Menjadi Wong Gunungkidul Bersama Komunitas Resan
Ronald Adam dan Jonathan D. Smith – 17 April 2023
Di tengah terkikisnya budaya dan tradisi lokal yang beriringan dengan krisis lingkungan, suatu kelompok di Gunungkidul bernama Komunitas Resan mencoba menguatkan kembali identitas lokal mereka sebagai “orang Gunungkidul”.
Wilayah Gunungkidul, D.I. Yogyakarta, seringkali mendapatkan stigma peyoratif sebagai tempat miskin di pedalaman yang selalu dilanda kekeringan, marginal, dan banyak kasus orang bunuh diri (pulung gantung). Di samping itu, tradisi budaya dan kearifan lokal Gunungkidul dalam memuliakan alam sering dipandang sebagai mistis atau klenik. Tak jarang, sebagian kelompok mencap mereka sebagai “penyembah pohon”.
Di sisi lain, krisis lingkungan di wilayah karst Gunungkidul juga semakin mengkhawatirkan akibat pembangunan dan penambangan. Yang paling nyata ialah krisis air saat musim kemarau yang melanda banyak kecamatan di sekitar wilayah pegunungan kapur seperti Rongkop, Tepus, dan Panggang. Krisis lingkungan ini diperburuk oleh krisis identitas masyarakat lokal Gunungkidul yang membuat mereka merasa tidak memiliki keterikatan serta rasa tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya.
Sebagai sebuah respons terhadap keadaan ini, Komunitas Resan berupaya untuk membangun kembali identitas mereka sebagai orang Gunungkidul melalui tradisi, pengetahuan, dan kearifan lokal. Komunitas ini merupakan sebuah gerakan swadaya berbasis masyarakat. Anggotanya ialah orang-orang dari Gunungkidul yang punya kegelisahan serupa tentang lingkungan sekitar. Bermula dari kesadaran masing-masing personel yang bertaut, mereka kemudian berjejaring dan bersepakat untuk melakukan sebuah gerakan bersama. Yang menarik, spiritualitas dan pelestarian lingkungan menjadi basis gerakan mereka. Karenanya, penguatan identitas Gunungkidul ala Komunitas Resan ini berimplikasi praktis dalam upaya pelestarian lingkungan sebagai ruang hidup bersama.
Pohon Resan dan Signifikansinya
Nama Komunitas Resan diambil dari bahasa Jawa reksa/rekso yang berarti ‘jaga’. Komunitas Resan mengidentifikasi diri mereka sebagai “penjaga” lingkungan Gunungkidul. Nama ini juga merepresentasikan gerakan mereka dalam pembibitan, penanaman, dan perawatan pohon-pohon penjaga mata air. Kata “resan” juga dekat dengan bahasa Jawa wreksa yang diartikan sebagai pohon besar atau raksasa. Pohon resan ini biasanya merujuk pada jenis pohon beringin, trembesi, randu, asem, gayam, bulu, kepuh, dan pohon berukuran raksasa lainnya.
Beberapa partisipan Komunitas Resan memaknai pohon resan bukan sebagai pohon yang ditanam dan dipanen kayunya secara ekonomi. Pohon resan adalah pohon yang ditanam, dirawat, dan dijaga hingga tumbuh besar agar memiliki fungsi konservasi di kemudian hari. Pohon-pohon raksasa ini menjaga debit dan kualitas sumber mata air, melindungi tanah, dan menyerap karbon.
Menurut Komunitas Resan, pohon dan Gunungkidul memiliki keterikatan secara historis. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya nama tempat (toponim) seperti dusun dan desa yang berasal dari nama pohon. Di sisi lain, dalam pemahaman kearifan lokal Gunungkidul, pohon resan dipercaya sebagai tempat bersemayam ruh leluhur. Ruh diartikan sebagai penjaga wilayah atau cikal bakal sing babat alas (asal-muasal pembuka wilayah untuk pemukiman). Oleh karena itu, bagi Komunitas Resan dan sebagian masyarakat Gunungkidul, menanam dan merawat pohon merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur agar tercipta ikatan kuat antara manusia dan leluhurnya.
Saat melakukan studi lapangan di Desa Munggi, Semanu, Gunungkidul, kami terlibat dalam aktivitas gotong royong dan penanaman beberapa pohon sekaligus aksi penanganan robohnya pohon resan Asam Jawa (Tamarindus indica) yang juga menjadi simbol sejarah terbentuknya desa itu. Pohon yang terletak di tengah-tengah desa itu roboh akibat banjir. Sebagai pengganti pohon asem yang roboh tersebut, bibit pohon beringin ditanam dengan pertimbangan lebih mampu bertahan terhadap air. Masyarakat menyediakan tempat khusus di lahan seluas 25 m2 dengan pagar keliling bagi pohon tersebut.
Proses penanaman beringin itu dipimpin oleh juru kunci desa melalui prosesi ritual yang berupa doa bersama dan pemberian sesaji bunga dan kemenyan. Selepas doa, Komunitas Resan melakukan ritual langse, yaitu menutupi pohon resan dengan kain mori (kafan) putih—langse/nglangse dalam bahasa Jawa berarti ‘penutup/menutupi’. Ritual langse menyimbolkan sebuah penghormatan kepada pohon resan yang berarti “memberikan pakaian” kepada pohon tersebut.
Tak hanya di Gunungkidul, tradisi langse juga tersebar di berbagai wilayah di Jawa maupun luar Jawa. Salah satu yang paling terkenal adalah di Bali. Masyarakat Bali kerap menutupi pohon menggunakan saput poleng (kain kotak-kotak) sebagai penghormatan. Di beberapa wilayah Gunungkidul, tradisi langse masih bisa ditemukan dengan metode bilah bambu yang dianyam menyerupai pagar. Anyaman bilah bambu ini dipasang di sekeliling pohon. Menurut salah satu partisipan Komunitas Resan, konsep ini serupa dengan pembatas tembok yang menyekat pohon beringin di Keraton Yogyakarta.
Identitas Gunungkidul sebagai Pengikat Gerakan
Tidak seperti gerakan sosial formal yang mapan, gerakan Komunitas Resan cenderung informal—tanpa legalitas, struktur kepengurusan, ataupun sistem pendanaan. Komunitas ini membuka diri untuk berjejaring dan bekerja sama dengan komunitas lain yang memiliki gagasan sejalan dalam merawat lingkungan dan tradisi lokal. Di antara yang pernah mereka lakukan ialah bertukar bibit pohon untuk aktivitas penanaman atau membuat kegiatan penanaman bersama-sama yang terbuka bagi siapa pun.
Salah satu pengikat dari gerakan lingkungan yang diinisiasi Komunitas Resan ini ialah identitas sebagai “Gunungkidul”. Identitas lokal ini menjadi daya tarik khusus bagi para pemuda setempat maupun orang-orang di luar Gunungkidul yang memiliki ketertarikan dengan budaya lokal dan pelestarian lingkungan. Identitas ini menarik keterlibatan berbagai partisipan lokal dari beragam latar belakang dan komunitas-komunitas berbeda di Gunungkidul. Di antaranya komunitas anak muda Gunungkidul seperti sekolah, pramuka, pencinta lingkungan, aktivis lingkungan, dan mahasiswa/i dari berbagai Universitas di Yogyakarta; komunitas-komunitas lokal seperti Sanggar Lumbung Kawruh ataupun SiNambi Farm, karang taruna lokal, kelompok-kelompok Sadar Wisata; figur-figur politik lokal mulai dari wakil bupati Gunungkidul dan beberapa perangkat desa atau dukuh; sampai tokoh lokal seperti juru kunci, kelompok tani, dan warga lokal biasa. Menariknya, identitas keagamaan, seperti Islam dan Kristen, tidak menghalangi mereka untuk mengekspresikan identitas lokalnya sebagai wong Gunungkidul dalam ritual-ritual yang dilakukan Komunitas Resan.
Di antara partisipan kegiatan Komunitas Resan tersebut ialah Farid Stevy, seorang seniman dan vokalis band FSTVLST asal Yogyakarta. Ia melibatkan diri dalam aktivitas Komunitas Resan karena terlahir di Gunungkidul dan merasa bagian darinya. Ia merasa punya tanggung jawab untuk merawat dan melestarikan Gunungkidul, baik dalam aspek lingkungan, budaya, tradisi, spiritual, pengetahuan, maupun kearifan lokalnya.
Penumbuhan Identitas Melalui Wayang
Selain menanam dan merawat pohon resan, Komunitas Resan berusaha menghidupkan kembali identitas lokal Gunungkidul melalui Wayang Resan. Mereka membentuk sebuah grup wayang yang disebut Bleg Bleg Thing. Cerita Wayang Resan diproduksi oleh salah satu partisipan Komunitas Resan yang terinspirasi dari berbagai macam cerita, mitos dan narasi lokal. Cerita ini kemudian dikreasi ulang dengan memuat ide-ide baru untuk menumbuhkan kesadaran pelestarian lingkungan dan budaya lokal di tengah pembangunan. Berikut salah satu rekaman pertunjukan mereka.
Selain untuk media edukasi, penggunaan wayang juga merupakan upaya Komunitas Resan dalam melestarikan tradisi wayang kulit lokal yang semakin sulit dijumpai hari ini. Pada pertunjukan Wayang Resan, para pemainnya menggunakan pakaian Jawa, alat musik tradisional, dan lagu-lagu berbahasa Jawa setempat. Identitas lokal juga dimunculkan dalam cerita wayang seperti karakter tokoh yang dikenal masyarakat setempat seperti Jaka Pangreksa, Rangga Puspawilaga, Ki Ajar Bedah Sela. Hewan-hewan lokal yang mempunyai fungsi sebagai indikator lingkungan seperti sidat, katak, lele, sriti, dan tonggeret juga menjadi tokoh pewayangan. Latar cerita Wayang Resan terinspirasi dari berbagai mitologi yang berkembang di wilayah-wilayah spesifik di Gunungkidul seperti Girisuba dan Kali Oya atau Oyo. Sampai saat ini, komunitas Wayang Resan telah memiliki dua cerita dan mementaskannya sebanyak tiga kali.
Cerita Wayang Resan mengadaptasi isu pelestarian lingkungan melalui pesan-pesan seperti pada narasi “Menanam pohon sebelum bangunan rumah atau pasar” atau “Menanam tujuh pohon beringin adalah syarat dari kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat”, maupun pada figur atau karakter wayang. Pesan pelestarian lingkungan ini juga tampak dari bahan baku wayang yang dibuat dari daun dan pohon. Salah satu karakter wayang yang mencolok adalah figur wayang Uwuh Kutha (Sampah Kota) yang digambarkan sebagai monster sampah penyebab kerusakan lingkungan. Uniknya, kemunculan karakter Uwuh Kutha ini merupakan hasil kolaborasi antara Komunitas Resan dan warga Dukuh Kedungwanglu, Gunungkidul, tempat pertunjukan wayang itu berlangsung. Saat Komunitas Resan ingin menampilkan pertunjukan wayang untuk kedua kali di Dukuh Kedungwanglu, sang kepala dukuh meminta mereka untuk membawa pesan seputar masalah membuang sampah sembarangan. Permintaan tersebut disambut baik. Dalam waktu singkat, karakter Uwuh Kutha pun dibuat menggunakan bahan dasar sampah-sampah tak terurai yang didaur ulang.
Kolaborasi Wayang Resan tak berhenti di sini. Saat pertunjukan ketiga kalinya, pementasan Wayang Resan menggandeng band FSTVLST—yang vokalisnya beberapa kali aktif dalam kegiatan Komunitas Resan. Kolaborasi unik ini berhasil menarik perhatian anak-anak muda Yogyakarta akan pentingnya identitas lokal. Di sela-sela pertunjukan Wayang Resan, band FSTVLST mengisinya dengan musik karya mereka. Tak jarang, band ini mengganti beberapa bagian lirik lagunya dengan kata-kata yang turut membangkitkan kesadaran lingkungan. Kedua pertunjukan Wayang Resan ini disertai aktivitas penanaman pohon pada keesokan harinya.
Para penonton yang kebanyakan adalah anak muda tampak antusias bernyanyi bersama band FTVLST dan menonton pertunjukan wayang Antusiasme dan keaktifan anak-anak muda ini mungkin menjadi cerminan dari pemahaman baru tentang identitas Gunungkidul yang ingin dipromosikan oleh Komunitas Resan. Identitas dan kepedulian terhadap lingkungan Gunungkidul diciptakan kembali melalui penggabungan antara cara-cara tradisional dan modern bersama-sama—dari perpaduan antara wayang, musik tradisional daerah, dan band modern dalam pementasan wayang; atau perpaduan antara ritual lokal di Jawa dan metode ilmiah untuk melindungi sumber air. Hibrida dari berbagai kreativitas lokal ini merupakan upaya bersama untuk kembali menjadi wong Gunungkidul.
______________________
Ronald Adam adalah alumni CRCS 2019. Jonathan D. Smith adalah visiting research fellow di CRCS. Baca tulisan Adam lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini dipotret oleh Ronald Adam.