Menafsir Queer, Membuka Dialog Antaragama
Bibi Suprianto – 12 April 2023
Identitas queer di masyarakat terus mengalami dinamika sosial. Sebagian besar masyarakat masih menstigma identitas queer sebagai aneh dan tidak normal. Di saat yang sama, kelompok yang mengaku sebagai queer terus mengalami diskriminasi moral, sosial, maupun aktivitas keagamaan. Dinamika sosial ini telah terjadi di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Aceh, Indonesia, misalnya. Pada 2017, pasangan queer di Kota Banda Aceh menjalani eksekusi berupa hukuman cambuk karena dianggap tidak bermoral dan hina. Kejadian ini membuat saya bertanya, apakah identitas queer tidak memiliki kebebasan dalam hak kehidupan sosial dan agama?
Padahal, masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai queer adalah juga manusia yang berhak untuk hidup dan memilih kehidupan. Beberapa komunitas queer terus berupaya memperjuangkan keadilan sosial dan hak beragama mereka serta, di saat yang sama, mengusahakan penyembuhan trauma pascakekerasan dan penganiayaan yang terjadi pada mereka. Salah satunya melalui dialog antaragama. Dialog antaragama ini tidak hanya mempromosikan interaksi damai di antara komunitas-komunitas yang berbeda keyakinan, tetapi juga memberi ruang dalam diskursus dan praktik kebebasan hak beragama atau berkeyakinan bagi komunitas queer. Inilah yang menjadi salah satu bahasan Wednesday Forum bertajuk “Queering Interfaith Dialogue in Indonesia: Reimagining Inclusive Theology toward Diverse Faiths, Genders, and Sexualities” oleh Amar Alfikar, direktur IQAMAH (Indonesian Queer Muslim and Allies) pada 29 Maret 2023.
Merumuskan Queer Theology
Queer merupakan sebutan bagi identitas dan orientasi seksual yang tidak selaras dengan doktrin heteronormativas—sebuah paham atau keyakinan yang menganggap bahwa setiap manusia pasti heteroseksual. Bagi queer, setiap orang memiliki ketertarikan seksual dan romantik yang tidak terkotakkan oleh identitas kelamin secara biologis. Dengan kata lain, alih-alih hanya mengenal dikotomi gender lelaki dan perempuan, spektrum gender seksualitas queer begitu luas dan beragam.
Queer theology menawarkan paradigma baru untuk membongkar dominasi kekuasaan heteronormatif yang selama ini mengakar dan memberikan stigma terhadap non-heteronormatif. Paradigma ini menentang stigma partiarki dan berusaha merekontruksi otoritas tunggal patriarki dengan memberikan suara dan ruang kepada komunitas queer untuk memenuhi hak-hak sipil mereka, terutama dalam hal kebebasan beragama. Menurut Amar Alfikar, mereka yang mengaku sebagai queer juga berhak untuk berbicara soal spiritualitas, agama, dan kebebasan. Dalam perspektif queer theology, Tuhan telah menganugerahkan manusia keragaman dalam ekspresi gender, orientasi, dan karakter seksual kepada manusia. Tidak ada satu pun yang berhak mengklaim bahwa Tuhan dan ritual keagamaan hanya dimiliki oleh orang-orang heteronormatif. Peraturan keagamaan yang mendiskriminasikan pemeluknya sesungguhnya mengingkari fakta bahwa kedudukan setiap orang sama di hadapan Tuhan.
Lebih lanjut, queer theology tidak hanya berbicara tentang identitas gender atau orientasi seksual dalam konteks agama. Paradigma ini menekankan bahwa iman juga berbicara tentang solidaritas dalam mencapai kebebasan beragama dalam diri seseorang. Jika agama merupakan solusi bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat, empati dan welas asih itulah kendaraannya. Dalam konteks queer theology, penafsiran agama adalah soal mengartikulasikan ulang dunia dengan cara mengelaborasi topik-topik “sulit” untuk menciptakan ruang baru dalam mendialogkan dan meneologikan realitas. Konsep inilah yang menjadi landasan queer theology dalam aktivitas dialog antaragama.
Queer dan Ragam Aktivitas Dialog Antaragama
Dalam penelitiannya tentang queer dan dialog antaragama, Amar mengambil empat subjek penelitian. Pertama, Pesantren Al-Fatah. Pesantren yang didirikan oleh Shinta Ratih dan temannya pada tahun 2008 di Yogyakarta ini memberi ruang kepada para transpuan untuk beribadah dan memperdalam agama Islam. Amar menggarisbawahi, al-Fatah memasukkan gagasan dan pengalaman keragaman dan inklusi yang dialami santrinya ke dalam ruang multiagama secara umum, spasial, dan temporal di pesantren. Untuk membangun ruang perjumpaan antariman, Pesantren Al-Fatah juga menghadiri perayaan natal komunitas queer bersama aktivis transpuan lainnya. Peran aktif ini membuat Al-Fatah menjadi jangkar yang mengoneksikan tidak hanya komunitas queer, tetapi juga banyak organisasi dan komunitas lain yang sejalan dengan perjuangan mereka.
Komunitas kedua ialah Youth Interfaith Forum and Sexuality (YIFoS) dengan kegiatannya yang bernama Queer Camp, sebuah program pemuda lintas agama yang dapat memberikan pemahaman inklusif tentang seksualitas queer. Queer Camp mengundang komunitas queer dan para pemimpin agama untuk berdiskusi tentang diskriminasi yang menimpa queer, khususnya di bidang keagamaan. Di tengah diskriminasi yang terus dialami, Queer Camp memberikan pemahaman tentang sakralitas tubuh queer melalui kurikulum pendidikan sekaligus menyediakan narasi dan ruang aman bagi komunitas queer.
Subjek penelitian yang ketiga ialah Jakarta Theological Seminary Centre for Gender, Sexuality and Trauma Studies (JTSC/STFT). Institusi ini merupakan salah satu pionir yang membawa mata kuliah queer theology di kampus. Setiap tahun, di bawah kepemimpinan Stephen Suleeman, salah satu tokoh akademisi Kristen dalam wacana queer theology, JTSC menyelenggarakan seminar internasional di bidang gender, seksualitas, and queer theology. Sayangnya, konferensi ini tidak lagi diadakan sepeninggal Stephen Suleeman. Seminar ini menjadi ruang bagi aktivis berbagi keyakinan untuk berbicara tentang queer dan theology. Lebih lanjut, JTSC aktif berkolaborasi dengan aktivis muslim dan teolog agama lainnya untuk memperjuangkan kebutuhan interseksionalitas melalui dialog antaragama yang inklusif terhadap queer.
Keempat, Rainbow Sangha, komunitas yang bergerak di bidang praktik penyembuhan dan pelatihan spiritual. Komunitas ini tidak hanya aktif di Instagram, tetapi juga mengorganisasi praktik penyembuhan trauma bagi komunitas queer yang disebut “Night of Mindfulness”. Pada kegiatan tersebut, Praktik penyembuhan trauma ini mengisi ruang kosong yang sering dilupakan dalam aktivisme queer, padahal hampir setiap hari komunitas queer ini mendapat persekusi verbal maupun fisik yang menimbulkan trauma. Praktik penyembuhan trauma ini juga menggunakan agama sebagai medianya.
Dari keempat subjek penelitian itu, Amar menyimpulkan bahwa meski dianggap sebelah mata dan disingkirkan dari ruang spiritual dan religious, tubuh queer tetaplah memiliki otoritas dalam agama. Paradigma queer theology dalam dialog antaragama menjembatani ruang-ruang itu. Amar mencontohkan bagaimana komunitas queer diterima dengan baik pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-II. KUPI yang secara aktif menelurkan gagasan fatwa terkait perempuan di dunia memberikan ruang yang memberikan harapan dalam suara-suara kelompok yang tertindas. Ammar Alfikar mengatakan, selalu masih ada harapan saat kita menyadari bahwa dukungan datang dalam ruang agama. Yang perlu dilakukan adalah menemukan common ground ‘pijakan bersama’ dari komunitas keagamaan dengan semua perbedaan pendapat yang ada. Lebih lanjut, Amar juga menekankan, di tengah konservatisme masyarakat Indonesia, masih ada harapan tentang perkembangan diskursus queer theology. Ia menunjukkan setidaknya ada sembilan buku penting dari berbagai latar belakang keagamaan, dari agama dunia hingga agama leluhur, yang membahas tentang queer theology di Indonesia. Kesembilan buku tersebut di antaranya Seksualitas dan Agama: Dialog tentang Tubuh yang Terus Tumbuh (YIFoS, 2019), Menafsir LGBT dengan Alkitab (Pusat Kajian Gender dan Seksualitas, 2019), Queer Menafsir (Gading, 2023) Keberadaan produksi pengetahuan ini penting untuk membuka ruang lebih luas dan inklusif bagi komunitas-komunitas queer yang terdiskriminasi.
______________________
Bibi Suprianto adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Bibi lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini karya Umar Wicaksono (2019) diambil dari laman Vice.com