Mewujudkan Hak Pendidikan Agama untuk Semua Siswa
Hanny Nadhirah – 24 Oktober 2023
“Setiap peserta didik pada sekolah berhak memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”
Amanat ini tercantum dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 16 Tahun 2010 mengenai pengelolaan pendidikan agama di sekolah. Namun, dalam kenyataannya, apakah pendidikan agama telah diberikan kepada semua siswa dengan setara tanpa memandang latar belakang identitas mereka?
Pertanyaan ini menjadi pemantik diskusi Wednesday Forum (20/9) bertajuk “Fulfillment of Religious Education Rights for Minority Students” dengan narasumber Dody Wibowo dari Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM. Melalui studi kasus empat cabang Sekolah Sukma Bangsa, dosen yang akrab dipanggil Dody ini mengangkat dinamika implementasi pendidikan agama pada siswa nonmuslim di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Sulawesi Tengah.
Ketimpangan Pendidikan Agama di Sekolah
Tidak dapat dimungkiri, masih banyak sekolah umum di Indonesia yang abai terhadap kewajiban dalam memenuhi pendidikan agama bagi siswa minoritas. Bahkan, pengabaian ini tak jarang berujung pada diskriminasi. Pada tahun 2016, Human Rights Watch memublikasikan kasus seorang siswa penghayat kepercayaan di Semarang yang tidak bisa naik kelas karena menolak mengikuti praktik membaca Al-Qur’an dan salat dalam pelajaran agama Islam. Tahun lalu, Human Right Watch juga mengungkap kasus diskriminasi terhadap tiga bersaudara penganut Saksi-Saksi Yehuwa yang menolak untuk menyanyikan beberapa lagu-lagu kristiani saat mengikuti kelas agama Kristen. Dalam kasus lain yang diliput oleh Licas News, seorang guru di sekolah negeri memaksa siswa beragama nonmuslim untuk mengenakan kerudung. Padahal, kewajiban penggunaan atribut keagamaan tertentu tidak tercantum pada aturan sekolah. Merespons kasus tersebut, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menyatakan bahwa penggunaan atribut keagamaan merupakan hak siswa, bukan paksaan dari sekolah. Ironisnya, masih terjadi pelanggaran hak-hak siswa oleh sekolah dan guru.
Pengabaian tersebut juga menjadi temuan dalam riset Dody. Di salah satu kota, ia menemukan sekolah yang melakukan pembiaran terhadap siswa beragama minoritas. Alih-alih memfasilitasi pendidikan agama sesuai dengan kebutuhannya, sekolah tersebut membiarkan siswa minoritas untuk berkegiatan di perpustakaan saat jam pelajaran agama. Selain itu, menurut Dody, masih banyak pihak sekolah yang kurang komunikatif dalam berdiskusi bersama orang tua terkait kemampuan mereka dalam memenuhi pendidikan agama bagi siswa minoritas. Pihak sekolah cenderung pasif dan minim inisiatif untuk mencari solusi.
Mencari Solusi yang Inklusif
Sekolah Sukma Bangsa merupakan sekolah yang didirikan oleh Yayasan Sukma sebagai bagian dari upaya pemulihan pasca-Tsunami Aceh 2005. Meski bukan institusi pendidikan berbasis agama, sekolah ini berkomitmen untuk memenuhi hak pendidikan agama bagi semua siswanya. Dinamika tersebut mendorong Dody untuk menelisik strategi empat cabang Sekolah Sukma Bangsa—yang berada di daerah mayoritas Islam yaitu Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh; dan Sigi, Sulawesi Tengah—dalam mengakomodasi pendidikan agama bagi siswa-siswa nonmuslimnya.
Di Bireuen dan Sigi, Dody menemukan bahwa pihak sekolah tidak memiliki kendala berarti dalam memberikan kelas agama bagi siswa nonmuslim. Di sekitar sekolah, terdapat komunitas maupun rumah ibadah Kristen, Buddha, dan Hindu yang memadai. Manajemen sekolah bekerja sama dengan komunitas dan rumah ibadah tersebut untuk menyiapkan pengajar kelas agama.
Namun, cabang sekolah di Pidie punya tantangan dan kendala berbeda. Sekolah Sukma Bangsa Pidie memiliki siswa beragama Buddha. Namun, penyediaan kelas agama untuk siswa tersebur terkendala karena ketiadaan rumah ibadah maupun komunitas Buddha di sekitar sekolah. Alhasil, manajemen sekolah mengalami kesulitan untuk mengundang pemuka agama sebagai pengajar. Manajemen sekolah pun berinisiatif mengomunikasikan kendala ini kepada orang tua siswa. Beberapa alternatif pembelajaran pun muncul, salah satunya dengan memasukkan siswa tersebut ke kelas agama Islam yang sudah tersedia. Pada tingkat sekolah dasar, pembelajaran masih berfokus pada nilai-nilai moral universal yang juga dapat ditemukan di ajaran agama Buddha. Kendati demikian, kebijakan alternatif ini hanya akan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari orang tua dan siswa yang bersangkutan. Orang tua murid pun menyetujui solusi yang ditawarkan tetapi meminta sekolah untuk tidak mengajarkan materi spesifik terkait agama Islam. Tidak hanya itu, selama kelas, para guru juga akan memberikan tugas berbeda dengan merefleksikan pembelajaran moralitas tersebut dari sudut pandang agama Buddha. Solusi ini memungkinkan siswa beragama Buddha untuk mendapatkan hak pendidikan agamanya. Di sisi lain, menurut Dody, kelas tersebut pada akhirnya membuka ruang jumpa lebih luas. Secara tidak langsung, siswa muslim mulai dibiasakan untuk mempelajari dan menghargai perbedaan.
Sementara itu, di Lhokseumawe pemenuhan hak pendidikan agama dilakukan dengan cara berbeda. Sebelumnya, Sekolah Sukma Bangsa hanya menyediakan ekstrakurikuler berbasis agama untuk siswa muslim. Namun, ketimpangan ini ditengarai oleh salah seorang petugas perpustakaan sekolah. Ia pun berinisiatif untuk mengajukan program ekstrakurikuler ke sekolah bagi para siswa nonmuslim.
Inisiatif ini pun berbuah manis. Saat Ramadan tiba, biasanya hanya siswa muslim yang datang ke sekolah secara khusus untuk mengikuti kegiatan keagamaan seperti mengaji Al-Qur’an sementara siswa nonmuslim diliburkan. Namun, “Membiarkan para siswa nonmuslim untuk tinggal di rumah saja selama bulan Ramadan akan berpotensi melanggar hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan,” ujar Dody. Akhirnya, sekolah pun menyediakan program khusus untuk siswa nonmuslim, di antaranya ekskursi ke berbagai tempat di Lhokseumawe.
Dalam sesi tanya jawab, muncul pertanyaan, “Apakah ada kewajiban untuk memakai jilbab bagi siswa perempuan, mengingat Sekolah Sukma Bangsa berada di Aceh yang memberlakukan syariat Islam?” Menurut Dody, tidak ada kewajiban berjilbab karena ini bukan sekolah agama. Ia pun bercerita bagaimana ia sempat terkaget karena melihat di Bireun ada salah seorang wali siswa nonmuslim yang datang menjemput hanya menggunakan kaos dan celana pendek. Ketika dikonfirmasi dengan manajemen sekolah, rupanya hal itu tidak menjadi masalah. Namun, Dody mengingatkan bahwa tiap daerah di Aceh memiliki tingkat kelonggaran yang berbeda terkait pelaksanaan syariat Islam dan sikap terhadap nonmuslim.
Kasus dan strategi Sekolah Sukma Bangsa, terutama di Pidie dan Lhokseumawe, menjadi referensi sekaligus contoh praktik baik dalam menjawab tantangan pemenuhan hak pendidikan agama di Indonesia. Dari studi kasus di empat kota, salah satu kunci dari pemenuhan hak pendidikan agama ini ialah keterbukaan dan komunikasi yang aktif dengan orang tua siswa dalam mencari solusi atas tantangan dan kendala pemenuhan hak tersebut.
______________________
Hanny Nadhirah adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Hanny lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini bersumber dari Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe (2023).