Silek di Rantau:
Membela Diri, Merawat Tradisi
Bibi Suprianto – 29 September 2023
Beberapa pekan silam kita dihebohkan dengan bentrok antarperguruan silat Indonesia di Taiwan yang berujung pada korban meninggal dunia. Fakta memalukan sekaligus memilukan ini secara tidak langsung membentuk citra negatif pencak silat sebagai ajang baku hantam. Padahal, bagi beberapa masyarakat adat di Indonesia, pencak silat bukan sekadar seni bela diri, melainkan bagian dari identitas dan tradisi.
Silat, Rantau, dan Minangkabau
Salah satu kelompok masyarakat yang dekat dengan tradisi silat ialah Minangkabau di Sumatra Barat. Dalam tradisi Minangkabau, silat—yang disebut dengan silek—erat kaitannya dengan tradisi merantau. Silek merupakan bekal wajib bagi para lelaki yang akan meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pengalaman hidup. Sebelum merantau, mereka harus belajar silek untuk membela diri dan melatih jasmani. Dalam tradisi Minangkabau, silek berbeda dengan mancak kendati bentuk gerakannya hampir serupa. Gerakan silek cenderung melumpuhkan lawan, sementara gerakan mancak untuk kepentingan hiburan dan pertunjukan seni. Sebagai bagian dari tradisi, silek diajarkan dan diwariskan turun-temurun melalui guru yang disebut tuo silek. Para pemuda Minang ini berlatih silek di surau biasanya saat malam hari sebelum jam 12 malam, ada juga beberapa latihan yang dilakukan di tengah terik siang. Pengajaran silek selalu dibarengi dengan pengajaran agama agar para pesilat tidak menyalahgunakan ilmu yang ia pelajari. Berbekal silek, para pemuda Minang diharapkan punya kemampuan untuk menjaga dirinya (panjago diri) di tanah perantauan.
Selepas di perantauan, yang menjadi guru tidak lagi tuo silek, tetapi alam tempat ia bernaung. Seperti falsafah Minang alam takambang jadi guru, alam semesta menjadi guru pembimbing yang akan membedakan cahaya kebenaran dan kebatilan. Karenanya, merantau bukanlah ajang pencarian kemapanan ekonomi, melainkan penempaan diri secara jasmani maupun rohani. Ketika seorang lelaki minang merantau, ia berusaha mengamalkan ilmunya di tempat yang baru. Seorang lelaki bujang yang hanya tinggal di kampung halaman belum pantas menjadi bagian dari niniak mamak (lembaga adat yang terdiri dari pengulu dari beberapa klan). Seorang niniak mamak harus memiliki keluasan khasanah ilmu, pengalaman, dan bersikap bijaksana baik dalam berbuat maupun berkata. Kesemuanya itu tidak bisa diperoleh di kampung halaman, tetapi harus ditempuh di tanah perantauan (Zulfikarni dan Liusti, 2020).
Filosofi silek dan tradisi rantau tersebut digambarkan dengan cukup baik dalam film Merantau (2009). Film aksi laga ini mengisahkan sepak terjang Yuda (diperankan oleh Iko Uwais), pemuda Minang, yang tengah merantau ke ibukota untuk mengajarkan silat. Ketika menghadapi berbagai tantangan dan ancaman di ibukota, silek harimau Minang yang ia pelajari tidak hanya menjadi senjata ampuh untuk membela diri, tetapi menjadi identitas yang membentuk eksistensi dirinya.
Spiritualitas dan Identitas dalam Silek
Dalam Merantau, Yuda sang tokoh utama digambarkan sebagai pesilat yang mewarisi ajaran silek Harimau. Jenis silek ini merupakan salah satu silat khas Minangkabau. Seperti yang tersemat dalam namanya, silek harimau ini banyak meniru gerakan harimau yang gesit dan mematikan. Dalam kebudayaan Minangkabau, harimau (panthera tigris) telah mendapat tempat khusus bahkan sejak zaman pra-Islam (Ismar, dkk. 2023). Dengan kekuatan fisik dan keindahan penampilan dalam setiap gerakan, harimau merupakan sebagai sumber kebijaksanaan, pelindung manusia, dan penjaga moral manusia. Karenanya, raja binatang buas ini dianggap sebagai hewan agung yang memiliki kualitas mistik yang melampaui fisik. Masyarakat Minangkabau percaya bahwa harimaulah yang mengajarkan bela diri kepada manusia. Leluhur harimau diyakini datang ke surau di tengah malam dan menampakkan diri dalam bentuk binatang. Sang harimau kemudian memilih seorang sasian (anak murid) untuk mengikutinya berlatih di tempat terpencil.
Cerita lisan yang diwariskan secara temurun ini menunjukkan bahwa keberadaan silek merupakan tinggalan leluhur. Oleh karena itu, seperti yang diungkap oleh Datuk Edwel Dampo Alam dalam Ismar, dkk. (2003), “berlatih silek bukan sekadar belajar tentang gerak dan langkah, melainkan juga belajar tentang sejarah dan warisannya.” Gerakan-gerakan dalam silek harimau seperti kudo-kudo (gerakan siaga atau kuda-kuda), gelek (menghindar), lantiang (lompatan), caka (cakar), dan cakiak (cekik) merupakan hasil dari harmonisasi rasa pesilat dan kekuatan harimau. Sebelum memulai berlatih atau beradu, para pesilat melakukan sambah atau penghormatan kepada bumi, langit, maupun orang-orang di sekitarnya.
Sebagai sebuah ilmu esoterik, pewarisan silek harimau membutuhkan ritual inisiasi secara khusus. Ritual ini pula yang membedakan pengajaran silek dan mancak dalam tradisi Minangkabau. Dalam ritual inisiasi, ada beberapa perlengkapan yang perlu disiapkan yang masing-masing memiliki makna simbolik. Di antaranya, kain putih sebagai simbol kematian dan kebersihan. Kain putih ini menjadi pengingat bahwa setiap tindakan harus dimurnikan dengan niat. Benda berikutnya adalah pisau yang menyimbolkan keahlian yang terus diasah untuk kebaikan. Pisau ini ditemani oleh uang koin—sebagai tanda kemandirian seorang murid—dan siriah langkok (sesajen sirih)—yang melambangkan pahit manis kehidupan. Kelengkapan yang tak kalah penting ialah ayam sebagai hewan yang bangun pertama kali saat fajar. Ayam ini nantinya akan disembelih dengan cara islami sebagai simbol penyucian segala niat buruk (Ismar, dkk., 2003). Ritual inisiasi tersebut merupakan upaya untuk menyegarkan dan menautkan kembali relasi dengan leluhur di masa lampau maupun masyarakat tempat ia berbakti saat ini dan nanti.
Dengan pandangan dunia semacam ini, setiap gerak dalam silek merupakan upaya untuk mengontekstualisasikan kembali identitas Minang yang mengalir dalam darah para pesilat. Mengamalkan silek berarti menautkan antara adat dan agama, antara kampung halaman dan perantauan. Keduanya merupakan bagian tak terpisahkan yang terus-menerus membentuk identitas masyarakat Minangkabau.
______________________
Bibi Suprianto adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Bibi lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini karya Deni Dahniel (2016) dari Wikimedia Commons