Hijrah Minim Sampah:
Sebuah Ekolinguistik Islam ala Ibu Rumah Tangga
Nanda Tsani – 29 Juli 2024
Isu lingkungan tidak melulu berkutat pada hal-hal gigantis seperti krisis iklim, efek rumah kaca, kenaikan suhu bumi, mencairnya es Antartika, atau kepunahan massal. Bagi June Cahyaningtyas, isu lingkungan ialah juga tentang hal-hal keseharian yang tampak di pelupuk mata dan jangkauan tangan: wastafel mengilap yang kembali dipenuhi piring kotor, ember kosong yang penuh pakaian apek, hingga timbunan sisa makanan di tempat sampah dapur. Berangkat dari minat keamanan nontradisional dalam kajian Hubungan Internasional (HI), dosen HI Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” ini meneroka dimensi keagamaan dalam praktik lingkungan berkelanjutan melalui pengalaman perempuan urban di Jawa. Hasil kajiannya itu ia presentasikan dalam Wednesday Forum, 15 Mei 2024, bertajuk “Sustainable Living Practice Among Urban Women in Java”.
Sampah Rumah Tangga: Beban “Bersama” yang Tak Pernah Usai
Setiap rumah tangga pasti menghasilkan sampah. Oleh karena itu, urusan pengelolaan sampah ialah persoalan bersama tiap individu yang di dalam rumah tersebut. Nyatanya, keadaan ideal tersebut seringkali terjegal oleh pengaturan gender yang tidak setara. Norma sosial kerap menempatkan ranah domestik sebagai tugas utama perempuan (lihat teorisasi pengaturan gender oleh Raewyn Connell). Dengan kata lain, perempuan dibebani oleh ekspektasi untuk senantiasa melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga tujuh hari dalam seminggu. Namun, berbeda dengan piring atau pakaian kotor yang bisa dicuci kembali kemudian diletakkan di tempatnya, persoalan sampah rumah tangga tidak seketika bisa dibereskan. Membuang sampah pada tempatnya tidak sekonyong-konyong membuat persoalan sampah rumah tangga selesai.
Apalagi, berbagai peristiwa politik dan sosial kerap berdampak pada rumah tangga dan perempuanlah yang terhimpit oleh beban-beban tambahan—seperti saat pandemi ketika gerak sosial masyarakat dibatasi dan persoalan kelola sampah menjadi nomor sekian. Yang paling terkena dampaknya ialah para ibu rumah tangga. Mereka kewalahan mengelola sampah yang terus menggunung sementara fasilitas kelola sampah pemerintah masih ngos-ngosan. Oleh karenanya, June melihat sampah rumah tangga sebagai isu lingkungan yang tidak pernah selesai dipikul oleh perempuan. Berangkat dari perasaan jemu, lelah, tidak puas, dan kesepian yang diperparah masa isolasi pandemi inilah, para ibu rumah tangga berupaya mengatasi dampak psikologis dari persoalan lingkungan rumah tangga melalui interaksi secara daring.
Agama Menyediakan Bahasa, Menguatkan Makna
Mula-mula sebelum pandemi, para ibu rumah tangga yang menjadi responden June membawa persoalan sampah kepada ustazah di lingkungan mereka. Namun, sang pemuka agama merespons tak acuh, “Ini persoalan pemerintah. Bukan kami.” Mereka hanya geleng kepala terhadap ajakan untuk mengatasi atau sekadar membahas lebih dalam isu sampah keseharian. Namun, June yang melakukan penelitian secara partisipatoris menemukan bahwa kontribusi agama justru muncul di antara ibu-ibu itu sendiri saat pandemi. Inisiatif itu mengemuka saat pertemuan daring akibat pembatasan sosial di masyarakat. Kendati tanpa latar belakang pendidikan formal agama, mereka berinisiatif untuk membuka Al-Qur’an bersama dengan cara pembacaan mereka sendiri dalam merespons isu-isu lingkungan di sekitar mereka.
Mereka memaknai bahasa-bahasa Al-Qur’an yang cocok dalam meningkatkan kesadaran lingkungan. Berdasarkan temuan June, kosakata keagamaan yang sering mereka gunakan ialah “hijrah”, “amanah”, dan “istikamah”. Hijrah berarti beranjak dari keborosan ke arah gaya hidup moderat; mengorbankan kenyamanan diri sendiri karena berdampak ketidaknyamanan bersama di kemudian hari. Ibu-ibu menyuarakan jargon “hijrah minim sampah” dalam gerakan mengurangi penggunaan kantong plastik—yang meski praktis, mudah, dan murah tetapi tidak mudah diurai tanah. Amanah artinya setiap orang senantiasa menjaga kesadaran diri untuk melakukan peran merawat lingkungan yang dititipkan kepadan mereka. Adapun istikamah atau konsisten berarti terus-menerus meningkatkan aksi merawat lingkungan yang dibangun dari langkah-langkah kecil.
Disengaja maupun tidak, aneka kosakata religius ibu-ibu rumah tangga tersebut membentuk komunikasi eko-linguistik Islam. Menurut Frans Wijsen, ekolinguistik merupakan pendekatan yang menjanjikan dalam memahami peran agama terhadap lingkungan. Bahasa yang digunakan masyarakat dalam merespons isu ekologi akan membentuk suatu nilai—baik yang bersifat optimistis, pesimistis, maupun netral (Penz 2017:278). Bahasa juga bisa menegosiasi relasi kuasa dan membentuk pengetahuan (Penz 2017:281). Sebagaimana hipotesis Michael Halliday, salah satu bapak linguistik, yang menyatakan bahwa bahasa dapat melakukan sesuatu secara pragmatis, informatif, sekaligus konstitutif. Contoh, alih-alih menggunakan makna umum, ibu-ibu ini mengasosiakan sebutan “tukang sampah” kepada sesama di antara mereka sendiri. “Bapak-bapak yang mengumpulkan dan mengangkut sampah ke TPA itu bukan tukang sampah, kitalah yang tukang sampah,” jelas June. Mendengar itu saya terkekeh. Ya, memang kitalah si tukang sampah, si pembuat sampah. Dalam konteks tersebut, ibu-ibu meminjam term islami dan menggunakan permainan kata guna mengaktifkan kesadaran terkait isu lingkungan.
Di samping itu, agama juga berkontribusi dalam memaknai ulang orientasi mereka dalam praktik sehari-hari. Ibu-ibu rumah tangga tersebut menggunakan istilah “sedekah” untuk merujuk pada aktivitas mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Bagaimana bisa? Sedekah mengingatkan kita untuk berbagi agar tidak hidup sekadar memuaskan kepentingan ego diri. Ibu-ibu yakin, pupuk kompos yang mereka hasilkan menguntungkan hal-hal di luar diri mereka, baik tanah, tanaman, hewan, maupun sesama manusia. Agama juga memberi makna dan nilai-nilai etis tambahan atas praktik-praktik hidup berkelanjutan mereka. Kosakata agamis “fitrah” mengafirmasi kepedulian lingkungan perempuan bahwa fitrah menyusui (breastfeeding) adalah bagian dari praktik minim sampah. Menyusui langsung dari payudara tidak memerlukan barang tambahan seperti botol dot, pompa, sendok takar, dan kaleng atau karton susu formula.
Dalam menjalankan praktik hidup berkelanjutan, ibu-ibu ini tidak hanya melibatkan tindakan konkret dalam mengelola sampah, tetapi juga membingkainya dalam konteks religius yang kuat. Melalui pendekatan ekolinguistik Islam, mereka menemukan makna mendalam dalam dari setiap tindakan kecil yang mereka lakukan untuk lingkungan. Istilah-istilah seperti hijrah, amanah, istikamah, sedekah, dan fitrah tidak hanya menjadi jargon, tetapi juga menjadi pijakan spiritual yang memperkuat komitmen mereka. Dengan memaknai ulang peran mereka dalam rumah tangga dan masyarakat, ibu-ibu ini menunjukkan bahwa setiap langkah kecil dalam pengelolaan sampah dan praktik berkelanjutan dapat menjadi bagian dari perjalanan spiritual yang lebih besar. Mereka membuktikan bahwa perubahan signifikan bisa dimulai dari hal-hal kecil di rumah, dengan semangat dan makna yang diambil dari keyakinan agama mereka.
______________________
Nanda Tsani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Nanda lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: Warta Jogja (2021).
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 12 tentang Konsumi dan Produksi yang Bertanggung Jawab; dan 13 tentang Perubahan Penanganan Iklim.