Ragam Budaya dan Lapis Marginalisasi di Tengah Bencana
Rezza Prasetyo Setiawan – 17 Maret 2024
Ketika terdesak oleh bencana yang sudah lugas di depan mata, masihkah faktor identitas sosial, politik, dan keagamaan menjadi penting? Apakah pertanyaan itu tidak lagi penting karena perbedaan sudah dilebur demi alasan kemanusiaan dan penderitaan bersama? Jangan-jangan, hilangnya pertanyaan itu justru adalah tanda marginalisasi terselubung yang justru makin tajam karena desakan keterbatasan sumber daya?
Lekat dengan pengalaman Yogyakarta akan kebencanaan, Wednesday Forum bertajuk “Linking Cultural Diversity with Community Resilience to Disasters”, 13 Maret silam, mengupas dinamika respons manusia di tengah situasi bencana. Risye Dwiyani, mahasiswi doktoral program studi Disaster Prevention Research Institute, Kyoto University, menggarisbawahi fokus penelitiannya tentang kerumitan yang dibawa oleh kelindan aspek sosial-budaya dalam manajemen kesiapsiagaan bencana. Risye membawa pertanyaan mendalam, “Bagaimana manusia, sebagai makhluk sosial, menghadapi situasi bencana?”
Sudah Jatuh Bencana …
Risye memantik diskusi dengan mengajak partisipan melakukan Crossroad Game. Permainan simulasi ini mengajak peserta untuk menempatkan diri dalam berbagai skenario yang dapat terjadi di tengah situasi bencana. Berbagai skenario kasus dalam permainan tersebut mengandung dilema dan mengundang peserta untuk mengambil keputusan dalam situasi bencana. Menariknya, kasus-kasus tersebut merupakan adaptasi dari berbagai kejadian nyata. Contoh kasusnya seperti ini:
Para ahli memperkirakan bahwa dalam sepuluh menit tsunami akan menerjang desa tempat tinggalmu. Akankah kamu terlebih dahulu mendatangi tempat tinggal seorang perempuan lanjut usia yang biasa kamu rawat?
Beragam jawaban pun muncul dari sekira 40 partisipan. Beberapa menjawab mereka akan mendatangi rumah nenek itu sebelum menyelamatkan diri dengan alasan kemanusiaan dan tanggung jawab moral. Beberapa yang lain menjawab bahwa dalam situasi bencana kemungkinan terbaik justru adalah menyelamatkan diri sendiri terlebih dahulu.
Tentu pertanyaan itu bukan berujung pada satu jawaban yang benar. Alih-alih berfokus pada jawaban “paling benar”, Risye mengajak peserta untuk bersuara dan mengurai beragam asumsi dan pertimbangan yang muncul dalam waktu yang singkat tersebut. Salah seorang peserta, berdasarkan pengalamannya tinggal di Jepang, menyebutkan ketiadaan peringatan resmi dari pemerintah menunjukkan bahwa tsunami tersebut kemungkinan tidak terjadi. Ada juga peserta yang memilih untuk menyelamatkan diri dahulu karena belum memiliki kapasitas diri untuk dapat membantu nenek tersebut. Beberapa peserta lain percaya bahwa perempuan lanjut usia tersebut sudah memiliki kemampuan untuk menyelamatkan dirinya sendiri, dan berbagai alasan lainnya.
Dari berbagai jawaban tersebut, Risye menekankan pentingnya kesadaran untuk mengenali “ketidaksiapan” tersebut sebagai dasar kesiapsiagaan masyarakat sebelum bencana datang. Berbagai persiapan teknis dan mental tersebut itu menjadi bekal penting bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana seperti Indonesia.
Lebih lagi, kesiapan menghadapi situasi bencana di berbagai tempat juga memijak lanskap realitas sosial yang partikular dan kompleks. Pemikiran dan proses pengambilan keputusan setiap orang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Berbagai faktor itu menghasilkan wacana-wacana yang tak jarang berseberangan. Bahkan, dalam tingkat individu sekalipun, keragaman pemikiran dan pertimbangan itu dapat menghasilkan dilema.
Berbicara topik dilema dan bencana dalam konteks Jogja, tentu tidak terlepas dari nama Mbah Marijan. Dr. Elis Zuliati Anis, dosen komunikasi Universitas Ahmad Dahlan, menyinggung dilema yang dihadapi Mbah Marijan sebagai abdi dalem juru kunci Merapi dan masyarakat pengikutnya pada peristiwa erupsi Merapi 2010. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman telah meminta masyarakat untuk turun menjauh dari zona bahaya Merapi. Namun, Mbah Marijan bergeming di tempatnya. Ia melihat bahwa sebagaimana Merapi telah menjaga dirinya dan semua makhluk yang hidup di sekitarnya, ia juga harus menjaga Merapi. Pada akhirnya, Mbah Marijan, dan beberapa penduduk yang enggan meninggalkan rumah, meninggal dunia terkena awan panas. Perbedaan pandangan dan pertimbangan dalam menghadapi situasi bencana antara Mbah Marijan sebagai juru kunci Merapi dan BPBD sebagai representasi ahli kebencanaan nasional menjadi dilema yang alot di tengah kenyataan sosial yang begitu berlapis dan dinamis. Melalui situasi ini, Risye menunjukkan bahwa manajemen bencana tidak lepas dari keragaman pemikiran yang tertanam di masyarakat—sekecil apapun jumlah komunitas tersebut.
… Tertimpa Marginalisasi Pula
Setelah menekankan pentingnya kesadaran akan konteks keberagaman, Risye membawa diskusi pada isu marginalisasi yang sering terabaikan dalam situasi bencana. Risye menyinggung sebuah contoh kasus diskriminasi yang muncul terhadap kelompok LGBTQ dalam situasi penanganan korban bencana. Ketika mendaftarkan diri sebagai penerima bantuan korban erupsi Merapi, mereka ditolak dengan alasan orientasi seksual yang berbeda dengan mayoritas masyarakat. Partisipan lain juga mengangkat isu diskriminasi atas dasar perbedaan agama dan etnis, seperti penolakan bantuan dari gereja di Cianjur beberapa waktu lalu dan rasisme terhadap etnis Tionghoa ketika limbah pabrik merusak persawahan warga setempat dalam konteks Orde Baru pada tahun 1996 di Kabupaten Malang. Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa di tengah situasi genting, konflik sosial berbasis identitas keagamaan bisa menambah pikulan beban korban bencana.
Mengenai hal ini, Dr. Iqbal Ahnaf, dosen studi konflik dan perdamaian di CRCS, berpendapat bahwa memang situasi kebencanaan juga tidak akan lepas dari konflik dan hierarki sosial yang tertanam di masyarakat. Konflik dan diskriminasi tersebut bahkan dapat meruncing, alih-alih menghilang, di tengah situasi keterbatasan sumber daya seperti bencana. Keterbatasan sumber daya menjadi alasan untuk menormalisasi terhadap peminggiran sosial tersebut. Senada, Pongponrat dan Ishii (2011) yang menganalisis kasus tsunami Jepang 2011 memperlihatkan contoh nyata dari diskriminasi tersebut. Para perempuan migran asal Thailand yang terdampak bencana di Jepang mengalami marginalisasi dan ancaman berlapis akibat perbedaan bahasa dan statusnya sebagai perempuan imigran.
Di lain sisi, Dr. Samsul Maarif, kepala program studi CRCS, membagikan pengalaman yang berbeda saat mengalami situasi hurikan Katrina 2005. Saat itu, ia merasa bahwa perbedaan agama tidak lagi dipertanyakan ketika didesak oleh situasi bencana. Kemanusiaan menjadi prioritas utama yang mengalahkan potensi konflik dari ragam identitas sosial. Oleh karena itu, keragaman dalam situasi bencana tidak perlu sepenuhnya dilihat sebagai ancaman.
Melalui simulasi Crossroad Game dan berbagai kisah yang dibagikan di ruang diskusi, kita dapat menarik benang merah bahwa tidak ada pengalaman yang dapat digeneralisasi. Beragam latar belakang dan pengalaman orang yang terlibat dalam bencana, baik sebagai korban maupun relawan, melahirkan beragam respons juga. Karenanya, keragaman harus senantiasa menjadi pertimbangan dalam kesiapsiagaan bencana dan penanganannya di lapangan. Dalam kondisi gawat bencana, memang tidak semua orang akan mendiskriminasi, tetapi kita harus tetap sadar bahwa diskriminasi itu sangat mungkin terjadi.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini dokumentasi The U.S. National Archives (2005).