Mendulang Harapan di Balik Kabut “Ormas Tambang”
Afkar Aristoteles Mukhaer – 19 September 2024
Ketika ormas keagamaan menerima pengelolaan tambang, masih ada harapan kepedulian lingkungan yang terus bertumbuh
Akhir Juli 2024, Muhammadiyah resmi menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ditawarkan Pemerintah Indonesia—menyusul Nahdlatul Ulama (NU) yang mengajukan diri sebulan sebelumnya. Keduanya mengklaim pengelolaan tambang akan memperhatikan pelestarian lingkungan alih-alih sekadar mengambil keuntungan dari bisnis ekstraktif. Bahkan, Ketua PP Muhammadiyah dengan dengan percaya diri menyatakan ingin menjadi “role model dalam pengelolaan sumber daya alam yang tidak mengesampingkan aspek lingkungan, sosial, dan keadilan.” Hasil tambang ini nantinya dikelola sebagai sumber biaya operasional dan ekonomi organisasi, salah satunya untuk pemberdayaan masyarakat di sektor pendidikan. Selain kedua ormas tersebut, Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) turut menerima izin pengelolaan tambang, kemudian Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) juga ikut mengajukan permohonan.
Banyak pihak mengkritik sikap penerimaan izin tambang tersebut, termasuk kader dan warga kedua organisasi keagamaan ini. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendesak organisasi-organisasi keagamaan untuk menolak tawaran izin tambang karena cenderung merusak lingkungan. Hampir serupa JATAM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengingatkan bahwa upaya penerimaan tambang akan membenturkan masyarakat korban tambang dan ormas keagamaan yang seharusnya melindungi.
Alih-alih menyadari permasalahan ini, NU dan Muhammadiyah justru menerima IUP. Padahal, sebagai organisasi besar yang punya pengaruh di pemerintahan dan dekat dengan masyarakat, keduanya berperan penting dalam penyelesaian masalah lingkungan. NU dan Muhammadiyah seharusnya dapat bergerak dari sisi hukum dan advokasi, pendidikan dan literasi berbasis lingkungan, dan pendekatan komunitas untuk memberdayakan masyarakat yang terdampak (Fauzanto, 2020).
Sayup Suara Kader Muda
Jauh sebelum munculnya bagi-bagi jatah tambang dari Pemerintah Indonesia, Muhammadiyah dan NU punya pandangan tegas terhadap pelestarian lingkungan. Pada 2015, NU mengeluarkan fatwa haram untuk aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Rais Syuriyah NU periode 2015-2021, K.H. Ahmad Ishomuddin menyatakan bahwa eksploitasi sumber daya alam sering mengabaikan AMDAL sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan.
Demikian pula dengan Muhammadiyah yang menyatakan dukungannya terhadap pelestarian lingkungan. Sejak berdirinya Lembaga Studi dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup (LSPLH) pada 2003, Muhammadiyah menjadikan program lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan organisasi. Hening Parlan, Ketua Divisi Lingkungan Hidup LLHPB Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, bahkan mengatakan bahwa pelestarian lingkungan merupakan bagian untuk mencapai Baldatun Toyyibatun Warrobun Ghofur (negeri yang baik dengan ampunan Tuhan). Ada pula Eco Bhinneka Muhammadiyah yang merupakan program inisiasi Muhammadiyah sebagai komunitas antaragama dalam pendekatan pelestarian lingkungan.
Dalam ranah kultural, sikap dua organisasi besar Islam ini terhadap lingkungan tampak pada pembentukan simpul organisasi seperti Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) yang terafiliasi dengan NU dan Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) dengan Muhammadiyah. Keduanya konsisten mengadvokasi masalah lingkungan yang terjadi pada umat di akar rumput. FNKSDA, misalnya, gerakan aktivisme lingkungan dan sosial ini mengadvokasi masyarakat terdampak pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulonprogo. Terinspirasi dari perlawanan terhadap kolonialisme oleh K.H. Hasyim Asy’ari, FNKSDA berpandangan bahwa kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial merupakan dampak dari hubungan kapitalistik (Almujaddidy, 2021). Dalam nafas yang seirama, KHM getol mendukung perjuangan petani Pakel di Banyuwangi melawan represi korporasi perkebunan. KHM berusaha mengontekstualisasikan teologi Al-Maun dalam merespons kerusakan lingkungan (Permadi, 2023).
Baik FNKSDA maupun KHM, keduanya dengan tegas mengkritisi sikap ambil jatah tambang yang dilakukan oleh organisasi induknya. Kendati dengan pendekatan berbeda, keduanya bersepakat bahwa tindakan pengurus besar atau pengurus pusat dengan menerima konsesi tambang merupakan ironi dan pengingkaran terhadap semangat organisasi. Keberadaan komunitas berkesadaran lingkungan ini memberi secercah harapan dari kemelut organisasi Islam yang mengambil jatah IUP.
Merebut Hegemoni Ekologi
Berkaca dari dinamika tersebut, keikutsertaan NU dan Muhammadiyah dalam konsesi tambang bukan lagi perihal pilihan ideologis, apalagi dalih teologis. Permasalahan ini kental dengan pertimbangan politis. Pemerintah tentu punya kepentingan dalam keputusan bagi-bagi jatah tambang kepada ormas keagamaan. WALHI berpendapat, IUP untuk ormas keagamaan adalah upaya pemerintah mencari pembenaran atas kerusakan lingkungan yang dilakukan. Bahkan, Mukhaer Pakkanna, Wakil Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata (MEBP) PP Muhammadiyah, sempat mewanti-wanti penawaran IUPK menggerus kemandirian ormas keagamaan yang kerap mengkritisi kepentingan politik dan bisnis tidak berkeadilan dari pemerintah.
Berdasarkan survei Monash Climate Change Communication (MCCCRH) Indonesia Node, politisi Indonesia cenderung mengabaikan isu lingkungan dan perubahan iklim. Isu lingkungan dan perubahan iklim malah cenderung menjadi bahan kampanye demi mendulang dukungan politik, seperti yang terjadi pada masa kampanye Pemilu 2024.
Dengan demikian, perubahan dari generasi muda yang radikal adalah keniscayaan. Secara historis, generasi muda selalu membawa perubahan yang selama ini diabaikan. Alih-alih menjadi pasar atas pesan politik dari kampanye pencitraan politisi pada isu perubahan iklim, generasi muda dapat merebut hegemoni wacana yang seharusnya menjadi perhatian elite. Langkah ini juga termasuk membawa kembali ormas keagamaan yang selama ini menaungi mereka sebagai kader. Strategi hegemoni ini merupakan bagian dari perspektif ekologi politik dalam pendekatan transisi keberlanjutan (Kalt, 2024).
Survei PPIM UIN Jakarta menyebutkan bahwa generasi muda, termasuk di dalamnya adalah masyarakat muslim, punya kesadaran isu lingkungan dan perubahan iklim yang lebih tinggi. Temuan tersebut terbukti dengan munculnya pelbagai komunitas dan perkumpulan gerakan muslim yang diinisiasi kalangan pemuda dengan fokus pada isu lingkungan seperti FNKSDA dan KHM.
Generasi muda hari ini membawa harapan arah politik dan ormas keagamaan yang memberi perhatian lebih pada isu lingkungan. Namun, menanti generasi muda sebagai kader menggantikan kepemimpinan ormas keagamaan bukanlah jawaban. Upaya negara-negara dunia mengurangi karbon demi menghentikan laju perubahan iklim tidak berjalan sesuai komitmen yang dibahas dalam Perjanjian Paris 2015. Sementara itu, krisis iklim semakin nyata sehingga membutuhkan gerakan ekologi sedini dan seefektif mungkin.
Saya sinis atas pelbagai wacana yang hendak menjauhkan generasi muda dari aksi nyata pada ekologi. Alih-alih sekadar generasi penuntut perubahan, telah banyak kegiatan generasi muda yang menggiatkan pelestarian lingkungan, ekologi, dan meningkatkan kesadaran akan perubahan iklim. Hanya saja, permasalahan politik Indonesia hari ini semakin semerawut untuk mewujudkan keberhasilan konservasi lingkungan dan mengantisipasi krisis iklim. Menurut Kalt (2024) mewujudkan hegemoni ekologi harus dilakukan secara sosio-radikal melalui pembangunan kekuatan diskursif, mobilisasi klaim keadilan ekologi, serta solidaritas dan koalisi. Bahkan, Kalt mengamini aksi atau tindakan “yang mengganggu” demi menarik perhatian atas lingkungan yang semakin genting. Ragam strategi ini dapat menjadi diskusi untuk aksi yang lebih efektif, daripada sekadar menunggu harapan kebaikan politik yang tiada kunjung datang wujudnya.
______________________
Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: Zbynek Burival/unsplash (2018)
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 13 tentang Penanganan Perubahan Iklim.