• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members
      • Visiting Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Admission
    • Courses
    • Schedule
    • Scholarship
    • Accreditation
    • Crossculture Religious Studies Summer School
    • Student Service
    • Survey-2022
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Activities
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Research
      • Overview
      • Resource Center
    • Community Service
      • Wednesday Forum
    • International Events
      • ICIR
      • Interfaith Mediation
      • IGSSCI
    • Student Achievements
  • Beranda
  • Laporan Wednesday Forum
  • Performa dan Polemik Kelompok Minoritas Agama di Ruang Digital

Performa dan Polemik Kelompok Minoritas Agama di Ruang Digital

  • Laporan Wednesday Forum, Wednesday Forum Report
  • 5 May 2023, 10.58
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Performa dan Polemik Kelompok Minoritas Agama di Ruang Digital

Maryolanda Zaini – 4 April 2023

Ucapan perayaan Hari Raya Nawruz dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk pemeluk agama Baha’i beberapa tahun silam sempat menjadi polemik. Beberapa kelompok masyarakat menganggap Baha’i sebagai sebuah aliran sesat ketimbang sebuah agama. Polemik itu menunjukkan bahwa rekognisi terhadap kelompok minoritas agama masih menjadi persoalan serius di negeri ini. Tak dinyana, pandemi Covid-19 membuka peluang bagi kelompok minoritas agama untuk mengekspresikan keyakinannya, salah satunya melalui platform digital. Ruang di dunia maya ini menjadi ruang potensial bagi titik temu kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Namun, ekspektasi itu rupanya tidak selalu berbanding lurus dengan realita. Ujaran kebencian dan perlakuan diskriminatif rupanya masih juga ditemui dalam platform digital tersebut.

Dinamika ini diangkat oleh Leonard C. Epafras pada Wednesday Forum edisi 1 Maret 2023 bertajuk “Enduring the Gimmicks and Polemics: Digital Performance of Religious Minorities During the Pandemic”. Dosen yang juga menjadi peneliti di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) dan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) ini berbagi tentang upaya kelompok minoritas agama di Indonesia terlibat di dunia digital, dari umat Konghucu hingga penghayat kepercayaan.

Performa Digital Kelompok Minoritas Agama di Indonesia

Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia secara resmi hanya mengakui tiga agama seperti Islam, Protestan, dan Katolik. Seiring berjalannya waktu, beberapa agama lain seperti Hindu, Buddha, dan Konghucu juga difasilitasi oleh pemerintah Indonesia. Padahal, keragaman agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia tak terbatas pada enam agama tersebut, misalnya agama Baha’i, Sikh, Taoisme, Judaisme, dan agama-agama leluhur. Situasi tersebut melahirkan diskriminasi pada penganut agama di luar enam agama yang difasilitasi pemerintah. Begitu kuat dan sistematisnya diskriminasi ini membuat banyak penganut agama di Indonesia—terutama agama leluhur—yang terpaksa mencantumkan salah satu agama “resmi” tersebut pada kartu identitas mereka (baca Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, 2017). Di sisi lain, tak sedikit kelompok minoritas agama yang kesulitan untuk menjalankan praktik keagamaannya atau bahkan mengekspresikannya di ruang publik.

Dalam kondisi yang demikian, dosen yang akrab dipanggil Moreh Leo ini menggarisbawahi bahwa platform digital dapat menjadi wadah yang tepat bagi kelompok minoritas agama untuk mengekspresikan keyakinan mereka. Sebagai sebuah wadah sosial, ruang digital cenderung lebih demokratis dan pluralistis. Kehadiran pandemi Covid-19 menjadi katalis bagi kelompok minoritas agama untuk mendayagunakan ruang digital. Leo mengambil beberapa kelompok minoritas agama sebagai subjek penelitian di antaranya Konghucu (mewakili agama yang difasilitasi negara); Baha’i, Sikh, Taoisme, dan Yahudi (empat agama dunia yang tidak mendapat fasilitas dari negara); serta komunitas penghayat yang terdiri dari penganut agama-agama leluhur, organisasi spiritual, dan masyarakat adat (Sunda Wiwitan dan Kasepuhan Ciptagelar). Dari semua sampel tersebut, risetnya menunjukkan keterlibatan kelompok minoritas agama dalam berbagai platform digital hanya sekitar 15 persen.

Akan tetapi, ada beberapa temuan menarik dari ragam keterlibatan minoritas agama di ruang digital. Pertama, ada dinamika antara penggunaan teknologi digital sebagai pendukung aktivitas keagamaan (technology of “sacredness”) dan sebagai ruang aktivitas keagamaan. Beberapa kelompok minoritas agama seperti Sikh dan Baha’i mengembangkan perangkat ritual portabel berbasis digital yang memungkinkan mereka ibadat tanpa perlu datang ke kuil semasa pandemi. Sementara itu, komunitas Yahudi di Indonesia mengadaptasi minyan—sebuah forum peribadatan berjamaat karena komunitas Yahudi tradisional tidak dapat beribadah sendiri-sendiri—dan ibadah sabat secara virtual melalui aplikasi Line. Anggota komunitas ini tersebar di berbagai daerah, seperti Surabaya dan Lampung, yang tidak memungkinkan mereka untuk bertemu dalam satu forum daring.

Penggunaan teknologi digital ini rupanya tidak terbatas pada komunitas agama yang tergolong dalam “agama-agama dunia”. Masyarakat adat di Kasepuhan Ciptagelar, yang kerap mendapat stigma terbelakang dan antikemajuan, justru memiliki penguasaan teknologi yang mumpuni. Mereka telah memiliki saluran televisi, radio, bahkan jaringan internet sendiri. Masyaarakat adat Ciptagelar tidak melihat teknologi digital sebagai ancaman dari komunitasnya. Di banyak kesempatan, Abah Ugi, pemimpin dari komunitas tersebut berpandangan bahwa Ciptagelar harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi saat ini, “Adat istiadat tidak boleh hilang, meski kita memakai teknologi. Mengurangi tidak boleh, tetapi kalau menambah tidak apa-apa.”

Tantangan: Inklusi Digital dan Literasi Digital

Berbagai performa digital kelompok minoritas agama di Indonesia tersebut masih menyisakan tantangan yang tak kalah pelik. Keberadaan teknologi digital memunculkan pertanyaan tentang penggunaan teknologi yang tepat dalam praktik keagamaan. Meski beberapa komunitas agama telah mengadaptasi teknologi sebagai sarana peribadatan dan penyebaran ajaran, beberapa kelompok lain ragu untuk mengadopsi praktik baru tersebut. Teknologi digital dipandang sebagai pengalih perhatian, bahkan ancaman, alih-alih sebagai ruang ekspresi iman yang sama otentiknya. “Bagaimana pun, ada batasan antara memanipulasi narasi kesakralan ruang, waktu, dan pelaksanaan ibadah yang tidak bisa digantikan dengan teknologi digital”, ujar Leo.

Di sisi lain, kampanye literasi digital dan inklusi digital secara masif digaungkan oleh pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pandemi seakan menjadi katalis yang “memaksa” banyak orang merambah dan mendayagunakan ruang digital, tak terkecuali kelompok minoritas agama yang enggan atau memang tidak merasa perlu menggunakannya. Ke depan, mereka akan senantiasa dihadapkan pada pertanyaan tentang kesakralan ritual di ruang digital. Di sisi lain, ruang digital juga tak luput dari ancaman diskriminasi dan ujaran kebencian. Beberapa kelompok minoritas agama meresponnya dengan menjadi “senyap” di dunia digital. Baha’i misalnya. Meski memiliki akun di beberapa media sosial, mereka mematikan kolom komentarnya dan cenderung pasif di dunia digital. Terlepas dari berbagai fenomena itu, teknologi digital telah membuka ruang sosial baru bagi kelompok minoritas agama untuk mengekspresikan diri dan keyakinan mereka. Dengan demikian, teknologi digital akan memainkan peran yang semakin penting dalam membentuk masa depan praktik kebebasan beragama atau kepercayaan di Indonesia.

_______________________

Maryolanda Zaini adalah mahasiswa sarjana pada program Philosophy, International Studies and Economics (PISE) di Ca’ Foscari University of Venice, Italia. Selama Februari—Maret 2023, Maryo berkarya magang di Divisi Pendidikan Publik Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM. Baca tulisan Maryo lainnya di sini.

Tags: digital Maryolanda Zaini

Facebook

Facebook Pagelike Widget

Instagram

Have you ever been treated in a hospital with a di Have you ever been treated in a hospital with a different religious affiliation than what we believe in?

In an emergency, we often cannot choose where we will be treated. However, this "emergency" seems to be an entry point to get to know people who have different beliefs from us.

Come and join the discussion at Graduate School Building, Room 307, Universitas Gadjah Mada at 13.00 WIB.

#wednesdayforum is free and open for public
Berita kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Pial Berita kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 masih hangat di ruang media kita. Apa pun alasannya, "kekecewaan nasional" ini menunjukkan bahwa kultur sepak bola telah mengakar kuat di negeri ini. 

Di beberapa tempat di negara lain, sepak bola bukan sekadar mengakar sebagai kultur, melainkan sudah menghunjam menjadi kultus.

Simak tulisan @maryozaini mahasiswa magang CRCS UGM di situs web crcs ugm.
Pada tahun 2016 silam, Walt Disney Animation Studi Pada tahun 2016 silam, Walt Disney Animation Studios merilis "Zootopia", sebuah film animasi tentang peradaban hewan dan masalah kewargaan yang mereka alami. Di situ, hewan-hewan bertindak laiknya manusia bahkan memiliki sistem pemerintahan dan kewargaan yang tak kalah canggih. 

Tentu bukan peradaban utopis semacam itu yang dibayangkan oleh konsep kewargaan ekologis. Namun, keduanya punya persamaan: mengandaikan hewan, dan makhluk lain, sebagai bagian dari kesatuan warga negara; mengakui hak kewarganegaraan tidak sebatas manusia.

Simak tulisan menarik tentang kewargaan ekologis ini hanya di situs web crcs.
Religions and queer identities are often purported Religions and queer identities are often purportedly seen as antithetical to each other, impossible to reconcile, and harshly incompatible to be openly and mutually ‘holding hands’.

Yet in Indonesia, despite mainstream conservative attitude toward queer identities, queer-inclusive voices coming from faith leaders and queer activists are resisting and challenging the status quo.

Come and join the discussion at Graduate School Building, Room 306, Universitas Gadjah Mada at 16.00 WIB.

#wednesdayforum is free and open for public
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Floors 3-4
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju