• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • Mahkamah Konstitusi: Pengosongan Kolom Agama bagi Penghayat Kepercayaan Bertentangan dengan UUD 1945

Mahkamah Konstitusi: Pengosongan Kolom Agama bagi Penghayat Kepercayaan Bertentangan dengan UUD 1945

  • Berita, Headline, News
  • 7 November 2017, 16.25
  • Oleh:
  • 0

Redaksi | CRCS | Berita

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan mengenai pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan atau “penduduk yang agamanya belum diakui” di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Aturan pengosongan kolom agama itu terdapat dalam pasal 61 ayat (1) dan (2) serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU 24/2013 tentang Perubahan atas UU 23/2006.
Dalam amar putusannya, yang dibacakan di gedung MK, Jakarta Pusat, pada Selasa, 7 November 2017, MK menyatakan bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”.
MK juga menyatakan bahwa Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 61 ayat 2 berbunyi, “Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.“
Pasal 64 ayat 5 berbunyi, “Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”
Uji materi ini telah diajukan oleh para pemohon sejak September 2016 dan tercatat di MK dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016. Para pemohon ialah Nggay Mehang Tana (Marapu, Nusa Tenggara Timur), Pagar Demanra Sirait (Parmalim, Sumatera Utara), Arnol Purba (Ugamo Bangsa Batak, Sumatera Utara), dan Carlim (Sapto Darmo, Jawa Tengah).
Dampak yang diderita oleh para pemohon ini akibat aturan pengosongan kolom agama itu ialah pernikahan yang tak diakui, yang berakibat pula pada nasib akta kelahiran dan pendidikan agama anaknya; akses pekerjaan menyempit, tidak diterimanya lamaran pekerjaan untuk menjadi pegawai negeri atau polisi/tentara; kesulitan membuat KTP-el; stigma negatif dari masyarakat sekitar; hingga penolakan jenazah keluarga di pemakaman umum.
Dalam pengujian konstituonalitas pasal-pasal a quo, para pemohon merumuskan empat alasan, yaitu bahwa pasal-pasal a quo (1) bertentangan dengan prinsip negara hukum yang dijamin pasal 1 ayat (3) UUD 1945; (2) bertentangan dengan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin pasal 28D ayat (1) UUD 1945; (3) melanggar jaminan kesamaan warga negara di hadapan hukum yang dijamin pasal 27 ayat (1) UUD 1945; dan (4) bertentangan dengan hak bebas atas perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun yang dijamin pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
MK dalam amar putusannya mengabulkan seluruh permohonan dari para pemohon. Dengan demikian, para praktisi aliran kepercayaan atau “agama-agama leluhur” ke depan dapat mencantumkan nama kepercayaan/agamanya dalam kolom agama di KTP.
“Putusan MK itu adalah bentuk kemajuan demokrasi Indonesia yang penting, implementasi UUD ‘45 yang konsekuen, dan tentu saja menandakan perubahan pandangan negara, dari belum mengakui menjadi mengakui, terhadap eksistensi penganut agama leluhur,” demikian tanggapan Dr Samsul Maarif, dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Samsul Maarif adalah satu dari delapan ahli yang sebelumnya terlibat dalam proses uji materi pasal-pasal a quo. Sebelum ini, ia juga menerbitkan bukunya dalam topik yang terkait, dengan judul Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia (CRCS 2017).
“Rekognisi negara terhadap eksistensi penghayat sudah tegas,” lanjut Maarif menguraikan tanggapannya. “Pengakuan itu harus berdampak pada pelayanan negara terhadap hak-hak mereka yang setara dengan penganut agama-agama lain. Tetapi pelayanan ini harus dipantau. Saya kira, pelayanan sebagai bentuk implementasi putusan MK tetap akan memerlukan advokasi mulai dari sosialisasi hasil putusan baik kepada lembaga dan aparat negara terkait maupun kepada publik, hingga pada penyesuaian sistem administrasi negara terkait kepercayaan mulai dari pusat hingga daerah.”
“Saya masih melihat bahwa tantangan implementasi putusan masih akan didapatkan baik di lembaga dan aparat negara, terlebih di publik, di samping putusan ini mungkin dipolitisi lawan politik pemerintah sekarang,” pungkas Maarif.

Tags: judicial review kolom agama Mahkamah Konstitusi penghayat kepercayaan

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

When faith meets extraction, what or whose priorit When faith meets extraction, what or whose priority comes first: local communities, organizations, or the environment?

Both Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah have voiced their acceptance of mining concessions, each with their own set of carefully considered perspectives. But what lies beneath their words?  In this upcoming #wednesdayforum, @chitchatsalad will dive deep using critical discourse analysis to unravel the layers of these powerful statements. We'll explore how these two of the world’s largest Islamic mass organizations justify their positions and what it reveals about their goals, values, and the bigger narratives in play.

This is more than just a conversation about mining. Come and join #wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
J O G E D Kapan terakhir kali kamu menyapa teman d J O G E D
Kapan terakhir kali kamu menyapa teman dengan sebuah gestur tubuh, alih-alih meminjam seperangkat huruf dan emoji  dari balik layar? Tubuh kita menyimpan potensi ruang untuk berbicara satu sama lain, menggunakan perangkat bahasa yang sama-sama kita punya, saling menyelaraskan frekuensi melalui gerak. 

Simak artikel dari alexander GB pada seri amerta di web crcs ugm.
L I B A T Berbicara tentang kebebasan beragama ata L I B A T
Berbicara tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan itu tidak cukup hanya di kelas; ataupun sebaliknya, bertungkus lumus penuh di lapangan. Keduanya saling melengkapi. Mengalami sendiri membuat pengetahuan kita lebih masuk dan berkembang. Menarik diri dan berefleksi membuat pengetahuan itu mengendap dan matang. Melibatkan diri adalah kunci.

Simak laporan lengkap Fellowship KBB 2025 hanya di situs web crcs ugm.
The Ecumenical Patriarchate has quietly built a mi The Ecumenical Patriarchate has quietly built a mission in Indonesia, nurturing faith while navigating a tough reality. Inside, the community faces its own struggles. Outside, it confronts Indonesia’s rigid rules on “legal religions,” leaving them without full recognition. This research uncovers their journey. This is a story of resilience, challenge, and the ongoing question of what religious freedom really means in Indonesia.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY