
Di mata pihak-pihak intoleran, teks-teks hukum “yang tidak jelas” dapat diterjemahkan secara intoleran juga.
Pemerintah dengan percaya diri menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang disahkan 2023 silam memberikan jaminan kehidupan beragama atau berkeyakinan (KBB) yang lebih baik. Pasal 300–305 KUHP 2023 yang bertajuk Tindak Pidana terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan secara khusus mengatur delik keagamaan. Namun, pasal-pasal tersebut rupanya berpotensi kuat menjadi “pasal karet” yang rentan untuk ditafsirkan menurut kepentingan pihak-pihak intoleran. Jika demikian, perlindungan terhadap masyarakat yang berasal dari kelompok-kelompok rentan keagamaan akan makin terciderai.
Untuk itu, kami telah mewawancarai Asfinawati, dosen hukum pidana di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, dan Nella Sumika Putri, dosen hukum pidana di Universitas Padjadjaran. Kedua akademisi tersebut berfokus pada isu-isu hak asasi manusia (HAM), termasuk dalam hal KBB di Indonesia. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua
seri tulisan terkait tilikan awal pasal-pasal terkait KBB dalam KUHP 2023.
Mengenal Pasal Karet
“Pasal karet ialah pasal-pasal yang memiliki unsur-unsur tidak jelas,” papar Asfinawati. Yang ia maksud dengan “unsur-unsur” ialah kata-kata yang digunakan dalam rumusan instrumen-instrumen hukum, termasuk dalam pasal-pasal di KUHP. Menurutnya, ketika sebuah pasal dalam KUHP memiliki unsur yang tidak jelas, aparat penegak hukum (APH) dapat menarik banyak penafsiran berbeda dari satu rumusan yang sama. Dalam konteks KBB, pasal-pasal karet seperti ini berpotensi untuk memidanakan praktik keagamaan sebuah kelompok masyarakat, walaupun sebenarnya perilaku tersebut merupakan bagian dari hak asasinya.
Asfin memberikan contoh definisi “pencurian” dalam KUHP 2023 , yaitu “Setiap Orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum ….” Rumusan ini merupakan sebuah contoh pasal yang baik dengan unsur-unsur yang jelas sehingga tidak menimbulkan banyak penafsiran. Sebagai kontras, pasal 300–305 dalam KUHP 2023 memiliki unsur yang tidak jelas sehingga berpotensi menimbulkan ragam penafsiran yang rawan dimanfaatkan oleh pihak-pihak intoleran. Nella menambahkan bahwa sebuah pasal dapat disebut sebagai pasal karet bukan hanya melalui prediksi teoretis, melainkan setelah melalui uji kasus. Ketika dalam implementasi lapangan hakim-hakim mengeluarkan putusan yang berbeda-beda dari pasal yang sama, maka pasal tersebut dapat dinilai sebagai pasal karet. Dalam penelusuran singkat pasal demi pasal bersama Asfin, kami menemukan ada beberapa unsur yang tidak jelas dalam rumusan pasal-pasal 300–305 KUHP 2023.
Lenturnya Frasa “Agama”
Sejak bagian awal, judul Bab VII yang memayungi pasal 300–305, yakni “Tindak Pidana terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan,” sudah bermasalah. Judul ini secara tersurat menyatakan bahwa agama dapat menjadi objek tindakan pidana. Padahal, agama tidak memiliki wujud sehingga tidak dapat menjadi objek tindakan pidana. Kerumpangan ini makin nyata terlihat dalam perumusan Pasal 300 yang menyatakan,
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; menyatakan kebencian atau permusuhan; atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama (red.) … “.
Pasal ini menunjukkan bahwa agama dapat menjadi objek permusuhan, kekerasan, dan diskriminasi. Dengan kata lain, yang sebenarnya dilindungi oleh undang-undang ialah agama itu sendiri, yang tidak memiliki wujud dan tidak dapat menjadi objek hukum mandiri. Padahal, oranglah yang dapat menjadi objek permusuhan, kekerasan, dan diskriminasi. Jika agama dianggap sebagai objek tindakan pidana, bagaimana caranya membuktikan seseorang yang melakukan kekerasan terhadap agama?
Permasalahan ketidakjelasan unsur “agama” ini kemudian berdampak juga pada Pasal 301 yang merupakan pengkhususan dari Pasal 300 dalam media elektronik. Menurut Asfin, rekan-rekan jurnalis keberatan dengan adanya sorotan khusus dalam kata “menyiarkan” pada Pasal 301 ayat 1 dan kata “profesi” pada ayat 2. Salah satu tugas jurnalis ialah menyiarkan berita ke publik yang juga berfungsi sebagai pengawas jalannya proses bernegara. Bersama dengan unsur “agama” yang tidak jelas di Pasal 300, penafsiran terhadap pasal 301 yang abai terhadap asas-asas HAM berpotensi untuk mengkriminalisasi para jurnalis ketika mereka menjalankan tugas dan fungsinya.
Masih dalam ayat yang sama, Asfin juga menyoroti frasa “dengan maksud” dalam Pasal 301 ayat 1 harus mendapatkan perhatian khusus oleh para aparat penegak hukum. Frasa “dengan maksud” perlu dipahami sebagai pagar yang membatasi. Penyiaran informasi yang dimaksudkan dalam pasal ini merupakan sebuah penyiaran yang dilakukan dengan sengaja dengan tujuan menghasut terjadinya kekerasan atau diskriminasi sebagaimana yang dimaksudkan pada Pasal 300. Dengan begitu, orang-orang yang tidak memiliki maksud demikian tidak dapat dijerat dengan Pasal 301 ini. Dengan posisi pasal-pasal ini sebagai delik biasa, maka diperlukan ambang batas yang tinggi agar pasal-pasal tersebut tidak dipergunakan secara sembarangan.
Bias dan “Noda” Kehidupan Beragama
Pasal 302 mengatur tentang penghasutan untuk menjadi “tidak beragama atau berkepercayaan.” Ada beberapa hal yang menjadi catatan. Pertama, Asfin menggarisbawahi bahwa jika ada larangan untuk menghasut orang untuk menjadi tidak beragama, mengapa tidak ada larangan untuk menghasut orang untuk menjadi beragama? Menurut Asfin, pasal ini sebenarnya sedang meneruskan sebuah pandangan salah kaprah tentang hidup keberagamaan kita di Indonesia. “Seseorang menganggap ‘beragama’ bukan sebagai sebuah hak, melainkan sebagai kewajiban,” jelasnya.
Dengan demikian, Pasal 302 menempatkan hasutan untuk menjadi tidak beragama atau berkeyakinan menjadi seperti sebuah pelanggaran berat. Padahal, UUD 1945 telah menempatkan “beragama atau berkepercayaan” sebagai hak yang perlu dilindungi, bukan kewajiban yang harus dipenuhi. Asfin juga menekankan, kata “hasutan” merujuk pada perbuatan yang dilakukan secara berulang, bukan sesuatu yang dilakukan satu kali saja. Oleh karena itu, perhatian khusus pada frasa “dengan maksud” itu menjadi penting. Sebuah tindakan yang dapat dijerat
dengan pasal 302 harus dapat dibuktikan bahwa ia dimaksudkan untuk menghasut seseorang (secara berulang) untuk menjadi tidak beragama.
Berikutnya, pasal 303 hingga 305 mengatur tentang tindak pidana terhadap orang-orang yang membuat kegaduhan di dekat lokasi berlangsungnya peribadatan, melakukan penghinaan kepada pemimpin keagamaan, dan penodaan terhadap bangunan tempat beribadah. Secara umum, Asfin menyatakan bahwa pasal-pasal ini merupakan sebuah bentuk kemajuan karena dapat menjadi kesempatan perlindungan bagi kelompok-kelompok minoritas agama jika diimplementasikan dengan baik. Namun, perlindungan ini dapat menjadi pedang bermata dua ketika pemaknaannya tidak ditafsirkan secara baik.
Pada pasal 303, contohnya, frasa “membuat gaduh” dan “di dekat” belum memiliki kejelasan. Kegaduhan belum memiliki pengertian yang pasti sehingga dapat ditafsirkan dengan banyak cara oleh para aparat penegak hukum. Bagaimana cara mengukur kegaduhan? Apakah dari intensitas suara, jenis pengeras suara tertentu yang digunakan, banyaknya orang yang berkumpul, atau ukuran-ukuran lain. Demikian juga frasa “di dekat” memerlukan penentuan standar ukur yang perlu diperjelas sehingga tidak lagi menimbulkan pertanyaan lanjutan. Permasalahan ketidakjelasan unsur ini menjadi lebih nyata dalam unsur “menodai” di pasal 305.
Kata “menodai” perlu dilepaskan dari asosiasinya yang telah rekat dengan pasal 156a tentang penodaan agama di KUHP sebelumnya. Asfin mempertanyakan pemilihan kata “menodai” dalam pasal 305 KUHP yang baru, “Mengapa istilah ‘menodai’ lebih dipilih daripada kata lain yang lebih jelas seperti ‘mengotori’ atau ‘mencoret-coret’?”
Penggunaan istilah “menodai” rentan untuk ditafsirkan sebagai sebuah majas metafora. Ketika “menodai” dipahami sebagai metafora, tindakan-tindakan yang dapat dikenakan pasal ini menjadi sangat banyak dan hampir tidak terbatasi. Oleh karena itu, menurut Asfin, kata “menodai” ini perlu dimaknai secara denotatif, bukan secara konotatif. Dalam kata lain, “menodai” di sini betul-betul dimaknai sebagai perbuatan yang menjadikan ada noda atau kotoran di bangunan atau benda yang dimaksud di pasal tersebut. Dengan pemaknaan yang denotatif itu, pemaknaannya menjadi lebih jelas.
Ketidakjelasan unsur-unsur di pasal-pasal ini membawa kekhawatiran akan kelahiran kembali pasal karet seperti pasal penodaan agama dalam bentuk yang baru. Banyaknya ketidakjelasan dalam rumusan KUHP Indonesia ini mengejutkan. Dalam tilikan Asfin, kendati bernafaskan kolonial, rumusan instrumen hukum Belanda sangat teliti sehingga tidak meninggalkan banyak ruang bagi penafsiran yang berbeda-beda di antara para hakim. Hal itu merupakan sesuatu hal yang berkebalikan dengan yang kita punya hari ini.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah alumnus Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.