Dibela atau Dibelokkan?
Narasi Ahmadiyah dalam Media Siber Nusa Tenggara Barat
Haris Fatwa Dinal Maula – 20 Juni 2022
Pada 19 Mei 2018, sekelompok warga Dusun Lauk Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tiba-tiba menyerbu pemukiman warga Ahmadiyah dan merusak berbagai properti. Warga Ahmadiyah yang menjadi korban terpaksa mengungsi. Kejadian itu terekam dalam warta Radar Lombok yang bertajuk “6 Rumah Warga Ahmadiyah Dirusak Massa”. Realitas ini berbanding lurus dengan survei Setara Institute yang menyebut bahwa pada periode 2007-2019 saja, telah terjadi lebih dari 2.400 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan di Indonesia. Warga Ahmadiyah menjadi pihak yang paling banyak mendapatkan diskriminasi dengan 554 kasus, kemudian disusul penghayat kepercayaan 334 kasus, umat kristiani 328 kasus, pelanggaran hak individu 314 kasus, dan umat Syiah 153 kasus.
Konflik antarkeyakinan ini menegaskan pola ketimpangan kekuatan antara kelompok dominan dan marginal. Salah satu kesenjangan ini tecermin dari bagaimana media membingkai, misalnya, Ahmadiyah dalam berita-berita. Tulisan ini mengurai bagaimana tiga media siber NTB mewartakan Ahmadiyah dalam tragedi tersebut. Secara definisi, istilah media siber bisa dipertukarkan dengan media online atau daring. Mengacu pada Pedoman Pemberitaan Media Siber yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, media siber adalah “segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, serta memenuhi persyaratan UndangUndang Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers.” Meskipun secara eksplisit hanya mendefinisikan media siber, secara implisit definisi tersebut juga mencakup media online atau ‘daring’ sebagai sebuah produk jurnalistik berbasis internet.
Berita tentang persekusi Ahmadiyah juga dimuat dalam media-media massa siber lokal di NTB, di antaranya radarlombok.co.id, suarantb.com, dan lombokita.com. Pemilihan tiga media tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, kredibilitas media yang dilihat dari apakah media tersebut terverifikasi dalam Dewan Pers. Kedua, popularitas media massa yang dilihat dari jumlah pengikut di media sosial masing-masing media. Ketiga, porsi dan intensitas media dalam memberitakan kasus persekusi Ahmadiyah. Dari ketiganya, hanya lombokita.com yang belum terverifikasi oleh Dewan Pers. Namun demikian, Media lombokita.com dipilih karena menjadi media massa berbasis siber yang paling banyak memberitakan tragedi persekusi Ahmadiyah Lombok Timur.
Potret Ahmadiyah dalam Media
Dari tiga media media yang dikaji, hanya dua media massa di Lombok yang memberitakan secara khusus saat tragedi penyerangan Ahmadiyah di Greneng, yaitu radarlombok.co.id dan lombokita.com. Sementara suarantb.com yang memiliki lini penerbitan media cetak di Lombok, bungkam soal tragedi tersebut.
Kedua media online tersebut menyebut Ahmadiyah dalam terminologi berbeda. Lombokita.com menempatkan kata “muslim” sebelum Ahmadiyah dengan narasi utuh. Hal ini berbeda dengan radarlombok.co.id yang menempatkan kata “pemeluk kepercayaan”, alih-alih menambahkan kata agama Islam. Judul kedua berita tersebut juga berbeda dari segi diksi. Lombokita.com menggunakan judul “Jamaah Ahmadiyah Diserang, Terpaksa Nginap di Kantor Polisi”, sedangkan radarlombok.co.id menggunakan judul “6 Rumah Warga Ahmadiyah Dirusak Massa”. Perbedaan diksi ini mencerminkan posisi kedua media tersebut. Dalam hal ini, lombokita.com terlihat lebih lentur dalam menyebut Ahmadiyah dibanding radarlombok.co.id.
Diksi tersebut juga menjadi cermin polemik kelompok Ahmadiyah di Indonesia. Menurut Norman Fairclough, dalam Discourse and Social Change, konstruksi frase dan hubungan antara kata merupakan satu bentuk hegemoni. Perdebatan tentang status Ahmadiyah berimplikasi pada bagaimana media membingkai jemaat Ahmadiyah dalam berita. Penyebutan yang berbeda tersebut merujuk pada perdebatan tentang status Ahmadiyah sebagai salah satu aliran Islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi masyarakat Islam di Indonesia telah mengeluarkan dua fatwa tentang aliran sesat Ahmadiyah. Fatwa pertama dikeluarkan pada 1 Juni 1980 yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah telah meninggalkan ajaran Islam dan sesat. Fatwa kedua dikeluarkan pada 29 Juni 2005 ketika Majelis Musyawarah Nasional VII MUI. Fatwa tersebut menegaskan fatwa pertama bahwa Ahmadiyah sesat dan siapa pun yang mengikuti Ahmadiyah adalah kafir. MUI menekankan bahwa siapa pun yang telah mengikuti Ahmadiyah didorong untuk kembali ke ajaran Islam yang benar. MUI, melalui Ketetapan Majelis Ulama Indonesia No. 11/ MUNAS VII/ MUI/ 15/ 2005 juga mendorong pemerintah untuk melarang organisasi Ahmadiyah.
Narasi Viktimisasi Ahmadiyah dalam Media
Narasi viktimisasi mendominasi pemberitaan tentang jemaat Ahmadiyah. Narasi ini memosisikan Jemaat Ahmadiyah Lombok Timur sebagai korban yang lemah, pasif, serta tidak mampu membantu dan memberdayakan komunitasnya sendiri. Mereka digambarkan tidak mampu secara mandiri mencoba menyelesaikan konflik. Media cenderung menempatkan institusi Pemerintah Provinsi NTB dan pihak lain sebagai sekutu dan penyelamat yang memiliki kekuatan untuk membantu minoritas tak berdaya. Hal ini, salah satunya, ditunjukkan dalam paragraf awal pemberitaan di lombokita.com yang bertajuk “Jamaah Ahmadiyah Diserang, Terpaksa Nginap di Kantor Polisi”,
“Komunitas Muslim Ahmadiyyah di Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur, NTB, diteror sekelompok orang yang menyerang dan merusak rumah”.
Ada tiga kata yang memiliki kesamaan makna, yaitu “diteror”, “menyerang”, dan “merusak”. Kata tersebut mengindikasikan posisi Ahmadiyah sebagai objek persekusi. Narasi viktimisasi ini juga dikutip dalam radarlombok.co.id yang bertajuk “6 Rumah Warga Ahmadiyah Dirusak Massa”. Menurut Norman Fairclough, dalam Language and Power (2015), penggunaan kalimat pasif dilihat sebagai upaya mengurangi pemborosan kata karena agen atau pelaku tindakan diasumsikan sudah diketahui bersama. Struktur pasif juga berfungsi untuk menegaskan dan menitikberatkan narasi pada objek karena subjek pelaku sudah dianggap maklum. Media, dalam hal ini, menggarisbawahi posisi Ahmadiyah sebagai objek diskriminasi dalam berita-beritanya.
Dalam mengutip proses mitigasi Ahmadiyah, media secara menonjol mengutip pihak-pihak dari luar Ahmadiyah. Suarantb.com, misalnya, mengutip dialog Gubernur NTB, Tuan Guru Bajang (TGB), dengan warga Greneng dan Ahmadiyah. Gubernur mengatakan akan menyelesaikan masalah tersebut. Hanya saja, menurut TGB, hal itu akan membutuhkan waktu tak sebentar karena masalahnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Media yang sama juga memberitakan tentang anggota DPRD Lombok Timur yang mendesak Pemerintah Kota Lombok Timur untuk segera menyelesaikan kasus Ahmadiyah.
Media juga memberikan porsi bicara bagi pihak Ahmadiyah. Dalam berita berjudul “Jemaat Ahmadiyah Diserang, Dipaksa Tetap di Kantor Polisi”, lombokita.com mengutip keterangan tertulis dari Sekretaris Pers Pengurus Besar Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana;
“Kelompok yang berasal dari daerah yang sama melakukan penyerangan dan perusakan karena sikap kebencian dan intoleransi pada paham keagamaan yang berbeda,” kata Yendra.
Saat media mengutip pihak luar Ahmadiyah, yang dibicarakan adalah tentang penanganan warga Ahmadiyah yang menjadi korban penyerangan dan pengusiran. Seperti dalam berita yang berjudul “Warga Ahmadiyah Terima Bantuan Perbaikan Rumah”, radarlombok.co.id hanya mengutip pihak yang memberikan bantuan, seperti Kepala Bidang Sosial Provinsi NTB, H Ahsanul Khalik; Pj Bupati Lombok Timur, H Lalu Syafi’I; dan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri Lombok Timur, Sudirman.
Jika menyebut Ahmadiyah, media cenderung membingkai mereka sebagai pihak yang lemah. Misalnya, dalam berita yang dimuat radarlombok.co.id berjudul “Jemaah Ahmadiyah Tagih Janji Gubernur NTB”, media mengutip salah satu jemaah Ahmadiyah, Edo;
Selain menunggu janji Gubernur, dia juga menunggu pemerintah daerah untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi warga jemaah ahmadiyah. Karena selama di dalam penampungan, ia dan jemaah lainnya tidak bisa melakukan aktivitas (bekerja). “Anak saya banyak, kalau saya tidak kerja mau makan apa? Makanya saya tuntut janji pemerintah daerah, untuk mengusahakan kita mendapatkan pekerjaan,” tuntutnya.
Wacana ini seolah menyepelekan inisiatif minoritas dan justru menempatkan mereka pada posisi yang lebih rentan. Pada tataran praktik sosial, wacana ini menimbulkan dampak sosial berupa langgengnya stigma antara mereka yang dominan dan yang terpinggirkan. Kelompok dominan dibingkai sebagai pihak yang memiliki kuasa untuk melakukan apa saja terhadap kaum marginal, baik dalam bentuk penganiayaan atau bahkan dalam bentuk advokasi.
Menurut catatan Setara Institute, seperti yang dikutip dalam From Stagnation To Pick The New Hopes: The Condition of Freedom of Religion/Belief in Indonesia 2014, pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di NTB paling banyak terjadi terhadap jemaah Ahmadiyah. Artinya, wacana tersebut hanya akan menegaskan posisi Ahmadiyah sebagai kaum marginal di NTB sekaligus pihak yang hanya mendapat atensi saat ada konflik.
Kuasa kaum dominan dalam hal ini, misalnya, diberitakan oleh suarantb.com dalam tajuk, “Soal Ahmadiyah, Dewan Desak Pemkab lotim Berikan Solusi Jelas”. Dalam salah satu kutipannya, media menulis;
Menurut Martawani, pemerintah dan pihak terkait lainnya harus melakukan pendekatan terhadap warga Ahmadiyah untuk bagaimana pemahaman dan keyakinan mereka dikembalikan ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Proses lokalisasi terhadap tempat tinggal warga Ahmadiyah bukanlah merupakan solusi. “Solusinya itu bagaimana mengembalikan pemahaman mereka, harus kembali ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Diberikan tempat tinggal yang khusus bukanlah solusi untuk mereka,” tegasnya.
Frase “dikembalikan ke ajaran Islam yang sesungguhnya” menyiratkan sebuah proses keluar dari situasi yang dianggap salah kemudian masuk dalam kebenaran. Dalam bahasa agama, frase tersebut bisa diistilahkan dengan “tobat”. Berita tersebut mengindikasikan bahwa kelompok dominan, khususnya aktor-aktor negara, memiliki kuasa termasuk dalam menentukan solusi yang tepat bagi Ahmadiyah. Dalam hal ini, suarantb.com mengutip Martawani, Anggota Komisi III DPRD Lombok Timur, bahwa solusi yang harus diambil adalah mengembalikan komunitas Ahmadiyah pada ajaran Islam yang benar dan tidak memberi mereka pemukiman baru. Wacana ini, tidak hanya semakin mempertegas batas antara yang kuasa dan yang lemah, tetapi juga menebalkan stigma sesat pada kelompok Ahmadiyah.
Media massa menjadi instrumen publik yang efektif dalam mendiseminasi pesan-pesan ideologis yang mengacu pada pasar tempat media tersebut bergerak. Ketika dunia mulai beranjak ke era digital, media massa kemudian melahirkan media siber yang berbasis internet. Julia T. Wood, dalam Communication Mosaics: An Introduction to the Field of Communication (2015), mengatakan bahwa media siber merupakan perangkat produksi dan distribusi informasi dengan waktu yang relatif lebih cepat dibanding media konvensional seperti cetak atau penyiaran. Diseminasi yang cepat dan masif tersebut kemudian memengaruhi mitra tutur media, yaitu pembaca media daring yang cenderung memilih sumber informasi yang instan.
Dengan demikian, media siber semakin menegaskan efektivitas dan efisiensinya dalam menanamkan atau melanggengkan sebuah ideologi. Dalam pengertian ini, ideologi, menurut Norman Fairclough, bukanlah sebuah idealisme atau seperangkat sistem berpikir yang sistematis, melainkan sebuah ‘cara pandang dunia’ worldview atau ‘nalar umum’ common sense. Dalam bahasa lain, ideologi berarti sebuah cara pandang terhadap dunia yang telah disepakati secara konsensual.
Dalam teori komunikasi kritis, keberpihakan ideologis merupakan hal yang niscaya dalam media. Gerak media ini dapat terbaca jelas terutama ketika mengangkat tentang isu agama. Di Indonesia, isu agama yang paling sering diangkat oleh media massa, salah satunya, adalah tentang diskriminasi terhadap kelompok marginal. Terkait Ahmadiyah, ketiga media siber tersebut telah memiliki ideologi mapan yang merujuk pada fatwa MUI tentang status kesesatan kelompok Ahmadiyah. Oleh karena itu, segala bentuk berita yang muncul selalu membingkai Ahmadiyah sebagai pihak yang perlu “diluruskan”.
______________________
Haris Fatwa Dinal Maula adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Haris lainnya di sini.