Suara Masyarakat Adat di Tengah Bayang-Bayang Demokrasi
Vikry Reinaldo Paais – 06 November 2024
Pembangunan nasional yang diklaim oleh pejabat pemerintahan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan sosial justru merampas, mengkriminalisasi, serta mengeksklusi hak-hak hidup masyarakat adat dan penganut agama leluhur. Hutan dan tanah mereka dirampas oleh negara untuk dijadikan kawasan produksi maupun konservasi. Ketika masyarakat adat berjuang mempertahankan hak atas tanahnya, mereka justru dikriminalisasi oleh aparat negara. Dalam konteks sosio-religius, sebagian besar masyarakat maupun pemimpin agama menstigma masyarakat adat sebagai belum beradab, masih primitif, serta belum beragama sehingga harus dimodernkan dan diagamakan. Problematika ini adalah tantangan serius dalam konteks Indonesia yang mengumandangkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan prinsip hidup berbangsa dan bernegara. Isu-isu krusial ini menjadi bahasan utama dalam perhelatan International Conference and Consolidation on Indigenous Religion (ICIR) ke-6 pada 22-25 Oktober 2024 di Ambon.
Tahun ini, ICIR mengusung tema “Performing Democracy” sebagai upaya untuk mempromosikan keadilan dan kesetaraan kepada kaum rentan, salah satunya adalah masyarakat adat. Tema ini merupakan respons atas praktik demokrasi formal yang tidak lagi mampu menyediakan ruang ekspresi untuk politik kewargaan. Karena itu, ICIR berusaha memotret dan mendiskusikan upaya-upaya kelompok rentan dalam mempraktikkan demokrasi dengan cara yang lebih inklusif dibanding cara formal negara.
Perhelatan ICIR tahun ini menyajikan sesi khusus sebagai wadah konsolidasi antara masyarakat adat dan media melalui Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan sehari sebelum konferensi utama berlangsung. FGD ini mempertemukan masyarakat adat dengan para jurnalis dan akademisi guna membahas berbagai problematika sosio-politik, kultural, dan religius yang dihadapi oleh masyarakat adat. FGD ini dihadiri oleh peserta yang terdiri dari enam kelompok masyarakat adat, yaitu: masyarakat adat Huaulu, Nuaulu, dan Nuniali dari Pulau Seram; masyarakat adat Geba dari Pulau Buru; masyarakat adat Mentawai dari Sumatera Barat; dan masyarakat adat Musi dari Sulawesi Utara. Selain itu, hadir juga perwakilan media massa seperti Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Narasi, Asosiasi Jurnalis Independen (AJI); dan beberapa akademisi.
Diskriminasi, Kriminalisasi, dan Misrekognisi Penganut Agama Leluhur
Masyarakat adat dan penganut agama leluhur di Indonesia masih menghadapi gelombang tantangan yang masif dan persisten. Martison Siritoitet, seorang pemuda Mentawai, mengisahkan pengalaman komunitasnya yang didiskriminasi dan dikriminalisasi pada tahun 1972. Berdalih modernisasi dan pembangunan, aparat kepolisian membakar rumah-rumah adat (umah), melarang penggunaan bahasa Mentawai, dan mengkriminalisasi masyarakat Mentawai yang memiliki tato adat. Tindakan ini menyebabkan generasi muda Mentawai kehilangan sebagian besar identitas sosio-religius-kulturalnya. Meski pada tahun 1980-an pemerintah mempromosikan kebudayaan Mentawai ke ranah internasional sebagai bagian dari kekayaan kultural, pengalaman kelam masa lalu tersebut tetap membekas. Bahkan, Martison sendiri mengakui bahwa dirinya tidak lagi bertato karena stigma bahwa tato adalah kriminal tetap mengakar.
Diskriminasi serupa juga dialami oleh Aflika Mamalango, perempuan adat Musi. Ketika mendaftar di sebuah kampus di Sulawesi Utara, formulir pendaftarannya dibuang oleh panitia hanya karena identitasnya sebagai penganut agama leluhur. Bahkan, ia pernah ditampar karena tidak membawa Alkitab ke sekolah. Beberapa masyarakat adat di kampungnya juga sering kali harus mengganti identitas agama di kolom KTP saat mendaftar ke perguruan tinggi atau mengikuti seleksi TNI dan Polri. Hal ini dilakukan agar tidak mengalami kendala saat proses pendaftaran.
Kendati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 97/PUU-XIV/2016 terkait rekognisi agama leluhur telah berlaku secara legal, tetapi timbul masalah lainnya yang dialami penganut agama leluhur di Maluku. Pada kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP), sebagian besar penganut agama leluhur di Maluku tercatat beragama Hindu. Namun, menurut mereka, tradisi dan agama yang mereka anut sangat berbeda dengan praktik Hindu yang saat ini diakui oleh negara. Bahkan, mereka sendiri merasa asing dengan hari raya Hindu seperti Nyepi, Galungan, dan Kuningan.
Fenomena misrekognisi seperti ini berimbas pada proses pendidikan anak-anak di sekolah. Sebagaimana yang dialami oleh masyarakat adat Nuaulu, anak-anak mereka harus mengikuti mata pelajaran agama yang berbeda dari agama yang dianut. Mata pelajaran agama selalu berganti setiap jenjang pendidikan dari SD, SMP, hingga SMA. Bagi mereka, mata pelajaran agama hanyalah formalitas agar mendapat nilai. Tak jarang, nilai pelajaran agama diberikan oleh guru secara cuma-cuma. Berkaca dari pengalaman tersebut, mereka mendorong agar negara mengakui dan memfasilitasi pendidikan agama mereka sesuai dengan pengetahuan dan kosmologi lokal mereka.
Perjuangan Hak Atas Tanah
Dalam perkembangannya, masyarakat adat juga harus berhadapan dengan masalah perampasan tanah (land grabbing) yang kompleks. Masyarakat Adat Nuaulu, misalnya, harus berjibaku dengan PT Bintang Lima Makmur (PT BLM) yang melakukan deforestasi di kawasan hutan adat. PT BLM menguasai lahan seluas 24.550 ha atas izin pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dan Kementerian Kehutanan. Operasi PT BLM menyasar hingga ke bekas kampung lama yang merupakan wilayah sakral, tempat masyarakat Nuaulu melaksanakan ritual adat. Akibatnya, ritual adat tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Terlebih, sumber mata air kini rusak, sering terjadi longsor, serta ruang hidup masyarakat menjadi terancam.
Sementara itu, masyarakat adat Huaulu di Seram utara justru menghadapi ancaman perampasan ruang hidup akibat pengelolaan Taman Nasional Manusela. Hutan yang seharusnya menjadi hak ulayat masyarakat adat dialihkan oleh pemerintah menjadi kawasan konservasi seluas 174.545,59 ha ini. Akibatnya, pemenuhan kebutuhan seperti berburu dan pemanfaatan hewan dalam ritual adat mendapat halangan. Dalam konteks tersebut, konservasi justru menghambat mata pencarian masyarakat. Aktivitas adat dan keseharian yang dilakukan di dalam hutan sangat rentan dikriminalisasi oleh aparat pemerintah. Padahal, masyarakat adat—sebagai komunitas yang bergantung pada hutan—memiliki relasi yang vital dengan alam untuk memenuhi kebutuhan seperti makan, biaya pendidikan anak-anak, ritual, dan lain sebagainya.
Tantangan krusial lainnya juga dialami oleh masyarakat adat Nuniali, sebuah desa Kristen di Kabupaten Seram Bagian Barat. Kala kerusuhan Ambon 1999 menyebar dengan masif, masyarakat adat Nuniali turut merasakan imbasnya. Rumah mereka dibakar dan dibumihanguskan oleh kelompok Islam radikal. Tak sedikit penduduk desa yang menjadi korban sehingga mereka terpaksa angkat kaki untuk mencari tempat pengungsian yang aman. Saat berada di pengungsian selama beberapa tahun, dusun atau tanah mereka kini telah ditempati oleh penduduk desa yang dahulu menyerang mereka. Mereka pun kehilangan hak atas tanah sendiri. Proses dan upaya untuk mengeklaim kembali hak atas tanah telah mereka lakukan selama beberapa tahun. Namun, tidak ada respons serius dari pemerintah. Hingga kini, masyarakat adat Nuniali terus berjuang untuk kembali mendapatkan hak atas tanah yang diwariskan leluhur kepada mereka.
Citra Masyarakat Adat dalam Pemberitaan Media
“Kami diberitakan secara negatif”, ujar Patty Nahatue, perempuan adat Nuaulu. Menurut Patty, banyak media memberitakan mereka secara tidak adil, mulai dari tuduhan bias bahwa kelompoknya adalah masyarakat barbar dan pemenggal kepala, serta stigma bahwa perempuan Nuaulu sering dikucilkan ketika haid atau melahirkan.
Pemberitaan semacam ini justru mempertajam stereotipe bahwa masyarakat adat Nuaulu adalah primitif, terasing, dan jahat, serta mereka melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Padahal, kenyataannya berbeda. Masyarakat adat telah lama meninggalkan tradisi pemenggalan kepala. Bahkan, jika tradisi itu pernah ada, pemberitaannya terlalu dilebih-lebihkan. Selain itu, perempuan yang sedang haid atau melahirkan tidak dikucilkan, apalagi diasingkan. Mereka justru ditempatkan pada bilik khusus untuk beristirahat dari aktivitas domestik. Pada masa-masa tersebut, perempuan dalam kondisi rentan dan memerlukan cukup istirahat untuk pemulihan tanpa gangguan. Itulah alasan bilik tersebut dikhususkan bagi perempuan dan terlarang didekati oleh laki-laki.
Merespons berbagai pengalaman masyarakat adat, Thowik, jurnalis Sejuk sekaligus pemandu FGD, mengakui bahwa masyarakat adat kerap dijadikan sebagai objek berita, tetapi jarang hadir sebagai subjek atau narasumber. Imbasnya, dalam konteks tersebut, media justru menguatkan stigma terhadap penganut agama leluhur. Meski demikian, menurut Thowik, eksistensi media tetap krusial dan signifikan. Media dapat dijadikan sebagai sarana advokasi untuk mengangkat isu-isu masyarakat adat. Sebagaimana yang terjadi belakangan, media memiliki peranan dalam upaya memopulerkan isu tertentu guna mendapatkan atensi publik dan pemerintah. “Viral adalah kunci!” jelasnya.
Selain itu, untuk menangkal informasi bias tentang praktik agama leluhur yang telah menyebar, para akademisi, aktivis, jurnalis, maupun masyarakat perlu mengisi lagi pemberitaan media massa dengan informasi tentang praktik agama leluhur secara inklusif dan non-diskriminatif. Karena itu, media dan masyarakat adat perlu saling mendukung. Dukungan paling sederhana ialah dengan mengakses dan membaca berita, memberi like, serta subscribe dan follow berbagai akun media. Pada satu sisi, kebutuhan ini dapat dipenuhi bagi kelompok masyarakat adat yang memiliki fasilitas serta mahir bermedia. Di sisi lain, masih banyak kelompok masyarakat adat yang mengalami kendala aksesibilitas. Di Maluku misalnya, keterbatasan sarana prasarana seperti jaringan telekomunikasi maupun minimnya kepemilikan perangkat elektronik di kalangan masyarakat adat menjadi kendala. Beberapa masyarakat adat tidak begitu bergantung pada pemanfaatan perangkat elektronik, apalagi media.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk memperkuat hubungan media dan masyarakat adat lewat penguatan pelayanan akses secara inklusif dengan tetap menghormati norma dan pengetahuan masyarakat adat. Dengan kolaborasi yang akomodatif, informasi tentang masyarakat adat dapat tersebar lebih akurat sekaligus memperkuat posisi masyarakat adat dalam narasi publik.
______________________
Vikry Reinaldo Paais adalah alumnus Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2021. Baca tulisan Vikry lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini dipotret oleh Phosphone/IndonesiaKaya