Menuju Dekolonisasi Pendidikan Kepercayaan Marapu di Sumba Timur
Jear Niklas Doming Karniatu Nenohai – 22 Maret 2024
Kabupaten Sumba Timur ialah satu-satunya kabupaten yang mengatur secara resmi eksistensi pendidikan kepercayaan melalui regulasi daerah. Sebagai program rintisan, keberadaannya patut diapresiasi sekaligus dicermati agar tidak sekadar memperpanjang kolonialisasi agama lewat pendidikan.
Sumba Timur merupakan salah satu dari tiga daerah termiskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, untuk urusan pendidikan kepercayaan, kabupaten ini merupakan di antara yang paling progresif di Indonesia. Inilah satu-satunya kabupaten di Indonesia yang memiliki regulasi daerah terkait pendidikan kepercayaan, yaitu Peraturan Bupati Sumba Timur nomor 33 Tahun 2023 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan pada Satuan Pendidikan. Marapu merupakan agama/kepercayaan dengan jumlah penganut terbanyak kedua, setelah Kristen, di Sumba Timur. Keberadaan regulasi menjadi dasar hukum pelaksanaan layanan Pendidikan Kepercayaan Marapu (PKM) di sekolah.
Menengok Kelas PKM di Sumba Timur
Setahun sebelum penerbitan peraturan bupati tersebut, sudah ada enam sekolah—empat SMA dan dua SD—di Sumba Timur yang membuka layanan PKM. Menurut Timba Wohangara, sekretaris Badan Pengurus Marapu, tingkat SMA menjadi prioritas karena sebagian besar data siswa penganut Marapu berada di jenjang tersebut. Sementara itu, tingkat SD menjadi sekolah rintisan untuk pengembangan layanan PKM di kalangan anak-anak. Nantinya, bekerja sama dengan pemerintah daerah Sumba Timur, layanan PKM juga merambah jenjang SMP dengan cakupan yang lebih luas.
Program PKM terlahir atas inisiatif masyarakat Marapu yang berkolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat Marungga Foundation dan Sumba Integrated Development (SID). Mulanya, PKM merupakan bagian dari program payung bernama Lii Marapu yang didanai oleh Yayasan Voice. Lii Marapu merupakan proyek peningkatan akses pengetahuan Marapu melalui pengarsipan secara digital, pembukaan layanan PKM, dan perancangan kebijakan inklusif untuk komunitas Marapu—salah satunya Perancangan Perbup No. 33/2023 tersebut.
Menurut Antonius Djawamara, ketua pelaksana program Lii Marapu yang akrab disapa Anjar, keberadaan kelas PKM merupakan implikasi dari pengakuan negara atas agama leluhur/kepercayan sekaligus implementasi Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaannya merupakan bentuk pemenuhan hak komunitas Marapu sebagai warga negara.
Berdasarkan observasi di empat SMA rintisan PKM, kelas PKM berlangsung selama 3 jam pelajaran (jp) atau 3×45 menit dalam satu minggu. Penggunaan 3 jam pelajaran ini tidak dilakukan pada hari yang sama, tetapi dipisah dengan skema 2 jp pada satu hari dan 1 jp di hari yang lain. Pada 45 menit pertama, guru memberi pengantar dan menerangkan isi materi yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Pada 45 menit selanjutnya, peserta didik mengerjakan tugas kelompok untuk dipresentasikan di akhir kelas. Pada hari yang lain, kelas diisi secara interaktif melalui respons dan tanya jawab antara guru dan siswa atau sesama siswa terkait materi presentasi/tugas di hari sebelumnya.
Model pengajaran kepercayaan mengikuti model pendidikan monoreligius. Seluruh peserta kelas PKM beragama Marapu. Karena sebagian besar siswa SMA belum memiliki KTP, identitas atau afiliasi agama merujuk pada kartu keluarga. Bila dijumpai agama dari kedua orang tua berbeda, misal ayah Marapu dan ibu Kristen, sekolah akan bertanya dahulu kepada siswa terkait agama yang akan ia anut. Bila siswa memilih mengikuti Marapu, sekolah akan memfasilitasi melalui PKM.
Sayangnya, sampai saat ini PKM belum memiliki guru tetap. Berdasarkan UU no. 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen, profesi guru pada tingkat pendidikan SMA mesti bergelar sarjana atau ahli madya dari program diploma empat. Belum ada guru di Sumba Timur yang memiliki kualifikasi pada bidang pendidikan kepercayaan maupun pendidikan Marapu secara khusus. Para guru atau pendidik pada kelas PKM saat ini ialah para penyuluh yang disertifikasi oleh LSP P2 Kemendikbudristek. Sebelum penempatan ke sekolah-sekolah, para calon penyuluh mengikuti serangkaian tes kompetensi. Setelah resmi menjadi penyuluh, mereka juga mendapatkan pelatihan berkala oleh Kemendikbudristek untuk meningkatkan kapasitas. Rambu Kahi, penyuluh di SMAN 1 Rindi Umalulu sekaligus penyuluh pertama di Sumba, bercerita bahwa sudah lebih dari sepuluh kali mengikut pelatihan dan bimbingan teknis dari Kemendikbudristek dan Dirjen Kepercayaan.
PKM menggunakan bahan ajar modul pendidikan terbitan Kemendikbudristek. Di samping itu, mereka juga melengkapinya dengan bahan ajar yang lebih kontekstual terbitan Lii Marapu. Anjar menjelaskan, pembuatan buku ajar tersebut melibatkan berbagai komunitas Marapu di antaranya para wunang (juru bicara), ma hamayang (pemuka agama marapu), Mauratung (pemimpin spiritual), serta tokoh adat Marapu lainnya. Sebagai sumber sekunder, para penulis bahan ajar tersebut mengumpulkan berbagai buku-buku tentang Marapu yang mereka anggap kredibel, seperti Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya (1976) karya Umbu Hina Kapita dan Marapu: Kepercayaan Asli Orang Sumba oleh Umbu Pura Woha (Sumber-sumber bacaan lain terkait Marapu juga bisa ditelisik di laman ini). Sebagian besar sumber bacaan yang digunakan merupakan karya orang Sumba yang meneliti tentang Sumba. Berbagai bahan ajar tersebut telah melalui proses penelaahan oleh Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia, Kemendikbudristek, maupun tokoh-tokoh Marapu.
Menuju Dekolonisasi Pendidikan Kepercayaan
Dalam konteks demikian, praktik PKM merupakan sebuah indigensasi (indigenization) pendidikan. Berkaca dari kasus indigenisasi pendidikan di Kanada, Gaudry dan Lorenz (2018) mengemukakan tiga spektrum indigenisasi, yaitu inklusi, rekonsiliasi, dan dekolonialisasi. Pada model inklusi, indigenisasi dilakukan dengan mengadaptasi pengetahuan pribumi (indigenous) ke dalam sistem. Tujuannya untuk meningkatkan kuantitas keterlibatan masyarakat setempat. Sementara di kutub yang berkebalikan, indigenisasi juga bisa berupa dekolonialisasi pengetahuan yang sudah mapan. Model ini mendorong pengakuan sekaligus penempatan pengetahuan agama leluhur sebagai titik sentral dalam kebijakan publik. Gaudry dan Lorenz mengemukakan contoh perizinan penggunaan praktik kesehatan pribumi (indigenous health) sebagai model pembelajaran di sekolah-sekolah kesehatan di Kanada. Di posisi tengah, indigenisasi dapat berupa rekonsiliasi. Pemerintah menetapkan mengubah cara bersikap masyarakat kepada kelompok agama leluhur melalui serangkaian regulasi. PKM Sumba Timur bisa menjadi salah satu contoh.
Keberadaan PKM di Sumba Timur memantik banyak perubahan. Para siswa Marapu mengaku bahagia dengan keberadaan PKM ini. Mereka tidak perlu bersusah payah mempelajari pendidikan agama lain yang berbeda dengan keyakinan dan praktik hidup mereka sehari-hari. Rambu Kahi mengatakan, PKM menjadikan anak-anak Marapu lebih percaya diri karena mereka sudah memiliki status agama yang setara dengan teman-teman lain di sekolah. Pandangan terhadap komunitas Marapu pun ikut berubah. Keberadaan PKM secara resmi di sekolah negeri ikut mendorong penerimaan siswa Marapu oleh warga sekolah dari siswa non-Marapu, guru-guru, hingga pejabat sekolah. “Mereka (orang Marapu) sudah diakui dan setara dengan murid-murid yang lain jadi harus kami fasilitasi,” tutur Mohamad Rifa’i, kepala sekolah SMAN 1 Rindi.
Di samping sebagai upaya pemenuhan hak pendidikan, keberadaan PKM di Sumba Timur juga merupakan sebuah asa untuk merawat dan mengembangkan pengetahuan agama leluhur lewat sektor formal. Melalui tugas-tugas sekolah di PKM, anak-anak Marapu mampu menggali kembali pengetahuan mereka. Mereka bertukar informasi tentang model-model ritual pada masing-masing kabihu (kampung/marga). Model penugasan seperti ini membantu anak-anak Marapu untuk menggali dan mempelajari kembali pengetahuan Marapu yang hanya tumbuh pada kampung satu dan tidak ada pada kampung lain.
Sebagai contoh, tidak semua anak Marapu pernah mengikuti mangejing, ritual akbar Marapu yang diadakan tiap empat tahun sekali. Ritual tersebut tidak sembarang bisa diadakan karena dua hal. Pertama, ritual tersebut menelan biaya yang sangat besar. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari warga kampung, ritual mangejing membutuhkan dana setidaknya Rp 80 juta. Kedua, ritual tersebut membutuhkan kehadiran seorang mauratung (pemimpin spiritual) untuk memimpin hamayang (sembayang) sedangkan tidak semua kampung punya mauratung. Melalui kelas PKM, anak-anak Marapu dapat belajar tentang makna dan tata ritual mangejing dari teman lain yang pernah mengikutinya.
Di tengah cerita perubahan ini, tentu saja masih ada pekerjaan rumah yang masih menanti. Salah satunya ialah membuat PKM mampu berdampak lebih luas, tidak hanya untuk masyarakat Marapu. Katherine Absolon (2016) menempatkan makna indigenisasi sebagai pengakuan bahwa pengetahuan agama leluhur juga turut memiliki dampak baik bagi khalayak luas. Oleh sebab itu, indigenisasi harus membuka ruang agar masyarakat luas merasakan manfaat dari kehadiran pengetahuan agama leluhur. Dalam konteks yang demikian, dekolonialisasi dapat terwujud jika komunitas Marapu, terutama aktor-aktor PKM, menjadi aktor aktif dalam keberlangsungan dan pengembangan masyarakat Sumba yang lebih luas. Dengan kata lain, pengetahuan Marapu tidak lagi menjadi milik segelintir komunitas saja, tetapi merupakan salah satu titik sentral kebutuhan dan kebijakan publik.
______________________
Jear Niklas Doming Karniatu Nenohai adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Jear lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 10 tentang Berkurangnya Kesenjangan.