• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • Meneroka Diplomasi Buddhis dalam Sejarah Asia Modern

Meneroka Diplomasi Buddhis dalam Sejarah Asia Modern

  • Berita, Berita, Event report, Laporan, News
  • 20 August 2024, 17.14
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Meneroka Diplomasi Buddhis dalam Sejarah Asia Modern

Yulianti – 20 Agustus 2024

Dalam sejarah kolonialisme di Asia modern, jejaring dan aliansi tidak hanya terjadi melalui jaringan negara kolonial, tetapi juga aliansi kelompok masyarakat yang ada di dalamnya. Salah satu bentuk aliansi yang berperan penting dalam geopolitik tersebut ialah diplomasi buddhis.

Dinamika tersebut menjadi bahasan utama dalam panel “Friends in Dharma: Buddhist Diplomacy and Transregional Connection in Modern Asia”. Panel ini merupakan bagian dari kluster tema Inter Area/Border Crossing pada “AAS in ASIA Conference”di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia  pada 9–11 Juli 2024. Mengambil latar belakang sejarah Asia modern,  panel Buddhist Diplomacy ini memfokuskan kajian pada kiprah komunitas agama yang berasal dari kalangan yang berbeda-beda dalam membentuk jaringan, aliansi, dan kerja sama di Asia pada pertengahan abad ke-20 sampai ke-21. Jaringan dan hubungan-hubungan kelompok inilah yang kemudian dimaknai sebagai buddhist diplomacy (diplomasi buddhis) yang melibatkan individu, kelompok, dan negara-negara buddhis di Asia. Keberadaan diplomasi buddhis ini mempengaruhi hubungan transregional dan pertukaran budaya dari abad ke-20 hingga abad ke-21 di Asia. 

David Geary dari British Columbia University, Kanada, mengawali presentasi dengan satu fokus peristiwa menarik dalam sejarah masyarakat Buddha di Asia yaitu Festival Buddha Jayanti yang diselenggarakan sekitar tahun 1955—1956. Menurut Geary, setelah Konferensi Bandung, heritage menjadi gagasan penting dalam pan-Asianisme dan agama Buddha menjadi aspek krusial dalam kerangka dekolonisasi dan transnasionalisme. Penyelenggaraan Festival Buddha Jayanti tahun 1955—1956 memiliki implikasi politik dengan keberadaan Buddha Jayanti Park sebagai warisan pusaka (heritage) di New Delhi,  India, saat ini. 

Selanjutnya, diskursus mengenai diplomasi buddhis  dilanjutkan oleh Chung Chien-peng dari Lingnan University, Hongkong. Chien-peng menyoroti peran Tiongkok sebagai kekuatan baru dalam diplomasi buddhis pada masa kontemporer. Hal ini ditandai dengan peran Xi Jinping dalam mempromosikan Buddhisme yang dipandang seperti Bodhisattva oleh masyarakat Buddha Tiongkok. Bagi Chung Chien-peng, penting  untuk melihat keterlibatan Xi dalam memberikan dukungan pada masyarakat Buddha di Cina melalui bantuan pembangunan vihara-vihara dan penyelenggaraan berbagai konferensi Buddha internasional. Diplomasi buddhis ini juga memberikan pengaruh terhadap pengambilan kebijakan dan hubungan diplomasi antarnegara.  

Presentasi ketiga yang tidak kalah menariknya dipaparkan oleh Jack Meng-Tat Chia dari Departemen Sejarah, National University of Singapore, yang juga menjadi convenor panel. Ahli Buddhisme maritim ini menjelaskan keterlibatan Singapura dalam diplomasi Buddhis dengan masyarakat Buddha Theravāda Thailand. Dalam paparannya, Chia menyebutkan bahwa Singapura sering diabaikan dalam kajian studi tentang Buddhisme di Asia Tenggara karena dominasi Theravāda yang cukup kuat—utamanya di wilayah semenanjung atau daratan Asia Tenggara. Kendati demikian, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Singapura sering menggunakan Buddhisme dalam hubungan diplomasi dengan negara ASEAN yang mayoritas penduduknya Buddhis, terutama Thailand. Temuan yang juga cukup menarik dari paparan ini adalah tidak semua negara yang terlibat dalam diplomasi Buddha memiliki situs warisan atau akar sejarah panjang terkait Buddhisme sebagaimana negara-negara buddhis lainnya di daratan Asia Tenggara.

Paparan terakhir disajikan oleh Napakadol Kittisenee, kandidat doktor di Departemen Sejarah Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat—yang juga menjadi convenor panel. Kittisenee mengeksplorasi aliansi yang dibentuk oleh  para bhikkhu, khususnya yang diklaim memiliki kekuatan supernatural/magis, dalam pemulihan hubungan antar-Asia pada masa prakolonial. Dalam temuan Kittisenee, para bhikkhu sakti tersebut secara signifikan berkontribusi pada nuansa dan praktik dekolonisasi di Asia Tenggara Daratan pada kisaran tahun 1940-an hingga 1950-an.

Dokumentasi dari Jack Meng-Tat Chia
Dokumentasi dari Jack Meng-Tat Chia

Panel ini menyajikan diskusi menarik dan segar dalam konteks kajian sejarah Buddhisme  di Asia Tenggara yang diwarnai oleh dua kekuatan agama besar yang berbeda, yaitu Islam dan Buddha. Dalam perspektif kajian kawasan, panel ini memperlihatkan bahwa diplomasi buddhis memberikan nuansa baru dalam hubungan geopolitik di kawasan  Asia—tidak hanya di kawasan Asia Timur, Asia Selatan dan daratan Asia Tenggara tetapi juga wilayah kepulauan Asia Tenggara. Kajian diplomasi buddhis ini  juga menawarkan cara pandang baru dalam kajian agama Buddha di kawasan Asia Tenggara yang didominasi oleh kajian-kajian pada wilayah daratan dan Buddha Theravada. Di samping itu, kajian dalam panel ini bisa menjadi titik tolak untuk mengeksplorasi lebih lanjut  berapa konsep penting lainnya yang menjadi  elemen sentral pada konsep buddhist diplomacy pertengahan abad ke-20 hingga masa kontemporer seperti buddhist sites, heritage, dekolonialisasi, memory, people, dan mobility. Sebagai penutup, Anne Hansen, Ketua Departemen Sejarah di Universitas Wisconsin-Madison sekaligus ketua panel dan pembahas (discussant) panel ini, menggarisbawahi kembali diskusi tentang makna buddhist diplomacy itu sendiri: “What does buddhist diplomacy mean?”  serta,  “Sejauh mana negara memiliki keterlibatan dalam bentuk diplomasi Buddhis ini?” 

______________________

Yulianti adalah Dosen di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, UGM. Baca tulisan Yulianti lainnya di sini.

Artikel ini diolah dari hasil keikutsertaan dalam diskusi panel “Friends in Dharma: Buddhist Diplomacy and Transregional Connections in Modern Asia” serta abstrak makalah dari para panelis. Terima kasih pada Jack Meng-Tat Chia.

Tags: Buddha buddhisme yulianti

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berb Setiap bahasa punya pendekatan dan penyebutan berbeda untuk menamai "pendidikan". Bahasa Arab membedakan antara tarbiyah, ta'lim, tadris, dan ta'dib ketika berbicara tentang "pendidikan". Sementara itu, bahasa Inggris memaknai "pendidikan" sebagai educare (latin) yang berarti 'membawa ke depan'. Jawa memaknai pendidikan sebagai panggulawênthah, 'sebuah upaya mengolah', dan upaya untuk mencari pendidikan itu disebut sebagai "ngelmu", bukan sekadar mencari melainkan juga mengalami. Apa pun pemaknaannya, hampir semua peradaban sepakat bahwa pendidikan adalah kunci untuk memanusiakan manusia.
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju