Interseksionalitas Akbattasa Jera dalam Masyarakat Ammatoa
Zulfikarni Bakri – 03 Mei 2024
Pemakaman di Dusun Benteng, Tanah Toa, Kajang penuh dengan susunan daun sirih, pinang, dan tembakau, serta beberapa bambu muda berisi tuak. Perempuan maupun laki-laki berpakaian serba hitam saling bertegur sapa bersama sanak keluarga yang baru pulang ke kampung halaman jelang lebaran. Pada 4 April 2024, tepat hari ke-23 Ramadan, masyarakat Ammatoa Kajang yang tinggal di Kawasan Adat Dalam dan Luar melakukan tradisi akbattasa jera.
Akbattasa jera berarti ‘membersihkan makam’ (Maarif, 2012). Ritual ini dilakukan sekali dalam satu tahun seminggu menjelang lebaran. Menurut Ammatoa (pemangku adat tertinggi), akbattasa jera ini ada dua macam yaitu akbattasa jera di hutan keramat dan akbattasa jera ke semua pemakaman di kawasan Kajang. Pada hari ke-22 Ramadan, Ammatoa bersama beberapa orang kepercayaannya terlebih dahulu mengunjungi makam di Jera Tunggala yang berada dalam hutan karrasayya (hutan keramat). Bagi masyarakat Ammatoa, kuburan ini tidak hanya menjadi simbol makam manusia pertama (Ammatoa pertama), tetapi juga situs peninggalan leluhur dari berbagai macam ras di bumi sekaligus merupakan tempat manusia pertama kali bermukim. Tidak semua orang dapat mengikuti ziarah ke area hutan adat ini. Di samping Ammatoa, hanya orang-orang tua dengan ilmu spiritual tinggi yang dapat turut serta dalam ritual tersebut. Akbattasa jera di Jera Tunggala ini membuka semua aktivitas ziarah makam di hari-hari selanjutnya oleh masyarakat Ammatoa Kajang. Ritual tersebut kemudian disusul dengan baca doang (membaca doa) di rumah masing-masing.
Titik Temu Batasan Dalam dan Luar
Dalam praktik kehidupan sehari-hari, masyarakat Ammatoa Kajang dibagi secara teritori yakni Kajang Dalam dan Luar. Wilayah Kajang secara geografis terletak di Desa Tanatoa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Namun, dari 9 dusun yang ada di Desa Tanatoa, hanya 7 dusun yang masuk ke dalam kawasan adat Kajang Dalam yakni Dusun Sobbu, Benteng, Pangi, Bongkina, Tombolo, Lurayya, dan Balambina. Masyarakat adat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam harus mematuhi aturan tertentu seperti berpakaian serba hitam, tanpa menggunakan sandal, menerapkan tallasa kamse-mase (hidup sederhana), dan konsisten mempraktikkan ajaran leluhur berdasarkan Pasang ri Kajang (tradisi oral). Sementara, kendati masih tergolong sebagai warga Ammatoa, praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Kajang Luar lebih beragam. Beberapa ada yang menekuni tradisi leluhur dan beberapa yang lain sudah melepaskan diri dari tradisi tersebut. Instalasi listrik dan jalan aspal boleh dibangun di kawasan Kajang Luar, tetapi tidak di Kajang Dalam.
Kendati memiliki kompleksitas identitas dan praktik keagamaan berbeda, keduanya memiliki relasi yang erat dan menyatu. Salah satunya tecermin pada kegiatan akbattasa jera. Tradisi ini menjadi momentum bagi masyarakat Kajang Dalam maupun Luar untuk menjaga kekerabatan keluarga. Dalam kepercayaan masyarakat Ammatoa, leluhur ataupun keluarga yang sudah meninggal akan datang ke makam mereka saat akbattasa jera dan melihat keluarga yang mengunjunginya (Maarif, 2012). Oleh karena itu, akbattasa jera bukan sekadar kegiatan bersih-bersih makam, melainkan juga ruang untuk saling bertemu dan melepas rindu.
Berbeda dengan tradisi ziarah makam di Jawa dan beberapa tempat lain pada umumnya, tidak ada bunga yang ditabur di atas makam. Para perempuan berbondong-bondong menuju makam sembari menjunjung bakul lontar di atas kepala. Bakul tersebut berisi alat untuk membersihkan makam dan beberapa pakbua seperti daun pisang, kapur yang dibungkus daun sirih, belahan pinang, dan tembakau. Daun pisang itu nantinya akan diletakkan di atas tanah makam sebagai alas dari pakbua. Di samping itu, masyarakat juga membawa hal-hal yang digemari oleh mendiang semasa hidup seperti rokok batang dan tuak.
Setelah mengunjungi makam, ritual dilanjutkan dengan baca doang (doa atau mantra) untuk mendiang yang diziarahi. Pada ritual ini, beraneka makanan disuguhkan. Seorang Guru—sebutan untuk seseorang yang memiliki ilmu spiritual terkait hubungan manusia dan leluhur—akan membacakan doa. Masyarakat Ammatoa percaya, suguhan makanan tersebut akan sampai ke tempat peristirahatan leluhur. Sehingga menjadi suatu kebiasaan, keluarga akan menyajikan makanan-makanan yang disenangi oleh leluhur.
Kendati demikian, masyarakat umum kerap menganggap rangkaian ritual tersebut sebagai praktik animisme. Ketika berkunjung ke rumah Ammatoa, sang tetua adat sempat bercerita bahwa ada seseorang telah melaporkan praktik puasa dan akbattasa jera ke salah satu pemangku agama dengan tuduhan syirik dan sesat. Padahal, masyarakat Ammatoa Kajang memiliki pemaknaan yang berbeda terkait puasa atau praktik ritual keagamaan yang mereka jalani (Maarif, 2012). Masyarakat Ammatoa mengenal pasang (tradisi oral) yang berbunyi je’ne talluka sambayang tala tappu (wudu yang tak pernah batal, sembahyang yang tidak pernah putus). Tradisi oral tersebut menjadi pedoman hidup dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Dengan kata lain, nilai-nilai religiusitas sudah melekat dalam diri dan keseharian masyarakat.
Saat akbattasa jera, tak jarang terlihat beberapa orang sibuk memotong semak belukar untuk mencari makam. Mereka biasanya akan bertanya kepada yang lain letak kuburan sanak keluarga. Jika melihat makam yang tidak terdapat pakbua di atasnya, kalimat kerap yang terlontar ialah, “kasihan, ini kuburan siapa?” atau “di mana keluarganya?” Ungkapan tersebut merupakan bentuk keprihatinan sekaligus kesedihan seakan pemilik kuburan tidak mendapatkan kasih sayang atau ditelantarkan keluarganya. Bagi masyarakat Ammatoa, arwah leluhur masih dapat berinteraksi dengan keluarga, bahkan mampu menegur selayaknya masih hidup. Tradisi akbattasa jera menekankan sebuah ikatan antara yang hidup dan yang mati tidak dapat terpisahkan dan senantiasa saling mempengaruhi.
Interseksionalitas: Titik Temu yang Berlapis
Praktik akbattasa jera menunjukkan bahwa identitas masyarakat adat merupakan sesuatu yang kompleks dan berlapis. Dengan kata lain, ragam lapis identitas masyarakat adat tidak harus dipahami sebagai bertentangan (mutually exclusive). Misalnya, masyarakat Ammatoa mengklaim diri mereka sebagai pelaku sallang, sebuah praktik asketisme sebagai negosiasi ajaran patuntung (kepercayaan leluhur) dan Islam (Takbir, 2022). Berdasarkan teori hibriditas Homi Baba, sallang merupakan sebuah kepercayaan yang berada di tengah-tengah ajaran Islam dan Patuntung. Negosiasi ajaran tersebut tidak datang begitu saja, tetapi merupakan hasil dinamika panjang yang melewati tiga fase sejarah yakni masa kerajaan, era kolonial belanda, dan Indonesia modern. Negosiasi itulah yang membentuk masyarakat Ammatoa hari ini, masyarakat yang mempertahankan ajaran leluhur dan—pada saat yang sama—mempraktikkan nilai-nilai Islam dalam Pasang ri Kajang dan doa. Dengan kata lain, masyarakat Ammatoa ialah seorang muslim sekaligus patuntung.
Senada, Kimberlé Crenshaw melihat keberlapisan identitas dalam masyarakat tersebut sebagai interseksionalitas (Crenshaw, 1989). Interseksionalitas merupakan sebuah kerangka analisis yang melihat bahwa identitas seseorang/kelompok tidak pernah tunggal atau senantiasa berlapis. Oleh karenanya, ia rentan terhadap diskriminasi yang berlapis pula. Berangkat dari kerangka tersebut, konsep interseksionalitas juga dapat kita gunakan untuk memahami kompleksitas dari praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Ammatoa, misalnya untuk melihat relasi antara masyarakat Kajang Dalam dan Kajang Luar.
Dalam konteks ini, tradisi akbattasa jera merupakan ruang interseksionalitas atau titik temu antara masyarakat Kajang Dalam dan Luar. Berbagai perbedaan dari ajaran dan kehidupan sehari-hari pada akhirnya menjadi saling terbuka dan berbaur satu sama lain dalam ritual akbattasa jera. Masyarakat Kajang luar yang melakukan tradisi ini tetap mengikuti praktik kehidupan masyarakat Kajang Dalam seperti mengenakan pakaian hitam, menggunakan sarung, dan tanpa alas kaki. Mereka juga membawa pakbuah ke makam. Akan tetapi, saat akbattasa jera juga terjadi interaksi timbal balik. Masyarakat Kajang Luar boleh menggunakan teknologi seperti telepon seluler di wilayah Kajang Dalam khusus pada hari tersebut. Pada waktu yang bersamaan, ekspresi keagamaan dan identitas masyarakat Kajang Dalam dan Luar bisa saling menyatu.
______________________
Zulfikarni Bakri adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Nenni lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh.
Suku kajang dengan segala keunikannya memang selalu jadi topik menarik untuk dibahas. Kesederhanaan yg direpresentasikan dalam kehidupan warganya sehari hari membuat orang-orang awam akan selalu tertarik dengan suku ini. Salah satu contoh ialah proses membersihkan makam setiap menjelang lebaran, tradisi ini dimaksudkan untuk mengenang arwah para leluhur mereka, selain itu menjadi tempat silaturahmi bagi warga kajang dalam dan kajang luar yg boleh jdi mereka jarang bertemu satu sama lain. Dari satu topik ini kita bisa belajar betapa orang kajang msih menjaga dengan baik hubungan sesama manusia selain menjaga lingkungannya dimana mereka bermukim setiap hari. 😇🙏