Prof. Chaiwat Satha-Anand, guru besar ilmu politik Universitas Thammasat, Thailand, memberikan kuliah umum seputar agama dan kekerasan di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM). Kuliah itu merupakan bagian dari Nucholish Madjid Memorial Lecture (NMML) IX yang pada tahun ini untuk pertama kalinya diselenggarakan di Yogyakarta, sekaligus dalam rangka mengisi peringatan 15 tahun program studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies [CRCS]), UGM. Satha-Anand dikenal luas sebagai akademisi sekaligus aktivis yang mengampanyekan perjuangan melawan ketidakadilan dengan pendekatan nirkekerasan berbasis  keagamaan, khususnya Islam. Satha-Anand juga merupakan kawan baik dari almarhum Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Tulisan-tulisannya banyak membahas relasi agama dan kekerasan secara umum, juga resolusi konflik di Thailand secara khusus.

Ammatoa: Kearifan Lokal Dalam Melestarikan Hutan

BeritaBeritaBerita UtamaLaporan Wednesday Forum Wednesday, 11 November 2015

Ali Jafar/Wednesday Forum

Banyak dari kita yang hanya tahu tentang Ammatoans dari general perspective tentang mereka. Kehidupan traditional mereka memang sangatlah menarik. Terlebih ketika kita melihat program TV yang menghadirkan serial etnik atau sejenisnya. Ammatoans sering digambarkan sebagai sekumpulan masyarakat kecil yang “masih” percaya pada “animism” dan mengadakan ritual untuk konservasi hutan.  Di beberapa progam religi di pertelevisisan  Indonesia, Ammatoans ditampilkan sebagai komunitas muslim yang yang masih mempraktikan “syncretism”, karena mereka memberikan sesajen kepada hutan, gunung dan daratan. Orang Indonesia memiliki banyak sekali stereotype tentang Ammatoans, tetapi siapa sebenarnya Ammatoans yang sesungguhnya? Terkait stereotype tentang Ammatoans ini, pada rabu 16 september, Wednesday Forum yang diadakan CRCS/ICRS kembali menghadirkan Dr. Samsul Ma’arif yang telah melakukan penelitian pada Ammatoans dan mengemukakan fakta sebaliknya.

Gus Mus di UGM: Tidak Ada Dikotomi Ilmu Umum dan Ilmu  Agama

ArtikelBeritaBeritaBerita Utama Friday, 11 September 2015

S. Sudjatna | Report | CRCS
015403300_1438735159-2Salah satu tokoh ulama Indonesia, K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus, mengingatkan civitas akademika Universitas Gadjah Mada soal  tidak adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ia justru menekankan pada wajibnya menuntut ilmu. Menurut Gus Mus, seharusnya setiap orang memahami bahwa hukum ilmu hanyalah satu, yakni wajib, baik wajib kifayah (wajib dipelajari oleh sebagian orang saja) ataupun wajib ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap orang). Dengan adanya kesadaran ini, maka setiap orang akan bersungguh-sungguh dalam proses belajar yang dilakukannya sebab menyadari beban tugasnya dalam mencari ilmu. Hal ini ia sampaikan dalam kuliah perdana yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan UGM, bertajuk “Ilmu yang Bermanfaat”, Kamis, 3 September 2015.
Selanjutnya ia menekankan pentingnya niat di dalam proses menuntut ilmu. Ia menjelaskan bahwa niat adalah fondasi dalam segala tindakan. Niat tidak hanya menentukan awal dan proses suatu perbuatan saat dilakukan, melainkan juga sangat menentukan bentuk akhir dari sesuatu itu. Karenanya, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menurut Gus Mus, seorang mahasiswa haruslah memiliki niat yang baik, tulus dan ikhlas. Bukan niat yang hanya mengedepankan persoalan duniawi semata, semisal pekerjaan, kedudukan atau keuntungan dalam bentuk materi. Niat haruslah dijalin dan didasarkan pada kesadaran akan ketuhanan serta tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Dengan begitu, setiap penuntut ilmu akan sadar dengan tugasnya sebagai orang yang diberi pemahaman atau ilmu oleh Tuhan untuk digunakan demi kebaikan manusia dan alam.
Mengaitkannya dengan ilmu kehutanan, menurut Gus Mus Indonesia adalah salah satu negara dengan bentang hutan terluas di dunia. Karenanya, tak heran jika negeri ini didaulat sebagai salah satu paru-paru dunia. Namun sayangnya, akhir-akhir ini luas hutan di nusantara kian menyempit disebabkan eksploitasi besar-besaran yang terjadi secara kontinu, belum lagi kerusakan hutan yang kian parah di setiap tahunnya. Hal ini seolah menunjukkan ada yang salah dengan tata kelola hutan yang ada. Tentu saja, kondisi ini sangat paradoks dengan realitas yang ada bahwa setiap tahunnya sarjana alumni fakultas kehutanan terus meningkat jumlahnya, dan UGM adalah salah satu penyumbang sarjana kehutanan terbanyak saat ini.Apa yang salah dalam hal ini? Adakah ilmu yang sudah digali selama para mahasiswa kehutanan itu kuliah tidak bermanfaat?.
Selain itu, Gus Mus juga memberi perumpamaan bahwa pelajar—di dalamnya termasuk juga mahasiswa—bukanlah laiknya sebuah komputer. Pelajar berbeda dengan komputer yang hanya menampung data tanpa mampu melakukan apa pun. Karenanya, pelajar jangan seperti komputer. Pelajar haruslah sanggup menampung ilmu sekaligus mengamalkannya, memanfaatkannya. Menurut Gus Mus, jika sekiranya tidak sanggup memberi manfaat, maka setidaknya hendaklah tidak merugikan orang lain. Selain itu, sebagai manusia, pelajar hendaklah menggunakan bukan hanya otak, melainkan juga hati.
Salah satu tips menuntut ilmu yang dilontarkan Gus Mus bagi para mahasiswa adalah hendaknya berteman dengan orang shalih. Sebab, pengaruh teman sangatlah kuat terhadap jiwa seseorang. Jika seorang mahasiswa salah berteman atau salah pergaulan, maka dapat dipastikan study-nya akan terganggu, begitu juga dengan keilmuannya. Sedangkan bagi para dosen, Gus Mus mengingatkan pentingnya mendoakan para mahasiswa agar mendapat ilmu yang bermanfaat. Ia mengingatkan, hendaklah para dosen menyadari bahwa mereka hanyalah sarana Tuhan dalam menyampaikan ilmu.

Kemanakah Arah Kebebasan Beragama?

ArtikelBeritaBerita UtamaBerita Wednesday Forum Monday, 7 September 2015

Ali Ja’far | CRCS |
“Kemanakah arah kebebasan beragama” adalah pertanyaan besar saat ini. Isu ini menjadi sensitif di kalangan masyarakat majemuk dimana isu tentang hukum penodaan agama dan konflik agama masih saja dominan. Berbicara di Wednesday Forum CRCS/ICRS, Dr. Paul Marshal dari Hudson Institute Washington D.C dan Leimena Institute Jakarta berargumentasi bahwa penekanan kebebasan beragama tidak berhubungan dengan konflik agama, tetapi meratanya pelarangan agama justru menjadi penyebabnya. Dalam ringkasan penelitiannya, dengan menggabungkan data pada lebih dari 180 negara, dia menunjukan bahwa ada dua faktor yang berhubungan dengan konflik agama: pembatasan agama dan kesenjangan sosial.
5287_ketika_bingung_mengambil_keputusan (2)Mengambil data dari Pew Research Forum dan kajian yang lain, Marshal menjelaskan bahwa pembatasan agama berhubungan dengan kejadian konflik keagamaan. China adalah negara yang memiliki sangat banyak kasus pelarangan agama dan konflik keagamaan. Konflik ini timbul karena pemerintahan China melakukan  pembatasan agama secara berlebihan. Hal ini berbeda dengan India, pemerintah membatasi pelarangan agama atas nama sekularisme, tetapi kesenjangan sosial mendorong ke arah konflik. Kasus-kasus semacam ini juga terjadi di Eropa dimana jurang kesejahteraan sosial berkembang cukup pesat.
Marshal juga mengungkapkan fenomena yang sama di negara yang melindungi kebebasan beragama seperti Afrika Selatan, Brasil dan yang lainnya. Bahwasanya, kebebasan beragama berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan Hak asasi manusia. Dalam pertumbuhan ekonomi, kebebasan beragama memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, karena menurut Marshal agama mendorong peningkatan nilai penghematan, etika kerja, kejujuran dan keterbukaan pada asing. Hal itu berpengaruh pada perlindungan yang lebih besar terhadap hak asasi manusia, partisipasi wanita di pemerintahan dan kesetaraan pendapatan. Sedangkan membatasi kebebasan beragama berhubungan dengan meningkatnya jumlah korupsi.
Pada akhir presentasinya, Marshal juga berpendapat bahwa pembatasan pemerintah pada agama berhubungan dengan belanja militer, konflik bersenjata, kegagalan negara dan kekerasan agama. Untuk  menguatkan argumennya, dia menunjukan data negara-negara pengekang yang  mana agama memegang peranan penting di negara itu. Dia menyimpulkan bahwa agama yang dikontrol oleh pemerintah memiliki pengaruh yang negatif, dan kebebasan beragama memiliki pengaruh yang positif pada kerukunan sosial dan kemakmuran ekonomi. Contohnya adalah Indonesia, Malaysia dan Thailand. Dia juga menyimpulkan bahwa Muslim di negara yang memegang kebebasan beragama lebih taat dalam menjalani agamanya.
Setelah Marshal selesai menjelaskan topiknya, moderator membuka ruang dialog. Deva sebagai mahasiswi CRCS angkatan pertama memberikan ulasan tentang peraturan dan keterlibatannya dalam aktivitas keagamaan sebagai “Penyuluh Agama” yang merupakan pegawai negeri sipil di Kementerian Agama di Indonesia. Marshal menjelaskan bahwa akan sangat mudah mencapai kerukunan melalui kebebasan beragama, dan penelitian berlanjut diperlukan tentang bagaimana Kementrian Agama mengatur konflik di masyarakat.
Abdi yang juga mahasiswa pertama CRCS bertanya tentang negara yang telah sukses mengurangi konflik setelah kebebasan beragama. Marshal mendeskripsikan Turki, yang mana PDB (Produk Domestik Bruto) dari negara ini meningkat setelah kebebasan beragama, sebagaimana negara-negara yang memiliki sedikit sumber daya alam seperti Canada dan Australia. Ironisnya, seperti yang dia katakan, adalah China. China sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tetapi tetap secara keseluruhan sangat miskin dan peraturan agama cenderung mengarah pada konflik. Marshal menutup diskusinya dengan menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa membuat seseorang percaya pada apa yang tidak dipercayai oleh mereka. Karena agama adalah keyakinan, dan keyakinan yang murni harusnya bebas.

Call for Application: Sekolah Pengelolaan Keragaman 2015

BeritaHeadlineNewsSPK news Monday, 2 March 2015

Batas waktu 11 April 2015

Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, membuka pendaftaran untuk:

Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) Ke-VI
Yogyakarta, 19 Mei – 31 Mei 2015

Sekolah Pengelolaan Keragaman mengundang aktifis dan pengajar/peneliti yang mempunyai komitmen untuk mengembangkan dan mengintegrasikan teori dan praktik terkait isu keragaman (dalam arti luasnya yang mencakup advokasi dan pembuatan kebijakan dalam masyarakat majemuk) dalam kerja/studi mereka. Setiap peserta diharapkan terlibat dalam kelompok penelitian mengenai isu-isu keragaman di daerah masing-masing setelah selesai mengikuti sekolah ini.
Kami menerima peserta dari:

1…13141516

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju