Fardan Mahmudatul Imamah | CRCS | SPK
Setelah mengalami berbagai tekanan dari negara maupun kelompok intoleran selama lebih dari delapan tahun, para penganut Ahmadiyah di Manislor, Kuningan, Jawa Barat, kini berusaha memperbaiki kondisi dengan cara membangun jejaring sosial dengan masyarakat Kuningan lainnya. Mereka mengunjungi tokoh agama di pesantren-pesantren, menemui masyarakat adat, menjadi relawan kegiatan sosial, serta aktif dalam beberapa organisasi kemasyarakatan. Hal itu dirasa sangat membantu untuk mengurangi tekanan fisik yang mereka alami selama ini, walaupun belum sepenuhnya menuntaskan permasalahan yang ada. Hingga kini, masyarakat Ahmadiyah di Kuningan masih menghadapi persoalan pemenuhan hak-hak administrasi sipil. Itulah beberapa hal yang disampaikan pimpinan Ahmadiyah Manislor, Nur Salim, pada acara kunjungan peserta Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VII, Jumat 27 November 2015 di Manislor, Kuningan.
Nur Salim menceritakan, ajaran Ahmadiyah di Manislor sudah ada sejak tahun 1954. Saat itu, ajaran Ahmadiyah dianut oleh 90% penduduk desa tersebut, sebelum akhirnya kini hanya sekitar 75% penganut Ahmadiyah yang masih bertahan. Meski begitu, Kongres Ahmadiyah Nasional pernah dengan aman dan lancar diselenggarakan di desa ini pada tahun 1984. Padahal, sebelum tahun itu, MUI telah mengeluarkan fatwa melalui keputusan Musyawarah Nasional (Munas) II tahun 1980 tentang Ahmadiyah sebagai aliran yang berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta menghukumi orang yang mengikutinya sebagai orang yang murtad (telah keluar dari Islam).
Fatwa tersebut kemudian dikuatkan oleh Surat Edaran Departemen Agama pada tanggal 20 September 2014 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat karena aliran tersebut mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Di dalam edaran tersebut, disebutkan juga bahwa Depag menyerukan kepada MUI, Majelis Ulama Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan para ulama serta da’i di seluruh Indonesia untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jemaat Ahmadiyah Qadiyan.
Dari tahun 1984 hingga 2002, meskipun hasutan maupun prasangka akibat dari pengaruh surat edaran yang sampai ke desa-desa membuat aktivitas sosial penganut Ahmadiyah terbatasi, tetapi tidak ada aksi kekerasan dari kelompok lain. Kondisi yang semakin memburuk justru terjadi sejak tahun 2002, ketika MUI dan para ulama Kuningan diundang oleh Lembaga Pengkajian dan Penilitian Islam (LPPI) ke Istiqlal guna mengikuti penjelasan mengenai Ahmadiyah pada 11 Agustus 2002. Hingga akhirnya pada tahun 2010, kelompok intoleran mulai melakukan tindakan kekerasan yang kian agresif dengan kampanye anti-Ahmadiyah melalui spanduk dan ceramah agama. Mereka mendesak Bupati Kuningan untuk membubarkan Ahmadiyah. Aksi tersebut berakhir dengan pembakaran, perusakan, dan penyegelan masjid.
Menghadapi kondisi semacam itu, para penganut Ahmadiyah berusaha untuk mengikuti proses mediasi yang difasilitasi pemerintah daerah. Namun, Attaurrahman, mubaligh Ahmadiyah yang ikut dalam dialog, menyayangkan bahwa sebagian besar diskusi dan mediasi tersebut hanya mengakomodasi sudut pandang kelompok intoleran dan pemerintah secara sepihak. Penjelasan pihak Ahmadiyah tidak diterima. Sehingga, upaya dialog ini tidak banyak mempengaruhi intensitas kekerasan dari masyarakat terhadap kelompok Ahmadiyah. Sebaliknya, pemerintah justru mengeluarkan surat keputusan bersama tentang pelarangan aliran/ajaran Jamaat Ahmadiyah Indonesia. Surat tersebut disetujui Muspida, Pimpinan DPRD, pimpinan pondok pesantren dan organisasi masyarakat (ormas) Islam Kabupaten Kuningan.
Jamaah Ahmadiyah Manislor pun akhirnya menempuh jalan informal melalui penguatan hubungan sosial dengan tokoh-tokoh Kabupaten Kuningan. Mereka mengunjungi sekitar 53 pesantren di Kabupaten Kuningan untuk menjalin silaturahmi. Selain itu, melalui organisasi wanita Ahmadiyah, Lajnah Imaillah, masyarakat Ahmadiyah Manislor menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial, seperti menyediakan makanan untuk posyandu, pembagian sembako dan bantuan sosial lainnya. Pemuda Ahmadiyah juga ikut dalam komunitas kota seperti seni mural kota, komunitas lintas iman, dan lain-lain. Bahkan, secara reguler, komunitas Ahmadiyah Manislor juga menjadi pendonor darah aktif di Palang Merah Indonesia Kabupaten Kuningan. Usaha tersebut cukup berhasil untuk membangun komunikasi dan hubungan sosial, sehingga dapat mengkonfirmasi setiap isu, stigma, kecurigaan, ketakutan, serta kekhawatiran antara Ahmadiyah Manislor dengan masyarakat Kabupaten Kuningan.
Masalah lain yang sekarang dihadapi penganut Ahmadiyah Manislor adalah proses administrasi sipil di pemerintahan. Mereka tidak mendapatkan akses e-KTP, administrasi pendaftaran haji, dan pencatatan pernikahan. Sebagian dari masyarakat Ahmadiyah Manislor harus mendaftar haji atau melakukan pernikahan di luar daerah. Ahmad Basyar, peserta SPK VII yang berasal dari Jamaah Ahmadiyah Manislor, mengungkapkan, petugas pemerintah dengan mudah mengetahui penduduk yang menganut Ahmadiyah hanya dengan melihat alamat. Hal itu karena sebagian besar penganut Ahmadiyah memang terkonsentrasi hanya di tiga dusun di Desa Manislor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. Hingga saat ini, persoalan tersebut belum dapat diselesaikan karena pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kuningan masih menggunakan rujukan Kementerian Agama dan MUI terkait status agama para penganut Ahmadiyah.
(Editor: A. S. Sudjatna)
SPK news
Fardan Mahmudatul Imamah | CRCS | SPK
Diskriminasi terhadap masyarakat adat, penghayat, dan penganut kepercayaan hingga saat ini masih berlangsung di Indonesia. Meskipun demikian, Sunda Wiwitan sebagai salah satu agama lokal Sunda terus memperjuangkan hak-haknya sebagai warganegara. Masyarakat Sunda Wiwitan tidak hanya melakukan upaya demi terpenuhinya hak-hak sipil mereka, tetapi juga—bersama komunitas lain di sekitarnya—melawan eksploitasi sumber panas bumi di Gunung Ciremai oleh PT. Chevron Geothermal Indonesia. Dua hal tersebut menjadi tema utama diskusi peserta Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VII dengan masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Sabtu 28 November 2015.
Pangeran Djati Kusumah, pimpinan masyarakat Sunda Wiwitan, mengatakan banyak orang yang tidak mengerti dan tidak mengetahui Sunda Wiwitan, termasuk keterlibatan mereka dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bagi masyarakat Sunda Wiwitan, adat karuhun Sunda Wiwitan adalah ajaran leluhur Sunda yang menuntun kesadaran spiritual manusia Sunda terhadap kekuatan energi dalam semesta di luar dirinya selaku manusia; sadar pada hukum kepastian-Nya, teguh pada janji menjaga cara ciri manusia dan cara ciri bangsa. Kesadaran itulah yang mendorong mereka untuk terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia di masa penjajahan serta perjuangan menentang eksploitasi sumber panas bumi di masa kemerdekaan ini.
Dalam kesempatan itu pula, Dewi Kanti, salah seorang putri Pangeran Djati Kusumah, menjelaskan masalah diskriminasi terhadap masyarakat Sunda Wiwitan sejak Zaman Belanda. Pada masa pendudukan Belanda, penganut Sunda Wiwitan diisukan sebagai komunitas api atau sempalan Islam, sehingga muncul pertentangan dari pesantren-pesantren. Pangeran Sadewa Alibassa atau dikenal Pengaren Madrais, pimpinan Sunda Wiwitan saat itu, sempat dipenjarakan dengan tuduhan memeras masyarakat dan dianggap gila, sehingga pada tahun 1901–1908 dibuang ke Boven Digul.
Selanjutnya, diskriminasi terkait administrasi sipil dimulai pada masa penjajahan Jepang, dengan berdirinya Shumubu yang saat ini menjadi Kantor Urusan Agama (KUA). Saat itu, masyarakat Sunda Wiwitan tidak dapat melakukan pencatatan pernikahan mereka secara legal karena tidak mengikuti ajaran Islam. Akibatnya, pernikahan masyarakat Sunda Wiwitan mendapatkan stigma “pernikahan liar.” Di masa kemerdekaan, posisi masyarakat Sunda Wiwitan semakin sulit. Pemerintah melalui Badan Koordinasi Pengawasan Aliran dan Kepercayaan (Bakorpakem) yang dibentuk pada 1961, membatasi ritual dan kepercayaan masyarakat Sunda Wiwitan. Oleh karena itu, pada 1964, Pangeran Tedja Buana—putra Pangeran Madrais—menginstruksikan untuk memilih agama dengan simbol “berteduh di bawah cemara putih” guna menyelamatkan komunitasnya dari stigma perkawinan liar.”Sebagian masyarakat Sunda Wiwitan memilih masuk agama Katolik dan Kristen, dan sebagian kecil lainnya masuk ke Islam.
Namun pada 1981, kebijakan Pangeran Tedja Buana tersebut terkendala oleh Misi Gereja Katolik kepada sesepuh adat. Saat itu, acara gereja tidak mengakomodasi tradisi. Pangeran Djati Kusumah, pimpinan Sunda Wiwitan selanjutnya, menyatakan keluar dari Katolik yang kemudian diikuti masyarakat Sunda Wiwitan lainnya. Akibatnya, melalui Bakorpakem, negara melarang segala kegiatan tradisi Sunda Wiwitan, di antaranya Upacara Seren Taun—Syukuran Masyarakat Agraris—selama 17 tahun, dari 1982 hingga 1999.
Dengan berbagai upaya dan peluang untuk terus mempertahankan kepercayaan mereka, masyarakat Sunda Wiwitan membentuk paguyuban dan mendaftarkannya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meskipun demikian, hal itu tak banyak membantu mengatasi kesulitan administrasi sipil terhadap masyarakat Sunda Wiwitan. Pada proses pembuatan KTP penganut Sunda Wiwitan dianggap tidak beragama, dan kolom agama pun dikosongkan. Selain itu, dalam pembuatan akta kelahiran anak, hanya pihak ibu yang disebutkan, sedangkan bapak ditulis secara administratif sebagai ayah angkat. Siswa penganut Sunda Wiwitan harus menerima ajaran agama lain di sekolah dan sebagian diminta untuk mengikuti kegiatan-kegiatan agama lain. Kesulitan administrasi tersebut berimplikasi pada hak-hak sipil lainnya, seperti pendidikan, pekerjaan dan politik.
Dewi Kanti juga mengatakan, masyarakat Sunda Wiwitan berupaya untuk tetap berkarya dalam menjaga keutuhan tradisi—antara lain melalui produksi ukiran akar dan kayu khas Sunda, batik Sunda, tarian dan lagu-lagu Sunda, serta arsitektur bangunan dengan simbol-simbol Sunda Wiwitan. Selain itu, pihaknya juga berusaha untuk mendokumentasikan praktik pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh aparatur negara terhadap masyarakat Sunda Wiwitan. Bagi masyarakat Sunda Wiwitan, Dewi Kanti berusaha untuk terus meningkatkan daya juang komunitas, penyadaran hak konstitusi, serta penyadaran kewajiban selaku masyarakat bela bangsa.
Lebih lanjut, masyarakat Sunda Wiwitan senantiasa terlibat aktif dalam usaha konservasi lingkungan dan menolak eksploitasi sumber daya panas bumi di lereng Gunung Ciremai. Okki Satria, suami Dewi Kanti, menceritakan bahwa usaha yang dilakukan sejak 2014 tersebut, melalui diskusi dan penguatan komunitas, tidak hanya dilakukan masyarakat Sunda Wiwitan, tetapi juga masyarakat sekitarnya, termasuk Ahmadiyah yang berdekatan dengan lokasi tersebut. Unsur masyarakat meliputi tokoh-tokoh masyarakat, pimpinan agama, pemuda, bahkan ibu-ibu ikut turun ke jalan memperjuangkan isu ini. Aksi penolakan tersebut berhasil mendesak Bupati Kuningan untuk berdiskusi dan mendengarkan keberatan mereka atas eksploitasi tersebut.
(Editor: A.S. Sudjatna)
Fardan Mahmudatul Imamah | CRCS | SPK
Jawa Barat adalah provinsi dengan kasus intoleran tertinggi di Indonesia, khususnya selama delapan tahun terakhir. Kasus intoleran tersebut berupa kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah, penutupan gereja, kampanye anti perbedaan, peraturan daerah yang diskriminatif, serta pelanggaran hak-hak sipil. Hal ini terungkap pada salah satu sesi diskusi acara Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK), Selasa, 24 November 2015. Acara rutin tahunan hasil dari kerja sama Program Studi Lintas Agama dan Budaya (CRCS) UGM dengan Hivos tersebut dihadiri oleh dua puluh enam orang aktivis dan akademisi dari berbagai institusi pendidikan maupun lembaga sosial kemasyarakatan yang berada di Jawa Barat, seperti Fahmina Institut, Gerakan Islam Cinta, Jaringan Kerja Sama antar Umat Beragama (Jakatarub), Values Institut Bandung, Pelita Perdamaian, Peace Generation Indonesa, IPNU, Majelis Khuddamul Ahmadiyah Tasikmalaya, dan Sunda Wiwitan.
Batas waktu 11 April 2015
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, membuka pendaftaran untuk:
Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) Ke-VI
Yogyakarta, 19 Mei – 31 Mei 2015
Sekolah Pengelolaan Keragaman mengundang aktifis dan pengajar/peneliti yang mempunyai komitmen untuk mengembangkan dan mengintegrasikan teori dan praktik terkait isu keragaman (dalam arti luasnya yang mencakup advokasi dan pembuatan kebijakan dalam masyarakat majemuk) dalam kerja/studi mereka. Setiap peserta diharapkan terlibat dalam kelompok penelitian mengenai isu-isu keragaman di daerah masing-masing setelah selesai mengikuti sekolah ini.
Kami menerima peserta dari: