Siapa Berhak Berbicara atas Nama Perempuan?
Nezia Mavitau Rustyana – 9 Oktober 2019
Dari Michel Foucault kita tahu bahwa apa-yang-benar hanya lahir dari sistem wacana yang tidak bisa lepas dari relasi kuasa tertentu. Dalam gagasan filsuf Prancis itu, klaim atas kebenaran pada saat yang sama juga merupakan klaim atas kekuasaan. Yang dominan dalam relasi kuasa ini akan menentukan yang benar dan ‘normal’ dan, sebagai konsekuensinya, mengimplikasikan apa yang keliru dan ‘abnormal’. Kerangka pikir Foucauldian ini merembesi aneka bidang, sebab kuasa dalam sistem gagasannya bermakna luas, yakni bukan sekadar antara pemerintah dan rakyat, melainkan juga dalam pelbagai relasi ketika satu pihak mendominasi sementara yang lain tersubordinasi, seperti dalam relasi gender.
Di CRCS, topik tentang siapa yang sedang menguasai wacana dan siapa yang seharunya lebih berhak berbicara dalam relasi gender menjadi bahasan di salah satu kelas mata kuliah Religion, Gender, and Postcolonialism dengan pengajar Dr Katrin Bandel. Di samping Discipline and Punish (1975) karya Foucault, rujukan lain dalam pembahasan di kelas ini adalah tulisan dari Gayatri Spivak dan beberapa penulis pascakolonial lain. Tampak indikasinya dari nama mata kuliahnya, kelas ini menguraikan bagaimana para kolonial (lelaki, dan hingga tingkat tertentu juga perempuannya) mendiktekan apa-yang-beradab bagi, dan atas nama, para perempuan ‘Timur’.
Perempuan sebagai subaltern
Satu tulisan klasik dalam topik gender dan pascakolonialisme ialah karya Spivak berjudul Can the Subaltern Speak? (1988). Di tulisan ini ia antara lain mengajukan gagasan yang tak jauh dari kerangka pikir Foucauldian mengenai hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Bagi Spivak, pengetahuan tak pernah lepas dari kepentingan produsennya. Karena itu, produksi pengetahuan oleh kolonial patut dicurigai membawa kepentingan untuk menjustifikasi pelanggengan kekuasaan kolonial di tanah jajahan. Contoh utama yang diurai Spivak dalam tulisan itu ialah kebijakan kolonial Inggris ketika menghapuskan praktik sati di India pada paruh pertama abad 19. Sati (yang secara literal bisa berarti ‘istri yang baik’) ialah praktik pembakaran diri janda yang ditinggal mati suaminya.
Narasi yang dikembangkan kolonial Inggris dalam penghapusan dan kriminalisasi praktik sati, dalam ungkapan Spivak, ialah “lelaki kulit putih menyelamatkan perempuan kulit cokelat dari lelaki kulit cokelat”. Dalam narasi ini, sati digambarkan sebagai praktik barbar, dan karena itu kekuasaan kolonial perlu dilanjutkan di India guna menjalankan “misi pemeradaban” (civilizing mission), yang wujud konkretnya antara lain ‘membebaskan’ masyarakat India dari sejumlah praktik Hindu yang ‘tidak beradab’ seperti sati. Klaim ‘misi pemeradaban’ itu sendiri sebenarnya tidak disangga oleh bukti yang konsisten: Inggris tak benar-benar ingin mengampanyekan kesetaraan gender ketika praktik poligami, misalnya, hampir tak disentuh sebab berpotensi memicu protes terhadap pemerintahan kolonial dari ‘lelaki cokelat’.
Spivak sendiri tidak eksplisit menyatakan posisinya mengenai apakah praktik sati harus dihapus atau dilestarikan. Fokus tulisannya lebih menyoal betapa gender adalah salah satu titik tekan misi pemeradaban ala kolonial itu, dan norma mengenai ‘yang beradab’ dalam konstruki relasi gender ini didominasi oleh kolonial sebagai pemegang kuasa wacana. Nada dari judul tulisannya tampak ingin mengadvokasi agar perempuan India berbicara atas nama dirinya sendiri. Yang terjadi di India waktu itu ialah suara perempuan tidak didengar, atau kalaupun di-‘representasi’-kan, representasi ini melalui baik lelaki dan perempuan kulit putih maupun lelaki kulit cokelat.
Perempuan yang tidak bisa didengar suaranya, kalau bukan malah dibisukan, itulah yang disebut Spivak dengan subaltern. Istilah ini mengacu pada kelompok sosial tersubordinasi entah atas nama gender, kasta (seperti kasta mereka-yang-tak-boleh-disentuh, ‘untouchables’), atau jenis pengkelasan sosial lain yang, karena konstruksi pengetahuan dihegemoni bukan saja lelaki melainkan juga perempuan kulit putih, tidak bisa bersuara atas nama diri mereka sendiri.
Pemikiran pascakolonial Spivak bahkan bergerak lebih jauh lagi ketika ia mengkritik Foucault atas relatif absennya kolonialisme dalam sistem pemikirannya mengenai relasi kuasa dan kebenaran—atau dengan kata lain, ada ‘eurosentrisme’ dalam sistem pemikiran Foucault. Menggunakan istilah yang dipakai filsuf Prancis itu sendiri, bagi Spivak kerangka pikir Foucauldian masih menjalankan ‘kekerasan epistemik’ (epistemic violence) ketika menjadikan ‘Timur’ sebagai objek pengetahuan, dan pikiran Barat (yang ‘eurosentris’) sebagai subjeknya, dengan paradigmanya yang belum lepas dari cara pandang lelaki kolonial (colonial, male gaze) terhadap perempuan ‘Timur’. Dalam kerangka ini, masyarakat Timur (atau ‘Dunia Ketiga’, istilah yang dipakai—tapi juga dikritisi—Spivak) sebagai objek pengetahuan di-‘ekstrak’ datanya, lalu di-‘representasi’-kan sebagai ‘pengetahuan’ dengan juru bicaranya bukan dari mereka-yang-hendak-disuarakan.
Perempuan sebagai subjek
Rujukan bacaan di kelas mengetengahkan contoh-contoh lain yang mirip ihwal bagaimana ‘Barat’ memandang budaya ‘Dunia Ketiga’ yang ‘menindas’ perempuan sehingga ‘Barat’ (lelaki, dan hingga tingkat tertentu juga perempuannya) merasa berhak untuk ‘membebaskan’ para perempuan ‘Dunia Ketiga’ itu dari penindasan lelaki ‘Dunia Ketiga’. Satu bacaan yang diberikan berjudul Postcolonialism, Feminism, and Religious Discourse (2002, ed. Laura Donaldson & Kwo Pui-Lan), yang berisi tulisan-tulisan yang mengulas beragam contoh seperti tradisi mengikat kaki (footbinding) di Tiongkok, pemotongan kelamin perempuan di Afrika, jilbab dan niqab di negara-negara mayoritas Muslim, dan lain-lain yang dinarasikan ‘Barat’ sebagai bentuk ‘tertindasnya’ perempuan ‘Dunia Ketiga’. Tulisan-tulisan di buku ini bahkan melancarkan kritik pada sejumlah penulis perempuan Barat feminis yang, ketika menjatuhkan penilaian terhadap praktik-praktik itu, informasi dan data-datanya mereka dapatkan dari catatan kolonial.
Pembahasan di kelas juga menyentuh contoh-contoh lain yang lebih dekat di Indonesia termasuk tradisi pemotongan jari di satu etnis di Papua, pemanjangan daun telinga dengan banyak anting di satu komunitas di Kalimantan, dan juga soal yang menyangkut banyak Muslimah seperti jilbab dan poligami. Seperti sati, fokus telah pascakolonial bukanlah pada apakah praktik-praktik ini bertentangan dengan norma tertentu seperti hak asasi manusia atau otonomi tubuh perempuan ala feminisme awal, melainkan pada siapa yang menjadi hakim; dalam posisi apa ketika ia menghakimi praktik-praktik ini; siapa yang lebih berhak berbicara atas nama siapa; dan untuk kepentingan apa penghakiman itu dilakukan. Sekali lagi, di antara premis dasar pascakolonialisme ialah produksi pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan produsennya.
Di sini saya tidak berniatan mewakili para pemikir pascakolonial. Namun, setelah belajar di kelas ini saya mendapat perspektif bahwa, jika mesti ditarik satu aspek normatif dari kajian pascakolonial ini, perempuan sendirilah, sebagai subjek, yang harus diperkuat agar mereka mampu berbicara atas nama diri mereka sendiri dengan kesadaran penuh. Narasi apapun yang ditambahkan di atas upaya ini, seperti ‘pembebasan’, ‘kesetaraan’, dan ‘keadilan’, tetap kudu berporos pada pengalaman perempuan sendiri sebagai subjek. Jadi, bila memakai peristilahan Spivak, agaknya pertanyaan dia bisa diteruskan menjadi lebih bernada advokatif: ‘Can the subaltern be heard, and how?’ Atau, dengan mengubah narasi kolonial Inggris di India itu, pertanyaannya bisa menjadi: bagaimana agar ‘perempuan kulit cokelat berbicara sendiri untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari subordinasi oleh siapapun terlepas dari gender dan warna kulitnya’?
_________________
Nezia Mavitau Rustyana adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2019.
Baca juga: Dilema Multikulturalisme dan Keadilan Gender