Ali Ja’far | CRCS | Artikel
“Perubahan besar-besaran pada Klenteng-Vihara Buddha terjadi setelah peristiwa 1965, dimana semua yang berhubungan dengan China dilarang berkembang di Indonesia. Nama-nama warung atau orang yang dulunya menggunakan nama China, harus berubah dan memakai nama Indonesia” kata Romo Tjoti Surya di Vihara Buddha kepada mahasiswa CRCS-Advanced Study of Buddhism, yang melakukan kunjungan pada selasa 22 Maret 2016. Beliau menjelaskan juga bahwa pada waktu itu, umat Buddha juga harus mengalami masa sulit karena banyaknya pemeluk Buddha yang berasal dari China.
Salah satu dampak anti China ada pada Klenteng-Vihara Buddha Praba dan daerah disekitarnya adalah pada nomenclature. Pada awalnya, toko-toko itu mengunakan nama-nama China, tetapi mereka harus mengganti nama itu menjadi nama Indonesia. Begitu juga pemeluk Konghucu disini, mereka punya dua nama, nama Indonesia dan nama China. Bahkan bertahun-tahun mereka harus memperjuangkan keyakinan mereka sampai pada akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid mencabut pelarangan itu dan Konghucu diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Tempat pemujaan yang berusia lebih dari 100 tahun ini merupakan gabungan dari Klenteng dan Vihara. Klenteng berada di depan dan Vihara berada di belakang. Penyatuan ini karena adanya kedekatan historis antara pemeluk Buddha dengan orang China di Indonesia. kedekatan Buddha dengan China bisa dilihat dalam rupang Dewi “Kwan Yin” dalam dialek Hokkian yang merujuk pada Avalokitesvara, Buddha yang Welas Asih. Selain itu juga ada kedekatan ajaran, dimana dalam Buddha, label agama tidaklah penting, yang paling penting adalah pengamalan dan pengajaran Dharma. Selama ajaran Dharma itu masih ada, maka perbedaan agama pun tidak masalah.
Vihara Buddha Praba sendiri adalah Buddha dengan aliran Buddhayana, yaitu aliran yang berkembang di Indonesia yang menggabungkan dua unsur aliran besar Buddha, Theravada dan Mahayana. Aliran Mahayana berada di Utara dan Timur Asia yang melintas dari China sampai ke Jepang dan lainya. Sedangkan Theravada menempati kawasan selatan, seperti Thailand, Burma. Namun begitu, Budhayana melihat dua aliran ini sebagai “Yana” atau kendaraan menuju pencerahan seperti yang diajarkan sang Guru Agung. Penggabungan Theravada dan Mahayana dalam aliran Buddhayana awalnya juga dilandasi alasan politis dimana terdapat asimilasi antara agama dan kebudayaan yang ada.
Dalam Kunjungan ini, mahasiswa CRCS diajak untuk keliling Klenteng-Vihara dan mengenal ajaran Buddha lebih dalam, terutama bagaimana Vihara ini bisa bersatu dengan Klenteng, melihat budaya China lebih dekat dan mengenali ajaran Buddha yang lebih menekankan pada penyebaran Dharma dari pada penyebaran agama.
Vihara kedua yang dikunjungi adalah Vihara Karangdjati yang beraliran Theravada. Berbeda dengan sebelumnya, Vihara Karangdjati tidak bernuansakan China, tetapi lebih ke Jawa, dimana terdapat pendopo untuk menerima tamu dan ruang meditasi yang khusus. Pak Tri Widianto menjelaskan bahwa pokok ajaran Buddha bukanlah ajaran eksklusif yang tertentu untuk pemeluk Buddha saja, tetapi untuk seluruh umat manusia. Bahkan di Vihara Karangdjati, ada juga dari agama lain yang datang saat meditasi.
Hal yang sering disalahartikan selama ini adalah meditasi hanya milik umat Buddha, tetapi tidak. Meditasi adalah laku spiritual untuk mengenali gerak gerik otak kita dan mengasah mental menghadapi masalah. Ini adalah latihan mengolah kepekaan yang tidak dibatasi oleh agama tertentu. Pengolahan kepekaan ini penting karena betapapun banyaknya kata bijak yang kita miliki, itu tak ada manfaatnya ketika tidak dipraktikkan.
Didirikan pada tahun 1958, usia Vihara Karang Jati yang juga berlokasi di desa Karang Jati, lebih tua dari pada usia kampung itu. Sehingga, meskipun mayoritas penduduk sekitar beragama Islam, tidak pernah ada keributan atau gesekan antar agama. Hal ini karena Vihara Karang Jati selalu menekankan keharmonisan dan perasaan kasih (compassion), pada seluruh umat manusia.
Vihara Karang Jati menaungi Puja bakti, pusat pelayanan keagamaan, dan pendidikan. Khusus untuk meditasi, kegiatan ini dibuka untuk umum. Artinya, siapapun dan dari agama dan golongan manapun boleh mengikutinya. Kegiatan yang dilakukan tiap malam jumat ini bahkan pernah diikuti oleh beberapa turis mancanegara.
Headline
Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
Keberagaman merupakan salah satu konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang telah disadari sejak awal berdirinya republik ini, sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dijadikan menjadi salah satu falsafah hidup Bangsa Indonesia. Terjadinya konflik-konflik yang berkaitan dengan keberagaman, baik agama dan etnitsitas, memunculkan keresahan sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman dan damai. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator kurangnya kesadaran dan/atau pemahaman masyarakat akan arti keberagaman. Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah merupakan salah satu ruang yang dianggap penting untuk mengakomodir pengetahuan dan pemahaman keberagaman. Sekolah tidak hanya dimaknai sebagai ruang untuk memperoleh pengetahuan untuk mengukur kemampuan kognitif dan prestasi akademis, melainkan sebagai ruang untuk memeroleh nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara kontekstual.
Buku berjudul “Mengelola Keragaman di Sekolah” yang diterbitkan oleh CRCS pada Februari 2016, merupakan salah satu buku yang berkaitan dengan pengelolaan keberagaman di Indonesia, khususnya di sekolah. Buku ini memuat tiga belas artikel yang ditulis oleh para guru yang berasal dari beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melalui Kompetisi Esai Guru yang diselenggarakan oleh penerbit. Ide dalam artikel-artikel tersebut berdasarkan pada pengalaman proses belajar-mengajar yang dialami langsung oleh para penulis.
Secara holistik, keberagaman yang ditampilkan dan dibahas dalam buku ini tidak terbatas pada agama, etnis, budaya/adat-istiadat, bahasa, gender dan status sosial. Keberagaman dalam pengertian yang lebih luas mencangkup keberagaman kecerdasan naradidik, yang dibahas oleh Sangidah Rofiah dalam artikel berjudul “Pembelajaran Berbasis Keragaman Kecerdasan dengan Pendekatan Neuro Linguistik Programming (NLP) pada Mata Pelajaran PAI”, sampai pada keberagaman respon dan metode mengajar yang diterapkan oleh para pendidik. Dengan demikian, buku ini menyediakan pemahaman yang lebih luas pada makna keberagaman itu sendiri.
Buku ini menunjukkan potret pengelolaan keragaman melaui pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah negeri dan swasta baik yang berbasis agama dan bersifat homogen, maupun sekolah inklusi. Ada beberapa sekolah yang secara institusional sudah menerapkan kurikulum dan metode pengelolaan keragaman dalam proses belajar mengajar untuk membangun toleransi peserta didik, seperti yang diterapkan di Sekolah Negeri Satu Muntilan, Sekolah Tumbuh Yogyakarta, dan Yayasan Budi Mulia Yogyakarta. Sementara itu, beberapa penulis masih berupaya mengelola keragaman melalui mata pelajaran yang diampu dengan menerapkan metode pengajaran yang kreatif. Pentingnya pengelolaan keragaman dalam konteks Indonesia dan peran sekolah dalam upaya tersebut diutarakan oleh semua penulis dalam buku ini, meski sebagian menyampaikan secara implisit.
Pengelolaan keragaman dalam lingkup sekolah bukan sesuatu yang mudah dilakukan, dimana hal tersebut menuntut kesadaran banyak pihak, mulai dari naradidik, pendidik, dan para pemangku kepentingan di sekolah. Metode-metode yang telah diterapkan oleh para penulis, seperti debat, fieldtrip, diskusi kelompok, menempatkan naradidik sebagai subjek aktif dalam proses belajar-mengajar dalam upaya menggali nilai-nilai keragaman. Upaya yang demikian diharapkan dapat memperdalam pemahaman naradidik tentang keberagaman yang tidak terfokus hanya pada ranah kognitif dan bersifat normatif, tetapi juga pada ranah afektif dan praksis. Dengan demikian, pemahaman akan makna kebhinakaan diwujudkan dalam hidup yang toleran dan damai. Peran para pendidik dan pemangku kepentingan juga sangat penting dalam upaya pengelolaan keragaman. Wawasan pengetahuan dan kreatifitas para guru serta kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh stakeholders memiliki peran yang sangat penting dalam upaya tersebut. Imam Mutakhim secara khusus memaparkan hal tersebut dalam artikelnya di bagian akhir buku ini. Mutakhim berpendapat bahwa seluruh unsur meliputi guru, kepala sekolah, karyawan, dll., merupakan elemen yang saling terkait dan penting dalam mengelola keragaman di sekolah (p.178). Jika salah satu pihak bersifat pasif maka kemungkinan hal tersebut sulit terlaksana.
Book Title: Mengelola Keragaman di Sekolah, Gagasan dan Pengalaman Guru | Author: Anis Farikhatin, Arifah Suryaningsih, Dani Bilkis Saida Aminah, dkk | Pubhlisher: CRCS UGM | Year: Februari 2016 | Paperback: xi + 96 pages | ISBN: 978-602-72686-5-4
Download books here
Sembilan mahasiswa CRCS dari dua angkatan yang berbeda berhasil memeroleh gelar Master of Art dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya pada prosesi wisuda Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Selasa, 19 April 2016. Sebagian besar dari mereka mendapatkan penghargaan sebagai wisudawati-wisudawan berprestasi dengan predikat cum laude. Tema thesis mereka pun cukup beragam mulai dari etika, budaya lokal, kesehatan, media online, humanitarian, tato, aliran kepercayaan, lingkungan hingga gerakan keagamaan. Berikut nama-nama dan karya thesis mereka:
M. Iqbal Ahnaf | CRCS | Artikel
Kecurigaan pelanggaran HAM dalam meninggalnya terduga teroris Siyono saat pemeriksaan Densus 88 meninggalkan beberapa pertanyaan, termasuk soal prioritas dan pendekatan penanggulangan terorisme. Tidak lama sebelum kasus Siyono menjadi perhatian publik, aksi teror di Brussel meninggalkan pertanyaan serupa. Tulisan ini ingin melihat pelajaran apa yang bisa ditarik dari kasus-kasus terorisme baru-baru ini di Eropa bagi Indonesia.
Paska serangan mengerikan ISIS di Perancis dan Belgia, perhatian banyak pihak tertuju pada sebuah distrik di Belgia bernama Molenbeek. Distrik ini dikenal sebagai salah satu wilayah yang menjadi pusat tempat tinggal warga Muslim di Belgia; sampai-sampai ada yang mengatakan jumlah masjid di Molenbeek empat kali lebih besar daripada jumlah gereja. Keberadaan komunitas Muslim yang begitu besar di sebuah negara Barat dengan mayoritas penduduk non-Muslim seharusnya bisa dilihat sebagai simbol keterbukaan, toleransi dan akulturasi Muslim dan Barat, tetapi yang terjadi tampak sebaliknya. Kota ini kini identik dengan Islam ekstremis.
Dalang pelaku teror Paris, Abdul Salam bersaudara, tumbuh dan besar di distrik ini. Salah Abdul Salam adalah pelaku bom bunuh diri di dekat stadium di Paris, sementara adiknya ditembak mati di Molenbeek setelah beberapa lama dalam pelarian.
Kejadian terakhir semakin memperkuat citra Molenbeek sebagai basis radikalisasi di kalangan Muslim di Eropa. Belgia adalah negara dengan jumlah warga negara tertinggi yang bergabung dengan ISIS. Dengan mudah hal ini bisa dikaitkan dengan radikalisme di Molenbeek. Sejumlah media menyebut Molenbeek dengan label-label yang mengaitkannya dengan terorisme seperti “Islamist pit stop”, “terrorist airbase”, dan “jihadi haven”.
Radikalisme Urban
Kebebasan, modernitas, dan ekonomi yang lebih maju terbayang sangat indah tidak hanya bagi mereka yang tinggal di negara-negara miskin dan berkembang, tetapi juga mereka yang hidup mapan. Namun kemapanan ekonomi ternyata tidak serta-merta menciptakan karakter yang lebih terbuka dan toleran. Radikalisme justru seringkali tumbuh berkembang di wilayah-wilayah urban atau di kalangan yang relatif mapan. Ideologi, narasi ekstrem dan imajinasi ancaman (siege mentality) menarik minat sebagian kalangan yang mapan secara ekonomi pada radikalisme.
Hal ini bisa dilihat pada sejumlah sosok yang bergabung dengan ISIS. Misalnya, Salah Abdul Salam yang menjadi otak serangan teror di Paris adalah pria yang tidak bisa dikatakan kelas bawah secara ekonomi. Laporan The Telegraph menyebutkan bahwa sebelum aksi teror di Paris ia pernah kehilangan layanan sosial warga miskin di Belgia karena penghasilannya sudah di atas batas kelas tidak mampu. Sebelumnya, tiga orang gadis dilaporkan meninggalkan keluarganya yang mapan di London untuk bergabung dengan ISIS di Suriah.
Ada beberapa karakter yang menjadi konteks radikalisasi di lingkungan urban, seperti ketercerabutan dari kultur awal, krisis identitas, perasaan tertolak, kebutuhan akan komunitas, dan keterpikatan pada otoritas keagamaan baru yang dimungkinkan oleh diskusi dan kajian agama secara online.
Molenbeek yang menyumbang 40 persen populasi Muslim di seluruh Belgia dikenal dengan tingkat pengangguran yang tinggi. Tetapi yang menentukan bukanlah kemiskinan aktual per se tetapi lebih pada bagaimana kemiskinan yang relatif terkonsentrasi dialami oleh satu kelompok identitas, imigran Muslim, dengan mudah memberi justifikasi terhadap perasaan dimiskinkan oleh sistem yang berlaku.
Kondisi ini dieksploitasi oleh kelompok ekstremis sebagai alat untuk menciptakan framing yang mendorong pada salah satu proses penting radikalisasi. Yaitu narasi tentang viktimisasi umat Islam dan kebutuhan untuk mewujudkan alternatif terhadap sistem yang dianggap berlawanan dengan kehendak Tuhan.
Dalam proses radikalisasi, satu hal yang patut dicermati adalah terciptanya situasi dan ruang yang menyediakan lahan yang subur bagi radikalisasi. Radikalisasi model ini tidak terjadi di kampung-kampung dimana kontrol sosial masih kuat, tetapi dalam masyarakat kota yang individualistik dan diisi oleh kantong-kantong kecil yang tidak terusik oleh masyarakat sekitarnya.
Kembali ke Molenbeek, meskipun dikenal sebagai pusat perkembangan ekstremisme, mayoritas warga Molenbeek sebenarnya adalah kelompok moderat yang menginginkan integrasi dalam masyarakat Belgia dan Eropa secara luas. Tetapi karakter masyarakat urban yang lemah dalam kontrol sosial membuat keberadaan basis-basis kelompok ekstrem di distrik ini relatif aman.
Pelajaran bagi Indonesia
Sejauh ini unit anti-teror Indonesia telah menangkap cukup banyak orang yang bergabung dengan ISIS. Ada dua karakter yang menonjol dari mereka yang bergabung dalam ISIS. Pertama, banyak yang berasal dari kalangan urban, dan Kedua, kebanyakan bukanlah aktor baru dalam gerakan radikal.
Bahrun Naim dan Afif, otak dan pelaku serangan teror di Sarinah mempunyai pengalaman hidup dalam lingkup urban. Bahrun Naim sebelumnya adalah mahasiswa di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo; sementara Afif dikenal sudah lama malang melintang di gerakan radikal melalui Majelis Mujahidin Indonesia dan jaringan Aman Abdurrahman.
Karakter urban juga bisa dilihat dalam sosok Koswara Ibnu Abdullah alias Jack yang mengkoordinir pemberangkatan sejumlah orang ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Ia tinggal di sebuah kompleks perumahan di Tambun Bekasi yang sebagian besar penghuninya adalah pendatang. Keengganan warga sekitar ikut campur dalam kehidupan tetangga memungkinkan keleluasaan gerak kelompok Koswara.
Daya tarik ISIS di Indonesia semakin melemah seiring dengan melemahnya kekuatan kelompok ini di Suriah dan Iraq. Tetapi, ancaman ISIS sebaiknya tidak hanya dilihat dari ISIS semata. ISIS hanyalah salah satu saluran dari proses radikalisasi yang tumbuh dalam 10 tahun terakhir, terutama paska konflik di Maluku. Meskipun konflik sektarian di Maluku berakhir pada tahun 2000, tetapi residu konflik terbentuk dalam bentuk peran para “eks-kombatan” dalam kelompok-kelompok radikal.
Sebagai salah satu saluran, ISIS bisa muncul dan hilang. Ada banyak pilihan saluran lain selain ISIS. Mereka yang menerima narasi radikal bisa saja mendapatkan saluran pada gerakan-gerakan sosial politik non-kekerasan seperti Hizbut Tahrir atau Salafi. Begitu juga mereka yang memilih jalan kekerasan bisa memilih kelompok yang berbeda seperti angkatan Mujahidin dan Jabhah Al-Nusroh yang menjadi rival ISIS di Suriah. Jaringan dan pertemanan, selain ideologi, bisa menentukan kelompok mana yang dipilih sebagai saluran atas kegelisahan mereka. Hal ini terkonfirmasi oleh laporan IPAC tahun 2014 berjudul The Evolution of ISIS in Indonesia yang menunjukkan latar belakang gerakan yang beragam dari para pengikut ISIS, termasuk JI, Majelis Mujahidin, Salafi bahkan FPI.
Intoleransi dan Terorisme
Hal lain yang patut dicermati dari keragaman latar gerakan dari mereka yang bergabung dengan ISIS adalah pentingnya ruang yang memungkinkan mobilisasi ekstremisme. Ruang tersebut tersedia dalam konteks menguatnya intoleransi dalam sepuluh tahun terakhir. Ekstremisme adalah puncak dari proses radikalisasi. Ekstremisme tidak terjadi dalam ruang kosong, tetapi menuntut karena yang terpolarisasi berdasarkan sentimen komunal dan karena itu memudahkan mobilisasi sektarian.
Sosok M. Syarif pelaku bom bunuh diri di Cirebon pada tahun 2011 memberi ilustrasi bagaimana gerakan intoleran memberi ruang bagi mobilisasi gerakan ekstrem. Syarif awalnya ikut serta dalam gerakan intoleran bernama GAPAS, dan di situlah ia bertemu dengan tokoh JI yang kemudian merekrutnya sampai menjadi pelaku bom bunuh diri.
Karena itu, membatasi respon terhadap ancaman ekstremisme semata pada mereka yang angkat senjata sebagaimana menjadi tugas Densus tentu saja tidak cukup. Intoleransi dilihat sebagai the lesser threat dan terorisme adalah bigger threat; padahal fakta menunjukkan kekerasan akibat intoleransi jauh lebih sering terjadi daripada terorisme.
Data Global Terrorism Database mencatat serangan terorisme di Indonesia dalam kurun 2010-2013 berkisar paling tidak di angka 40 kejadian. Angka ini jauh lebih kecil dari kejadian serangan teror disejumlah negara tetangga. Di Thailand dan Filipina, misalnya, dalam kurun waktu yang sama yang serangan teror mencapai lebih dari 450 sampai 600 insiden. Sementara data kekerasan intoleransi, sebagaimana muncul dalam beberapa laporan di Indonesia, menunjukkan tingginya angka kejadian per tahun.
Molenbeek dan Indonesia tentu tidak sepenuhnya serupa, tetapi satu hal yang bisa dibandingkan adalah tersedianya ruang yang memungkinkan tumbuhnya radikalisasi, terutama di kalangan masyarakat urban. Upaya untuk menangkal pengaruh persebaran ISIS tidak cukup dilakukan dengan law enforcement yang menyasar mereka yang terlibat dalam gerakan teror, tetapi lebih dari itu diperlukan upaya untuk melemahkan kondisi yang mendukung mobilisasi gerakan ekstrem. Kondisi tersebut bisa berupa sikap permisif terhadap intoleransi dan resistensi terhadap aktivitas kontra-terorisme yang akan memudahkan upaya kelompok ekstrem menemukan ruang mobilisasi dan mendapatkan pengaruh.
Penulis adalah Pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
Suhadi | CRCS | Opinion
As i observe, the discipline of religious studies that is growing in Southeast Asian countries nowadays has several characteristics that make it different from how religion has been studied until now. First, it goes beyond theological approaches and stresses religious practice in relation to society, politics and culture. Second, it is part of the response to social and political issues outside the academy, such as inter-religious conflict, the absence of the freedom of religion, gender inequality, social injustice, etc. For these reasons, I am interested to explore the emergence of this discipline in the context of Southeast Asia.
I presented these ideas about the emerging discipline of religious studies in the Southeast Asian context at the research seminar entitled “Making Southeast Asia and Beyond” at the Faculty of Liberal Arts, Thammasat University, Bangkok, Thailand, in January 2016.
Southeast Asia is home to communities of believers in the world’s major religions and traditions, in addition to various indigenous religions and other smaller world religions. Major groups by percentage of the Southeast Asian population are Muslims (36.77%), Buddhist (26.78%), Christians (22.06 %), and ethno-religionists (4.61 %), according to www.thearda.com. Others include Hindus, Confucians, and members of other faiths.
The significance of religions in Southeast Asia is not only in their strong presence in the daily life of society, but also in the profound role they play in various aspects of political, economic, and social life of the Southeast Asian peoples. In previous decades, it was predicted that due to the strong modernization of Southeast Asia –like in other parts of the world– religion would disappear from public life. However, the turn of the twenty-first century has seen a resurgence in religious activity. Despite predictions of its decline, religion has revived (and, some scholars add, become radicalized) around the globe, including in Southeast Asia. It has not died out in our modern world, as secularization theory anticipated, but, on the contrary, it is blossoming. Some scholars even call the 21st century “God’s century” (Toft et al. 2011).
Religious issues occupy a strategic, challenging position in the political, economic, and social life of Southeast Asian countries. Intra- and interreligious tension and conflict arise frequently in the region and, to varying degrees, persecution based on religious identity has been reported in some ASEAN member states (Human Rights Resources Center at UI Jakarta 2015). The conflict between Buddhist majority groups in Myanmar supported by the government and the Muslim minority Rohingya has led to the displacement of Rohingya refugees to camps inside Myanmar and to other other ASEAN countries (Suaedy& Hafiz 2015). These problems show the complexity of identity issue, including religious identity issue, in Southeast Asian countries and beyond. Acts of religious inspired terrorism have been making the problems more complex.
Meanwhile, as shown by the consensus of the ASEAN Economic Community which was launched this January 2016, the concerns of ASEAN leaders have focussed mostly (to not say merely) on economic interests. We do have the ASEAN Human Rights Declaration which pays attention to civil, political, and cultural rights and the people’sright to peace, but it pays little attention to religious rights. The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights advocates for the rights of migrants, women, children, and disabled people, but had done little in regards to religious rights. It seems the actors try to avoid religious issues.
Thus, it is necessary to ask such questions as where is the place for talking about inter/ intra religious issues in the public life since religion isin fact part of public discourse? Who will initiate opening that discussion? What is the role of public (non-theological, non-religious vocational) universities in this region on these issues?
In this article, I will try to answer the last question based on the assumption that the answer must indirectly respond to the preceding questions. I look at how public universities in Southeast Asian countries are initiating the academic study of religions during the last two decades by opening centers or departments with the title religious studies or similar names.
Of course, religions have long been studied widely in universities in the region, usually from the perspective of theology or as the (social) science of religion within such disciplines as sociology, anthropology, psychology, and so on. It is important to differentiate among the three positions: theology, (social) science of religion, and religious studies, which tends to be interdisciplinary in its approach. My main concern here is religious studies.
Let us come to see the institutional development of religious studies in several universities in Southeast Asia. I focus on three institutions, among others as examples. First,the College of Religious Studies in Mahidol University in Thailand was established in 1999 and dedicated to “the study and research in the field of religious studies [that]fosters mutual understanding, cooperation, and respect among people of different religious traditions”. A strong International Center for Buddhism and Islamis part of that college. (http://www.crs.mahidol.ac.th/).
Second, at GadjahMada University Indonesia, the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) interdisciplinary master program focusing on religious studies was established in 2000. It has three main areas of study: inter-religious relations; religion, culture and nature; and religion and public life (crcs.ugm.ac.id).
Third, it is a little surprising that in 2014 Nanyang Technological University in Singapore also opened a master program entitled “Studies in Inter-Religious Relations in Plural Societies” within its Rajaratnam School of International Studies (RSIS). It is mentioned in its profile that it “aims to study various models of how religious communities develop their teachings to meet the contemporary challenges of living in plural societies. It will also deepen the study of inter-religious relations, formulate models for the positive role of religions in peace-building and produce knowledge to strengthen social ties between communities” (www.rsis.edu.sg/research/srp/).
These aforementioned institutions offer academic degrees in religious studies (BA, MA, and/ or PhD). The main character of religious studies as each defines it is strengthening inter-religious perspectives. In consequence, the religious studies approach draws directly or indirectly on comparative studies within religious diversity either as social context or as a primary concern of study. In this point we can see one major difference in perspective and positionality between religious studies and theology.
Thus, on one hand, it is in line with the duty of the public university to understand about diverse religions rather than to preachon behalf of one religion. In addition those institutions are engaged in peace movements and other activities related to diversity management in their respective societies. In this point, the religious studies perspective, by seeking to be impartial but not neutral, is different from that of the science of religion that usually –not always—strives to be neutral.
In conclusion, considering the awkwardness of public universities and other public bodies and authorities within ASEAN in ‘addressing’ religion, it is clear that it is time to look at religious studies as an alternative approach. Religious studies recognizes the significance of religion in Southeast Asian political, economic, and social life. Maybe it is not an over statement to say that the centers and departments of religious studies in Southeast Asian public universities –in cooperation with other disciplines– will be new players in relation to the management of religious diversity in the public life of Southeast Asia.
The writer is a lecturer at the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS),
Graduate School, GadjahMada University, Indonesia.
He can be reached at: suhadi_cholil@ugm.ac.id
Azis Anwar Fachrudin | CRCS | Opinion
[pullquote align=”right” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”15″]Fatwa MUI telah digunakan orang-orang intoleran untuk mempersekusi yang difatwa sesat[/pullquote] Sebagaimana mutakhir diberitakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat hendak menyusun beberapa kriteria tentang ajaran sesat, khususnya ajaran yang “mencaci-maki Sahabat Nabi Muhammad SAW, menolak kepemimpinan al-Khulafa’ ar-Rasyidun, dan memperbolehkan nikah mut’ah.” Kriteria ini jelas diarahkan kepada Syiah, yang sebagian telah menjadi korban tindakan kekerasan.
Maka kini adalah waktu yang tepat, bahkan mendesak, bagi MUI—yang susunan pengurus barunya diduduki oleh orang-orang berpendidikan tinggi—untuk mengkaji lagi perannya dalam konteks kenegaraan. Sebagai organisasi yang tak sepenuhnya dapat dipisahkan dari negara, MUI memiliki tanggung jawab kewargaan (civic) untuk memperhitungkan dampak fatwa-fatwanya bagi setiap warga negara Indonesia, termasuk yang dianggap sesat. Di tahun-tahun belakangan, beberapa fatwa MUI tentang kesesatan suatu kelompok tak selalu membantu tumbuhnya hubungan antarkelompok yang lebih baik. Fatwa MUI malah kerap digunakan sebagai justifikasi kekerasan. Tantangan utama MUI adalah mengedepankan paradigma moderat sebagaimana disampaikan sendiri oleh Ketua Umumnya.
Fatwa untuk Mazhab yang Sah
Yang pertama kali perlu dipertimbangkan adalah, kalaupun fatwa itu akan dikeluarkan, jangan sampai di-gebyah-uyah atau dipukul rata untuk semua orang Syiah. Bagi para penebar propaganda “Syiah bukan Islam” atau “Syiah kafir”, semua Syiah dianggap sama; semua Syiah dianggap Rafidhah; semua Syiah di mana dan kapan saja dikira berkeyakinan dan berperilaku sama. Ironisnya, orang-orang penyebar propaganda takfiri itu tak mau bila organisasi seperti Taliban, al-Qaeda, dan ISIS dijadikan representasi Ahlus-Sunnah (Sunni) dan semua Sunni dianggap sama belaka dengan mereka—kecuali bagi orang-orang yang memang menjadi pendukung gerakan-gerakan barbar itu.
Sudah sering diulang-ulang, bahkan bagi beberapa orang mulai agak klise, argumen-argumen bahwa Syiah merupakan mazhab dan bagian yang sah dalam Islam. Upaya institusionalisasi “pendekatan antarmazhab” (at-taqrib bayn al-madzahib) sudah diinisiasi lebih dari setengah abad lalu oleh ulama al-Azhar. Sejak saat itu, fikih Syiah-Ja’fariyah diakui sebagai bagian dari delapan mazhab fikih Islam yang legitimate dan masuk dalam kitab-kitab fikih perbandingan mazhab yang dikaji di universitas-universitas Islam bercorak Sunni. “Risalah Amman” yang menyerukan keabsahan dan persaudaraan mazhab-mazhab Islam (Sunni, Syiah, Salafi) sudah mengudara sejak 2005 dan dideklarasikan oleh ratusan ulama dan intelektual Muslim terkemuka sedunia, tak terkecuali dari Indonesia.
Jika menginginkan argumen yang lebih gampang: Orang-orang Syiah bersyahadat, salat, membayar zakat, puasa saat Ramadan, dan bisa berhaji ke Mekkah—kurang lebih 15 persen dari sekitar 16 juta penduduk Arab Saudi adalah orang Syiah. Argumen yang lebih gampang lagi: Iran, yang mayoritas Syiah itu, adalah anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang sekretariatnya kini ada di Arab Saudi; dan konferensi ke-8 OKI pada 1997 diselenggerakan di Teheran, Iran. Ini mestinya sudah cukup untuk mengatakan bahwa Syiah memang bagian dari Islam.
Atau, supaya lebih dekat dengan Indonesia, sudah banyak tokoh-tokoh Muslim Indonesia baik dari Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah yang menyatakan Syiah adalah mazhab yang sah dalam Islam, seperti Kiai Hasyim Muzadi, Kiai Said Aqil Siradj, Buya Syafii Maarif, Prof. Amien Rais, dan Prof. Din Syamsudin (yang kini menjadi ketua dewan pertimbangan MUI). Yang termutakhir, Syaikh al-Azhar Ahmad at-Thayyib datang ke MUI belum lama ini dan melarang mengkafirkan semua orang Syiah secara umum berdasar pada prinsip “la nukaffiru ahadan min ahl al-qiblah” (“kita tak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat”). Tak bisa pula dilewatkan, kedatangan Syaikh al-Azhar ke MUI itu bersama ulama Syiah Lebanon, Sayyid Ali al-Amin.
Stigma-Stigma Klasik
Berangkat dari argumen-argumen di atas, jika MUI mau mengeluarkan fatwanya, seharusnya itu mengerucut pada tindakan saja, misalnya soal “mencaci-maki Sahabat”, dan tidak digeneralisasikan kepada ke-syiah-an secara umum. Menjadi Syiah tak serta merta berarti pencaci Sahabat, sebagaimana menjadi Sunni tak serta merta berarti memiliki keyakinan yang sama dengan Taliban, al-Qaeda, dan ISIS; atau, lebih sempit lagi, menjadi Salafi tak serta merta berarti “Salafi-Jihadi”.
Hal yang sama juga berlaku untuk stigma-stigma lainnya yang kerap ditempelkan pada Syiah. Di antara stigma klise itu, misalnya, bahwa Syiah memiliki al-Quran yang beda dari Sunni. Ini satu stigma yang tidak ada bukti fisiknya (al-Quran yang terbit di Iran sama dengan al-Quran yang dibaca kaum Sunni) dan hanya didasarkan pada riwayat di kitab klasik Syiah tertentu. Tapi naas, beberapa kaum takfiri memilih bebal dalam soal ini. Padahal bila mau balik bercermin, standar penilaian yang sama sebenarnya juga bisa diberlakukan terhadap Sunni: Dalam kitab-kitab hadis Sunni—yang pasti sudah diketahui para kiai dan cendekiawan MUI—terdapat hadis yang menginformasikan bahwa dulu ada ayat tentang rajam dalam al-Quran tapi hilang dimakan kambing (ini terkenal dengan sebutan “hadits ad-dajin”) dan bahwa dulu surah al-Ahzab (kini 73 ayat) panjangnya sama dengan surah al-Baqarah (286 ayat). Pun demikian, dengan berbekal hadis-hadis ini seseorang tak serta merta bisa menyimpulkan bahwa al-Quran yang dibaca Sunni sudah mengalami tahrif (distorsi) dan/atau semua Sunni berkeyakinan bahwa al-Quran saat ini sudah tidak asli.
[pullquote align=”left” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”15″]Orang-orang Islam yang tidak menyukai standar ganda politik Barat dalam mendiskreditkan umat Islam seperti ini sudah seharusnya tidak melakukan standar ganda yang sama[/pullquote]
Hal yang sama juga bisa diberlakukan untuk kasus nikah mut’ah. Benar bahwa pandangan ortodoksi Sunni mengharamkan nikah mut’ah sejak masa Khalifah Umar ibn al-Khatthab. Namun hadis di Sahih Muslim merekam bahwa nikah mut’ah pernah boleh di zaman Nabi, lalu dilarang, lalu boleh lagi, dan kemudian baru dilarang untuk selamanya oleh Khalifah Umar. Ada pernyataan menarik dari Imam as-Syafi’i tentang hal ini: “La a’lamu fil-Islam sya’ian uhilla tsumma hurrima tsumma uhilla tsumma hurrima ghayra ‘l-mut’ah, Aku tak tahu sesuatu dalam Islam yang dihalalkan lalu diharamkan lalu dihalalkan lalu diharamkan selain nikah mut’ah.” (Dengan ini maka beberapa kaum takfiri yang menyatakan bahwa nikah mut’ah sama dengan zina berarti telah menyatakan suatu klaim yang berbahaya: itu klaim yang berimplikasi bahwa Nabi pernah membolehkan zina!)
Di sini, sekali lagi, yang penting ialah untuk tidak melakukan generalisasi dan standar ganda. Akan lebih baik bila bisa mengakomodasi keragaman pandangan dalam Syiah, juga memperhatian isu-isu paralelnya dalam Sunni untuk berkaca: jangan-jangan yang dituduhkan kepada Syiah itu memiliki basis atau preseden yang mirip dalam literatur klasik Sunni sendiri. Yang lebih penting lagi ialah memiliki sejumput empati: sebelum suatu standar dipakai untuk menilai kelompok lain, pakailah standar itu terlebih dulu kepada kelompok sendiri.
Hal itu karena tendensi tekstualisme tampak kuat dalam cara MUI mengolah fatwa. Maksudnya ialah kecenderungan berpikir “bila statemen X disebut secara literal di kitab kelompok Y maka berarti kelompok Y otomatis meyakini X.” Ketahuilah bahwa ini juga cara berpikir kaum Islamofobia di Barat. Islam di Barat, oleh kaum Islamofobis, dianggap agama yang mengajarkan kekerasan semata-mata karena terdapat ayat-ayat dalam al-Quran yang, setidaknya bila dibaca secara sekilas, memerintahkan tindak kekerasan (misalnya, QS 2:191; 4:89; 9:5 & 29). Dalam aspek ini, cara sebagian kaum anti-Syiah di sini memperlakukan Syiah memiliki paradigma yang mirip dengan kaum Islamofobis memperlakukan umat Islam di Barat. Oleh karena itu, MUI seharusnya tidak mengadopsi paradigma semacam itu.
Fatwa Bukan Sekadar “al-Bayan”
Hal lain yang seharusnya menjadi catatan bagi MUI ialah bahwa fatwa-fatwanya dapat menjadi alat pembenar untuk mempersekusi mereka yang difatwa sesat. Dalam situasi ketika sekelompok warga negara menjadi korban kekerasan, fatwa tentang kesesatan mereka justru memperburuk situasi. Sebagaimana ditunjukkan beberapa riset, fatwa MUI juga dapat melemahkan kerja penegak hukum ketika menghadapi kelompok-kelompok pelaku kekerasan terhadap kelompok yang difatwa sesat. Inilah yang terjadi dalam kasus persekusi terhadap Ahmadiyah (di Bogor pada 2005, di Kuningan hingga 2010, dan Lombok Barat pada 2006). Dalam kasus di Sampang, fatwa tentang kesesatan Syiah dikeluarkan MUI Jawa Timur justru setelah komunitas Syi’ah di Sampang menjadi korban penyerangan. Ini seperti memberi alat pembenar kepada massa untuk membakar properti, melukai dan mengusir ratusan orang Sampang dari desanya (yang kini sudah lebih dari 3 tahun ditempatkan di Sidoarjo).
Ironisnya, ketika terjadi tindak persekusi dan kekerasan yang menjadikan fatwa MUI sebagai alat legitimasi, MUI cenderung lepas tangan, seakan-akan fatwa sesatnya tidak berkontribusi dan tidak mengandung ‘saham dosa’ sama sekali. Dalam kasus penyerangan sadis terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik yang mengakibatkan kerusakan properti berharga dan tiga orang Ahmadi meninggal, MUI tampak cenderung menyalahkan Ahmadiyah dan menolerir tindakan intoleran massa. Dan ketika para pembunuh dalam kasus Cikeusik itu dihukum hanya antara tiga sampai enam bulan, tak ditemukan komentar kecaman dari MUI atas ketidakadilan itu. Lebih dari orang awam, para kiai di MUI mestilah tahu bahwa membunuh tanpa hak merupakan dosa besar.
Dalam kasus Sampang, ketua komisi fatwa—dan kini sudah ketua umum—MUI, Kiai Ma’ruf Amin, sebagaimana ditulisnya dalam artikel di Republika (8/11/2012), mengafirmasi fatwa MUI Jatim tentang Syiah. Kiai Ma’ruf mengatakan bahwa fatwa MUI dalam soal akidah dimaksudkan “sebagai panduan dan bimbingan kepada umat tentang status paham keagamaan yang berkembang di masyarakat”. Fungsi fatwa, katanya, ialah sebagai “al-bayan atau penjelasan”. Namun yang terjadi, fatwa MUI Jatim dipakai oleh pengadilan setempat untuk mempidanakan dan memvonis Tajul Muluk dengan hukuman 4 tahun penjara.
Dengan kata lain, Fatwa MUI ternyata bukan sekedar “al-bayan” sebagaimana disampaikan Kiai Ma’ruf, tapi telah digunakan orang-orang intoleran untuk mempersekusi yang difatwa sesat dan, lebih fatal dari itu, diadopsi oleh pemerintah hingga seolah-olah memiliki kekuatan hukum mengikat. Yang terakhir ini telah dilakukan belum lama ini ketika walikota Bogor, Bima Arya, melarang peringatan Asyura.
Mencegah Normalisasi Intoleransi
Persepsi publik yang cenderung tak membedakan antara fatwa sebagai pendapat yang tak mengikat dan vonis pengadilan, lebih-lebih undang-undang, adalah aspek yang harus dipertimbangkan dalam pengolahan fatwa MUI. Tanpa mempertimbangkan ini, alih-alih bisa meminimalisasi penyebaran ‘aliran sesat’, MUI justru berkontribusi terhadap digunakannya fatwanya untuk menzalimi orang lain. Dengan kata lain, bermaksud memberantas kemungkaran tapi melahirkan kemungkaran baru berupa persekusi dan kekerasan. Dalam aspek yang terakhir ini MUI telah digeret—baik oleh orang MUI sendiri maupun pemerintah terkait—melampaui proporsi yang semestinya sebagai lembaga non-pemerintah (yang juga bukan ormas, dan karena itu tak setara dengan NU dan Muhammadiyah). Fatwa MUI, semua tahu, tidak memiliki status hukum dalam tata aturan perundang-undangan negeri ini.
[pullquote align=”right” cite=”” link=”” color=”black” class=”” size=”15″]Wasathiyyah (moderatisme) berarti kesediaan untuk berdialog dan bernegosiasi, serta berkompetisi secara fair dan memperlakukan kelompok lain, termasuk yang dianggap sesat, dengan adil. [/pullquote]
Dengan rentannnya fatwa MUI digunakan sebagai justifikasi tindak kekerasan, semestinya MUI punya fatwa khusus tentang fatwa sesatnya. Pertanyaannya bisa dirumuskan, misalnya, begini: Bolehkah fatwa sesat jadi legitimasi untuk melakukan tindakan vigilantisme atau main hakim sendiri dan melangkahi kewenangan negara? Bila jawabannya tidak, maka sudah seharusnya MUI berfatwa tentang itu. Bunyi fatwa itu bisa dibuat misalnya begini: “Barangsiapa menggunakan fatwa MUI untuk membenarkan tindakan vigilantisme maka tindakan itu juga sesat.” Dengan fatwa seperti ini, MUI menegaskan bahwa ia tidak berlepastangan dari tindak intoleran yang menggunakan fatwanya.
Hal yang terakhir ini sangat penting, mengingat yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini ialah adanya gejala normalisasi tindakan intoleran terhadap mereka yang difatwa sesat. Yakni, ketika orang-orang yang difatwa sesat dilukai, dibunuh, dihancurkan propertinya, dan diusir hingga harus mengungsi di negeri sendiri, dan pada saat yang sama para pelaku kezaliman malah bebas atau dihukum ringan dan tak setimpal. Normalisasi membuat kezaliman seperti ini jadi fenomena yang tampak ‘wajar’.
Normalisasi semacam ini jelas tak bisa dibenarkan, baik ditinjau dari perspektif negara yang berasaskan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” maupun dari perspektif Islam yang di antara tujuan syariatnya ialah menjaga properti (hifzhul-mal) dan menjaga hidup (hifzhun-nafs). Normalisasi semacam ini pulalah yang terjadi dalam diskursus di Barat: ketika suatu kejahatan dilakukan Muslim, istilah ‘terorisme’ cepat mengemuka dan tampil dalam headline media, sementara ketika ia dilakukan non-Muslim maka dianggap kejahatan ‘biasa’. Orang-orang Islam yang tidak menyukai standar ganda politik Barat dalam mendiskreditkan umat Islam seperti ini sudah seharusnya tidak melakukan standar ganda yang sama: bila suatu kesalahan dilakukan orang yang dianggap sesat maka dibesar-besarkan (dan kadang dicari-cari untuk membunuh karakternya), sedangkan persekusi dan kezaliman yang dilakukan orang-orang intoleran dipandang ‘lumrah’.
Masa Depan MUI: Wasathiyyah?
Mengeluarkan fatwa bisa dipandang sebagai hak, namun pada akhirnya, lebih merupakan tanggungjawab kewarganegaraan MUI. Sebelum fatwa sesat dikeluarkan, belum terlambat untuk berbenah. Juga merevisi fatwa-fatwa yang lampau atau fatwa-fatwa diskriminatif di tingkat daerah. Kalau perlu bahkan MUI bisa melakukan “reformasi dan pembaruan”, sebagaimana istilah yang tercantum dalam website MUI tentang misinya: “sebagai gerakan al-ishlah wat-tajdid”. Kiai Ma’ruf Amin bahkan pernah menyatakan bahwa MUI harus berparadigma wasathiyyah, yaitu keislaman yang mengambil “jalan tengah (tawassuth), berkesimbangan (tawazun), lurus (i’tidal), toleran (tasamuh), egaliter (musawah), mengedepankan musyawarah (syura), berjiwa reformasi (ishlah), mendahulukan yang prioritas (awlawiyyah), dinamis dan inovatif (tathawwur wa ibtikar), dan berkeadaban (tahaddhur).” Klaim semacam ini terasa indah didengar, tapi akan kehilangan makna bila tanpa bukti—dan terbukti/tidaknya akan segera terlihat agaknya tak lama lagi.
Wasathiyyah (moderatisme) berarti kesediaan untuk berdialog dan bernegosiasi, serta berkompetisi secara fair dan memperlakukan kelompok lain, termasuk yang dianggap sesat, dengan adil. Moderatisme berarti mengupayakan titik temu, alih-alih titik tengkar dengan mengobarkan api sektarianisme yang belakangan sedang memanas. Moderatisme juga meniscayakan adanya pendekatan dan ishlah yang, selain bermakna reformasi, juga berarti rekonsiliasi secara damai. Jika tidak, alih-alih ishlah, yang mungkin terjadi adalah ifsad (menebar kerusakan).
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM, angkatan 2014.