
Hak-hak alam membutuhkan kedudukan moral. Bisakah pendekatan KBB membantu?
Kerusakan lingkungan akibat modernitas yang rakus mendorong lahirnya konsep hak-hak alam (rights of nature) sebagai jembatan etis antara manusia dan alam. Gagasan ini pertama kali diajukan Christopher D. Stone, ahli hukum lingkungan, yang menyarankan agar entitas alam diakui sebagai subjek hukum (legal person) dengan kedudukan hukum (legal standing). Menurut Stone (2010), perlindungan hanya efektif jika alam dianggap memiliki kepribadian hukum, sehingga ia dapat diwakili dalam proses hukum.
Namun, Mihnea Tănăsescu dalam Understanding the Rights of Nature: A Critical Introduction (2022) mengingatkan bahwa gagasan tersebut bukanlah panasea. Ia mengkritik anggapan Stone bahwa kedudukan moral dan hukum entitas nonmanusia bisa otomatis terbentuk. Sebagai perbandingan, perusahaan dapat memiliki status hukum tanpa kedudukan moral; sedangkan dalam banyak kebudayaan, alam memiliki kedudukan moral meski tidak diakui secara hukum. Karena itu, penerapan gagasan Stone tidak selalu relevan di banyak tempat. Konsep hak-hak alam, tegas Tănăsescu, harus memperhitungkan relasionalitas masyarakat adat terhadap lingkungannya.
Buku Tănăsescu ini mengajak kita untuk mengkaji wacana “indigenous philosophy” yang mengonseptualisasikan alam dalam lingkungan spesifik dan lokal (2022:34–35). Ia berpendapat, kedudukan moral (moral standing) entitas alam harus dilihat dari cara pandang kebudayaan yang tidak atau belum menjadi status hukum formal. Alasannya, hukum seringkali menjadi instrumen politik untuk melanggengkan kelompok yang memiliki kekuasaan.
Kritik atas Universalitas Hak (Alam)
Tănăsescu (2022:40) secara kritis menilai konsep hak alam hanyalah perpanjangan hak liberal Barat yang rentan pada cara kerja-kerja antroposentrisme. Sekalipun ide “hak” entitas nonmanusia hadir di dalam pelbagai kebudayaan leluhur, ia juga rentan menjadi wacana yang diadaptasi dan diputarbalikkan penyelenggara negara demi pembenaran tindakannya. Kebudayaan pun diapropriasi oleh negara yang menjalankan sistem ekonomi liberal.
Salah satu contohnya ialah Konstitusi Ekuador 2008 yang menjadi contoh awal regulasi perlindungan hak alam. Konstitusi ini lahir dari gejolak politik untuk membebaskan Ekuador dari pengaruh ekonomi liberal yang mengeksploitasi alam dan meminggirkan masyarakat adat. Konsep hak-hak alam dalam konstitusi ini, menurut Tănăsescu, serupa dengan ide Stone. Alam menjadi subjek dengan istilah yang dipinjam dari masyarakat adat sebagai Pachamama atau Ibu Pertiwi. Masalahnya, konstitusi itu menjadikan pemerintah sebagai otoritas tertinggi yang menentukan kedudukan moral perlindungan Pachamama.
Ironisnya, Tănăsescu (2022: 64) berpendapat, genderisasi alam sebagai “ibu” justru memupuk stereotipe feminitas Barat yang menjadikan alam sebagai perempuan penghasil sumber daya untuk diambil negara. Padahal, pelbagai kebudayaan melihat alam sebagai kekuatan yang berubah dan aktif, bukan pasif untuk dieksploitasi. Permainan diskursus ini pada gilirannya tetap membiarkan adanya eksploitasi alam demi kepentingan pemerintah.
Jika menilik akarnya, kritik senada muncul dalam konseptualisasi HAM yang kepentingan dan gagasan liberalisme Barat yang diuniversalkan. Tak heran, ratifikasi dan pemahaman HAM sering kali dilihat pesimistis (An-Naim, 2021; Moyn, 2010; Nickel, 2007). Seperti ditegaskan An-Naim (2021), konsep hak perlu diinternalisasi dari kebudayaan melalui pendekatan lokalitas konsep hak itu sendiri, bukan dipaksakan sebagai standar universal.
Dalam kerangka demikian, hak-hak alam pun harus ditempatkan kembali dalam konteks partikular. Oleh karena itu, Tănăsescu menyarankan konsep yurisprudensi ekologi (ecological jurisprudence), ketimbang “hak-hak alam”. Pendekatan ini menekankan dasar moral yang tumbuh dari masyarakat, yang menjadikan alam sekitar bagian dari kewargaannya, bukan dari negara semata.
Menilik Aotearoa
Implementasi “tercanggih” dalam konsep hak alam dapat dilihat pada Sungai Whanganui dan bentang alam Te Urewera di Aotearoa (nama Māori untuk Selandia Baru). Pendekatannya membalikkan logika manajemen konvensional. UU Te Urewera 2014 menghapus status Te Urewera sebagai taman nasional menjadi kawasan pengelolaan bersama antara masyarakat Tūhoe dan pemerintah dalam satu dewan. Struktur seperti ini memungkinkan filsafat dan praktik adat diterapkan sebagai dasar pelestarian dan pengelolaan kolaboratif. Begitu pun dengan Sungai Whanganui yang kini dilindungi sebagai entitas hukum dengan perwalian oleh Te Pou Tupua, terdiri dari iwi (bangsa atau suku) setempat. Dengan demikian, pengelolaan sungai ini tetap menekankan kehormatan dan pemeliharaan relasional manusia-sungai berdasarkan masyarakat adat setempat.
Namun, pengakuan ini bukanlah hadiah dari pemerintah Selandia Baru, melainkan hasil perjuangan panjang masyarakat Māori menentang kolonialisme Inggris. Perjanjian Waitangi 1840 yang memuat hak kedaulatan dan adat masyarakat Māori pun sarat kompromi. Masyarakat Tūhoe, misalnya, tidak pernah menandatangani Perjanjian Waitangi 1840 karena pelbagai tragedi berdarah dalam sejarah Selandia Baru. Ketika hendak menegaskan kedaulatannya atas bentang alam Te Urewera, UU 2014 tersebut menjadi kompromi antara kedua belah pihak. Kasus ini menunjukkan dinamika tarik-menarik antara tradisi masyarakat adat dan modernitas hukum negara.
Agama Sebagai Wacana Hak-hak Alam?
Agama punya kekuatan doktrinasi dalam pemeliharaan lingkungan. Thomas Berry (1999), seorang pendeta Katolik, mengembangkan narasi teologis besar tentang semesta sebagai komunitas tunggal yang saling terhubung. Pengacara lingkungan dan penggagas hak-hak alam lainnya, Cormac Cullinan (2003), menerjemahkan narasi ini untuk membentuk hak-hak fundamental alam, yakni untuk eksis, punya habitat, dan berevolusi. Seyyed Hossein Nasr (1968) juga mengajarkan kosmologi islam yang menekankan kesakralan alam. Namun, Tănăsescu (2022: 33) mengkritisi pendekatan ekoteologi yang mendorong universalisasi dengan menyederhanakan konsep penghayatan relasi manusia-alam. Ia juga mengingatkan bahwa narasi-narasi ini rentan menjadi diskursus pedang bermata dua: menawarkan perspektif beragama ramah lingkungan sekaligus membenarkan eksploitasi alam, seperti yang kita lihat pada ormas-ormas beragama di Indonesia mengelola tambang.
Kasus di India menjadi contohnya, ketika Pengadilan Tinggi Uttarakhand pada 2017 menetapkan kedudukan Sungai Gangga dan Yamuna sebagai subjek hukum personifikasi Dewi Ganga Maa. Bukannya mendapat dukungan, Kelly D Alley (2019) menemukan bahwa penganut Hindu setempat menganggap penetapan sepihak dari pemerintah ini sarat kepentingan politik dan justru melepas tanggung jawab negara terhadap pencemaran sungai lewat embel-embel agama.
Tănăsescu tidak menolak wacana agama sebagai kedudukan moral hak alam. Namun, ia tidak memberikan jawaban lebih jauh. Untuk itu, kita perlu melihat dinamika agama atau spiritualitas hidup di kehidupan masyarakat dengan paradigma relasional kepada alam sekitarnya. Jika melihat upaya masyarakat adat di Aotearoa, bentuk spiritualitas dan agama leluhur dapat terakomodasi dalam peraturan kewarganegaraan.
Kasus Indonesia: KBB sebagai Jembatan
Kerangka KBB (Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan) bisa menjadi jembatan untuk memperkuat kedudukan moral hak-hak alam. Kerangka ini berkembang dari Pasal 18 UDHR yang menjamin perlindungan praktik dan keyakinan beragama. Kerangka ini, sebagai bagian dari HAM, harus melibatkan praktik dan ekspresi agama leluhur yang mencakup gagasan martabat relasional antara manusia dan alam yang selama ini tidak direkognisi (Maarif, 2023).
Wacana seperti KBB ini sempat digunakan dalam advokasi tagar All Eyes on Papua untuk masyarakat Awyu bersama koalisi. Dalam sengketanya dengan PT IAL di PTUN Jayapura dan PUTN Jakarta, hutan yang diserobot adalah kawasan sakral dalam kepercayaan masyarakat adat Awyu. Sekar Banjaran Aji, advokat Greenpeace Indonesia, saat saya temui, mengatakan bahwa argumen “tempat sakral” ditolak oleh pengadilan karena dianggap tidak masuk akal. Namun, hal tersebut menjadi dorongan bagi masyarakat untuk memetakan dan mengadvokasi kawasan vitalnya.
Penolakan wacana ini merupakan buntut dari pengabaian negara terhadap pelibatan agama-agama leluhur. Negara lebih melihat religiositas masyarakat adat sebagai bagian dari kepercayaan dengan kebudayaan sebagai perspektif utamanya. (Maarif & Asfinawati, 2023:209). Masalahnya, jika merunut Pasal 28I ayat 3 UUD 1945, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional ditempatkan secara terbatas. Ia dihormati selama “selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” yang diatur negara. Alur sistem seperti ini menghambat advokasi yurisprudensi ekologis, karena religiositas masyarakat adat harus sejalan dengan gagasan penyelenggara negara.
Lain halnya jika melihat religiositas masyarakat adat sebagai agama. Pengakuan ini sangat penting dengan menjadikan masyarakat sebagai aktor utama dalam menentukan arah pemajuan kebudayaan. Negara perlu melihat ekspresi keyakinan leluhur sebagai agama sehingga memungkinkan penjaminan perlindungan dan pengakuan tempat sakral kepada masyarakat adat atau lokal secara otonom. Dasar dari ekspresi dan perlindungan ini juga ditekankan dalam Pasal 2 UNDRIP yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.
Agar dapat mendukung wacana agama sebagai kedudukan moral hak alam, meminjam argumen Maarif dan Asfinawati (2023), KBB harus inklusif terhadap religiositas yang hidup di dalam masyarakat. Ekspresi ini memuat pandangan ekosentris yang melihat secara etis bahwa semua unsur alam, baik yang hidup maupun tidak, memiliki nilai intrinsik yang sama, lebih dari sekadar manfaat untuk manusia.
Buku Tănăsescu akhirnya mengajak kita merefleksikan bagaimana alam dikonstruksi melalui wacana hukum dan politik. Ia menolak standar universal hak-hak alam dan mendorong pembingkaian ulang melalui yurisprudensi ekologis yang berpijak pada masyarakat lokal. Alih-alih memperluas konsep hak secara radikal, pendekatan ini menekankan inovasi hukum dari bawah. Bagi Indonesia, ini berarti mengakui religiositas leluhur bukan “sekadar budaya”, melainkan agama, sehingga dapat memperkuat posisi masyarakat adat dalam melindungi relasi etis dengan alam.
Understanding the Rights of Nature: A Critical Introduction (2022) | Mihnea Tănăsescu | Bielefeld: transcript Verlag. | ISBN: 978-3-8394-5431-2 | DOI: doi.org/10.14361/9783839454312
______________________
Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas.