Negosiasi Identitas Umat Tak Beragama dalam Melawan Stigma
Ihsan Kamaludin – 14 November 2021
Tidak mudah menjadi individu tak beragama di negara yang menjunjung ketuhanan sebagai salah satu dasarnya. Stigmatisasi dan diskriminasi terus membayangi. Lalu, bagaimana umat tak beragama di Indonesia menegosiasikan identitas tersebut?
Banyak generasi muda ragu terhadap agamanya lalu memutuskan untuk tidak beragama, misalnya menjadi ateis atau seorang agnostik. Sebagai salah satu staf Persatuan Kristen Antaruniversitas (Perkantas), temuan yang ia dapat selama menangani konsultasi remaja tersebut membuat Krisna Yogi Pramono gusar. Hal inilah yang kemudian membuatnya melakukan penelitian mendalam terkait fenomena individu yang menyatakan diri tak beragama di Indonesia. Temuan tersebut ia presentasikan dalam Wednesday Forum (29/09), bertajuk “Leaving Religion: Identification, Stigma, and Discrimination of Non-religion in Indonesia”.
Dengan metode fenomenologi, Yogi mengumpulkan data dari sepuluh informan yang menyatakan dirinya tidak beragama, baik itu ateis, panteis, maupun agnostik. Dari para informan ini, Yogi ingin menelisik dinamika konstruksi dan identifikasi individu-individu yang menyatakan diri mereka tidak beragama. Sebelum menyatakan diri tak beragama, semua respondennya memeluk salah satu agama yang ada di Indonesia, bahkan masih mencantumkan agama tersebut dalam kartu identitasnya.
Seperti kisah Acho (nama samaran) yang lahir pada awal tahun 80-an dalam keluarga Katolik di Yogyakarta. Dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk), Acho mencantumkan Katolik sebagai agamanya. Namun pada 2010, pandangannya terhadap Tuhan berubah. Baginya Tuhan bagaikan gambarkan manusia yang diciptakan sebagai proyeksi dari harapan dan keinginan manusia itu sendiri. Acho mengidentifikasi dirinya sebagai panteis. Identitas ini ia pilih karena ketakutannya akan stigma buruk masyarakat terhadap ateis yang sering kali diasosiasikan dengan komunis. “Padahal komunis itu adalah propaganda Orde Baru yang digambarkan begitu kejam dan jahat,” tutur Yogi. Akan tetapi pada 2018, Acho dibaptis dan rajin mengikuti kegiatan pelayanan Minggu karena hendak menikahi anak pastor. “Tapi dalam percakapannya dengan saya, dia menyatakan tidak mau bersungguh-sungguh pada agama. Sering beribadah hanya dalih untuk mendapatkan restu dari mertuanya,” tambah Yogi. Meski demikian, ia tetap menghargai nilai-nilai dan ritual yang dimiliki umat Kristen.
Ada lagi kisah Ali (nama samaran), pria paruh baya asal Tuban. Ali berasal dari keluarga Islam konservatif. Ayahnya seorang ustaz. Bahkan, ia sendiri sempat mengenyam pendidikan enam tahun di pesantren. Pada tahun keempat di pesantren, ia termotivasi untuk mendalami agama secara serius karena banyak pertanyaan dalam dirinya muncul terkait keimanan. Akan tetapi, semakin mencari tahu, ia merasa banyak penjelasan agama yang kontradiktif. Menurutnya, sainslah yang dapat menjawab berbagai pertanyaannya dengan pasti, khususnya tentang asal-usul alam semesta. Semenjak itu, ia berhenti percaya pada agamanya tetapi berpura-pura ibadah hingga lulus dari pesantren. Sampai suatu ketika Ali mengalami beberapa kali musibah yang ia anggap sebagai azab dan tergerak untuk kembali taat. Namun, setelah membaca biografi beberapa ilmuwan yang menurutnya memberikan penjelasan masuk akal seperti Albert Einstein, Stephen Hawking, dan Carl Sagan, Ali kembali yakin untuk menjadi seorang yang tidak beragama.
Yogi menuturkan, di lingkungan sosialnya Ali secara terbuka mengemukakan dirinya sebagai seorang ateis. Namun, ketika kembali ke tempat asalnya di Tuban, Ali melakukan kegiatan layaknya seorang muslim. Ia beralasan melakukan hal tersebut untuk menjaga kehormatan sang ayah dan tidak mau menyakiti orang tuanya. Menurut Ali, stigma masyarakat terhadap ateis sering kali berbuah perlakuan diskriminatif. Orang yang meninggalkan agamanya lalu kemudian menjadi ateis kerap kali dicap sebagai orang yang kurang ibadah dan tidak bermoral.
Di Indonesia, tidak beragama seringkali diposisikan sebagai antiagama. Seseorang yang tidak beragama dianggap menyimpang karena tidak sejalan dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Pelekatan ateisme dengan komunisme secara serampangan pada masa Orde Baru membuat ini semakin buruk. Masyarakat yang tidak beragama dianggap sebagai agen komunisme yang harus dilawan. Stigmatisasi ini memaksa para ateis dan agnostik seperti Acho dan Ali untuk menyimpan keyakinannya secara pribadi. Mereka harus menanggung risiko tertentu ketika mengekspresikan statusnya di ruang publik. Misalnya, kehilangan hubungan dengan keluarga dan sosial atau bahkan mengalami diskriminasi. Padahal, keputusan untuk tidak memeluk salah satu agama adalah hasil perenungan dan pilihan hidup dirinya.
Yogi menuturkan, penyebab umum seseorang menjadi tidak beragama merupakan kombinasi dari proses internal dan interaksi sosial seseorang. Dalam proses internal, pencarian ini dimulai dengan keraguan terhadap doktrin-doktrin agama yang telah ia terima. Ia kemudian mengevaluasi dengan membandingkannya dengan sumber lain, misalnya melalui filsafat dan sains. Internet semakin memudahkan proses pencarian ini. Ketika hasil temuan tersebut dirasa lebih meyakinkan dan memberikan jawaban daripada doktrin-doktrin agama, mereka memilih untuk meninggalkan agama dan menjadi seorang yang tidak beragama. Hal ini bisa juga terjadi pada kalangan agamis yang skeptis dengan keyakinan yang dipeluk lingkungan sekitarnya. Di sisi lain, lingkungan sosial dan hipokrisi insitusi keagamaan juga dapat memengaruhi pemikiran mereka tentang agama.
Dinamika dari proses internal dan eksternal ini membentuk keragaman pola identifikasi dan karakteristik dari masing-masing individu yang menyatakan tidak beragama. Karenanya, pencapaian identitas masing-masing individu bersifat unik dan tidak linear. Yogi mengidentifikasi dan memetakan keragaman tersebut melalui lima hal. Pertama, pelabelan diri. Tak semua informan melabeli diri mereka sebagai ateis, beberapa informan kesulitan dan tidak suka memberikan label atas identitasnya tersebut. Bahkan, ada seorang informan yang memilih identitas sebagai seorang Katolik di ruang publik meski secara pribadi menyatakan diri tidak beragama. Kedua, konsep keilahian atau ketuhanan. Yogi mengidentifikasi setidaknya ada dua corak dari pemahaman informannya mengenai keberadaan tuhan: ateis atau nonteistik, menganggap tuhan sebagai entitas non-ilahiah; dan non-monoteistik, tidak menafikan keberadaan tuhan atau hal-hal ilahiah lainnya.
Selanjutnya adalah keragaman dari nilai moral. Alih-alih seperti yang kerap dituduhkan, para informan menjunjung nilai-nilai moral yang berlaku di keluarga maupun masyarakat meski dasar yang digunakan bukan berasal dari doktrin agama. Akan tetapi, ada juga seorang informan yang menggunakan salah satu prinsip keagamaan (tidak zalim) untuk menjelaskan nilai moral utama yang dianutnya. Lebih lanjut, absennya institusi agama dalam kehidupan para informan tidak membuat mereka kehilangan makna atau tujuan hidup. Sebagian besar informan mampu merumuskan makna hidup mereka dengan jelas: dari cita-cita personal seperti lebih sukses dan bahagia di kehidupan, motivasi sosial misalnya lebih berguna bagi masyarakat, bahkan menginisiasi gerakan dan lembaga sosial untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Pemetaan selanjutnya adalah relasi mereka dengan agama. Mereka yang mengidentifikasi diri sebagai tidak beragama tidak serta-merta melepaskan diri mereka dari institusi agama maupun aktivitas keagamaan. Tiga dari informan Yogi masih mengapresiasi dan mengafirmasi praktik keagamaan, seperti beribadah reguler di tempat ibadah. Sebaliknya, tiga informan lainnya memilih untuk memisahkan diri dari institusi maupun komunitas keagamaannya. Di antara dua titik ekstrem ini terdapat kelompok yang tidak secara tegas memisahkan diri ataupun mengafirmasi praktik keagamaan secara publik.
Pemetaan dari berbagai narasi tersebut menunjukkan begitu beragamnya relasi dan konstruksi identitas dari masyarakat tak beragama. Tidak seperti stigma yang kerap dituduhkan, mereka yang menyatakan diri tidak beragama memiliki nilai moral dan tujuan hidup laiknya umat beragama. Bahkan, beberapa dari mereka masih mengikuti kegiatan keagamaan. Hal ini tentu saja membuat batas karakteristik antara mereka yang beragama dan tidak beragama menjadi kabur. Identitas sebagai individu tidak beragama merupakan sesuatu yang cair dan situasional. Seseorang bisa mengekspresikan dirinya sebagai tidak beragama di lingkungan sosialnya, tapi di waktu dan lingkaran sosial lain, ia mengenakan identitas lainnya sebagai salah satu umat beragama. Beberapa informan melakukan taktik ini untuk menghindari diskriminasi dan stigma masyarakat atas individu tidak beragama sekaligus sebagai siasat untuk mengakses hak-hak mereka sebagai warga negara di Indonesia.
Dalam sesi diskusi, salah satu peserta bertanya pandangan Yogi sebagai peneliti sekaligus penganut Kristen dengan narasi hidup para informan. Sebagai seorang Kristen konservatif, Yogi mengaku ada kontradiksi antara apa yang ia imani dan hasil temuannya. Misalnya, batasan antara orang yang beragama dan tidak dalam Kristen sangat jelas, tetapi dalam praktiknya ini tidak mudah untuk diidentifikasi. Lebih lanjut, Yogi menggarisbawahi bahwa proses seseorang untuk memutuskan diri tidak beragama, ataupun berpindah agama, merupakan sebuah perjalanan hidup yang panjang alih-alih sebuah kemalasan dalam beribadah. Secara internal, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para informan terkait doktrin dan praktik keagamaan tersebut merupakan sebuah otokritik terhadap institusi cara kita beragama hari ini.
Di akhir diskusi, salah seorang peserta yang mengikuti diskusi ini via YouTube bertanya apakah Indonesia perlu memberikan tempat kepada mereka yang tidak beragama. Menurut Yogi, kategorisasi rigid antara beragama atau tidak beragama, religius dan tidak religius, yang sedang dipaksakan oleh negara dan berlaku masyarakat pada dasarnya tidak memiliki akar yang jelas. Apalagi jika ini menyangkut stigma bahwa mereka yang tidak beragama adalah orang yang tidak bermoral. Karenanya, pemerintah Indonesia perlu mengakui dan memberikan ruang kepada warganya untuk mengekspresikan identitasnya. Kebebasan beragama dan berkeyakinan sudah selaiknya melingkupi semua warga negara, termasuk mereka yang memilih keyakinan untuk tidak percaya terhadap agama.
_______________________
Ihsan Kamaludin adalah Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2020. Baca tulisan Kamal lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini oleh Thom Milkovic, 2018
Rekaman Wednesday Forum “Leaving Religion: Identification, Stigma, and Discrimination of Non-religion in Indonesia” oleh Krisna Yogi Pramono