Menelusuri Kembali Jejak Marginalisasi Gender di Indonesia
Afkar Aristoteles Mukhaer – 07 Januari 2024
Perempuan dan lelaki memang memiliki tubuh biologis yang berbeda. Namun, perbedaan ini tidak serta-merta secara alamiah menggariskan peran dan ekspresi gendernya di kebudayaan masyarakat tertentu.
Banyak ahli sejarah dan antropolog berpendapat bahwa kebudayaan patriarki bermula sejak manusia masih dalam peradaban berburu dan meramu. Salah satu yang menonjol ialah antropolog Richard B. Lee dan Irven DeVore. Keduanya menginisiasi simposium internasional terkait fase peradaban manusia tersebut dan menghasilkan kumpulan esai berjudul Man the Hunter (1968). Di antara simpulannya, masyarakat peradaban berburu dan meramu menentukan peran gender berdasarkan fitur biologis laki-laki dan perempuan. Perempuan, pemilik rahim dan payudara, berperan menjaga keberlangsungan populasi komunitas dan mengurusi domestik. Sementara laki-laki, dengan fisik yang lebih sederhana dan berpenis, menjadi penyedia keberlangsungan komunitas.
Pandangan patriarki purba tersebut diperkuat oleh Brian Hayden (1981). Antropolog ini berpendapat peran gender terbentuk karena adaptasi dari ruang ekologis di sekitar masyarakat pemburu dan meramu. Karena fitur biologisnya, perempuan secara fisik tidak banyak bergerak dan kurang memiliki agresivitas. Penjelasan paleoantropologis ini seolah menjustifikasi manusia sebagai spesies yang secara alami membangun struktur sosial patriarki.
Sebagian besar narasi genealogi patriarki berawal dari peradaban Eropa, utamanya Yunani kuno dan Kekaisaran Romawi kuno. Jejak seperti cerita, mitologi, dan karya seni dari kedua peradaban tersebut sangat misoginis, mencitrakan kehidupan sosial pada masanya yang patriarkal.
Pandangan ini juga tertanam dalam gagasan filsuf besar seperti Plato dan Aristoteles. Plato, dalam Republik, percaya bahwa wanita punya fisik yang lebih lemah daripada pria kecuali menerima “pelatihan yang lebih setara”. Sementara Aristoteles, dalam Politik, memandang bahwa superioritas laki-laki atas wanita sebagai hal yang alamiah. Kendati terdapat perbedaan konteks dan pendapat mengenai pandangan gender dua filsuf besar tersebut, warisan mereka membentuk pandangan patriarki peradaban Barat.
Konstruksi Gender Liyan
Abigail Anderson, dkk. (2023) membantah genealogi yang memukul rata semua peradaban berbagi sejarah patriarki yang sama. Berdasarkan kajian dari pelbagai pustaka paleoantropologi, mereka mengungkap bahwa perempuan juga dengan sengaja melakukan perburuan dan berperang. Bentuk fisik tidak selalu identik dengan fungsi tertentu dan mungkin bisa dipandang secara berbeda. Perempuan dapat dianggap lebih fleksibel dalam strategi berburu dibandingkan laki-laki. Bangsa Viking kuno, misalnya, melibatkan perempuan dalam perang sebagai kesatria. Konsep kesatria Viking kuno ini terbalik dengan Sparta di Yunani kuno yang mengharuskan laki-laki berwatak keras sebagai bentuk maskulinitas—pandangan ini akhirnya dilanjutkan oleh Romawi kuno yang mendominasi kebudayaan Eropa.
Maskulinitas dan patriarki berkembang dengan menjadikan laki-laki sebagai gender dominan ketika kapitalisme—yang membutuhkan eksploitasi sumber daya manusia—muncul sebagai heteronormativitas Barat. Maria Lugones dalam The Coloniality of Gender (2008) menyebut konstruksi heteronormatif ini kemudian menyebarkan pengaruhnya melalui kolonialisme yang membawa benih supremasi kulit putih. Paradigma ini memandang ras nonputih sebagai kalangan inferior dan subjek eksploitasi. Pada akhirnya perempuan nonputih menjadi kalangan yang paling rendah dalam struktur masyarakat kolonial Barat yang dapat dieksploitasi untuk menunjang kebutuhan ekonomi sistem kapitalisme.
Hal ini pun berlanjut ketika kolonialisme menguasai Hindia Belanda. Belanda mengonstruksi tatanan masyarakat di negeri jajahannya berdasarkan ras dan relasi gender yang dibangun secara normatif.
Padahal, konstruksi gender masyarakat Asia Pasifik saat itu berbeda dengan Eropa. Lebih lanjut, Anderson dkk. (2023) menemukan bahwa masyarakat prasejarah Agta di Filipina melibatkan perempuan dalam perburuan dengan strategi yang lebih variasi ketimbang laki-laki. Temuannya pun memperluas cakrawala adanya cara pandang lain pembentukan identitas gender dalam peradaban prakolonial di belahan dunia lain.
Demikian halnya di pelbagai tempat di Indonesia. Misalnya, jika hari ini ulama Aceh menyatakan “haram” bagi perempuan memimpin dalam konteks Pilkada, nyatanya Aceh pernah memiliki sultanah (sultan perempuan) sejak periode Samudra Pasai yakni Ratu Nahrisyah, Safiatuddin, Naqiatuddin, Zaqiatuddin, dan Zainatuddin. Bahkan, Kesultanan Aceh pernah memiliki Malahayati, laksamana perempuan pertama dalam sejarah modern, yang mengalahkan pasukan Cornelis de Houtman. Selain Aceh, sultanah tercatat ada di kesultanan-kesultanan Indonesia lainnya seperti Sumbawa dan Bone.
Majapahit juga memiliki pelbagai sosok pemimpin perempuan seperti Gayatri, Tribhuwana Wijayatunggadewi, dan Dewi Suhita. Jauh sebelum Majapahit, Jawa juga mengenal Ratu Shima yang menjadi ratu nan adil di Kalingga abad ke-7. Peter Carey dan Vincent Houben dalam Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX (2016) menjelaskan bahwa perempuan-perempuan di Jawa berperan dalam bidang politik dan militer. Setelah Perang Jawa (1825-1830), tatanan politik Jawa runtuh berganti dengan sistem kolonial Pax Nederlandica dan berdampak pada konstruksi sosial masyarakat yang dimulai dari kalangan priyai.
Perempuan pribumi menjadi kelompok yang jauh lebih inferior dalam tatanan politik dan sosial. Banyak di antaranya menjadi gundik atau nyai yang tidak dilindungi dalam sistem hukum kolonial. Pada sektor perburuhan kolonial kapitalistik, perempuan berada dalam posisi paling rendah dengan melakukan pekerjaan ringan dan berupah rendah karena stereotipnya sebagai kaum yang lemah.
Selain kesetaraan, pelbagai masyarakat prakolonial di Asia Pasifik mengenali identitas gender nonbiner yang kemudian bergeser mengikuti konstruksi gender heteronormatif kolonial. Thailand, misalnya, sebagai satu-satunya negara yang tidak dikuasai kolonialisme fisik di Asia Tenggara, mengakui keragaman gender dan seksualitas warganya. Walau dalam sejarahnya mengadopsi pelbagai modernitas yang dibawa negara-negara Barat, negara ini mengakui adanya gender selain polaritas laki-laki dan perempuan, salah satunya katoey/kathoey (transpuan). Kategori identitas gender dalam budaya kewargaannya pun semakin kompleks dengan memasukkan orientasi seksual, seperti perempuan lesbian maskulin yang disebut sebagai tom.
Sebagai pelengkap, Kamboja—yang pernah berbagi sejarah dengan Thailand—secara tradisional memiliki konstruksi masyarakat beragam gender. Zhou Daguan, diplomat Kekaisaran Tiongkok periode Yuan-Mongol, sempat berkunjung ke Kekaisaran Khmer pada 1296-1297. Dalam catatan kunjungannya, ia mendapati bahwa “ada banyak orang berwujud dua [jenis kelamin] di negara ini”. Hal ini menandakan bahwa peradaban di Asia Tenggara sudah menyadari keragaman ekspresi gender, dibandingkan peradaban lain, termasuk peradaban Asia lainnya.
Antropolog Naruephon Duangwiset menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang membuat keragaman gender dan orientasi seksual dihargai di Thailand, yakni latar belakang sebagai negara tidak pernah dikolonisasi, agama, dan budaya. Buddha, sebagai agama yang dominan, tidak melarang keragaman gender dan seksualitas. Naruephon juga menjelaskan bahwa kebudayaan Thailand mengakui keragaman masyarakat dan perubahan yang didukung oleh keragaman budaya itu sendiri.
Beberapa wilayah di Indonesia juga memiliki keragaman gender nonbiner. Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan mengenal bissu, perpaduan pria dan wanita, yang berperan penting sebagai pemuka agama. Bissu tidak sama dengan transgender dalam biner gender Barat. Bissu merupakan ruang identitas kompleks sebagai spiritualitas yang memiliki gabungan elemen maskulin dan feminin dalam dirinya.
Masyarakat Bugis juga mengenal keragaman gender yang cair sebagai oronae (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (laki-laki seperti perempuan), dan calalai (perempuan seperti laki-laki). Masyarakat Toraja dan Kaili pun memiliki keragaman gender dan memiliki tokoh spiritual serupa bissu. Pada lingkup yang lebih luas, sesama masyarakat kebudayaan penutur bahasa Austronesia, masyarakat Samoa di Pasifik juga memiliki konstruksi gender serupa dengan fa’afafine dan fa’afatama yang berperan sebagai sumber pengajaran adat dan juru spiritual.
Singkatnya, tidak semua kebudayaan memiliki konstruksi gender patriarki dan heteronormatif. Lebih-lebih lagi, bahasa dalam kebudayaan Proto-Austronesia dan Proto-Malayo-Polynesian yang tinggal di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik tidak membedakan gender. Struktur bahasa mencerminkan paradigma kehidupan suatu peradaban masyarakat.
Namun, konstruksi heteronormatif kolonial kini mendominasi negeri-negeri tersebut. Salah satu penyebabnya ialah pergeseran tatanan tradisional menjadi kolonial yang diperkuat melalui sistem politik dan agama yang patriarkis. Dampaknya yang mengakar mengharuskan kita menarik kembali jangkar kolonialitas gender dan terjun menyelam ke dasar konstruksi gender yang telah kita punya untuk menuntun menuju kesetaraan.
Lantas, mengapa wacana gender yang kolonial tersebut terus kita warisi? Bagaimana agama berperan dalam merawat kolonialitas gender tersebut?
Baca artikel selanjutnya Interpretasi Agama dan Warisan yang Dirawat
______________________
Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: Kassian Cephas (domain publik)
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 5 tentang Kesetaraan Gender.