Merawat Alam Borobudur Melalui Jalan Tradisi
Chusnul C – 30 Januari 2023
Kecamatan Borobudur merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Magelang yang terletak di sekitar Pegunungan Menoreh, dikelilingi oleh Gunung Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, Telomoyo, dan Andong. Kecamatan yang terdiri dari 20 desa ini juga dialiri oleh Sungai Progo dan Sileng yang tak pernah kering sepanjang tahun. Dengan letak geografis semacam ini, idealnya Borobudur merupakan kawasan subur dan terhindar dari krisis ekologi. Namun sayangnya, realita hari ini menyajikan gambaran lain. Krisis air terjadi setiap musim kemarau di beberapa desa, baik yang terletak di daerah pucuk Menoreh seperti Desa Kenalan maupun desa yang terletak di daratan bawah seperti Desa Wringinputih dan Kembanglimus. Beberapa desa lainnya, kendati tidak sampai kekeringan, mengalami degradasi sumber mata air dari segi kuantitas maupun kualitas.
Desa Tuksongo misalnya. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tuksongo berasal dari kata tuk yang artinya sumber mata air dan songo yang artinya sembilan atau banyak—kosmologi Jawa sering menggunakan angka sembilan, angka tunggal tertinggi, sebagai perlambang jumlah yang begitu banyak. Tuksongo menyiratkan keberlimpahan sumber mata air yang ada di sana. Namun, sumber mata air di desa yang terletak di antara dataran rendah dan dataran tinggi Borobudur ini hanya tersisa beberapa seperti Sendang Sidelek, Sendang Kali Gede, Sendang Ngrau, Sendang Kali Mrico, Sendang Pending, dan Pancuran Watu Bangkong. Beberapa yang tersisa ini pun kondisinya tidak terawat meski masih digunakan oleh segelintir warga.
Sumber mata air di desa lain bernasib serupa. Sendang Pule di Desa Wringinputih kondisinya sempat tidak terawat, sementara sumber mata air Kali Gondang bahkan hampir hilang karena tertutup sampah daun kering. Sumber mata air Sumberejo di Desa Bigaran mengalami pendangkalan, dari yang sebelumnya berkedalaman 2 m, kini tersisa kurang dari 30 cm.
Salah satu penyebab krisis air ini ialah sikap masyarakat yang perlahan “membelakangi” sumber mata air. Masuknya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pansimas) di Kecamatan Borobudur membuat masyarakat semakin jauh dari sumber mata air di sekitar mereka. Menurut penuturan warga Wringinputih, sejak pengadaan pompa air pada tahun 2014, sumber mata air Sendang Pule kondisinya kotor dan tidak terawat. Hal serupa terjadi di Desa Kembanglimus yang masyarakatnya mulai beralih menggunakan sumur pribadi sejak 1990-an. Akibatnya, beberapa sumber mata air di Kembanglimus perlahan dipenuhi sampah, berlumut, serta tidak lagi ditemukan pohon resapan. Kondisi semacam ini terjadi hampir di semua kawasan Borobudur.
Lukman Fauzi, salah satu warga Borobudur yang aktif di Komunitas Kali Sileng, mengatakan bahwa krisis air di kawasan Borobudur terjadi sejak 2018. Salah satunya terjadi akibat kebocoran irigasi tangsi yang menjadi sumber air di sebelah barat dan utara Candi Borobudur. Selain itu, menurutnya, krisis air tersebut juga merupakan dampak tidak langsung dari ingar bingar industri pariwisata. Hotel-hotel di sekitar Candi Borobudur masih menggunakan sumur artesis yang menyebabkan sumur-sumur warga menjadi kering.
Tradisi Penghormatan Terhadap Air
Di tengah berbagai ancaman kekeringan itu, masyarakat desa sekitar Borobudur terus berupaya merawat sumber mata air yang tersisa, salah satunya melalui jalan tradisi. Masyarakat di kawasan Borobudur mengenal tradisi daur hidup dan daur bulan. Tradisi daur hidup merupakan ritual yang menandai proses perkembangan hidup manusia seperti ngupati (hamil empat bulanan), mitoni (hamil tujuh bulanan), supitan (akil balig), midodareni (jelang pernikahan), dan pati (kematian). Sementara itu, tradisi daur bulan merujuk pada ritual yang dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu dalam kalender Jawa seperti suran (bulan Sura) dan saparan (bulan Sapar). Masing-masing desa memiliki cara ritual yang berbeda. Kendati dilakukan, praktik tradisi tersebut kesemuanya menekankan pada penghormatan atas alam dan terkait erat dengan sumber mata air.
Salah satunya tradisi mitoni atau peringatan tujuh bulan kehamilan pada masyarakat Dusun Kerug Batur, Majaksingi. Ritual mitoni dimulai dengan prosesi pengambilan air atau yang oleh masyarakat setempat disebut dengan prosesi memetik air. Air dipetik dari beberapa sumber mata air dan dimasukkan ke dalam wadah kendi. Air ini digunakan dalam prosesi siraman ibu hamil. Sementara itu, pada upacara Merti Dusun Saparan di Dusun Miriombo Wetan, Giripurno, penghormatan terhadap air dilakukan dengan cara memberi sesaji di sembilan tempat yang disakralkan, enam di antaranya adalah sumber mata air. Masyarakat Miriombo Wetan menamai tempat-tempat tersebut dengan nama-nama khusus seperti Ki Sumber untuk Kali Sabrang, Ki Gembung untuk Tuk Gembongan, dan Ki Murbokesumo untuk Kali Winong. Sesaji tersebut salah satunya adalah kendi berisi campuran air dari berbagai sumber mata air.
Ada juga desa yang berupaya menghidupkan kembali tradisi “petik air” ini setelah beberapa waktu vakum. Beberapa tokoh kunci dan sesepuh di Desa Sambeng berupaya menyelenggarakan tradisi saparan dengan cara yang lebih meriah tetapi dengan tetap menjaga nilai-nilai penghormatan terhadap air. Yang menjadi acara inti dalam kegiatan tersebut ialah pengambilan air dari Tuk Ngudal, salah satu sumber mata air yang masih dimanfaatkan masyarakat.
Praktik tradisi daur ulang maupun daur bulan tersebut menunjukkkan bahwa masyarakat Borobudur menempatkan air pada posisi mulia. Mereka tidak menggunakan air semata untuk kebutuhan biologis, tetapi juga memosisikannya sebagai wujud sakral. Bagi mereka, kondisi alam Borobudur yang subur merupakan pemberian yang harus terus dirawat dan dihormati, salah satu caranya melalui ritual petik air tersebut. Praktik-praktik itu menjadi pengingat bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa air. Merawat sumber mata air secara langsung merupakan salah satu upaya menghormati keberadaan air dan menyelaraskan kembali tatanan kehidupan. Apa yang dilakukan masyarakat Borobudur pada hakikatnya merupakan pengejawantahan dari falsafah Memayu hayuning bawana (mempercantik keindahan alam semesta) yang menekankan pemahaman, kesadaran, dan sikap tenggang rasa antarmakhluk. Pengetahuan ini diwariskan dari generasi ke generasi melalui tutur maupun praktik ritual.
Tantangan Membangun Kesadaran Lingkungan Melalui Jalan Tradisi
Ketika masyarakat dimudahkan oleh teknologi—seperti keberadaan PDAM dan Pansimas, keterikatan manusia dengan alam cenderung memudar. Dalam kondisi semacam ini, tradisi dan ritual sebagai pengejawantahan sikap penghormatan terhadap alam juga ikut luntur karena keduanya bersifat timbal balik. Dengan kata lain, kesadaran akan lingkungan makin menipis ketika tradisi ini terkikis.
Dari pengalaman berinteraksi dengan anak muda di kawasan Borobudur selama hampir setahun, saya menemukan adanya keterputusan pengetahuan dalam memahami tradisi. Sebagian masyarakat mempraktikkan tradisi tanpa memahami substansi nilai yang tersirat. Di samping faktor eksternal seperti penetrasi budaya yang dengan mudahnya bisa diakses melalui layar gawai, keterputusan pengetahuan ini juga disebabkan oleh kejumudan tradisi. Untuk itu, tradisi perlu ditafsir ulang dan didialektikakan dengan zaman.
Tradisi mitoni dan saparan misalnya. Kedua tradisi tersebut menciptakan ruang kultural yang bisa dimanfaatkan sebagai media edukasi masyarakat terkait konservasi lingkungan. Seperti tradisi mitoni di Dusun Kerug Batur dengan mengadakan sarasehan yang mengundang budayawan setempat, tokoh kunci, dan warga. Dalam sarasehan tersebut, nilai-nilai konservasi dalam praktik mitoni disebarluaskan kembali ke masyarakat. Di samping sarasehan, upaya penyegaran tradisi juga dilakukan dengan membuat pameran foto dan video tradisi mitoni yang menyasar generasi milenial dan generasi Z.
Untuk anak-anak, edukasi terkait konservasi lingkungan melalui tradisi bisa dilakukan dengan memopulerkan cerita-cerita rakyat yang berkaitan dengan sumber mata air dalam ragam aktivitas. Sebagai contoh, SD Kanisius di Desa Kenalan memiliki program tilik belik (berkunjung ke sumber mata air). Dalam program ini, siswa diajak ke sumber mata air di sekitar mereka untuk mengenalkan pentingnya mata air termasuk ragam tradisi yang berkaitan dengannya. Sementara itu, di Desa Giripurno yang terletak di pucuk Pegunungan Menoreh, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) di Dusun Parakan mulai menerapkan pendidikan sadar lingkungan dengan mengusung konsep ngaji alam. Melalui permainan tradisional, anak-anak diajak untuk memahami nilai-nilai konservasi dan tradisi terkait lingkungan di sekitar mereka.
Upaya menyadarkan masyarakat terkait lingkungan bisa dilakukan dengan memperkuat tradisi masyarakat itu sendiri. Penguatan tradisi ini merupakan upaya untuk menyadarkan keterhubungan masyarakat dengan lingkungan—salah satunya sumber mata air. Namun, upaya tersebut bukan berarti menghentikan aliran PDAM/Pansimas dan meminta masyarakat untuk kembali mandi di sumber mata air. Yang terpenting adalah bagaimana membuat masyarakat tersadarkan proses “menanam” air hingga akhirnya bisa “dipetik” melalui keran di masing-masing rumah.
______________________
Chusnul C adalah alumnus CRCS UGM angkatan 2018. Ia terlibat sebagai tim analis pada lembaga swadaya masyarakat yang menjadi penggerak Program Pengembangan Wisata Budaya Spiritual di Kawasan Borobudur, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kemendikbudristek tahun 2022. Baca tulisan Icus lainnya di sini.
saya setuju, tradisi masyarakat perlu dipertahankan karena tanpa tradisi maka identitas masyarakat di sekitar candi borobudur lambat laun akan hilang budaya indonesia