Anang Alfian | CRCS UGM | SPK News
“Kita tidak akan mencoba mengurangi keragaman karena itu sia-sia, dalam konteks negara demokratis, semua punya hak dan kewajiban yang sama”.
Uraian Zainal Abidin Bagir, fasilitator SPK dari CRCS UGM, itu menjadi titik tolak diskusi para pertemuan SPK hari ketiga pada Kamis 6 agustus 2016. Bertempat di Disaster Oasis Kaliurang Yogyakarta, Bagir mengawali diskusi dengan memperkenalkan beberapa pendekatan terkini dari berbagai mahzab pengelolaan keragaman seperti seperti John Rawls (nalar publik), Abdullahi An-Naim (nalar kewargaan), Bikhu Parekh, Tariq Modood (kewarganegaraan multikultural), maupun Chantal Mouffe (“pluralisme agonistik”). Berbagai pendekatan ini memberikan gambaran bahwa metode pengelolaan keragaman pun tidak tunggal. Ide pluralisme kewarganegaraan ditawarkan sebagai pisau analisis dan perumusan model pengelolaan keragaman yang mampu menjawab tantangan Indonesia saat ini. Lantas fasilitator yang akrab dipangggil Pak Zain ini mengajak semua peserta memikirkan kembali paradigma pengelolaan keragaman yang tidak hanya mewadahi kerukunan tetapi juga mendorong ke arah keadilan sosial. “Isu pluralisme tidak semata-mata sebagai isu koeksistensi, yaitu kerukunan dan perdamaian tapi juga keadilan sosial” ujar Pak Zain.
Pada sesi berikutnya, Trisno Susanto memfokuskan bahasan pada politik keragaman di Indonesia dengan mendalami masalah-masalah hukum terkait dengan RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) dan RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB) . Menurutnya, Indonesia menganut prinsip governed religion yaitu agama sebagai sesuatu yang dikendalikan oleh pemerintah. Namun, pada pelaksanaanya hal ini menjadi sangat problematis. Posisi penghayat, misalnya, tidak mendapat jaminan hukum di hadapan RUU PUB. Ini berbeda dengan pemeluk enam agama yang diakui di Indonesia. Padahal pengakuan terhadap legalitas identitas ini menjadi penting ketika berhadapan dengan kebijakan publik.
Yang unikmenarik, pada sesi diskusi bertema“ Konseptualisasi Pengelolaan Keragaman” ini para peserta tak hanya mendengarkan suara sumbang terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga upaya- upaya pemerintah yang sebenarnya sudah sejalan dengan kepentingan keragaman, “Pemerintah sebenarnya sudah mengutamakan pranata adat untuk penyelesaian masalah di wilayahnya sendiri,” cetus Fahdli, salah satu peserta SPK. Menurutnya, masalah yang kerap terjadi adalah tidak tersampaikannya aspirasi karena distorsi berbagai kepentingan. Untuk itu, advokasi harus dikawal dari bawah hingga ke atas, bahkan sampai pada implementasinya.
Antusiasme peserta semakin terlihat ketika mereka menjabarkan berbagai perspektif mulai dari peran pemerintah, diskriminasi yang terjadi, hingga berbagai pengalaman mereka di daerah. “Penghayat di Brebes itu gak bisa dimakamkan di pemakaman Muslim,” sebut Wijanarto, peserta dari Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Kabupaten Brebes. Tak dapat dipungkiri memang, diskriminasi terhadap identitas minoritas masih menjadi pertanyaan yang terus mencari jawaban penyelesaian. Materi pengelolaan keragaman ini tak hanya berusaha membantu khazanah teoritis para peserta sebagai aktivis dan pegiat kemanusiaan dalam advokasi mereka tetapi juga menjadi langkah awal dalam memahami tantangan pengelolaan keragaman yang makin kompleks di Indonesia.
News
Azis Anwar Fachrudin | CRCS UGM | Article
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”12″]”Sebagai tanggapan atas fenomena Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang isunya memanas dan menjadi perbincangan populer di awal tahun ini dan masih berlangsung hingga hari ini, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Universitas Gadjah Mada (UGM), menyelenggarakan diskusi terbatas bertajuk “Negara dan Penanganan Konflik Sosial: Kasus Gafatar/Millah Abraham” pada Jumat, 23 September 2016. Bertempat di gedung Sekolah Pascasarjana UGM, diskusi yang dipandu Dr. Zainal Abidin Bagir (Dosen CRCS UGM) tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni Hadi Suparyono (perwakilan dari eks-Gafatar), Tantowi Anwari (dari Serikat Jurnalis untuk Keragaman [SEJUK]), Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf (Peneliti dan Dosen CRCS UGM), dan sekitar 40 orang sivitas akademika UGM maupun dari kalangan yang lebih luas. Tulisan ini didasarkan pada percakapan pada diskusi tersebut dan beberapa sumber lain, yang ditulis oleh Azis Anwar Fachrudin dan dilengkapi oleh Zainal Abidin Bagir.”[/perfectpullquote]
Bagaimana memahami fenomena Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang isunya memanas di awal tahun 2016 ini? Pembahasan tentang pertanyaan ini penting sebab dampak yang timbul dari gerakan yang merupakan kelanjutan dari gerakan Millah Abraham ini tidaklah sepele. Upaya menyelesaikan masalah tersebut harus dimulai dengan pemahaman yang tepat mengenai fakta dan juga narasi yang dibangun. Narasi itulah yang mendasari kebijakan pemerintah, di bawah banyak kementerian, bahkan juga tampaknya aspek penegakan hukumnya, termasuk pengadilan pidana.
Pada Januari-Februari 2016, terjadi aksi pembakaran terhadap perumahan dan properti yang disusul dengan pengusiran 2.422 keluarga yang berisi 7.916 orang eks-Gafatar dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur; mayoritasnya berasal dari dua desa di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Pada awal Februari, lebih dari 6000 orang telah dipaksa menjadi ‘pengungsi’, ditampung di enam tempat penampungan di Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Tak berhenti di sana, banyak dari mereka yang kembali dari Kalimantan itu mendapat stigma negatif dan diskriminasi ketika kembali ke kampung asalnya. Ada yang mengalami kesulitan untuk bekerja kembali karena stigma itu, sebagian bahkan mendapat kesulitan ketika mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), yang menyebutkan “catatan kriminal” mereka, yaitu pernah menjadi anggota Gafatar. Selain itu, ada pula upaya kriminalisasi dengan dakwaan utama terlibat aliran menyimpang yang menodai agama atau upaya makar. Tiga orang pemimpin Gafatar/Millah Abraham dituduh melakukan penodaan agama, dan pada saat artikel ini ditulis berkas mereka telah dilimpahkan ke Kejaksaan oleh polisi. Jumlah orang sebanyak ini menjadikan peristiwa ini termasuk yang terbesar di antara banyak konflik bernuansa sektarian lain setelah Reformasi, khususnya sejauh menyangkut tuduhan “penodaan agama”.
Apakah Gafatar/Millah Abraham? Beragam Narasi
Pelbagai narasi untuk menggambarakan peristiwa di Mempawah muncul, mulai dari penculikan orang, upaya cuci otak (brainwashing), penodaan agama, makar, penyerangan properti, dan pemindahan paksa. Pemerintah (dari beberapa kementerian dan polisi), akademisi, maupun tokoh keagamaan mengajukan beragam narasi untuk memahami peristiwa itu. Setiap narasi membawa penekanan atau bias tertentu. Dan yang lebih penting, masing-masing narasi membawa konsekuensi berbeda.
Untuk itu Zainal Abidin Bagir (CRCS UGM) mengajukan beberapa pertanyaan krusial terkait identifikasi, baik peristiwanya maupun entitas Gafatar itu sendiri, dan akibat kongkretnya. Menurutnya, setidaknya ada tiga narasi yang berkembang. Pertama, Gafatar sebagai gerakan politik, persisnya gerakan makar yang diduga kuat punya agenda tersembunyi mendirikan negara dalam negara. Jika dianggap bertujuan makar, Gafatar adalah pelanggar hukum serius yang layak dikriminalisasi.
Kedua, gerakan sosial-ekonomi, yaitu gerakan yang—sebagaimana dinyatakan oleh beberapa petinggi eks-Gafatar sendiri—memiliki program unggulan dan perhatian utama pada pertanian untuk “ketahanan dan kemandirian pangan.” Sebagai gerakan sosial-ekonomi, Gafatar adalah organisasi yang selayaknya didukung pemerintah. Dan, benar, orgnisasi ini memang didukung banyak lembaga resmi negara, sebelum ia akhirnya ditolak di beberapa tempat dan lalu diramaikan media karena dikaitkan dengan kasus penculikan.
Narasi ketiga mengidentifikasi Gafatar sebagai gerakan keagamaan, dengan beberapa variasi. Pertama, dalam bahasa UU No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan penodaan agama, Gafatar dianggap sebagai sebagai aliran menyimpang atau sesat, karena, sesuai bunyi UU itu, memberikan tafsir yang menyimpang dari pokok-pokok agama atau menyerupai suatu agama di Indonesia.
Perlu dicatat bahwa dalam 15 tahun terakhir, bahasa “penodaan agama” tampak makin populer, ditandai dengan semakin sering dipakainya UU tersebut dan Pasal 156 A KUHP yang terkait dengan UU itu. Beberapa penelitian mencatat bahwa dari tahun 1965 hingga tahun 2000, Pasal 156A KUHP itu hanya dipakai sekitar 10 kali; namun sejak tahun 2000 sudah ada sekitar 50 kasus. Ini mungkin tampak sebagai paradoks demokratisasi, namun bisa juga dilihat sebagai konsekuensi demokratisasi sendiri.
Narasi “penodaan agama” disampaikan umumnya oleh para tokoh keagamaan, khususnya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena Gafatar dianggap telah menyimpangkan ajaran Islam. Fatwa MUI menjadi salah satu dasar dari represi Gafatar/Millah Abraham yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang diumumkan pada 24 Maret.
Sebutan lain yang kerap digunakan untuk organisasi semacam Gafatar/Millah Abraham adalah gerakan “kultus” (cult), dengan ciri-ciri tipikal seperti hidup komunal-eksklusif, memuja suatu figur karismatik, kerap dituduh melakukan brainwashing, juga diikuti kasus-kasus yang terkadang disebut oleh anggota keluarganya sebagai penculikan.
Narasi Gafatar/Millah Abraham sebagai fenomena keagamaan tidak selalu harus negatif. Dalam studi sosiologis tentang agama, ada istilah lain, yaitu Gerakan Keagamaan Baru (New Religious Movement), yang telah lazim digunakan sebagai istilah akademik dan dianggap netral. Dosen sosiologi agama UIN Sunan Kalijaga Al Makin menggunakan istilah ini.
Baginya, sebetulnya fenomena ini bukan hal baru di Indonesia. Dalam bukunya yang baru diterbitkan (2016), Al Makin menunjukkan bahwa dalam rentang sejarah sejak setidaknya abad ke-19, Nusantara telah menjadi lahan subur bagi berkecambahnya gerakan spiritual. Ada ratusan tradisi agama yang dalam kajian akademik sosiologis bisa dikategorikan NRM, termasuk gerakan yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan Si Singamangaraja XII, yang keduanya bergelar Pahlawan Nasional Indonesia. Di era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, kemunculan ratusan gerakan semacam ini tak pernah berhenti. Dengan memahami hal ini, kemunculan gerakan seperti Gafatar sebetulnya tak begitu mengejutkan.
Yang menjadikan Gafatar tampak lebih impresif dibanding gerakan keagamaan baru yang muncul belakangan ini adalah kemampuannya menarik pengikut dalam jumlah amat besar dan lalu bermigrasi ke daerah lain dalam waktu relatif singkat. Besarnya gerakan ini, dan bukan semata-mata kandungan keyakinan keagamaannya, yang tampaknya memperkuat kesan yang makin “mengancam”.
Dosen CRCS sekaligus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Suhadi Cholil menganggap penting ditemukannya suatu penamaan khusus untuk fenomena seperti Gafatar, bukan hanya dari sisi pengkajian, tapi juga advokasi. Ini dapat membantu masyarakat untuk memahami gerakan seperti Gafatar ini tidak sebagai sesuatu yang asing. Suhadi membandingkan dengan advokasi yang relatif cukup berhasil dilakukan dalam beberapa kasus penghayat kepercayaan. Istilah “aliran kepercayaan” sudah akrab di masyarakat sehingga—betapapun masih problematis karena berada dalam posisi inferior di hadapan agama-agama dunia—masyarakat sudah mempunyai istilah yang membantu untuk identifikasi dan kategorisasi.
Dalam kenyataannya, beragam narasi di atas tentang Gafatar saling berkontestasi, dan masing-masing—dengan melihat di mana aksentuasinya dan siapa yang mengungkapkannya—memiliki konsekuensi politis dan hukum yang nyata. Yang menjadi dominan dalam perbincangan populer (bahkan, menurut seorang peserta diskusi, dikabarkan hingga di tingkat obrolan ibu-ibu PKK) ialah narasi bahwa Gafatar merupakan aliran menyimpang dan/atau gerakan makar.
Maka, pertanyaan mula-mula yang penting ialah: sebenarnya siapa atau apa Gafatar ini?
Gafatar dalam Berbagai Dimensinya
Pertanyaan tersebut perlu dijawab bukan hanya oleh pihak luar (baik itu peneliti atau pemerintah), namun juga melihat identifikasi-diri dari dalam Gafatar sendiri. Dalam pemaparannya, Hadi Suparyono menegaskan bahwa ia tidak mewakili seluruh eks-Gafatar. Hadi menunjukkan sebuah video yang dibuat oleh Setara Institute dan Millah Abraham untuk memberikan gambarah jatuh bangunnya Gafatar/Millah Abraham. Ia tidak menampik bahwa ada peran vital dari figur Ahmad Mushaddeq, yang pada tahun 2000 lalu mendirikan gerakan al-Qiyadah al-Islamiyah itu.
Saat Mushaddeq masih dalam tahanan, terang Hadi, ada ribuan dari sekitar 45 ribu pengikut al-Qiyadah yang kemudian membentuk komunitas Millah Abraham pada 2009. “Ideologi utamanya,” terang Hadi, “ialah kembali kepada iman Abraham.” Ide mengenai “Millah Ibrahim” ada dalam al-Qur’an, Namun Hadi juga menyatakan bahwa ideologi ini “sangat berbeda dengan Islam”. Sebagaimana pernah dinyatakan mantan pemimpin eks-Gafatar, Mahful Tumanurung, Gafatar bukan bagian atau sudah keluar dari Islam sehingga, menurutnya, tak selayaknya dihakimi dengan fatwa MUI.
Ringkas cerita, 52 orang dari komunitas Millah Abraham kemudian mendirikan Gafatar pada Agustus 2011 dengan, lanjut Hadi, “berasas Pancasila dengan visi-misi […] mewujudkan kehidupan yang beradab, berkeadilan, dan bermartabat di bawah naungan Ketuhanan Yang Maha Esa melalui penyatuan nilai-nilai luhur bangsa […] sebagaimana sila kedua berdasarkan sila pertama Pancasila.” Berdasar pada visi-misi ini, Hadi menegaskan, “Millah Abraham tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila.”
Pada Januari tahun berikutnya, Gafatar melakukan deklarasi nasional dan mendirikan cabang-cabang di beberapa provinsi. Pelan-pelan segera mulailah muncul tekanan dan stigma-stigma negatif, dan di beberapa daerah deklarasi dan program kerjanya (antara lain berupa bakti sosial dan pelayanan kesehatan) hampir atau berhasil dibubarkan.
Memang ada beberapa daerah yang apresiatif terhadap program dan kerja sosial Gafatar. Namun stigma negatif pelan-pelan berhembus semakin kencang, sehingga banyak anggota Gafatar yang mengalami tekanan sosial, difatwa sesat, dibatalkan Surat Keterangan Tanah (SKT)-nya, diusir dari kampungnya, hingga dibawa ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama. Sampai akhirnya pada Agustus 2015 Gafatar membubarkan diri.
Meskipun telah bubar, banyak eks-anggota Gafatar yang masih ingin melanjutkan kerja sosialnya. Satu hal utama yang dilirik waktu itu ialah pertanian, mengingat Indonesia sedang krisis petani dan banyak tanah pertanian yang telah berubah menjadi perumahan. Maka diluncurkanlah Program Ketahanan dan Kemandirian Pangan, yang rintisannya telah bermula sejak Rakernas Gafatar 2013, dengan pilihan area garapan di Kalimantan—dan orang-orang Gafatar yang sebelumnya diusir dari daerahnya pun segera bergabung menuju Kalimantan.
Dalam keterangan Hadi, orang-orang yang ikut bergabung pindah ke Kalimantan adalah dengan keinginan sendiri, dan “bukan diculik”, termasuk—yang menjadi pemicu mulai panasnya isu Gafatar di media—kasus dokter Rica Tri Handayani, yang pengadilannya dilangsungkan di PN Sleman, DIY. (Ada dua kasus, yang belum lama ini diputuskan, pada 29 September dan 17 Oktober 2016).
Dengan latar belakang Gafatar sebagai kelanjutan dari Millah Abraham yang diajarkan Mushaddeq, narasi keagamaan memang sulit dielakkan. Ini, pada gilirannya, berimbas pada vonis sebagian orang bahwa Gafatar adalah aliran menyimpang, sesat, mencampuradukkan agama, dan pelabelan lain yang senada. Namun Hadi menampik hal itu. “Ajaran Millah Abraham yang dianut Gafatar,” ujar Hadi menjelang mengakhiri presentasinya, “tidak mencampurkan agama.” Karena, lanjutnya, “mencampuradukkan agama itu ya salat, ya ke gereja, ya ke sinagog.” Gafatar, dalam keterangan Hadi, berupaya kembali ke “pokok anggur”, dari spirit utama Nabi Ibrahim, dengan mengambil inspirasi dari al-Quran dan Alkitab.
Mengakhiri presentasinya, Hadi menjelaskan bahwa setelah Gafatar bubar, ada sebagian dari eks-anggotanya yang ingin meneruskan program pertanian dan program Kampung Pancasila di daerah-daerah di Kalimantan yang sebelumnya merupakan kampung-kampung binaan Gafatar. Para eks-anggota Gafatar di Kalimantan, lanjut Hadi, dapat menghasilkan 10 ton dari 1 hektar sawah sekalipun mereka dianggap para petani amatiran. Dan meski sudah berusaha baik terhadap masyarakat sekitar, bahkan direstui oleh camat di kampung binaannya, Hadi memaparkan ironi bahwa para eks-anggota Gafatar malah dianggap gerakan makar, bahkan dituduh telah membeli dan menyimpan senjata.
Cukup terang dari paparan Hadi Suparyono bahwa ada banyak elemen esensial dari Gafatar sebagai suatu gerakan. Aspek keagamaan memang ada, namun kenyataan bahwa Gafatar juga merupakan gerakan sosial-ekonomi (pertanian) juga tak bisa dikesampingkan—tanpa mengabaikan persengketaan tentang ‘penculikan’ yang masih dalam proses pengadilan. Lalu, pertanyaan berikutnya, bagaimana aspek-aspek yang kompleks ini dinarasikan terutama, dalam tahap yang paling krusial, di media massa?
Media Membentuk ‘Fakta’
Tantowi Anwari, aktifis di Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), mengungkapkan beberapa problem yang terjadi dalam narasi media. Di antaranya ialah kenyataan bahwa beberapa media besar (baik cetak maupun online)—setelah isu Gafatar memanas—segera menarasikan peristiwa perpindahan ribuan orang ke Mempawah itu sebagai isu “cuci otak” dan “penculikan” dengan narasumber utama dari kepolisian.
Media tidak memberikan representasi yang proporsional dari perspektif korban, atau setidaknya mengupayakan adanya konfirmasi dari para eks-anggota Gafatar sendiri. Hal ini, dalam taraf tertentu, membuat para eks-anggota Gafatar merasa tidak terwakili dalam kadar yang seharusnya di media.
Di samping itu, Tantowi juga memaparkan bahwa ada beberapa media yang cenderung gagap ketika berhadapan dengan isu “SARA” yang dianggap sensitif, di antaranya karena kekhawatiran memancing protes kelompok yang mengklaim sebagai perwakilan mayoritas umat beragama. Yang terakhir ini, terang Tantowi, pernah terjadi dalam kasus Tolikara, Aceh Singkil, dan razia warung di bulan Ramadhan.
Lebih penting dari itu, Tantowi menyayangkan media yang banyak jurnalisnya cenderung berperspektif ‘netral’ saja, mewartakan konflik bernuansa keagamaan sekadar “memberitakan peristiwa”, atau bahkan kadang melakukan keberpihakan yang semakin memperkuat narasi yang cenderung sektarian. Misalnya, pemberitaan media yang memberikan penekanan pada fatwa MUI dengan diksi yang bernada seolah-olah fatwa MUI adalah otomatis suara mayoritas umat Islam atau bahkan suara pemerintah.
Bagi Tantowi, seharusnya media melampaui prinsip netral itu dan memiliki tanggungjawab sosial lebih besar. Ini karena media, terang Tantowi mengutip Malcom X, “mengendalikan pikiran massa.” Dengan kata lain, pemberitaan media tidak akan pernah murni netral, sebab betapapun media adalah penyaring peristiwa: jembatan yang sekaligus memfilter ‘fakta’, dan dengan demikian membangun narasi, bagi para pembaca.
Dengan perspektif akan kenyataan media yang semacam ini, mungkinkah memberikan narasi lain yang bisa mewakili kepentingan korban, atau sekurang-kurangnya meminimalisasi bias yang sektarian dan mendorong terjadinya rekonsiliasi damai?
Membingkai Ulang Realitas: Penyimpangan atau Persaingan Kepentingan?
Mohammad Iqbal Ahnaf, dosen CRCS UGM, memproblematisasi salah satu kecenderungan perspektif yang dominan dalam narasi-narasi populer. Di antaranya ialah perspektif yang berlandaskan paradigma “kekerasan terjadi akibat intoleransi”. Paradigma ini berasumsi bahwa orang-orang menyerang Gafatar karena mereka tidak suka dengan keyakinan Gafatar. Paradigma ini problematis karena dua alasan: narasi yang terbangun dari anggapan itu dan bagaimana menyikapinya.
Paradigma “kekerasan terjadi akibat intoleransi” pada umumnya akan memperkuat narasi bahwa kasus Gafatar ini adalah isu agama. Narasi ini cukup dominan, dan dipakai bukan hanya oleh pelaku namun juga oleh pemerintah, bahkan juga korban.
Dalam logika hukum, ketika isunya dibatasi sebagai isu agama, yang akan cenderung dipakai—dalam konteks Indonesia mutakhir—ialah undang-undang pencegahan penodaan agama (UU No. 1/PNPS/1965) dan pasal terkait dalam KUHP, yaitu Pasal 156A. Terbukti, kriminalisasi sebagian eks-pemimpin Gafatar saat ini menggunakan undang-undang tersebut. Dalam konteks satu dekade mutakhir di Indonesia, vonis “sesat” atau “menyimpang” bukan lagi sekadar istilah agama, melainkan juga telah menjadi terminologi hukum.
Sebetulnya bahasa hukum lain yang tersedia adalah kemerdekaan beragama dan berkepercayaan yang ada dalam UUD (sejak 1945 dan diperkuat setelah Amandemen kedua pada tahun 2000), UU HAM (1999), dan ratifikasi ICCPR (UU No. 12/2005). Ini bisa dipakai untuk mengidentifikasi pelanggaran hak sipil, diskriminasi, pelanggaran atas keamanan, dan sebagainya.
Nyatanya bahasa hukum yang dominan adalah yang menempatkan gerakan semacam Gafatar dalam posisi defensif dan didikte oleh yang mendominasi wacana. Dalam posisi semacam ini, eks-anggota Gafatar, yang mengadopsi bahasa tersebut dan menjadikan ini sebagai isu agama, bukannya meredakan malah mungkin justu dapat memperunyam masalah. Kontestasi antara bahasa kebebasan dan penodaan agama demikian kuat, dan, tampaknya, yang kedua lebih popular bukan hanya di kalangan umat beragam arus utama, tapi juga pemerintah, bahkan aparat penegak hukum.
Lalu apakah ada bahasa lain? Iqbal menawarkan untuk membaca kasus Gafatar ini sebagai konflik. Dalam teori konflik, bahasa yang dipakai ialah bahwa pihak-pihak yang bertikai memiliki kepentingan (interest) dan kebutuhan (needs). Berpijak pada paradigma ini, maka paradigma yang mendasari bukanlah “kekerasan terjadi akibat intoleransi”, melainkan “konflik terjadi karena adanya benturan kepentingan”. Berlandaskan pada paradigma ini maka mediasi pihak-pihak yang bertikai dan rekonsiliasi untuk menegosiasikan apa kepentingan dan kebutuhan masing-masing bisa lebih dimungkinkan.
Dalam paradigma yang terakhir ini pula, fenomenanya dibingkai bukan dengan menegosiasikan isu—sehingga persengkataan tentang isu agama bisa dihindari—melainkan berpindah kepada negosiasi realitas. Dalam negosiasi realitas ini, korban punya kesempatan untuk “menciptakan cerita,” antara lain dengan memperkuat narasi bahwa fakta yang terjadi adalah orang-orang membakar rumah, merusak properti, dan mengusir paksa, dan bukan orang-orang sedang menyebarkan ajaran sesat, apalagi makar, sehingga layak diusir.
Dengan membaca peristiwa ini sebagai konflik, maka logika yang beroperasi adalah bagaimana memikirkan resolusi konflik. Dalam soal terakhir ini, Iqbal sempat menyinggung Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial (UU No. 7/2012) yang, sayangnya, tidak digunakan secara maksimal. Salah satu penyebabnya adalah, menurutnya, belum ada institusi yang kokoh dan efektif untuk mengimplementasikannya dan minimnya ahli resolusi konflik sebagai tempat berkonsultasi. Penyebab lain tidak efektifnya resolusi konflik ini adalah, sekali lagi, dominannya narasi bahwa kasus Gafatar dan kasus lain yang serupa adalah isu agama.
Berangkat dari perspektif semacam inilah Iqbal mengajukan usulan agar ada transformasi, bukan hanya di kalangan pemerintah, tapi juga dari dalam eks-anggota Gafatar untuk membingkai ulang cerita (reframing the stories) dan mengalihkan fokus bukan dalam isu keagamaan (dan sebagai konsekuensinya: meminimalisasi menggunakan bahasa agama) melainkan kepada kepentingan yang bisa dipadukan dalam suatu titik temu (shared interests).
Masalah yang Tersisa
Apa kemudian yang bisa disimpulkan? Satu hal yang bisa menjelaskan mengapa Gafatar menjadi terasa mengancam adalah kegagalan atau kegagapan memahami fenomena sosial kemunculan kelompok-kelompok semacam itu yang sebetulnya tidak terlalu aneh dalam sejarah Indonesia.
Kegagapan itu diperkuat dan direproduksi melalui pemberitaan media yang, berbeda dengan di masa lalu, menjadikan peristiwa ini hadir demikian dekat dengan kehidupan sehari-hari. Apalagi ketika logika media menuntut untuk menampilkannya sebagai peristiwa yang demikian dramatis dan sensasional, sehingga fakta tentang cuci-otak dan penculikan seakan-akan menjadi penjelasan yang memuaskan, meskipun kebenarannya masih dipertanyakan.
Tentu soalnya bukan hanya lemahnya atau tidak tepatnya pengetahuan mengenai fenomena ini. Narasi dominan yang menyebutnya sebagai gerakan sesat dan makar hidup dalam kontestasi politik kegamaan Indonesia hari-hari ini, yang memperebutkan ruang luas demokrasi pasca-1998.
Heterodoksi atau sinkretisme Gafatar mewakili kekuatan yang dilawan oleh sekelompok orang yang melihatnya sebagai mengotori religiusitas ruang publik yang mesti dijaga kemurniannya. Jumlah pengikut Gafatar yang besar menjustifikasi kesan bahwa ini adalah gerakan yang bukan hanya mengancam akidah tapi juga stabilitas NKRI.
Dalam situasi ini, pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda-beda, baik itu pemerintah, aparat penegak hukum, atau militer, saling memperkuat narasi yang berkembang dan menerjemahkannya menjadi sekian tindakan—mulai dari penjagaan keamanan nasional dari upaya makar, perlindungan umat beragama dari upaya penodaan, hingga perlindungan keluarga dari upaya sistematis penculikan anggotanya.
Upaya menyelesaikan masalah yang tersisa mesti dimulai dengan upaya memahami entitas Gafatar/Millah Abraham dengan lebih baik. Selain itu, melampaui beragam narasi yang berkembang, pemerintah masih berhutang menyelesaikan banyak persoalan penting yang tersisa.
Aset milik anggota eks-Gafatar di Kalimantan tidak bisa tidak harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah. Stigmatisasi mereka, yang kini sebagiannya mengalami kesulitan bahkan untuk mendapatkan surat keterangan dari Kepolisian, mesti dihilangkan. Akibat dari stigmatisasi ini adalah kesulitan pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara, termasuk akses pada pekerjaan, pendidikan dan layanan kesehatan.
Beberapa kasus pidana yang kini sedang berjalan—baik menyangkut kasus penculikan maupun tuduhan penodaan agama—mesti mempertimbangkan narasi yang lebih baik tentang peristiwa yang telah dialami anggota Gafatar. Terkait kasus penodaan agama yang menimpa tiga orang pemimpinnya, khususnya, politik yang mendasari tuduhan itu perlu dipahami. Apalagi UU yang terkait”penodaan agama” dianggap cukup problematis karena banyak alasan.
Pemerintah dapat menunjukkan kemauan politik yang kuat agar proses-proses hukum itu tidak justru memviktimisasi korban. Kemampuan pemerintah menyelesaikan serangkaian masalah yang tersisa ini akan menjadi catatan amat penting bagi upaya mengatasi masalah-masalah serupa di masa depan.
Gafatar dalam Narasi: Melampaui Isu Agama
Azis Anwar Fachrudin | CRCS UGM | Opinion
Despite the fact that Jakarta Governor Basuki “Ahok” Thahaja Purnama has apologized for statements made regarding the Quranic verse Al-Maidah 51, some Islamic groups are saying that an apology is not enough. Protestors demanded that Ahok be criminalized in a rally last week in Jakarta.
Deputy secretary-general of the Indonesian Ulema Council (MUI) said on a TV show that religious defamation must be punished by “death, crucifixion or at least hand amputation and expulsion”. Even though he did not urge the state to adopt such a policy, but rather called on the processing of the case in accordance to the law on religious defamation, his remarks give the impression that Islamic law is that harsh.
The Quranic verses quoted by the MUI deputy secretary-general are known as the hirabah verses. Hirabah, which literally means “warfare”, and the verses were basically applied under the principles of Islamic jurisprudence to crimes such as highway robbery, piracy, unlawful rebellion and sedition. The verses were the same verses used by the Islamic state (IS) group to justify its crucifying of those waging war against IS.
Therefore, the attribution for those punishments for alleged religious defamation is dangerous.
What is more saddening is that Islamic groups are pushing for Ahok to be criminalized when he had no intention of insulting Islam or the Quran. The groups are insisting that the literal out-of-context interpretation of al-Maidah:51 is the only correct one. They take for granted that the verse literally prohibits non-Muslims from being a “leader” in a Muslim country.
The word auliya is not translated as “leader” in most contemporary translations as well as tafsir, the consequence of that translation is dangerous: non-Muslim ministers, regents, even bosses in companies where Muslims work are also leaders, aren’t they? Must they be dismissed from their positions just because of the verse?
The verse will only make sense if understood in its context, that is, in a situation of war, such as when the Jews were said to have betrayed the Muslims by violating the social contract made between the two to defend Medina together when the city-state was under attack; hence the later prohibition to make the Jews “allies” (the closest meaning to the word“auliya”).
Read more http://www.thejakartapost.com/
________________________
The writer is a graduate student at the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) at Gadjah Mada University, Yogyakarta.
M Rizal Abdi | CRCS | News
Nowadays, religion frequently becomes a major source of violence, exclusion and misunderstanding. Almost every week, conflicts among religious people or institutions appear in the headlines. However, religion can also be catalyst for peace and harmony, reconciliation and social justice. At the same time, the state’s fundamental position in matters of religious policies also plays a significant role in managing the diversity. With these concerns in mind, the Centre for Research and Development of Religious Life (CRDRL) of The Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia (MORA) held “International Symposium of Religious Life (ISRL) 2016: Managing Diversity, Fostering Harmony” at Sari Pan Pacific Hotel, Jakarta on 5-7 October 2016. Bringing together researchers, activists, policy makers, and scholars of religious studies, the symposium was expected to offer opportunities for new ideas in developing religious studies as well as a variety of new formats for achieving harmonious religious life in plural society. “As the Ministry of Religious Affairs, we hope that this symposium might give us recommendations for implementing the vision of Indonesia diversity,” said Prof. Dr. Phil. Amin Kamaruddin, General Director of Islamic Education, representing the Minister of Religious Affairs.
Following keynote addresses by Prof. Azyumardi Azra (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), Prof. Robert W. Hefner (Boston University), and Prof. Gamal Farouq Jibril (Al-Azhar University, Cairo) who presented their fruitful insights in the plenary session, more than 100 participants from various backgrounds and countries attended the forum. The participants were rigorously selected based on their abstracts from hundreds of submissions from Indonesia and around the region. Three current CRCS students were invited to become participants in this forum. Azis Anwar Fachruddin from the 2014 batch delivered a paper entitled “Indonesia’s Indigenous Belief and Modern Construction of Religion” which challenged the paradigm of “world religions” in constructing the religion definition in Indonesia. The paper by Ali Ja’far from the 2015 batch was entitled “Promoting Religious Tolerance through Religious Tourism: Managing Religious and Ethno-Political Conflict in Tuban.” It gives alternative perspective of tourism as “dialog of hand” (practical measures) in reconciliation of ethno-religious and political conflicts. M Rizal Abdi from the 2015 batch discussed the issue on negotiation of space and place in pilgrimage studies when he presented his ongoing research entitled, “Tembayat Pilgrimage as Space of Harmony: Exchanging Symbols, Negotiating Spaces.”
In addition to the three current students, seven CRCS alumni also took part in the symposium: Achmad Zainal Arifin (2000), lecturer in Sociology program in UIN Sunan Kalijaga; Erik Sabti Rahmawati (2001), lecturer in Syariah Faculty UIN Maulana Malik Ibrahim; Ubed Abdillah (2001), lecturer of General Education in Buddhi Dharma University Tangerang; Elis Z. Anis (2001), Financial Development Executive at the Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS); Al Khanif (2004), lecturer and director of Research Institute of Human Right, Faculty of Law, Jember University Indonesia; A. Syamsu Madyan (2004), lecturer of Islamic Studies at the Graduate School of Unisma Malang; and Achmad Fawaid (2012), a lecturer of IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
“The issues that were elaborated on in plenary and panel sessions looks like extended versions of our daily discussions in the classroom at CRCS,” said Jafar. At the same time, the symposium also helped student in finding cutting-edge discourse on religious studies research. “The discussants were quite critical but the discussions enriched the research questions as well as refined my analysis,” Abdi remarked after his presentation. The participation of ten CRCS students and alumni in this international symposium not only shows CRCS’s remarkable academic track records in religious studies but also demonstrates the continuous efforts of CRCS’s big family in building bridges in the world of diversity.
Abstract
The establishment of Islamic economics as an academic discipline has been motivated by a belief that the Islamic worldview differs from the worldview of Western capitalism. This premise seems to put Islamic economics in total opposition to conventional, or Western, economics. In the coming presentation, the speaker will argue that such an impression is wrong: although the Islamic worldview does differ from the worldview of Western capitalism, Islamic economics as an academic discipline was established to realize the Islamic worldview and can stand together with conventional economics established in the West Arguing that each can benefit from the other. The speaker will introduce a new framework for Islamic economic analysis that lays a foundation for the complementarity between Islamic and conventional or Western economics. This new framework can resolve the dilemma faced by Muslim economists and help to establish Islamic academic disciplines alongside their Western peers.
Speaker
Akhmad Akbar Susamto is a lecturer at the Departemen of Economics and a faculty member at the master program specialize in Islamic Economics, Graduate School, UGM. In additional to conventional [Western] Economics education background, he has a strong interest in Islamic Political Economy, Islamic Economics and Islamic Finance. He earns his bachelor, master’s and PhD degrees in Economics from UGM, Monash University and Australia Nasional University respectively.
Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
Dapatkah bumi, air atau bahkan banjir berbicara? Pertanyaan ini disodorkan Dewi Candraningrum, fasilitator pada pada hari ke dua Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VIII. Pada sesi ke tiga yang bertema “Politics of Identity: Gender, Sexuality, Ecology”, Dewi menggugah peserta SPK VIII untuk menggumuli kembali perbincangan tentang subyektivitas yang tak terbatas pada manusia.
Alam dan bahkan bencana alam juga memiliki suara dan mereka telah berbicara kepada kita semua dengan suara yang sangat keras. Banjir telah berbicara kepada kita bahwa saat ini ia sudah tidak punya rumah lagi. Hutan sudah gundul dan tidak ada lagi daerah resapan air yang cukup menampung semua air hujan, hingga banjir pun berkata. “Aku sudah tidak punya rumah, sekarang aku akan masuk rumah mu!” Melalui kisah ini, Dewi Candraningrum mengajak peserta untuk memaknai bahwa keberagaman tidak hanya terbatas pada manusia tetapi juga entitas selain manusia. Mereka setara dengan manusia dan dapat pula berkomunikasi dengan manusia. Untuk itu manusia harus peka terhadap bahasa-bahasa dari entitas lain yang ‘bersuara dalam keheningan’, sebagaimana alam telah berbicara pada kita.
Berbicara tentang keberagaman mustahil dilakukan tanpa penghargaan terhadap identitas dan subyektivitas. Menurut dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta ini, identitas dapat tampil dalam tiga ruang: pertama, ruang diskursif, sebagaimana ia hadir pada pembicaraan-pembicaraan manusia; kedua, ruang performatif sebagaimana ia ditampilkan; dan yang ketiga ruang historis, artinya identitas yang terkait dengan jejak konteksnya di masa lalu. Dengan kata lain, sebuah identitas tidak dapat dinilai apalagi dihakimi tanpa melihat konteks dan jejak pembentukannya. Mengutip Julia Kristeva, Candraningrum menyatakan, “dalam hidup manusia modern atau bahkan posmodern saat ini ada sebuah horor yang terjadi ketika kita menjadikan sang liyan atau yang berbeda dengan kita sebagai abject atau yang ditakuti dan dianggap merusak tatanan.” Teman-teman LGBTQ dan kelompok-kelompok lain yang berbeda dari kebanyakan orang seringkali menjadi pihak yang di-abject-kan. Padahal, dari keberadaan sang liyan itu kita justru belajar bahwa sesungguhnya kita memang beragam dan kita perlu menerima keberagaman tersebut. “Ini bisa dimulai dengan menghargai sesuatu sebagai subjek, menghargai ia sebagai ia, bukan sebagai benda,” ujar Dewi. Sehingga apapun bentuk atau identitas seksualitas seseorang—laki-laki, perempuan, laki-laki yang hidup sebagai perempuan, perempuan yang hidup sebagai laki-laki, atau seseorang yang hidup dalam kedua identitas tersebut—patut dan perlu kita hargai sebagai subyek. Muara dari ini adalah penumbuhan dua nilai dalam diri kita, yakni kesadaran dan penghormatan terhadap yang lain di luar diri kita.
Sebenarnya keberagaman bukanlah hal baru bagi masyarakat kita. Namun, menurut Dewi, manusia modern pada hari ini tengah mengalami disartikulasi narasi akar dan teritorialisasi manusia dan alam. Yang pertama, kita telah terputus dari narasi-narasi akar. Nenek moyang kita pada zaman dahulu telah lebih dulu menghadapi realitas subjektifitas yang sangat kaya dan mereka dapat menghargainya. Dewi Candraningrum menunjukkan video dokumenter singkat mengenai Suku Bugis. Tak hanya dua jenis gender, Suku Bugis mengenal hingga lima gender. Selain laki dan perempuan, Suku Bugis mengenal Callalai, Callabai, dan Bissu. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam hibiriditas identitas laki-laki dan perempuan. Kelima gender tersebut merupakan kesatuan dan saling terlibat aktif dalam segala praktik kultur di masyarakat, terutama persembahan terhadap alam dan pertanian. Masyarakat Bugis justru memaknai keberagaman identitas itu secara positif dan terkait erat dengan keberlangsungan kesuburan alam.
Yang kedua, Candraningrum menceritakan pengalamannya meng-advokasi para ibu di Kendeng, Jawa Tengah yang menolak eksploitasi alam oleh perusahaan-perusahaan semen nasional adan multinasional. Eksploitasi tersebut terjadi karena teritorialisasi manusia dari alam. Manusia tidak lagi merasa terlibat dan terikat pada alam atau peristiwa alam yang tengah terjadi di tempat lain. Menurut Candraningrum, bumi adalah satu kesatuan dan tidak terbatasi oleh wilayah administratif. Bahkan kita manusia, adalah juga bagian dari bumi. Sehingga, walaupun ia adalah orang Solo ia merasa perlu terlibat dalam advokasi ibu-ibu Kendeng. Alam adalah Ibu yang tidak boleh dieksploitasi sebab ia adalah ibu kita, sumber hidup kita.
Pada akhirnya, Candraningrum mengingatkan bahwa kita perlu waspada dan hormat terhadap semua subjek dan subjektivitasnya. Kesadaran dan penghormatan terhadap yang liyan itu akan lebih baik jika dipadukan dengan pengetahuan. Sebuah advokasi hanya menjadi baik dan berhasil jika basis kekuatannya adalah pengetahuan yang dijiwai oleh semangat menebar bagi kebaikan seluruh subjek.