
Performa dan Polemik Kelompok Minoritas Agama di Ruang Digital
Maryolanda Zaini – 4 April 2023
Ucapan perayaan Hari Raya Nawruz dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk pemeluk agama Baha’i beberapa tahun silam sempat menjadi polemik. Beberapa kelompok masyarakat menganggap Baha’i sebagai sebuah aliran sesat ketimbang sebuah agama. Polemik itu menunjukkan bahwa rekognisi terhadap kelompok minoritas agama masih menjadi persoalan serius di negeri ini. Tak dinyana, pandemi Covid-19 membuka peluang bagi kelompok minoritas agama untuk mengekspresikan keyakinannya, salah satunya melalui platform digital. Ruang di dunia maya ini menjadi ruang potensial bagi titik temu kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Namun, ekspektasi itu rupanya tidak selalu berbanding lurus dengan realita. Ujaran kebencian dan perlakuan diskriminatif rupanya masih juga ditemui dalam platform digital tersebut.
Dinamika ini diangkat oleh Leonard C. Epafras pada Wednesday Forum edisi 1 Maret 2023 bertajuk “Enduring the Gimmicks and Polemics: Digital Performance of Religious Minorities During the Pandemic”. Dosen yang juga menjadi peneliti di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) dan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) ini berbagi tentang upaya kelompok minoritas agama di Indonesia terlibat di dunia digital, dari umat Konghucu hingga penghayat kepercayaan.
Performa Digital Kelompok Minoritas Agama di Indonesia
Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia secara resmi hanya mengakui tiga agama seperti Islam, Protestan, dan Katolik. Seiring berjalannya waktu, beberapa agama lain seperti Hindu, Buddha, dan Konghucu juga difasilitasi oleh pemerintah Indonesia. Padahal, keragaman agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia tak terbatas pada enam agama tersebut, misalnya agama Baha’i, Sikh, Taoisme, Judaisme, dan agama-agama leluhur. Situasi tersebut melahirkan diskriminasi pada penganut agama di luar enam agama yang difasilitasi pemerintah. Begitu kuat dan sistematisnya diskriminasi ini membuat banyak penganut agama di Indonesia—terutama agama leluhur—yang terpaksa mencantumkan salah satu agama “resmi” tersebut pada kartu identitas mereka (baca Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, 2017). Di sisi lain, tak sedikit kelompok minoritas agama yang kesulitan untuk menjalankan praktik keagamaannya atau bahkan mengekspresikannya di ruang publik.
Dalam kondisi yang demikian, dosen yang akrab dipanggil Moreh Leo ini menggarisbawahi bahwa platform digital dapat menjadi wadah yang tepat bagi kelompok minoritas agama untuk mengekspresikan keyakinan mereka. Sebagai sebuah wadah sosial, ruang digital cenderung lebih demokratis dan pluralistis. Kehadiran pandemi Covid-19 menjadi katalis bagi kelompok minoritas agama untuk mendayagunakan ruang digital. Leo mengambil beberapa kelompok minoritas agama sebagai subjek penelitian di antaranya Konghucu (mewakili agama yang difasilitasi negara); Baha’i, Sikh, Taoisme, dan Yahudi (empat agama dunia yang tidak mendapat fasilitas dari negara); serta komunitas penghayat yang terdiri dari penganut agama-agama leluhur, organisasi spiritual, dan masyarakat adat (Sunda Wiwitan dan Kasepuhan Ciptagelar). Dari semua sampel tersebut, risetnya menunjukkan keterlibatan kelompok minoritas agama dalam berbagai platform digital hanya sekitar 15 persen.
Akan tetapi, ada beberapa temuan menarik dari ragam keterlibatan minoritas agama di ruang digital. Pertama, ada dinamika antara penggunaan teknologi digital sebagai pendukung aktivitas keagamaan (technology of “sacredness”) dan sebagai ruang aktivitas keagamaan. Beberapa kelompok minoritas agama seperti Sikh dan Baha’i mengembangkan perangkat ritual portabel berbasis digital yang memungkinkan mereka ibadat tanpa perlu datang ke kuil semasa pandemi. Sementara itu, komunitas Yahudi di Indonesia mengadaptasi minyan—sebuah forum peribadatan berjamaat karena komunitas Yahudi tradisional tidak dapat beribadah sendiri-sendiri—dan ibadah sabat secara virtual melalui aplikasi Line. Anggota komunitas ini tersebar di berbagai daerah, seperti Surabaya dan Lampung, yang tidak memungkinkan mereka untuk bertemu dalam satu forum daring.
Penggunaan teknologi digital ini rupanya tidak terbatas pada komunitas agama yang tergolong dalam “agama-agama dunia”. Masyarakat adat di Kasepuhan Ciptagelar, yang kerap mendapat stigma terbelakang dan antikemajuan, justru memiliki penguasaan teknologi yang mumpuni. Mereka telah memiliki saluran televisi, radio, bahkan jaringan internet sendiri. Masyaarakat adat Ciptagelar tidak melihat teknologi digital sebagai ancaman dari komunitasnya. Di banyak kesempatan, Abah Ugi, pemimpin dari komunitas tersebut berpandangan bahwa Ciptagelar harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi saat ini, “Adat istiadat tidak boleh hilang, meski kita memakai teknologi. Mengurangi tidak boleh, tetapi kalau menambah tidak apa-apa.”
Tantangan: Inklusi Digital dan Literasi Digital
Berbagai performa digital kelompok minoritas agama di Indonesia tersebut masih menyisakan tantangan yang tak kalah pelik. Keberadaan teknologi digital memunculkan pertanyaan tentang penggunaan teknologi yang tepat dalam praktik keagamaan. Meski beberapa komunitas agama telah mengadaptasi teknologi sebagai sarana peribadatan dan penyebaran ajaran, beberapa kelompok lain ragu untuk mengadopsi praktik baru tersebut. Teknologi digital dipandang sebagai pengalih perhatian, bahkan ancaman, alih-alih sebagai ruang ekspresi iman yang sama otentiknya. “Bagaimana pun, ada batasan antara memanipulasi narasi kesakralan ruang, waktu, dan pelaksanaan ibadah yang tidak bisa digantikan dengan teknologi digital”, ujar Leo.
Di sisi lain, kampanye literasi digital dan inklusi digital secara masif digaungkan oleh pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pandemi seakan menjadi katalis yang “memaksa” banyak orang merambah dan mendayagunakan ruang digital, tak terkecuali kelompok minoritas agama yang enggan atau memang tidak merasa perlu menggunakannya. Ke depan, mereka akan senantiasa dihadapkan pada pertanyaan tentang kesakralan ritual di ruang digital. Di sisi lain, ruang digital juga tak luput dari ancaman diskriminasi dan ujaran kebencian. Beberapa kelompok minoritas agama meresponnya dengan menjadi “senyap” di dunia digital. Baha’i misalnya. Meski memiliki akun di beberapa media sosial, mereka mematikan kolom komentarnya dan cenderung pasif di dunia digital. Terlepas dari berbagai fenomena itu, teknologi digital telah membuka ruang sosial baru bagi kelompok minoritas agama untuk mengekspresikan diri dan keyakinan mereka. Dengan demikian, teknologi digital akan memainkan peran yang semakin penting dalam membentuk masa depan praktik kebebasan beragama atau kepercayaan di Indonesia.
_______________________
Maryolanda Zaini adalah mahasiswa sarjana pada program Philosophy, International Studies and Economics (PISE) di Ca’ Foscari University of Venice, Italia. Selama Februari—Maret 2023, Maryo berkarya magang di Divisi Pendidikan Publik Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM. Baca tulisan Maryo lainnya di sini.