Menyibak Tirai Terorisme di Bima
Yohanes Leonardus Krismawan Anugrah Putra – 29 Agustus 2024
“Di Kabupaten Bima, bahkan seorang maling pun akan mengucapkan bismillah sebelum ia mencuri sepeda motor.”
Begitulah guyonan yang menggambarkan begitu agamisnya masyarakat di tanah Bima. Guyonan tersebut dilontarkan oleh Dyah Ayu Kartika, kandidat doktor dari Australian National University (ANU), dalam presentasinya di Wednesday Forum bertajuk “Violent Extremism in Bima: Radical Milieu and Peacebuilding Efforts” (21/8). Namun, guyonan tersebut juga mengandung ironi tentang tingginya tingkat kriminalitas di wilayah ini. Faktanya, berdasarkan data dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Bima merupakan daerah dengan rekam jejak aktivitas terorisme yang tinggi. Lantas, karakteristik keagamaan seperti apa yang tengah berkembang di antara masyarakat Bima? Sejauh mana karakteristik keagamaan itu mempengaruhi perkembangan terorisme di Bima?
Bima dan Terorisme
Secara geografis, Bima merupakan kota kecil yang terletak di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pulau Sumbawa diapit oleh dua pulau besar lain dengan corak keagamaan yang berbeda: di timur ada Bali yang kental dengan corak Hindu dan kepulauan Nusa Tenggara Timur dengan mayoritas Kristen. Berada di tengah dua tradisi keagamaan yang kuat, corak keislaman Bima justru menguat—seperti yang tersirat dalam guyonan di awal tulisan.
Namun, Bima juga menyimpan jejak panjang aktivitas ekstremisme. Kendati gaung ekskalasi konflik kekerasan di Bima tidak sebesar Poso dan Ambon, Kartika menunjukkan tingginya eksistensi ekstremisme keagamaan di wilayah tersebut. Dalam penelusuran Kartika, jaringan terorisme Bima sudah terlibat dalam upaya bom Cikini 1957; insiden Talangsari, Lampung, pada 1989; hingga konflik di Poso dan Ambon pada 2000.
Merespons hal itu, pemerintah kerap melakukan represi terhadap jaringan terorisme di Bima dan tak jarang menggunakan kekerasan. Namun, bukannya surut, represi dengan kekerasan tersebut melahirkan motif balas dendam dan melahirkan lingkaran kekerasan yang lain. Di sisi lain, upaya represi secara fisik tersebut tidak dapat membendung ekstremisme keagamaan yang terus berlangsung di ranah pikiran melalui penyebaran ideologi.
Struktur Lingkungan Radikal
Dalam konteks penyebaran paham ekstremisme, Kartika membagi lingkungan keagamaan yang ada di Bima menjadi tiga lapisan. Yang terluar adalah lingkup sosial dan politik masyarakat yang moderat dan jauh dari tindak kekerasan, dalam kasus ini ialah mereka yang tergabung atau berafiliasi dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Bagian selanjutnya merupakan lingkup yang memiliki semangat Islam militan. Kartika menyebutnya sebagai radical milieu atau ‘lingkungan radikal’. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah FUI (Forum Umat Islam) dan JAS (Jamaah Ansharut Syariah). Kedua kelompok tersebut memiliki semangat untuk membangun kekhalifahan di Indonesia. Kendati demikian, mereka cenderung menghindari jalan yang kekerasan. Namun, dalam beberapa konteks dan kasus tertentu, kelompok radikal ini seolah membiarkan—atau bahkan “mendelegasikan”—praktik ekstremisme kekerasan oleh lapisan ketiga, yaitu kelompok teroris.
Struktur terdalam dari lingkungan radikal adalah kelompok terorisme yang tersembunyi di balik tirai radikalisme. Yang termasuk lingkaran ini ialah JAD (Jamaah Ansharut Daulah) yang berafiliasi dengan kelompok Jamaah Islamiyah (JI), kelompok pecahan dari Darul Islam yang menjadi grup Islam militan terbesar di Asia Tenggara.
Dari Rumah menuju Suriah
Lapisan lingkungan radikal di wilayah Bima ini membuat Bima menjadi target persembunyian sekaligus penyebaran paham ekstremisme keagamaan. Pada 2014, saat the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mendeklarasikan kekhalifahan di Suriah dan Irak, banyak penduduk Bima yang menjadi pendukung. Dalam sebuah masjid tua di Penatoi, Bima, tak kurang dari 200 warga Bima mendeklarasikan dukungannya kepada ISIS.
Langkah penyebaran paham ekstremisme keagamaan ini tidak hanya terjadi secara komunal di dalam rumah ibadah, tetapi juga di rumah tangga. Jamaah Islamiyah memfasilitasi pelatihan pembuatan bom di tingkat keluarga. Dengan kata lain, perempuan juga menjadi target langsung dari kelompok ekstremisme kekerasan ini. Penting untuk diingat, salah satu perempuan pelaku terorisme pertama di Indonesia berasal dari Bima (lebih lanjut baca From Mothers to Bombers, 2017). Ajaran ekstremisme kekerasan ini kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya sehingga lingkungan radikal tersebut dapat bertahan dari masa ke masa.
Penyebaran paham ekstremisme kekerasan di Bima juga melalui ranah pendidikan, seperti kisah Ustadz Abrory dan lembaga pendidikan miliknya. Kartika mengisahkan, mulanya Abrory ialah seorang murid dari sekolah Islam di Jepara yang berafiliasi dengan JI. Pada tahun 2001, ia berkelana ke Maluku untuk mempelajari cara merakit bom. Dua tahun kemudian, ilmu tersebut ia sebar luaskan di Bima dengan strategi serupa melalui pendirian Umar bin Khattab Islamic Boarding School. Abrory pun merekrut lulusan sekolah yang berafiliasi dengan JI sebagai guru. Sekolah itu akhirnya menjadi salah satu jangkar penyebaran paham radikalisme dan ekstremisme keagamaan di Bima.
Menyibak Tirai, Membangun Perdamaian
Dalam lima tahun terakhir, terjadi penurunan tren aktivitas ekstremisme kekerasan berbasis keagamaan di Bima. Tentu saja, hal ini tidak datang tiba-tiba. Di samping kekalahan ISIS di Suriah pada Maret 2019, salah satu yang menjadi titik kunci penurunan tren ini ialah tumbuhnya inisiatif lokal maupun nasional. Kartika mengelompokkan setidaknya ada dua metode deradikalisasi yaitu pendekatan kasar dan halus. Pendekatan kasar dilakukan oleh pemerintah melalui tindakan represif Densus 88 maupun aparat kepolisian. Salah satu contohnya ialah penangkapan Abrory oleh polisi dan penutupan Umar bin Khattab Islamic Boarding School. Sementara itu, pendekatan halus yang lebih bersifat preventif dilakukan melalui dialog dan mediasi oleh Forum Kebebasan Umat Beragama (FKUB).
Di samping oleh lembaga negara, upaya deradikalisasi ini juga datang dari mantan tokoh ekstremis atau keluarga mereka. Ustaz Gunawan ialah salah seorang pentolan penting JAD di Bima yang mundur dari organisasi tersebut. Salah satu alasan utamanya ialah keluarga. Sang istri tak henti-hentinya mengingatkan bahwa jihad yang sesungguhnya ialah ketika sang suami berhasil menjadi ayah yang baik atas anak-anaknya. Setelah lepas dari JAD, ustaz Gunawan aktif menyebarkan paham perdamaian pada masyarakat Bima. Radikalisasi dapat bermula dari rumah, tetapi rumah juga dapat menjadi awal dari upaya deradikalisasi dan perdamaian.
______________________
Yohanes Leonardus Krismawan Anugrah Putra adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Leo lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: Tribrata News (2022).
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.
Sangat menarik uraianya.. jika diperkenankan pendekatan seperti apa agar kelompok terorisme tdk menjadi lyan yg menakutkan bila satu saat dia kembali ke masyarakat dan bertobat utk tdk lagi bergabung dgn jaringan teroris yg diikutinya.