Dunia hari ini membutuhkan mitos-mitos yang membantu kita mengenali sesama ciptaan dan bukan hanya manusia. Melalui mitos, pengenalan tersebut melampaui pragmatisme ekonomi yang melihat ciptaan lain hanya sejauh komoditas produktif dan menguntungkan bagi kepentingan manusia.
Perspective
Laiknya hitam dan putih, agama dan kejahatan kerap dipahami sebagai elemen yang bertolak belakang. Padahal, tidak sedikit kejahatan terjadi atas nama agama.
Perdebatan mengenai mitos kerap terjebak pada pertanyaan apakah ia mengandung kebenaran atau kerancuan. Padahal, mitos dan sains adalah dua entitas berbeda yang memiliki cara kerja dan fungsinya masing-masing.
Pohon kerap menjadi simbol yang mampu mencairkan dan menjembatani relasi antaragama.Tak jarang, simbol pohon yang sama digunakan bersama oleh beberapa agama. Salah satunya Batang Garing. Pohon kehidupan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah ini tidak hanya dapat ditemui di balai Kaharingan tetapi juga bertengger di puncak masjid dan menjadi ornamen sakral di altar gereja.
Kemunculan diskursus indigenous religion atau ‘agama leluhur’ dalam studi agama dan antropologi tak lepas dari kesadaran untuk melepaskan berbagai asumsi peyorasi—seperti animisme dan primitif—pada tradisi dan praktik masyarakat adat. Akan tetapi, penggunaan “indigenous” untuk merepresentasikan tradisi dan praktik adat ini juga tidak absen dari masalah.
“Honor killing” merupakan praktik yang mengakar pada banyak tradisi di dunia. Akan tetapi, isu kesetaraan gender dan perlindungan perempuan yang datang bersama dengan modernitas mengusik keberadaan tradisi tersebut. Salah satunya melalui CEDAW.