Meneroka Diplomasi Buddhis dalam Sejarah Asia Modern
Yulianti – 20 Agustus 2024
Dalam sejarah kolonialisme di Asia modern, jejaring dan aliansi tidak hanya terjadi melalui jaringan negara kolonial, tetapi juga aliansi kelompok masyarakat yang ada di dalamnya. Salah satu bentuk aliansi yang berperan penting dalam geopolitik tersebut ialah diplomasi buddhis.
Dinamika tersebut menjadi bahasan utama dalam panel “Friends in Dharma: Buddhist Diplomacy and Transregional Connection in Modern Asia”. Panel ini merupakan bagian dari kluster tema Inter Area/Border Crossing pada “AAS in ASIA Conference”di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia pada 9–11 Juli 2024. Mengambil latar belakang sejarah Asia modern, panel Buddhist Diplomacy ini memfokuskan kajian pada kiprah komunitas agama yang berasal dari kalangan yang berbeda-beda dalam membentuk jaringan, aliansi, dan kerja sama di Asia pada pertengahan abad ke-20 sampai ke-21. Jaringan dan hubungan-hubungan kelompok inilah yang kemudian dimaknai sebagai buddhist diplomacy (diplomasi buddhis) yang melibatkan individu, kelompok, dan negara-negara buddhis di Asia. Keberadaan diplomasi buddhis ini mempengaruhi hubungan transregional dan pertukaran budaya dari abad ke-20 hingga abad ke-21 di Asia.
David Geary dari British Columbia University, Kanada, mengawali presentasi dengan satu fokus peristiwa menarik dalam sejarah masyarakat Buddha di Asia yaitu Festival Buddha Jayanti yang diselenggarakan sekitar tahun 1955—1956. Menurut Geary, setelah Konferensi Bandung, heritage menjadi gagasan penting dalam pan-Asianisme dan agama Buddha menjadi aspek krusial dalam kerangka dekolonisasi dan transnasionalisme. Penyelenggaraan Festival Buddha Jayanti tahun 1955—1956 memiliki implikasi politik dengan keberadaan Buddha Jayanti Park sebagai warisan pusaka (heritage) di New Delhi, India, saat ini.
Selanjutnya, diskursus mengenai diplomasi buddhis dilanjutkan oleh Chung Chien-peng dari Lingnan University, Hongkong. Chien-peng menyoroti peran Tiongkok sebagai kekuatan baru dalam diplomasi buddhis pada masa kontemporer. Hal ini ditandai dengan peran Xi Jinping dalam mempromosikan Buddhisme yang dipandang seperti Bodhisattva oleh masyarakat Buddha Tiongkok. Bagi Chung Chien-peng, penting untuk melihat keterlibatan Xi dalam memberikan dukungan pada masyarakat Buddha di Cina melalui bantuan pembangunan vihara-vihara dan penyelenggaraan berbagai konferensi Buddha internasional. Diplomasi buddhis ini juga memberikan pengaruh terhadap pengambilan kebijakan dan hubungan diplomasi antarnegara.
Presentasi ketiga yang tidak kalah menariknya dipaparkan oleh Jack Meng-Tat Chia dari Departemen Sejarah, National University of Singapore, yang juga menjadi convenor panel. Ahli Buddhisme maritim ini menjelaskan keterlibatan Singapura dalam diplomasi Buddhis dengan masyarakat Buddha Theravāda Thailand. Dalam paparannya, Chia menyebutkan bahwa Singapura sering diabaikan dalam kajian studi tentang Buddhisme di Asia Tenggara karena dominasi Theravāda yang cukup kuat—utamanya di wilayah semenanjung atau daratan Asia Tenggara. Kendati demikian, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Singapura sering menggunakan Buddhisme dalam hubungan diplomasi dengan negara ASEAN yang mayoritas penduduknya Buddhis, terutama Thailand. Temuan yang juga cukup menarik dari paparan ini adalah tidak semua negara yang terlibat dalam diplomasi Buddha memiliki situs warisan atau akar sejarah panjang terkait Buddhisme sebagaimana negara-negara buddhis lainnya di daratan Asia Tenggara.
Paparan terakhir disajikan oleh Napakadol Kittisenee, kandidat doktor di Departemen Sejarah Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat—yang juga menjadi convenor panel. Kittisenee mengeksplorasi aliansi yang dibentuk oleh para bhikkhu, khususnya yang diklaim memiliki kekuatan supernatural/magis, dalam pemulihan hubungan antar-Asia pada masa prakolonial. Dalam temuan Kittisenee, para bhikkhu sakti tersebut secara signifikan berkontribusi pada nuansa dan praktik dekolonisasi di Asia Tenggara Daratan pada kisaran tahun 1940-an hingga 1950-an.
Panel ini menyajikan diskusi menarik dan segar dalam konteks kajian sejarah Buddhisme di Asia Tenggara yang diwarnai oleh dua kekuatan agama besar yang berbeda, yaitu Islam dan Buddha. Dalam perspektif kajian kawasan, panel ini memperlihatkan bahwa diplomasi buddhis memberikan nuansa baru dalam hubungan geopolitik di kawasan Asia—tidak hanya di kawasan Asia Timur, Asia Selatan dan daratan Asia Tenggara tetapi juga wilayah kepulauan Asia Tenggara. Kajian diplomasi buddhis ini juga menawarkan cara pandang baru dalam kajian agama Buddha di kawasan Asia Tenggara yang didominasi oleh kajian-kajian pada wilayah daratan dan Buddha Theravada. Di samping itu, kajian dalam panel ini bisa menjadi titik tolak untuk mengeksplorasi lebih lanjut berapa konsep penting lainnya yang menjadi elemen sentral pada konsep buddhist diplomacy pertengahan abad ke-20 hingga masa kontemporer seperti buddhist sites, heritage, dekolonialisasi, memory, people, dan mobility. Sebagai penutup, Anne Hansen, Ketua Departemen Sejarah di Universitas Wisconsin-Madison sekaligus ketua panel dan pembahas (discussant) panel ini, menggarisbawahi kembali diskusi tentang makna buddhist diplomacy itu sendiri: “What does buddhist diplomacy mean?” serta, “Sejauh mana negara memiliki keterlibatan dalam bentuk diplomasi Buddhis ini?”
______________________
Yulianti adalah Dosen di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, UGM. Baca tulisan Yulianti lainnya di sini.
Artikel ini diolah dari hasil keikutsertaan dalam diskusi panel “Friends in Dharma: Buddhist Diplomacy and Transregional Connections in Modern Asia” serta abstrak makalah dari para panelis. Terima kasih pada Jack Meng-Tat Chia.