• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Perspective
  • Memperluas Makna Pentakosta Melalui Unduh-Unduh

Memperluas Makna Pentakosta Melalui Unduh-Unduh

  • Perspective
  • 14 May 2024, 12.30
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Memperluas Makna Pentakosta Melalui Unduh-Unduh

Rezza Prasetyo Setiawan, Eikel Karunia Ginting – 14 Mei 2024

Ada banyak cara umat kristiani di Indonesia merayakan Pentakosta, hari ke-50 masa Paskah yang menjadi momen turunnya Roh Kudus, salah satunya dengan ritual unduh-unduh. Tradisi akulturasi umat Kristen yang tinggal di kawasan agraris ini biasanya dilaksanakan pada musim panen padi. Namun, Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) Bukit Hermon di Desa Kopeng, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, melaksanakan ritual unduh-unduh untuk menyambut momen Pentakosta. Keberadaan ritual unduh-unduh di desa ini sempat terhenti puluhan tahun karena anggapan sesat dari misi ajaran kristen yang menolak kebudayaan. Upaya revitalisasi pun muncul pada 2019 seiring dengan kondisi lingkungan desa yang semakin rusak.

Pentakostalisme dan Keterputusan

Bagi masyarakat Desa Kopeng yang mayoritas bermata pencarian petani, waktu tanam dan tuai merupakan momen-momen yang memiliki signifikansi mendalam. Oleh karena itu, sebelum masa tanam, mereka mengadakan pamongan, makan bersama di ladang sembari menghaturkan harapan agar proses tanam berjalan baik. Kegiatan pamongan ini dilakukan oleh masing-masing keluarga terlepas dari identitas agama mereka. Saat memasuki masa panen, warga kembali mengadakan syukuran, tak terkecuali warga yang tergabung dalam jemaat GKJTU Bukit Hermon. Sebagai ucapan syukur, Jemaat GKJTU Bukit Hermon mengadakan ritual unduh-unduh. Mereka berkumpul di gereja sembari membawa hasil panen seperti padi, jagung, dan sayuran. Oleh karena itu, hari raya panen ini menjadi bagian dari siklus kehidupan mereka sebagai petani dan jemaat.

Namun, sekitar tahun 1996 hingga 2000, pengaruh gereja-gereja Kristen beraliran Pentakosta-Karismatik (selanjutnya disebut pentakostalisme) mulai menjamur di area sekitar Kopeng. Ajaran pentakostalisme menekankan pada kesalehan hidup pribadi yang menuntut jemaat untuk tekun melaksanakan hal-hal yang menumbuhkan iman serta menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang menghambat pertumbuhan imannya.

Tentu ajaran tersebut baik adanya. Namun, interpretasinya kadang problematis. Pentakostalisme, sebagai bagian dari gerakan Protestan, memang diterjemahkan secara beragam oleh umatnya. Salah satu interpretasi pentakostalisme menolak dan menganggap tradisi lokal sebagai praktik yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan Alkitab dan tradisi Kristen. Dalam pola pikir yang demikian, Tuhan diyakini tidak hadir dalam praktik-praktik seperti unduh-unduh ini; melakukannya berarti sesat. Alhasil, warga GKJTU Bukit Hermon tidak lagi melakukan unduh-unduh. 

Dalam relasi terkait gereja dan kebudayaan, Richard Niebuhr (1956) menggarisbawahi setidaknya terdapat lima sikap gereja yang menunjukkan garis demarkasi antara kekristenan dan kebudayaan yaitu (1) Kristus lawan kebudayaan adalah sikap menolak tegas budaya karena di luar Kristus tidak ada keselamatan; (2) Kristus beranjak dari kebudayaan meyakini Kristus dapat dipahami melalui kebudayaan karena Kristus berasal dari budaya; (3) Kristus di atas kebudayaan meyakini Kristus menciptakan kebudayaan maka Kristus  berada di atas budaya; (4) Kristus dan budaya adalah paradoks karena budaya dianggap berdosa, tetapi diyakini sebagai ciptaan Yang Ilahi; (5) Kristus pengubah kebudayaan karena kehadiran Kristus mengubah dan memperbaharui kebudayaan sehingga memberi arah baru bagi budaya tersebut. Senada, Stephen B. Bevans (2004) mengelaborasi lebih jauh dengan menunjukkan enam cara kekristenan mewujud di masyarakat, salah satunya ialah model kontrakultural yang mendorong perubahan pada budaya lokal agar disesuaikan dengan pesan-pesan kekristenan. Kedua pandangan tersebut berhulu pada kerangka teologis yang memisahkan antara yang sakral dan profan.  

Dari titik berangkat tersebut, kita dapat melihat bahwa penafsiran pentakostalisme yang menolak unsur tradisional Jawa dalam unduh-unduh itu sedang terjebak pada model kontrakultural. Dalam model ini, Allah dianggap hanya berada di dalam ritual keagamaan, terlepas dari konteks tempat nilai keagamaan tersebut berkembang. Pentakostalisme kontrakultural ini melihat pencampuran antara budaya Kristen dan Jawa sebagai dosa dan tidak pantas.

Lebih lagi, imajinasi perbedaan antara agama dan adat itu sendiri juga sudah bermasalah. Praktik Kristen yang benar, menurut penafsiran pentakostalisme yang terjebak dalam politik imajinasi keterpisahan ini, harus menjauhi praktik-praktik adat karena tidak berasal dari ajaran Tuhan yang bersumber pada Alkitab. Padahal, jas atau toga yang dipakai untuk khotbah sebenarnya adat juga: pakaian adat Eropa.

Penafsiran pentakostalisme yang menolak budaya ini akhirnya berdampak pada keterputusan nyata antara manusia dan tanahnya. Keterputusan manusia dan tanah ini mewujud paling sedikit dalam tiga aspek: sosial, ekonomi, dan ekologi. Secara sosial dan ekonomi, ketika ritual-ritual yang memupuk rasa hormat warga terhadap tanah ditinggalkan, tanah hanya dianggap sebagai komoditas ekonomi. Banyak warga menjual kepemilikan tanahnya pada para pemilik modal untuk mendapat cuan. Ladang dan sawah yang memberi penghidupan warga kemudian berganti dengan hotel dan vila yang tak jarang menjadi tempat prostitusi ilegal. Beberapa tanah yang lain oleh para investor disulap menjadi bukit doa dan agrowisata. Warga yang kehilangan tanah di daerahnya sendiri sebagian menjadi karyawan lepas di tempat-tempat tersebut.

Dengan demikian, keterputusan manusia dengan tanahnya dalam aspek sosial dan ekonomi melahirkan masalah sosial baru dan ketergantungan warga pada pemilik modal. Celakanya lagi, menurut Pendeta GKJTU Bukit Hermon, alih lahan dari sawah menjadi tempat-tempat wisata tersebut juga berdampak terhadap lingkungan tempat tinggal warga. Curah hujan yang tinggi dan penyerapan air yang berkurang menjadi sumber banjir bagi desa di sekitarnya. Dalam paradigma keterputusan ini, pentakostalisme menghadirkan keputusasaan bagi masyarakat Desa Kopeng.

Pentakosta dan Pemulihan

Merespons kegelisahan tersebut, pada tahun 2019 jemaat GKJTU Bukit Hermon mengadakan kembali perayaan unduh-unduh di gereja. Perayaannya diadakan bersamaan dengan hari raya Pentakosta. Jika sebelum 1996, persembahan hasil pertanian berupa bahan makanan pokok, kali ini yang menjadi persembahan ialah bunga-bunga. Perubahan ini seiring dengan program pemerintah yang menjadikan daerah Kopeng sebagai agrowisata tanaman hias. Di samping itu, ada juga jemaat yang membawa persembahan dalam bentuk uang.

Ritual unduh-unduh, sebagai respons terhadap kondisi alam sekitar, bersesuaian dengan kisah penciptaan manusia dari tanah di Alkitab. Keberasalan manusia dari tanah justru menunjukkan ketidakterpisahan manusia dan tanah. Imajinasi keterputusan yang bermasalah tadi bukannya alkitabiah, melainkan justru sedang mengabaikan signifikansi teologis hubungan manusia dengan tanah.

Lebih lagi, peristiwa Pentakosta dalam tradisi Kristen bertepatan juga dengan Shavu’ot, hari raya panen dalam tradisi Yahudi. Asosiasi antara Pentakosta dan hari raya panen memang tidak lagi populer di kalangan pentakostalisme kontrakultural. Padahal, jika turunnya Roh Kudus dimaknai bersama dengan hari raya panen, Pentakosta menjadi momen perjumpaan antara Sang Ilahi dan manusia yang diciptakan dari tanah dan hidup dari hasil tanah itu. Dengan kata lain, Pentakosta, Shavu’ot, maupun unduh-unduh merupakan ragam manifestasi kreatif kehadiran Yang Ilahi itu, yang tidak dapat dibatasi oleh logika-logika keterputusan rekaan manusia. 

Banyak akademisi dan rohaniwan—di antaranya ialah  Lynn White (1967), Carolyn Merchant (1990), dan Van Wieren (2018)—yang telah menggarisbawahi kerusakan yang muncul dari tradisi-tradisi agama abrahamik, termasuk Kristen. Perayaan unduh-unduh ini membuktikan bahwa ketika tradisi keagamaan mampu berjalin dengan konteks kemasyarakatan yang mengelilinginya, ia tidak lagi menjadi sumber permasalahan dan justru menjadi bagian dari solusi. Fleksibilitas yang kontekstual akan membedakannya dari logika keterputusan itu.

Bersama dengan perayaan unduh-unduh, pemaknaan hari raya Pentakosta pun meluas. Pentakosta tidak lagi dimaknai sebatas perayaan turunnya Roh Kudus, tetapi panggilan untuk berpartisipasi aktif dalam menghadapi permasalahan konkret masyarakat. Dengan kata lain, Pentakosta juga merupakan hari raya pemulihan.

______________________

Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Eikel Karunia Ginting adalah Magister Kajian Konflik dan Perdamaian, Fakultas Teologi, UKDW, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini dokumentasi Wiwid Widyaswoko (2023).

Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor  13 tentang Penanganan Perubahan Iklim.

Tags: eikel ginting Ekologi pentakosta rezza prasetyo setiawan

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju