Konversi Agama dalam Tarik Ulur Universalitas dan Relativitas HAM
Vikry Reinaldo Paais – 25 Oktober 2022
Praktik konversi agama atau berpindah agama cenderung menjadi isu sensasional dan hangat diperbincangkan. Fenomena ini terjadi di setiap kalangan, entah itu figur publik—seperti para artis dan elite politik, masyarakat awam, terlebih lagi jika dilakukan oleh petinggi agama. Tak pelak, isu konversi agama menuai pro dan kontra. Beberapa mendukungnya atas nama hak asasi manusia (HAM). Ada pula yang menampiknya atas dalil ketidaktaatan dan pembangkangan terhadap ajaran agama. Padahal, tak bisa dimungkiri, konversi agama akan selalu ada sepanjang agama-agama itu eksis.
Dalam negara yang identitas agamanya majemuk, seperti Indonesia, konversi agama adalah konsekuensi dari realitas keberagaman. Relasi sosial atau perjumpaan lintas agama akan berpengaruh pada konversi agama. Entah itu terjadi karena intervensi lewat proses-proses dakwah dan misionaris, desakan atau keterpaksaan—misalnya dalam pernikahan dan konversi paksa masyarakat adat, maupun sukarela. Terlebih lagi, praktik berpindah agama adalah bagian dari hak kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) yang dilegitimasi oleh Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Universalisme, KBB, dan Legalitas Konversi Agama
Kebebasan beragama atau berkeyakinan (yang sering disingkat dengan KBB) merupakan isu yang telah lama diperjuangkan. Pada tahun 1941, muncul gagasan four freedom atau ‘empat kebebasan’ yang dicetuskan oleh Presiden Amerika, Franklin D. Roosevelt, sebagai respons atas kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak-hak hidup manusia. Salah satu dari empat kebebasan itu adalah freedom of worship atau kebebasan beragama. Gagasan ini kemudian dilanjutkan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948, dan dijadikan sebagai salah satu instrumen penunjang HAM. Dengan demikian, UDHR memberi legitimasi terhadap KBB.
Yang menarik, ketika membahas KBB, UDHR juga secara gamblang menyinggung hak konversi agama, yaitu pada pasal 18:
“Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.”
UDHR menggunakan frasa to change dalam kalimat “freedom to change his religion or belief”. Klausul ini yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai “kebebasan berganti agama atau kepercayaan” dalam ratifikasi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Senada dengan UDHR, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), pasal 18, nomor 1, memberi legitimasi serupa:
“Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching.”
Dokumen ICCPR ini kemudian diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Meski telah meratifikasi kedua dokumen tersebut, praktik pindah agama di Indonesia tidak serta-merta diterima. Bahkan, pasal UUD 45 yang terkait langsung dengan KBB justru lahir dari paradigma untuk mencegah perpindahan agama dan tidak lepas dari politik agama (baca: Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia). Dalam sejarah perumusannya, bunyi pasal 29 Ayat 2 UUD 45 mulanya adalah, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk agama lain dan menjalankannya menurut kepercayaannya sendiri.” Rumusan ayat ini diusulkan Panitia Kerja BPUPKI sebagai upaya antisipasi terhadap pasal 29 ayat 1 yang kala itu masih mengadopsi secara utuh bunyi Piagam Jakarta. Bagi “kaum abangan”, rumusan ayat 1 itu sangat berpotensi melahirkan pemaksaan terhadap praktik keagamaan, alih-alih menjamin kebebasannya. Namun, “kaum santri” yang juga menjadi tim perumus UUD menilai rumusan pasal 29 ayat 2 tersebut cenderung melegalkan konversi agama. Akhirnya, rumusan bunyi pasal tersebut direformulasi menjadi: “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Rumusan pasal 29 ayat 2 inilah yang dipertahankan hingga sekarang. Dengan kata lain, secara politis, konversi agama tidak secara utuh direstui oleh pemerintah Indonesia.
Relativisme dan Klaim Kebenaran
Narasi kebebasan beragama atau berkeyakinan yang tertuang di atas kertas tidak serta-merta menjadi garansi atas kebebasan tersebut. Dalam konteks praktik konversi agama di Indonesia, dan juga banyak di negara lain, tantangan terhadap KBB salah satunya justru datang dari agama itu sendiri. Dalam tingkatan tertentu, setiap agama memiliki nilai-nilai otoritatif dan klaim-klaim atas kebenaran agama, misalnya memandang agama sendiri lebih baik ketimbang agama lain. Dengan konstruksi semacam ini, perpindahan agama dianggap sebagai pengingkaran atas kebenaran. Lantas, apakah ini artinya agama mengekang kebebasan beragama?
Untuk memahami relasi antara konversi dan klaim kebenaran, kita perlu membedakan dua model konversi: outward conversion (konversi keluar) dan inward conversion (konversi ke dalam) (Tylor, 1999). Konversi keluar artinya seseorang keluar atau berpindah dari agama yang ia anut sebelumnya. Menurut klaim agama asal yang ia tinggalkan, konversi keluar ini dianggap bertentangan dengan kebenaran agama atau ingkar—dalam bahasa teologis sering disebut “apostasi”. Meski “pembangkangan” dibenarkan atas dasar klaim kebenaran, John Kitsuse (1962), seperti dikutip oleh Cragun dan Hammer, menjelaskan bahwa tindakan yang dianggap sebagai “penyimpangan” itu merupakan sebuah konstruksi sosial. Dengan kata lain, penyimpangan adalah stigma yang dialamatkan kepada pelaku konversi keluar—misalnya dengan label murtad dalam Islam atau domba yang sesat/hilang dalam Kristen. Meski beberapa sarjana dan ulama muslim menunjukkan bahwa yang dimaksudkan murtad dalam Islam bukan berkaitan dengan konversi, melainkan desersi (Baca: Islam, Kebebasan Beragama, dan Hukuman Murtad), retorika dan interpretasi sosial masih saja mengikatnya dengan stigma konversi.
Pada sisi yang lain, praktik berpindah agama dianggap sebagai konversi ke dalam bagi agama yang menjadi tujuan. Bedanya, menurut klaim agama yang menjadi tujuan konversi, praktik yang sama ini dianggap sebagai jalan menuju “keselamatan”. Narasi ini lebih positif. Misalnya, subjek yang konversi ke Islam akan diklaim telah memperoleh hidayah, sementara dalam klaim Kristen akan dianggap telah menerima keselamatan dan pengampunan. Narasi-narasi tersebut berkembang dan berakar kuat dalam narasi sosial.
Kedua paradigma tersebut memang kontras. “Penyimpangan” bagi satu agama, merupakan “kebenaran” pada agama yang lain. Klaim kebenaran subjektif agama-agama akan membenarkan tindakan konversi ke dalam, tetapi menyalahkan konversi keluar. Ryan Cragun dan Joseph Hammer (2011) menjelaskan fenomena ini sebagai bagian dari hegemoni agama. Lebih lanjut, keduanya menggarisbawahi bahwa agama itu normatif dan tindakan yang mengancam kesetiaan beragama dianggap sebagai penyimpangan.
Bagi Tore Lindholm, klaim kebenaran ini merupakan salah satu dilema kebebasan beragama. Menurutnya, klaim kebenaran berkaitan dengan asumsi para penganut agama yang taat terhadap kebenaran, iman, dan/atau cara hidup tertentu yang merupakan jalan menuju kehidupan yang akan datang (Lindholm, 2010:13). Dengan kata lain, menurut para pemeluknya, agama adalah garansi menuju kehidupan selanjutnya. Klaim kebenaran ini tidak membutuhkan bukti logis. Paradigma agama sifatnya taken for granted, alias dipercaya tanpa perlu dipertanyakan. Ini bukan berarti mengajak masyarakat untuk meragukan agama dan kepercayaannya, melainkan menunjukkan bahwa narasi-narasi—atau yang diistilahkah Lindholm sebagai “asumsi”—seperti ini eksis dalam setiap agama.
Melampaui Relativisme
Pertanyaannya sekarang, apakah soal konversi agama ini berhenti pada legitimasi relativisme?
Jika ditelaah dari relativisme, problematika isu konversi ini akan berhenti pada kesimpulan bahwa tiap agama memiliki doktrin masing-masing yang secara tidak langsung melegitimasi penolakan terhadap konversi agama. Dalam analisis kultural, Xiaorong Li (2006) menjelaskan fenomena ini sebagai bagian dari normative cultural relativism. Artinya, standar moral benar tidaknya suatu norma/moral dinilai menurut standar dalam budayanya sendiri. Dengan kata lain, konversi akan dianggap salah karena standar moralnya adalah subjek agama. Padahal, konversi adalah nilai universal yang merupakan bagian dari HAM.
Mengacu pada UDHR dan ICCPR, hak untuk beragama atau pun berganti agama adalah hak yang asasi dan universal. Heiner Bielefeldt dan Michael Wiener dalam Religious Freedom Under Scrutiny (2020) menegaskan, “Hak universal berarti mengakui hak-hak dasar yang dimiliki manusia karena kemanusiaannya dan dengan demikian juga dimiliki oleh semua manusia secara setara.” Pernyataan ini menekankan bahwa KBB perlu menegaskan posisi individu sebagai subjek, sehingga yang dilindungi harusnya adalah individu, bukan agama. Interpretasi doktrin keagamaan yang menolak konversi cenderung berlindung di balik paradigma relativisme, bahkan menjadikannya legitimasi untuk menolak nilai-nilai universal. Dalam paradigma ini, posisi KBB dipersulit oleh agama itu sendiri, sebab yang diakui adalah agama, bukan manusianya.
Lebih lanjut, Arvind Sharma dalam Problematizing Religious Freedom (2011) menekankan bahwa hak untuk berganti agama merupakan salah satu komponen kunci dari KBB. Menurutnya, ada dua aspek penting terkait KBB dan konversi agama, yaitu (1) kebebasan untuk konversi agama dan (2) kebebasan untuk mempraktikkan agama lain tanpa konversi. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana menghormati dan melindungi manusia sebagai subjek konversi agama. Karenanya, justifikasi terhadap upaya-upaya tersebut juga harus melampaui tembok-tembok fundamentalisme (Lindholm, 2010).
Rekognisi manusia sebagai pemegang hak dan rekognisi terhadap martabat manusia merupakan hal penting yang menjiwai KBB. Karenanya, pendekatan HAM dan KBB harus dimulai dengan menghormati manusia atas dasar kemanusiaan, tanpa terkecuali. Sudah selayaknya KBB memiliki cakupan yang lebih luas, alih-alih terpaku pada definisi atas agama atau kepercayaan tertentu (Bielefeldt, 2013). Dengan demikian, idealnya, setiap individu berhak untuk memilih secara bebas agama yang dianutnya tanpa diintervensi oleh siapa pun, termasuk lembaga negara maupun lembaga agama itu sendiri.
______________________
Vikry Reinaldo Paais adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Vikry lainnya di sini.