• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Student Service
    • Survey-2022
    • Crossculture Religious Studies Summer School
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • Overview
    • Resource Center
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Artikel
  • Merawat Alam Borobudur Melalui Jalan Tradisi

Merawat Alam Borobudur Melalui Jalan Tradisi

  • Artikel, Perspective
  • 30 January 2023, 14.49
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Merawat Alam Borobudur Melalui Jalan Tradisi

Chusnul C – 30 Januari 2023

Kecamatan Borobudur merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Magelang yang terletak di sekitar Pegunungan Menoreh, dikelilingi oleh Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, Telomoyo, dan Andong. Kecamatan yang terdiri dari 20 desa ini juga dialiri oleh Sungai Progo dan Sileng yang tak pernah kering sepanjang tahun. Dengan letak geografis semacam ini, idealnya Borobudur merupakan kawasan subur dan terhindar dari krisis ekologi. Namun sayangnya, realita hari ini menyajikan gambaran lain. Krisis air terjadi setiap musim kemarau di beberapa desa, baik yang terletak di daerah pucuk Menoreh seperti Desa Kenalan maupun desa yang terletak di daratan bawah seperti Desa Wringinputih dan Kembanglimus. Beberapa desa lainnya, kendati tidak sampai kekeringan, mengalami degradasi sumber mata air dari segi kuantitas maupun kualitas.

Desa Tuksongo misalnya. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tuksongo berasal dari kata tuk yang artinya sumber mata air dan songo yang artinya sembilan atau banyak—kosmologi Jawa  sering menggunakan angka sembilan, angka tunggal tertinggi, sebagai perlambang jumlah yang begitu banyak. Tuksongo menyiratkan keberlimpahan sumber mata air yang ada di sana. Namun, sumber mata air di desa yang terletak di antara dataran rendah dan dataran tinggi Borobudur ini hanya tersisa beberapa seperti Sendang Sidelek, Sendang Kali Gede, Sendang Ngrau, Sendang Kali Mrico, Sendang Pending, dan Pancuran Watu Bangkong. Beberapa yang tersisa ini pun kondisinya tidak terawat meski masih digunakan oleh segelintir warga.

Sumber mata air di desa lain bernasib serupa. Sendang Pule di Desa Wringinputih kondisinya sempat tidak terawat, sementara sumber mata air Kali Gondang bahkan hampir hilang karena tertutup sampah daun kering. Sumber mata air Sumberejo di Desa Bigaran mengalami pendangkalan, dari yang sebelumnya berkedalaman 2 m, kini tersisa kurang dari 30 cm.

Salah satu penyebab krisis air ini ialah sikap masyarakat yang perlahan “membelakangi” sumber mata air. Masuknya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pansimas) di Kecamatan Borobudur membuat masyarakat semakin jauh dari sumber mata air di sekitar mereka. Menurut penuturan warga Wringinputih, sejak pengadaan pompa air pada tahun 2014, sumber mata air Sendang Pule kondisinya kotor dan tidak terawat. Hal serupa terjadi di Desa Kembanglimus yang masyarakatnya mulai beralih menggunakan sumur pribadi sejak 1990-an. Akibatnya, beberapa sumber mata air di Kembanglimus perlahan dipenuhi sampah, berlumut, serta tidak lagi ditemukan pohon resapan. Kondisi semacam ini terjadi hampir di semua kawasan Borobudur.

Lukman Fauzi, salah satu warga Borobudur yang aktif di Komunitas Kali Sileng, mengatakan bahwa krisis air di kawasan Borobudur terjadi sejak 2018. Salah satunya terjadi akibat kebocoran irigasi tangsi yang menjadi sumber air di sebelah barat dan utara Candi Borobudur. Selain itu, menurutnya, krisis air tersebut juga merupakan dampak tidak langsung dari ingar bingar industri pariwisata. Hotel-hotel di sekitar Candi Borobudur masih menggunakan sumur artesis yang menyebabkan sumur-sumur warga menjadi kering.

Tradisi Penghormatan Terhadap Air

Di tengah berbagai ancaman kekeringan itu, masyarakat desa sekitar Borobudur terus berupaya merawat sumber mata air yang tersisa, salah satunya melalui jalan tradisi. Masyarakat di kawasan Borobudur mengenal tradisi daur hidup dan daur bulan. Tradisi daur hidup merupakan ritual yang menandai proses perkembangan hidup manusia seperti ngupati (hamil empat bulanan), mitoni (hamil tujuh bulanan), supitan (akil balig), midodareni (jelang pernikahan), dan pati (kematian). Sementara itu, tradisi daur bulan merujuk pada ritual yang dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu dalam kalender Jawa seperti suran (bulan Sura) dan saparan (bulan Sapar). Masing-masing desa memiliki cara ritual yang berbeda. Kendati dilakukan, praktik tradisi tersebut kesemuanya menekankan pada penghormatan atas alam dan terkait erat dengan sumber mata air.

Salah satunya tradisi mitoni atau peringatan tujuh bulan kehamilan pada masyarakat Dusun Kerug Batur, Majaksingi. Ritual mitoni dimulai dengan prosesi pengambilan air atau yang oleh masyarakat setempat disebut dengan prosesi memetik air. Air dipetik dari beberapa sumber mata air dan dimasukkan ke dalam wadah kendi. Air ini digunakan dalam prosesi siraman ibu hamil. Sementara itu, pada upacara Merti Dusun Saparan di Dusun Miriombo Wetan, Giripurno, penghormatan terhadap air dilakukan dengan cara memberi sesaji di sembilan tempat yang disakralkan, enam di antaranya adalah sumber mata air. Masyarakat Miriombo Wetan menamai tempat-tempat tersebut dengan nama-nama khusus seperti Ki Sumber untuk Kali Sabrang, Ki Gembung untuk Tuk Gembongan, dan Ki Murbokesumo untuk Kali Winong. Sesaji tersebut salah satunya adalah kendi berisi campuran air dari berbagai sumber mata air.

Ada juga desa yang berupaya menghidupkan kembali tradisi “petik air” ini setelah beberapa waktu vakum. Beberapa tokoh kunci dan sesepuh di Desa Sambeng berupaya menyelenggarakan tradisi saparan dengan cara yang lebih meriah tetapi dengan tetap menjaga nilai-nilai penghormatan terhadap air. Yang menjadi acara inti dalam kegiatan tersebut ialah pengambilan air dari Tuk Ngudal, salah satu sumber mata air yang masih dimanfaatkan masyarakat.

Praktik tradisi daur ulang maupun daur bulan tersebut menunjukkkan bahwa masyarakat Borobudur menempatkan air pada posisi mulia. Mereka tidak menggunakan air semata untuk kebutuhan biologis, tetapi juga memosisikannya sebagai wujud sakral. Bagi mereka, kondisi alam Borobudur yang subur merupakan pemberian yang harus terus dirawat dan dihormati, salah satu caranya melalui ritual petik air tersebut. Praktik-praktik itu menjadi pengingat bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa air. Merawat sumber mata air secara langsung merupakan salah satu upaya menghormati keberadaan air dan menyelaraskan kembali tatanan kehidupan. Apa yang dilakukan masyarakat Borobudur  pada hakikatnya merupakan pengejawantahan dari falsafah Memayu hayuning bawana (mempercantik keindahan alam semesta) yang menekankan pemahaman, kesadaran, dan sikap tenggang rasa antarmakhluk. Pengetahuan ini diwariskan dari generasi ke generasi melalui tutur maupun praktik ritual.

Tantangan Membangun Kesadaran Lingkungan Melalui Jalan Tradisi

Ketika masyarakat dimudahkan oleh teknologi—seperti keberadaan PDAM dan Pansimas, keterikatan manusia dengan alam cenderung memudar. Dalam kondisi semacam ini, tradisi dan ritual sebagai pengejawantahan sikap penghormatan terhadap alam juga ikut luntur karena keduanya bersifat timbal balik. Dengan kata lain, kesadaran akan lingkungan makin menipis ketika tradisi ini terkikis.

Dari pengalaman berinteraksi dengan anak muda di kawasan Borobudur selama hampir setahun, saya menemukan adanya keterputusan pengetahuan dalam memahami tradisi. Sebagian masyarakat mempraktikkan tradisi tanpa memahami substansi nilai yang tersirat. Di samping faktor eksternal seperti penetrasi budaya yang dengan mudahnya bisa diakses melalui layar gawai, keterputusan pengetahuan ini juga disebabkan oleh kejumudan tradisi. Untuk itu, tradisi perlu ditafsir ulang dan didialektikakan dengan zaman.

Tradisi mitoni dan saparan misalnya. Kedua tradisi tersebut menciptakan ruang kultural yang bisa dimanfaatkan sebagai media edukasi masyarakat terkait konservasi lingkungan. Seperti tradisi mitoni di Dusun Kerug Batur dengan mengadakan sarasehan yang mengundang budayawan setempat, tokoh kunci, dan warga. Dalam sarasehan tersebut, nilai-nilai konservasi dalam praktik mitoni disebarluaskan kembali ke masyarakat. Di samping sarasehan, upaya penyegaran tradisi juga dilakukan dengan membuat pameran foto dan video tradisi mitoni yang menyasar generasi milenial dan generasi Z.

Untuk anak-anak, edukasi terkait konservasi lingkungan melalui tradisi bisa dilakukan dengan memopulerkan cerita-cerita rakyat yang berkaitan dengan sumber mata air dalam ragam aktivitas. Sebagai contoh, SD Kanisius di Desa Kenalan memiliki program tilik belik (berkunjung ke sumber mata air). Dalam program ini, siswa diajak ke sumber mata air di sekitar mereka untuk mengenalkan pentingnya mata air termasuk ragam tradisi yang berkaitan dengannya. Sementara itu, di Desa Giripurno yang terletak di pucuk Pegunungan Menoreh, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di Dusun Parakan mulai menerapkan pendidikan sadar lingkungan dengan mengusung konsep ngaji alam. Melalui permainan tradisional, anak-anak diajak untuk memahami nilai-nilai konservasi dan tradisi terkait lingkungan di sekitar mereka.

Upaya menyadarkan masyarakat terkait lingkungan bisa dilakukan dengan memperkuat tradisi masyarakat itu sendiri. Penguatan tradisi ini merupakan upaya untuk menyadarkan keterhubungan masyarakat dengan lingkungan—salah satunya sumber mata air. Namun, upaya tersebut bukan berarti menghentikan aliran PDAM/Pansimas dan meminta masyarakat untuk kembali mandi di sumber mata air. Yang terpenting adalah bagaimana membuat masyarakat tersadarkan proses “menanam” air hingga akhirnya bisa “dipetik” melalui keran di masing-masing rumah.

______________________

Chusnul C  adalah alumnus CRCS UGM angkatan 2018. Ia terlibat sebagai tim analis pada lembaga swadaya masyarakat yang menjadi penggerak Program Pengembangan Wisata Budaya Spiritual di Kawasan Borobudur, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kemendikbudristek tahun 2022. Baca tulisan Icus lainnya di sini.

Tags: Borobudur chusnul c Ekologi tradisi

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Frequent appearances in public spaces and discours Frequent appearances in public spaces and discourse do not necessarily make society's acceptance of waria more open. There are many factors that make a society accept the existence of waria, and religion is one of them. At the same time, the religious expressions of waria are continuously questioned.

At this #wednesdayforum, Khanis Suvianita will share the dynamics of Waria's negotiations on gender and religious expression in Gorontalo and Maumere.
Ketika mendengar atau membaca kata "feminisme", ya Ketika mendengar atau membaca kata "feminisme", yang kerap terbesit ialah ini paham "Barat" atau "kebarat-baratan". Kendati pada perkembangannya feminisme bersintesis dengan berbagai ideologi lain (misalnya feminisme Islam), asosiasi sebagai paham asing dan warisan kolonial masih tak terelakkan.

Pertanyaannya, bisakah kita melepaskan feminisme Islam dari paradigma kolonialisme dan transnasional tersebut?

Simak dan ikuti perbincangannya di ASA Forum nanti malam, hanya via zoom ya ....
Discussions about Islam and feminism often focus o Discussions about Islam and feminism often focus on Islamic feminism or feminism in Islam. However, not much has highlighted the Muslim women's movement that is resistant to feminism. In fact, the anti-feminism movement from Muslim women in Indonesia has penetrated both the policy and discourse levels in the public sphere. Check out @afifur_rochmans research on the dynamic of moral politics by anti-feminist Muslim women in contemporary Indonesian public spaces.
Let's move your body and share the harmony ... Ay Let's move your body and share the harmony ...

Ayo gerakkan badan bersama mengikuti irama semesta di Srawung Rukun, Solo 2023. Kita goyangkan badan, makan, dan bercengkarama bersama rekan-rekan. 

Langsung datang saja karena ini cuma-cuma buat kamu ...

Geser untuk kepo jadwalnya ya ...
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju