Menjembatani Adat, Modernitas, dan Gereja Melalui Sastra Lokal
Dian Nuri Ningtyas – 11 Oktober 2021
Pasca-Reformasi, semangat generasi muda di berbagai daerah untuk menggali kebudayaan lokal mereka kembali muncul. Akan tetapi, jurang antargenerasi telah terjadi. Bertolak dari keresahan tersebut, Lakoat.Kujawas berusaha menjembatani keberadaan adat, modernitas, dan gereja di Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS). Salah satunya melalui sastra lokal.
Inilah yang menjadi salah titik bahasan Harriet Crisp dalam Wednesday Forum bertajuk “Living Stories: Indigenous Literature in Lakoat.Kujawas, Indonesia”. Ketertarikan Harriet pada tema sastra lokal bermula dari asumsi yang kerap terbangun ketika membicarakan sastra lokal dan masyarakat adat. Ketika kita berpikir tentang masyarakat adat, seringkali yang terbayang adalah tradisi lisan, nyanyian, tenun, pertunjukan atau gabungan antara cerita nyata dan imajinasi. Di sisi lain, ketika berbicara tentang sumber-sumber teks tertulis, seringkali hal ini merujuk pada arsip sejarah, penelitian, atau karya lain tentang masyarakat adat yang dibuat oleh para peneliti atau penulis kolonial.
Bagi Harriet, ini memunculkan pertanyaan tentang apa dan bagaimana sebuah karya sastra bisa memproklamasikan dirinya sebagai sastra lokal? Ia mengambil tiga novel yang ditulis oleh para penulis menyebut diri mereka sebagai penulis asli (indigenous authors). Tiga novel tersebut adalah There There (2018) oleh Tommy Orange, seorang Indian-Amerika; Kavavatanen no ta-u jimasik (1992) oleh Syaman Rapongan, masyarakat suku Tao dari Taiwan; dan Iban Woman (2018) Golda Mowe, seorang keturunan Iban dari Malaysia. Dari ketiga penulis ini, Harriet mulai merefleksikan idenya tentang konsep indigeneity atau ‘kepribumian’ di Indonesia dan bagaimana hal itu direpresentasikan melalui apa yang disebut sebagai sastra lokal.
Di Indonesia, kemunculan kembali sastra lokal tidak dapat dipisahkan dari proses desentralisasi yang mulai mengeser pusat-pusat politik dan kebudayaan ke luar Jawa. Dinamika identitas nasional dan lokal pun kembali mengemuka. Pada masa ini pulalah sastra lokal yang bercirikan identitas etnis menemukan ruang kebebasannya. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan berbagai komunitas sastra daerah dan festival penulis dan pembaca daerah, seperti Festival Sangihe dan Makassar International Writer Festival.
Kebangkitan sastra lokal juga ditengarai oleh munculnya tema-tema terkait adat, tradisi, kearifan lokal, dan agama leluhur dalam berbagai karya sastra terkini. Menukil hasil penelitian Fanani (2018), Harriet menggarisbawahi bahwa jika dulu novel-novel Indonesia banyak bercerita tentang upaya untuk mencerabut diri dari adat atau tentang keterkungkungan adat, kini tema tersebut mulai bergeser menjadi upaya untuk menyelaraskan diri dengan identitas etnis mereka. Sebut saja Entrok (2010) oleh Okky Madasari dan Anggadi Tupa, Menuai Badai (2016) oleh John Warumi. Pergeseran tema ini seiring dengan pengakuan negara atas masyarakat adat dan agama leluhur.
Jembatan Itu Bernama Lakoat.Kujawas
Satu di antara banyak komunitas yang bertumbuh dalam dinamika tersebut adalah Lakoat.Kujawas yang lahir pada 2016. Lakoat.Kujawas beranggotakan para pemuda Timor yang ingin memberdayakan masyarakat lokal di Desa Taiftob, Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara timur (NTT) melalui pengembangan literasi dan wirausaha sosial berbasis adat. Selain aktivitas literasi, Lakoat.Kujawas bergerak pada bidang pengetahuan dan pengembangan pangan di Mollo, ekowisata, sekaligus terlibat dalam gerakan amal berjejaring dengan berbagai lembaga pendanaan dari seluruh Indonesia dan seluruh dunia. Secara khusus, komunitas yang menjadi subyek penelitian Harriet ini berupaya merevitalisasi tradisi dan sejarah masyarakat Mollo. Salah satunya melalui proyek penulisan dan penerbitan buku oleh masyarakat lokal.
Melalui kelas menulis kreatif bernama To The Lighthouse, Lakoat.Kujawas bersinergi dengan SMP Katolik St. Yoseph Freindemetz Kapan. Komunitas ini mengajak dan mengajari anak-anak muda di Mollo untuk menulis kembali dongeng lokal, tradisi, puisi tentang mata air, batu, hutan, dan pesan-pesan lingkungan. Dicky Senda, inisiator gerakan dan komunitas ini sadar bahwa ada jurang generasi antara anak-anak muda Timor dan generasi tua. Sebagai contoh, banyak anak muda Mollo mengenal gunung sekadar sebagai lokasi pertambangan marmer. Padahal, dalam kepercayaan masyarakat Mollo, gunung dianggap sebagai tempat suci dan pusat kebudayaan mereka. Seperti yang tersurat dalam ucapan Mama Aleta, salah seorang pejuang adat dan lingkungan masyarakat Mollo, “Pohon bagai rambut dan kulit, sungai bagai darah, batu bagai tulang, tanah bagai tubuh.” Kosmologi yang diurai Mama Aleta inilah salah satu yang terus dihidupi oleh Lakoat.Kujawas.
Karenanya, untuk menjembatani jurang generasi tersebut, Lakota.Kujawas mengundang orang-orang tua di desa untuk datang dan bercerita, kemudian anak-anak muda tersebut menuliskan kembali kisah itu. Karya kolaborasi tersebut kemudian dikumpulkan dan dijadikan buku. Sampai saat ini, sudah ada tiga buku terbitan kelas menulis kreatif ini: Dongeng dari Kap Na’m to Fena, Tubuhku Batu, Rumahku Bulan; Dongeng dari Nunuh Haumeni. Nantinya buku-buku tersebut akan diterjemahkan ke dalam bahasa Dawan, salah satu bahasa lokal di Timor, untuk merevitalisasi bahasa lokal yang mulai kehilangan penutur. Di sisi lain, kerja sama Lakoat.Kujawas dengan banyak sekolah lokal yang berafiliasi dengan lembaga misionaris membuka ruang diskusi baru. Melalui sastra lokal yang mereka tulis, anak-anak muda Timor ini mampu menjadi jembatan antara adat, modernitas, dan gereja. “Sesungguhnya publikasi bukan menjadi tujuan utama. Namun, kita harus membawa narasi ini, pengetahuan ini, dan menuliskannya ke dalam teks atau buku agar bisa menjadi sumber pengetahuan lokal bagi masyarakat pada masa yang akan datang, itu ide awalnya” jelas Dicky Senda, inisiator Lakoat.Kujawas, ketika diwawancarai oleh Harriets. Ringkasnya, karya sastra lokal ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan kebudayaan Mollo untuk komunitas masyarakat Mollo sendiri. Dalam kerangka Smith, proses penulisan kembali sejarah masyarakat oleh komunitas itu sendiri merupakan sebuah pedagogi kritis. Dengan menuliskan kembali sejarah mereka, komunitas tersebut telah membangun kerangka pengetahuan alternatif dari narasi yang sudah ada.
Melalui sastra lokal kolaborasi tersebut, sebuah jembatan antargenerasi mulai terbentuk. Kesadaran akan kearifan dan kebijaksanaan leluhur berkelindan dengan anasir-anasir budaya modern yang ada di sekitar mereka. Seperti yang ditulis oleh Indi dalam karyanya “Tentang Bulan”:
Sobat, apa kau tahu? Leluhur kami dulu hidup dengan tenang, tanpa ada Google dengan perkiraan cuaca yang tidak selalu tepat. Yah, alam sudah bercerita lebih dulu kepada mereka lewat matahari, bulan, bintang, dan awan. Saya hampir lupa ada juga cerita dari pelangi dan petir.
Ketika bicara adat dan tradisi, ada jarak yang pengetahuan yang tidak terelakkan antara anak muda dan generasi sebelumnya. Kini, melalui sastra lokal kolaboratif, dua generasi yang berbeda ini tidak lagi melihat jarak pengetahuan ini sebagai sesuatu yang negatif. Sebaliknya, ini justru memberi mereka ruang untuk dapat mengkritik berbagai elemen dan memperbaruinya bersama. Seperti yang dilakukan Sandra Natasha Liu dengab karyanya yang berjudul “Di Ajaobtomas, Pohon-Pohon Kasuari Pernah Mati Kecuali Pohon Lakoat” yang mengambil sudut pandang sebatang pohon lakoat:
Aku tidak tahu akan sampai kapan kami berada dalam situasi ini. Aku semakin tua dan mereka semakin peduli padaku. Kata mereka, akulah satu-satunya pohon yang selamat di hutan ini ketika petir menyambar pohon-pohon kasuari dan tubuh Tomas yang sedang berteduh. Dialah saksi hidup, saksi sejarah, ucap seorang pemuda yag minggu lalu datang…”
Menurut Harriet, karya Sandra ini menarik dan penting. Cerita ini tidak hanya mengenalkan kembali relasi akrab alam dan manusia, tetapi juga menuturkan sebuah cerita sejarah alternatif yang beredar di masyarakat tersebut. Tokoh Tomas dalam kisah tersebut memang nyata adanya. Hanya saja kisahnya sedikit berbeda. Menurut penuturan masyarakat, Tomas adalah seorang pejuang yang tewas ditembak oleh Belanda di bawah pohon. Sandra sengaja mengubah perspektif dan kejadian tersebut untuk menyampaikan pesan dan kesan yang berbeda. Dengan demikian, cerita rakyat itu tidak sekadar diwariskan dari generasi tua, tetapi dihidupkan kembali dengan konteks yang berbeda oleh generasi berikutnya.
Dalam sesi tanya jawab, seorang partisipan mengutarakan kekhawatirannya tentang hilangnya tradisi oral dalam masyarakat adat akibat preferensi yang tinggi terhadap literatur tertulis. Tradisi tulis dianggap lebih superior sebagaimana tampak pada kecenderungan pemerintah yang lebih mudah mengakui agama leluhur atau kepercayaan yang memiliki kitab suci. Dengan kata lain, agama atau kepercayaan yang memiliki kitab suci dianggap “lebih sempurna”. Menanggapi hal tersebut, Harriests menggarisbawahi bahwa kekhawatiran itu memang kerap muncul ketika kita berbicara tentang sastra lokal. Di Lakoat.Kujawas, tradisi oral juga terus dilestarikan melalui berbagai aktivitas, seperti membaca puisi tradisional seperti bonet bersama Papa Okto, salah seorang tetua adat. Penulisan buku merupakan salah satu cara agar pengetahuan tentang adat Mollo dapat dibaca lebih luas. Seperti yang terjadi saat ini, karya-karya anak muda Mollo sudah beredar dan dibaca orang sampai di luar negeri. Dicky Senda yang juga hadir dalam Wednesday Forum tersebut menambahkan, kelas menulis dan penerbitan buku adalah salah satu bentuk saja dari upaya mereka untuk merekam dan merevitalisasi tradisi. Kerja Lakoat.Kujawas adalah kerja multimedia yang mengakomodasi banyak medium dan keragaman pemikiran. Karena itu, Lakoat.Kujawas juga membuat film, mengadakan seni pertunjukan, dan kerja-kerja pengarsipan. Ketika suatu hal tidak dapat terangkum di buku, maka mereka menggunakan medium lain untuk mendokumentasikan dan merepresentasikannya dalam bentuk pengetahuan baru.
Apa yang dilakukan Lakoat. Kujawas menunjukkan bahwa apa yang disebut indigeneity atau ‘kepribumian’ itu merupakan sesuatu yang dinamis dan kontemporer. Kembali ke akar tradisi tidaklah sama dengan kembali ke masa lalu atau sekadar mereproduksi yang ada. Kembali ke tradisi berarti menerjemahkan dan mengartikulasikan nilai-nilai tersebut ke dalam masa kini untuk menjadi inspirasi di masa depan. Seperti yang sudah, sedang, dan senantiasa Lakoat.Kujawas lakukan. Hal ini pulalah yang menjadi jembatan antargenerasi di masyarakat Mollo.
_______________________
Dian Nuri Ningtyas adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Dian lainnya di sini.
Rekaman Wednesday Forum “Living Stories: Indigenous Literature in Lakoat.Kujawas,Indonesia” oleh Harriet Crisp