Wednesday Forum on August 23, 2017, discussing the relationship between Indonesia's New Order government and Muslim groups. The speaker: Gde Dwitya Arief Metera from Northwestern University.
islam
Anna M. Maćkowiak, a doctoral student from Jagiellonian University presented her research in Wednesday Forum about how Islam has been perceived in her home country, Poland.
A. S. Sudjatna | CRCS | Event Report
Secara historis dan genealogis, Yahudi, Kristen, dan Islam mengklaim memiliki hulu yang sama, yakni dari Ibrahim atau Abraham. Ketiga agama ini kerap mendaku dirinya masing-masing sebagai agama penerus dari tradisi Ibrahimiah, Abrahamic religion, atau millah Ibrahim. Karenanya, tak heran jika sampai saat ini, ketiga agama ini kerap bersaing dalam klaim kebenaran sebagai yang paling Abrahamic, atau sebagai pewaris paling sah atas millah Ibrahim yang mendakwahkan monoteisme sebagai inti ajarannya.
Di Indonesia sendiri, para pemeluk Islam dan Kristen tak jarang terlibat konflik, baik secara terbuka maupun tertutup. Gesekan demi gesekan, kasus demi kasus dalam perebutan pengaruh dan klaim terus berlanjut hingga saat ini dengan tren fluktuatif. Faktor kekhawatiran atas kondisi semacam inilah yang kemudian menggerakkan Dr. H. Waryono Abdul Ghafur, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menulis sebuah buku berjudul Persaudaraan Agama-Agama: Millah Ibrahim dalam Tafsir al-Mizan. Harapannya, dengan memahami substansi dari millah Ibrahim sebagai hulu dari Islam dan Kristen serta Yahudi, setiap pemeluk agama-agama ini dapat menangkap kesan persaudaraan yang hadir di dalamnya.
Untuk tiba pada pemahaman akan hadirnya garis persaudaraan di antara agama-agama penerus millah Ibrahim ini, ada tiga terma penting yang harus dipahami terlebih dahulu, yakni millah, din dan syariat. Ketiga terma ini biasanya diterjemahkan dengan agama saja di dalam Bahasa Indonesia. Padahal ketiganya memiliki makna yang berbeda. Secara ringkas, din dapat dipahami sebagai agama secara umum; sedangkan millah dimaknai sebagai tradisi; dan syariat adalah cara atau jalan tertentu yang khusus bagi suatu umat atau dapat juga dipahami sebagai cara atau ajaran nabi tertentu terhadap umatnya yang akan berbeda dengan cara nabi lainnya, misalnya syariat shalat dan puasa umat Nabi Muhammad yang berbeda dengan syariat puasa dan shalatnya umat nabi-nabi terdahulu. Dalam hal ini, millah Ibrahim dapat dipahami sebagai tradisi Ibrahim di dalam beragama yang memiliki seperangkat cara/syariat tertentu.
Menanggapi buku setebal 274 halaman yang diterbitkan oleh penerbit Mizan ini, Dr. Abdul Mustaqim, Ketua Program Studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga, yang menjadi pembedah pertama buku tersebut, mengatakan bahwa konsep millah Ibrahim ini dapat menjadi basis teologis dan epistemologis kerukunan beragama, terutama tiga agama besar dunia, yakni Islam, Kristen dan Yahudi.
Secara lebih lanjut, ia lalu menjelaskan karakter dari millah Ibrahim yang telah dikonseptualisasikan oleh Dr. Waryono di dalam buku tersebut berdasarkan analisisnya terhadap tafsir al-Mizan, yakni fitrah, tauhid, hanif, islam dan iman. Fitrah berarti ajarannya itu sejalan dengan naluri kemanusiaan. Tauhid berarti mengesakan Tuhan. Hanif berarti condong kepada kebenaran atau lurus. Islam—dalam hal ini bukan Islam yang menjadi proper name agama—bermakna, di antaranya, kepasrahan sikap atau kepasrahan total terhadap Tuhan. Iman berarti konsistensi antara pengetahuan dan perbuatan, atau pembenaran terhadap sesuatu disertai dengan melakukan konsekuensinya. Dalam hal ini, suatu din atau agama dapat dikategorikan sebagai penerus millah Ibrahim jika memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
Dr. Abdul Mustaqim juga menyoroti pembahasan mengenai Yahudi dan Nasrani yang dikategorikan sebagai ahli kitab di dalam pembahasan buku tersebut, termasuk pembagian Yahudi dan Nasrani yang dikategorisasi ke dalam dua bagian, yakni mukmin dan kafir. Ahli kitab yang kafir dicirikan dengan karakter thugyan (durjana/melampaui batas), ghuluw (ekstrem), melakukan penentangan, berbuat zalim dan nifaq. Menurutnya, ketika melakukan kategorisasi ini, Dr.Waryono sedang melakukan kajian tematik terma sekaligus tokoh. Disebut tematik terma karena Dr. Waryono banyak membahas soal terma-terma tertentu; disebut tematik tokoh karena ia memilih salah satu karya tokoh sebagai subjek bahasannya, yakni Thabathaba’i. Dalam hal ini, Dr. Abdul Mustaqim kemudian menyarankan bahwa karakter-karakter yang membuat ahli kitab dikategorikan sebagai kafir juga seharusnya direfleksikan terhadap muslim, sehingga ini dapat menjadi peringatan bagi umat Islam dalam beragama.
Memungkasi pembedahannya atas buku tersebut, Dr. Abdul Mustaqim mengatakan bahwa konsep millah Ibrahim ini dapat menjadi otokritik bagi klaim kebenaran yang tertutup terhadap para penganut abrahamic religion, yakni para penganut Islam, Kristen dan Yahudi, sebab semua agama secara historis memiliki potensi menyimpang. Dengan memahami ini, kita nantinya tak akan terjerumus kepada keberagamaan yang semu, melainkan akan memiliki keberagamaan yang otentik, yang menjadikan agama ini bukan untuk Tuhan, namun untuk kemaslahatan manusia. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa fenomena perbedaan agama tidak semestinya dijadikan penghalang untuk merajut persaudaraan, sebab secara genealogis kita memiliki akar payung yang sama, yakni millah Ibrahim.
Pembedah kedua, Dr. Zainal Abidin Bagir dari CRCS, Sekolah Pascasarjana UGM, menyoroti soal signifikansi Ibrahim di dalam Islam. Menurutnya, kelekatan Islam terhadap Nabi Ibrahim sangat kentara. Selain dalam salat, sejatinya ibadah haji dapat pula disebut sebagi napak tilas Ibrahim. Ini sangat menarik, sebab Islam sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad tidak melakukan napak tilas Muhammad, namun justru menapaktilasi Ibrahim di dalam salah satu ibadahnya.
Menyoroti terma-terma yang dibahas secara panjang lebar di dalam buku tersebut, terutama dengan istilah-istilah tauhid, kafir, iman, ihsan dan sebagainya, Dr. Zaenal Abidin Bagir mempertanyakan pemahaman mengenai terma-terma tersebut: apakah secara teologis ataukah etis. Menurutnya, jika dilihat dari maknanya, terma-terma semacam fitri, hanif, iman, islam, dan sejenisnya lebih dekat dengan persoalan etis ketimbang teologis. Di samping itu, dengan meletakkan terma-terma tersebut ke dalam landasan etis, maka nilai-nilai universal yang dapat hadir dan dimiliki bersama oleh ketiga agama yang mengklaim sebagai penerus millah Ibrahim ini lebih dapat mungkin untuk ditemukan dan dipertemukan, sehingga titik temu dan garis persaudaraan yang dimaksudkan dapat terlihat dengan lebih jelas. Selain itu, hal ini juga dikarenakan di dalam agama, menurutnya, aspek-aspek etis ini lebih ditekankan daripada teologis. Dalam hal ini, Dr. Zaenal Abidin Bagir mengingatkan penulis akan kalimatun sawa yang dideklarasikan di Jordan beberapa tahun lalu.
Menegaskan apa yang diajukan oleh Dr. Zaenal Abidin Bagir, di penghujung acara Dr. Abdul Mustaqim mengingatkan bahwa inti ajaran agama itu ada pada akhlak, atau persoalan etis, di mana Nabi Muhammad Saw. menegaskan di dalam haditsnya mengenai tujuan diutusnya, yakni untuk menyempurnakan akhlak, bukan melulu menegakkan aqidah, meski hal tersebut termasuk salah satu tugas kenabian. Ia kemudian menyampaikan bahwa sudah seharusnya kita mengubah paradigma dalam berteologi dari permusuhan menuju persaudaraan, dari kekerasan menuju kasih sayang, dari konflik menuju rukun, dari yang tercerai-berai menjadi bersatu, dari ekstremisme menuju moderasi, serta dari agama yang suka melaknat ke agama yang menebar rahmat.
Zainal Abidin Bagir | CRCS UGM | Opini
Tak sedikit tokoh, pejabat, politisi bahkan polisi yang memuji gelombang aksi protes terhadap ucapan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kontroversial itu. Pujian-pujian itu beralasan, karena meskipun kelompok yang memobilisasi atau mendukung demo tampaknya berasal dari spektrum yang amat luas, mulai dari yang sangat moderat hingga yang disebut garis keras, tuntutan akhir mereka sama, yaitu menuntut agar Ahok diproses di jalur hukum, secara adil dan berkeadilan.
Supremasi hukum demi tegaknya keadilan tentu adalah jalan beradab, demokratis dan moderat. Tapi benarkah demikian? Saya khawatir, imajinasi tentang keadaban dan sikap moderat seperti ini terlalu cetek. Tentu tidak keliru, tapi tidak cukup. Penyelesaian masalah melalui jalur hukum harus dipuji, jika alternatifnya adalah respon kekerasan. Namun, khususnya dalam kasus “penistaan agama”, ada banyak alasan untuk meragukan bahwa seruan itu adalah jalan terbaik untuk memecahkan masalah, dan mungkin justru tak menjanjikan keadilan.
Sebab utamanya adalah bahwa peristiwa ini (ucapan Ahok dan pembingkaian atas peristiwa itu sebagai “penistaan agama”), jika masuk pengadilan, kemungkinan besar merujuk merujuk pada Pasal 156A KUHP, yang tidak memiliki karir gemilang dalam sejarah Indonesia. Ini adalah bagian dari pasal-pasal karet “kejahatan terhadap ketertiban umum” dalam KUHP. Pasal yang ditambahkan pada tahun 1969 atas perintah UU 1/PNPS/1965 ini memiliki nilai politis yang amat kuat. Target awalnya adalah untuk membatasi aliran-aliran kebatinan/kepercayaan yang terutama bersaing dengan kekuatan politik Islam pada tahun 1950 dan 1960an.
Setelah tahun 1998, target itu bergeser. Target lama tetap ada, meskipun bukan mengenai aliran-aliran kebatinan lama, tapi gerakan-gerakan baru seperti Salamullah yang dipimpin Lia Eden, atau Millah Abraham. Tak ada isu politik penting dalam mengejar kelompok-kelompok itu, namun alasan utamanya adalah “pemurnian” Islam (dan mungkin alasan soisal-ekonomi-politik lain). Selain itu, tujuan baru penggunaan pasal ini adalah sebagai upaya peminggiran intraagama, yaitu kelompok-kelompok dalam komunitas Muslim sendiri, seperti Ahmadiyah dan Syiah, yang sebetulnya sudah eksis di Indonesia sejak jauh sebelumnya. Dalam Kristen, ada beberapa kasus serupa. Pasal penodaan agama jarang digunakan sebagai ekspresi perselisihan antaragama, kecuali dalam beberapa kasus.
Melihat rentang wilayah penggunaan pasal KUHP itu, kita bisa segera mencurigai efektifitasnya. Bagaimana mungkin keyakinan (misalnya bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul terakhir dalam Islam) dijaga dengan pasal yang sama yang memenjarakan orang selama 5 bulan karena memprotes speaker masjid yang terlalu keras (seperti di Lombok pada 2010; seorang perempuan Kristen yang mengomentari sesajen Hindu (seperti di Bali pada 2013); atau seorang “Presiden” Negara Islam Indonesia yang mengubah arah kiblat dan syahadat Islam, namun kemudian pada 2012 hakim memberi hukuman setahun, untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Itu hanyalah beberapa contoh yang bisa diperbanyak dengan mudah.
Selain rentang implementasi yang demikian luas, persoalan lain adalah amat kaburnya standar pembuktian kasus-kasus semacam itu. Kasus-kasus yang diadili dengan Pasal 156A tersebut biasanya menggunakan cara pembuktian serampangan, dengan pemilihan saksi ahli yang tak jelas standarnya pula (dalam satu kasus pada tahun 2012, seorang yang diajukan sebagai saksi ahli agama bahkan tidak lulus sekolah). Penistaan atau penodaan bukan sekadar pernyataan yang berbeda, tapi—seperti dinyatakan Pasal 156A itu—mesti bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan, bahkan mesti ada maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Apakah Ahok, yang membutuhkan suara mayoritas Muslim Jakarta, berpikir untuk memusuhi mereka?
Selain itu, apakah ia dianggap menghina Islam, atau ulama? Yang dikritiknya adalah Muslim yang disebutnya membohongi pemilih DKI dengan menggunakan ayat 51 surat Al-Maidah. Apakah muslim seperti itu identik dengan Islam, sementara banyak ulama dan terjemahan Al-Qur’an memberikan tafsir berbeda?
Dalam kenyataannya, jika kasus ini masuk ke pengadilan, seperti dapat dilihat dalam banyak kasus, pertanyaan-pertanyaan tentang standar pembuktian kerap diabaikan. Yang menjadi pertimbangan yang tak kalah penting adalah “ketertiban umum” (yang menjadi judul Bab KUHP yang mengandung pasal tersebut). Persoalannya, ancaman terhadap “ketidaktertiban umum” itu lebih sering dipicu oleh pemrotes yang merasa tersinggung, dan bukan pelaku itu sendiri. Karena itulah, demonstrasi besar jilid satu dan dua pada 4 November nanti—dan bukan ucapan Ahok itu sendiri—menjadi penting sebagai dasar untuk menggelar pengadilan atas Ahok.
Pemurnian sebagai politik
Penting dilihat bahwa dalam kenyataannya, Pasal 156A dipakai hanya selama sekitar 10 kali sejak tahun 1965 hingga 2000, dan tiba-tiba dalam 15 tahun terakhir demikian populer, telah digunakan sekitar 50 kali! Apakah setelah Reformasi ada makin banyak para penoda agama atau orang-orang yang sesat? Atau ada penjelasan lain dengan melihat transisi politik pada 1998?
Seperti halnya pasal-pasal kriminal serupa di banyak negara lain tentang “penodaan”, “penistaan”, atau “blasphemy”, upaya seperti ini biasanya memang menggabungkan dua tujuan sekaligus: tujuan penjagaan “kemurnian agama” (tentu dalam versi kelompok yang memiliki kuasa untuk mendiktekannya) dan tujuan politik. Pasal ini menjadi instrumen efektif untuk menjalankan politik “pemurnian” agama, yaitu penegasan kuasa politik suatu kelompok keagamaan.
Pada tahun 2010, UU ini dan Pasal 156A diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Benar MK mempertahankan pasal ini, namun perlu dilihat juga catatan panjang yang diberikan para hakim MK tentang kelemahan-kelemahannya, dan saran agar pasal ini direvisi supaya tidak diskriminatif serta mendukung pluralisme Indonesia. Bahwa ada unsur politik, bukan semata-mata pidana, dalam pasal ini, tampak dalam pertimbangan MK yang panjang, hingga mengelaborasi persoalan filosofis mengenai hubungan agama dan negara, dan sejarah Indonesia sebagai negara berketuhanan.
Bagaimana mengatasi Ahok: Imajinasi yang lebih kaya
Maka kita bisa bertanya, apa sebetulnya tujuan dari keinginan besar untuk mengadili Ahok sebagai penista agama? Soalnya mungkin bukan tentang umat Islam yang sudah seharusnya tersinggung atas upaya penistaan agamanya. Pertama, ketersinggungan itu mungkin dirasakan setelah pernyataan Ahok itu dibingkai orang dan kelompok tertentu, yang lalu memobilisasi massa. (Sekali lagi, ini mirip dengan kasus “penodaan” lain, seperti kasus kartun Denmark.)
Selain itu, jika tak ada alasan politik praktis menjelang pilgub DKI atau yang lain, tapi ini soal menjaga kemurnian agama, benarkah kita mau menggantungkan kemuliaan agama pada satu pasal karet yang sama yang telah digunakan untuk mengadili orang dengan gangguan kejiwaan, pencabut speaker masjid, seorang ibu rumah tangga yang mengomentari sesajen Hindu, atau banyak kasus-kasus lainnya?
Baca lagi –> https://islamindonesia.id/
_________
Penulis adalah seorang Dosen Center for Religious and Cross-cultural Studies – Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Robina Saha | CRCS | Article
Robina Saha is a Shansi Fellow to Indonesia. She taught english at the Center for Religious and Cross-cultural Studies, Gadjah Mada University Yogyakarta from August 2014 – to June 2016.
I first visited the city of Banda Aceh in the spring of 2009. As I stepped out of the airport and drove into town, I was greeted by a quiet Indonesian city framed by a gorgeous vista of mountains to the south, glittering coastline in the north, and tranquil rice paddies in between. Smooth, wide roads and fresh-faced buildings were the most telling signs of the city’s destruction at the hands of the 2004 tsunami and the investment that flowed into Aceh in its wake. The hotel where I stayed displayed photos of boats that had crashed into houses miles away from shore, some of which remain in situ today as memorials and tourist attractions. But it was hard to map these images of debris and desolation onto the clean, quiet little space I traversed between the hotel and the public school where I taught for a week.
At sixteen, I knew little about Aceh apart from its destructive encounter with the tsunami. Although I was born in Indonesia and lived in Jakarta for the first six years of my life, Aceh was geographically, culturally and politically as far removed as any other country. Until 2005, the region had been embroiled in a bloody conflict between the Indonesian military and the separatist Free Aceh Movement; at the time, travel to Aceh was rare and required special permits. Growing up in metropolitan cities where headscarves were rare and the vast majority of Indonesians I knew were from the island of Java, Aceh was something we only heard about on the news in relation to sharia law and ongoing violence. Looking back, I went to Aceh with an image not dissimilar to the one most Americans have of the Middle East, or Indians of Kashmir: Islamic fundamentalism and destruction.
Upon actually arriving in Banda Aceh, I felt a little foolish for being surprised, half-expecting to be accosted by the sharia police at every corner. While all the Indonesian women wore jilbabs (headscarves), I was never made to feel uncomfortable for leaving my frizzy nest of hair exposed. If anything, in a city more accustomed to Western NGO-workers, my face and arms were of interest mainly in order to determine whether I was possibly related to any Bollywood stars (specifically: Kajol; answer: I wish). Like many cities in Indonesia, there are mosques on every street, and I enjoyed seeing the variety of styles and sizes, from simple neighbourhood masjids to the toweringly beautiful Baiturrahman Grand Mosque. At prayer time, the entire city, warungs and all, would shut down, often leaving us to order room service nasi goreng or head to the lone Pizza Hut where we would sip on bottles of Coca Cola and wait it out.
In other words, my prevailing impression of Banda Aceh was of a quiet, conservative, and surprisingly lovely Muslim city populated by Indonesians just as friendly, curious and warmly hospitable as any other I’ve met. Later, upon reflection, I realised that as a visiting foreigner it was easy to glance over the strict policing of moral codes when I wasn’t the target. I never crossed the sharia police in their khaki uniforms, prowling the streets in pick-up trucks and lying in wait at roadblocks in search of unmarried Indonesian couples and uncovered Muslim women. After reading more about the region’s turbulent history, I came to appreciate that I had barely scratched at the surface layer of a city grappling with the process of constructing a contemporary social and political Islamic identity. The after-effects of a natural disaster popularly viewed as a punishment from Allah for decades of civil war had etched themselves far more deeply in the Acehnese psyche than I could have shallowly perceived.
Although I was born in, come from, and grew up in countries with significant Muslim populations, this was in many ways my first conscious confrontation with the blurred convergences between the Islam I saw in the media and what I observed on the ground. At times it can feel like staring at a double-exposure, trying to figure out where one image ends and the other begins. Looking back, although I wouldn’t have said it at the time, many of the decisions I made over the next six years—learning Arabic, studying Islamic culture and politics, writing my senior thesis on the post-9/11 display of Islamic art in Western museums, and ultimately coming back to Indonesia as a Shansi Fellow—could potentially be traced back to this first encounter with contemporary Islam and the questions it sparked in my mind about the representations and realities of Muslims around the world.
When I was first offered the Jogja fellowship in November 2013, I was deep in the process of writing my senior thesis, which was in part a critique of the Islamic art field for its exclusion of most non-Middle Eastern Islamic cultures. Having grown out of European colonial paradigms of Islam, the Middle East and Asia, what we call “Islamic art” is largely limited to the art and architecture of the Arabian Peninsula, Central Asia, Iran, Turkey and India. Islam first arrived in Southeast Asia through trade as early as the 12th century, and today the region makes up a quarter of the world’s Muslim population. It’s also one of many areas that are conspicuously absent from introductory textbooks, museum displays and courses of Islamic art. Specifically in the case of Indonesia, this too can be traced back to the impact of Dutch colonial scholarship, which focused on the archipelago’s Hindu and Buddhist heritage at the expense of its contemporary Islamic culture—partly as a way to delegitimize local Islamic resistance groups. Over time it became an accepted truth that Islamic cultures outside of the European-defined Orient were simply a corruption of the “real” Islam.
In a post-9/11 context where the international image of Islam is largely informed by the puritanical Wahhabism propagated by Saudi Arabia and the fundamentalist extremism carried out by ISIS, I argued in my thesis that the inclusion and visibility of Islamic culture from traditionally peripheral regions like Southeast Asia in displays and discussions of Islamic culture would help challenge the common misconception of a singular Islam located solely in the Middle East. At 200 million and counting, Indonesia has the single largest population of Muslims in the world, and yet most people would struggle to find it on a map. The Islamic culture that developed and spread here in the 15th and 16th centuries is certainly different and more syncretic in character due to its intermixing with pre-existing Hindu and Buddhist religions of the time. But to me this speaks more to the diversity of Islam across the world than the predominance of a single, “original” interpretation that has come to dictate the mainstream international discourse.
Jogja, as the heartland of Javanese culture and the seat of the last major Muslim kingdom in Java, with a majority-Muslim population and a thriving contemporary art scene, presented what seemed like a perfect opportunity to test the ideas I had put forward in my thesis. Despite having grown up in Southeast Asia, I still knew shamefully little about its history of Islamic culture, and I was about to spend two years in the heart of it all. This time, I wanted to come prepared with questions that would frame my thoughts and conversations here.
In the last 15 years, it seems that Indonesia has undergone a sharp Islamic revival, particularly among the younger middle-class generation. When my family left in 1999, it was still relatively rare to see women wearing jilbabs; indeed, for decades, the government had actively discouraged it as a threat to the pluralism that is enshrined in Indonesia’s political doctrine. These days, it’s uncommon for Muslim women not to wear one. Everyone I spoke to in the weeks leading up to my departure, from professors to old family friends, warned of increasing Muslim conservatism, even in a relatively liberal university town like Jogja. I was sharply reminded of my pre-Aceh expectations and the lessons I had learned since, but nonetheless packed a few scarves just in case.
The truth, as always, is a little more complicated. Islam here is certainly more visible than it has ever been. Schools are increasingly adopting policies that emphasise Islamic religious practices and uniforms, even in public universities. In any of my classes, out of roughly twenty-five students it’s rare to see more than two girls without a jilbab. According to a Muslim feminist activist I met a few months ago, this is a marked change from the Suharto era, when jilbabs were banned on school grounds and students and teachers alike could be expelled for wearing one. Wearing a jilbab in the Suharto days, it seems, became a form of symbolic resistance to the regime.
And yet, for many of the young Muslims I meet in Jogja, overt religious piety seems to function more as a public uniform that marks their identity and allows them to fit in. I still remember meeting my friend Imma at a café late one night, who turned out to be a student at the graduate school where I teach. Dressed in a chic powder-pink blouse, she wore her hair uncovered in a pretty shoulder-length bob. Upon discovering that I worked on the same campus as her, she grinned conspiratorially at me and said, “You probably won’t recognise me at school because I usually wear a jilbab.” When I responded with a confused blink, she laughed, explaining that she views the jilbab as a formal uniform for campus the way we wear blazers and heels to work in the West. As a Muslim woman she exercises her right to choose to cover up without compromising her beliefs. For her and her female Muslim friends, choosing not to wear the jilbab has become the new form of public resistance.
It was easy for me to think of Imma and her friends as an exception to the rule. Yet over the past two years I’ve met so many young Indonesians with their own approaches to the way they practice Islam, ranging from Muslims who cover their hair to those who sport chic haircuts; Muslims who identify as queer, gay and transgender; Muslims who have ringtones reminding them to pray during the day yet still drink alcohol at night. As I’ve come to know these people over extended karaoke sessions and late night café hangouts, it’s become clear that the way they practice their faith also constitutes a rejection of the idea of a single interpretation of Islamic law and culture.
A few months ago, Indonesia attracted international attention when it was featured in a New York Times article that described a film made by Nadhlatul Ulama (NU), Indonesia’s largest Muslim organisation, which denounces the actions of ISIS and promotes tolerance—or, as the author Joe Cochrane puts it, “a relentless, religious repudiation of the Islamic State and the opening salvo in a global campaign by the world’s largest Muslim group to challenge its ideology head-on.” The film is designed to introduce the world to NU and Islam Nusantara, or Indonesian Islam, as a tolerant and moderate alternative to fundamentalism and Wahhabist orthodoxy, rooted in traditionalist Javanese approaches.
Islam in Indonesia certainly can provide a model for tolerance and pluralism within a global Islamic framework. And like any other religious society, it also has its own tensions and fault lines. In Jogja it’s common for pro-LGBT and feminist events and film screenings to be shut down or cancelled by threats from radical groups like the Islamic Defenders Front (FPI) and the Front Jihad Islam (FJI). Many of these communities have been forced underground, and news is most often spread by word of mouth for fear of retaliation. My friends have been threatened and beaten at parties where the police have stood by and watched as FPI thugs lay waste to the venue. Just a few months ago, the city was plastered with anti-LGBT propaganda, and Pondok Pesantren Waria Al Fatah, an Islamic school for transgender Muslims, was forced to shut down amidst waves of extremist-led homophobic rallies.
In discussions about Islam and extremism, I often hear non-Muslim friends, family and colleagues calling upon Muslim communities to reject Islamic fundamentalism. That it is the responsibility of the moderate Muslims of the world to provide proof that they exist, to drown out the noise of radicalism that has dominated the airwaves. I’ve always felt uncomfortable with this idea because it ignores the fact that Muslims themselves are already the single largest victim of fundamentalist violence and oppression. For every beating, cancelled event and anti-progressive demonstration, there are Indonesian Muslims fighting back on the ground and on social media, rejecting the actions of these groups as un-Islamic—a word that continues to shift its meaning every time it is used.
Last December, I went back to Aceh to visit the Shansi fellows there. In many ways it was like being there for the first time; there was so much more to see and learn about beyond my limited initial experience. This time, armed with a motorbike, friends on the ground, and the ability to speak Indonesian again, I could finally start to fill in the outlines sketched in my mind six years ago with colour and complexity. One thing I didn’t notice the first time was the absence of cinemas, which were banned across Aceh under post-tsunami sharia law; men and women are not allowed to sit together in dark spaces, and foreign films are considered too promiscuous for Muslim audiences. The nearest movie theatre is in Medan, a fourteen-hour bus ride south.
Yet Acehnese film culture is far from dying. One night while we were staying in Banda Aceh, my co-fellow Leila was asked to judge a few short documentaries made by local filmmakers. We drove to a small studio tucked away on in a quiet street corner, where a group of young Muslim men greeted us with salak fruit and bottles of water. The corridor outside the screening room was lined with posters of short films and documentaries that, it turned out, had been organised and often produced by the same group. They provide resources for young filmmakers, run workshops, and organise screenings and programs like the Aceh Film Festival, which features short films and documentaries from Aceh, Indonesia and abroad. When I asked about the ban on cinemas, they expressed frustration at being unable to screen their films in a local theatre, but it hasn’t deterred them. If anything, the indie film scene has flourished in the wake of conservatism both in quantity and quality; Acehnese films are increasingly gaining recognition at national and international festivals.
In the six years I’ve spent studying Islamic culture and politics, I’ve learned that every one of these seeming contradictions constitutes a small part of the fascinating picture of the global religious, political and cultural phenomenon of Islam. When we allow the rich variety of opinions, practices and traditions across Islam’s broad geographic spread to be reduced to a single interpretation, we lose the shades of variation between depths and shallows, beauty and ugliness, tolerance and extremism. These last few months in particular—revisiting Aceh, travelling to Kashmir for the first time, and witnessing Jogja struggle visibly with surges of intolerance—have served to reinforce the importance of experiencing the broad spectrum of Islam firsthand. And the Islam I encounter in Jogja is as different from Acehnese Islam as it is from Kashmiri Islam, or Saudi Arabian Islam, or Iranian Islam.
I came to Indonesia with so many questions about Islam, and I will almost certainly leave it with just as many. But living here, witnessing the different facets of Islam Nusantara everyday has forced me to continuously confront my conceptions of Islam in a way that simply studying it from afar never could. Learning to recognise, understand and embrace these distinctions, contradictions and complexities has been a defining theme not only of my fellowship, but my entire understanding of contemporary Islam. Wherever my life takes me after Shansi, I hope I can continue to encounter Islam in all its various, beautiful, troubling, complex forms.
This article also published in http://shansi.org/
Azis Anwar Fachrudin | CRCS | Report
“Pengalaman mistis ialah pengalaman akan Yang Misterius, dan karena itu tak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” demikian ungkap Dr. Ammar Fauzi, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jakarta, dalam seminar tentang esoterisme Islam dan agama-agama lokal Indonesia pada 17 Mei 2016. “Orang yang bisa berkata-kata tentang pengalaman mistis,” lanjut Ammar mengutip Ibn ‘Arabi, “adalah orang yang tidak tahu.”
Dalam seminar yang diselenggarakan atas kerjasama Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) dan STFI Sadra di Sekolah Pascasarjana UGM itu, Dr Ammar Fauzi berbicara tentang beberapa konsep kunci dalam esoterisme Islam, terutama yang dirumuskan oleh Ibn ‘Arabi. Di antara konsep kunci itu ialah bahwa dalam kondisi ketika seseorang telah tenggelam dalam pengalaman mistis berjumpa dengan Tuhan maka yang terjadi pada dirinya ialah kondisi “bingung” (tahayyur) yang tak bisa dirasionalisasi dalam konsep-konsep dan karena itu upaya membungkusnya dalam kata-kata sama dengan reduksi.
Paradigma inilah yang kemudian membawa Ibn Arabi untuk menafsirkan ayat “waman yusyrik billah faqad dhalla dhalalan ba’idan” tidak dalam pengertian yang secara umum dikenal (“siapa menyekutukan Allah maka ia teramat sesat”). Kata “yusrik” di situ, dengan ditakwil (dikembalikan ke makna asalnya), bisa pula bermakna “menyamai atau berbagi sifat (syāraka)”, sehingga kita seorang hamba ber-yusyrik kepada Tuhannya—dan dengan demikian semakin mendekat pada aras Wujud-Nya—semakin ia akan mengalami dhalla, “kehilangan arah”, yakni kondisi ketika realitas empiris dan distingsi-distingsi yang dibuat manusia tidak lagi relevan baginya. Karena tafsir seperti ini, Dr Ammar mengklaim, sebenarnya Ibn ‘Arabi bisa disebut lebih literaris ketimbang Ibn Taimiyah yang sering diklaim sebagai ulama literalis dan pernah mengkafirkan ajaran wahdatul-wujud ala Ibn ‘Arabi.
Hal lain yang dibincangkan Ammar ialah tentang pendekatan fenomenologis yang mutlak harus diikutkan dalam setiap perbincangan tentang esoterisme. Esoterisme Islam, juga sebenarnya agama-agama lain, berpusat pada pengalaman, dan karena itu ia diketahui dengan dialami, bukan semata diperbincangkan dalam konsep-konsep dan dianalisis dengan rasio. Orang yang sudah mengetahui sisi esoteris agama mestilah orang yang pernah mencerap pengalaman itu. Caranya ialah dengan melibatkan rasa, satu konsep yang juga merupakan kata kunci—bahkan sekaligus pusat—dalam dunia kebatinan Jawa.
Hal yang terakhir inilah antara lain yang menunjukkan adanya benang merah antara Ibn Arabi dan esoterisme Islam-Jawa sebagaimana diungkapkan oleh pembicara lain, Herman Sinung Janutama, seorang praktisi kebatinan Jawa. Bila dalam Ibn Arabi kondisi perjumpaan dengan Tuhan ditandai dengan tahayyur, maka dalam kebatinan Jawa kondisi bertemu atau manunggal dengan Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Sangkan Paraning Dumadi (Asal Segala Wujud) adalah suwung, kondisi “kosong-sunyi”, ketika waktu dan tempat tak lagi relevan. Esoterisme Islam-Jawa, lanjut Herman, berbasis pada Jagad Alit atau alam mikrokosmos—sebagai kontras bagi Islam-eksoteris yang berbasis Jagad Agung atau alam makrokosmos.
Alam mikrokosmos itu, menurut Herman, merujuk pada Sapta Pratala Suksma, yakni fakta-fakta menyangkut realitas di alam esoteris manusia, yang untuk mengaksesnya membutuhkan rasa. Satu operasi jarwo-dhosok dilakukan secara menarik oleh Herman: kata “arsy”, yakni singgasana tempat ‘bersemayam’ Hyang Maha Suksma, ketika ditulis dalam aksara Hanacaraka menjadi ha-ra- sa, atau ra-sa. Maka olah rasa adalah keharusan dalam mencerap pengalaman esoteris dalam Islam-Jawa. (Hal terakhir ini turut mengingatkan satu ungkapan terkenal dalam tasawuf: “Qalbul-mu’min ‘arsyu-‘Llah,” hati orang beriman adalah singgasana Allah.)
Benang merah esoterisme Islam-Jawa itu juga tampak ketika Herman menunjukkan kitab Atassadhur Adammakna, serat karya Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Cakraningrat atau Adipati Danureja VI, yang menulis serat itu berdasar pada ajaran dari Sri Sultan Hamengku Buwono V. Dalam serat Karana-Jati di kitab yang ditulis KPH Cakraningrat itu tampak terurai konsep-konsep kunci tentang manusia yang fana—yang sebenarnya tidak ada—yang bisa ada sebab mendapat limpahan wujud dari Sang Wujud, Dat kang Esa. Bahkan kata kunci seperti “tajalli” (pengejawantahan Tuhan) pun disebut secara eksplisit dalam serat itu. Pemahaman ini pada gilirannya membawa pada pemahaman selanjutnya bahwa karena segala yang ada di alam semesta adalah sesama pengejawantahan (tajalli)-Nya maka seorang manusia Jawa yang paripurna mestilah menjaga prinsip “hamemayu karyenak tyasing sasama”, senantiasa menjaga perasaan dan hati orang lain dengan kata-kata dan perilaku yang benar dan tepat, sebagai wujud menjaga keselarasan alam (hamemayu hayuning bawana) yang tak lain merupakan wadag pengejawantahan Tuhan.
Satu operasi etimologis juga sempat diutarakan oleh Herman tentang akar kehidupan manusia yang—dalam Wirid Hidayat Jati wejangan kedua, Wedharan Wahananing Dat (Penjabaran Wadag Dzat)—disebut “kayu”, yang kemungkinan berasal dari bahasa Arab, “hayyu”, yang hidup. (Maka wirid “ya kayu” berarti “ya hayyu”, memanggil satu dari asma Allah.) Hal ini direspon oleh Dr Ammar bahwa bisa jadi istilah itu berhubungan dengan konsep “hayulah” dalam filsafat Wujud. Kata Arab “hayulah” diambil dari bahasa Yunani, “hyle”, yang selain berarti substansi dari sesuatu, atau Forma dalam filsafat Plato, juga bisa berarti—dalam filsafat Aristoteles—“kayu” (wood), kayu sebagai materi yang mendasari perubahan. Operasi etimologis ini ialah satu dari sekian banyak hal yang menandakan adanya keterhubungan erat antara filsafat Wujud, khususnya dari Ibn Arabi, dan esoterisme Islam-Jawa.
Namun demikian, uraian dari kedua pembicara di atas ditanggapi oleh pembicara lain, Dr. Samsul Maarif, dosen CRCS, dengan secara kritis menawarkan alternatif perspektif yang sudah dikembangkan dalam studi mutakhir agama-agama lokal (indigenous religions). Agama-agama lokal, ujar Maarif, sering tidak direpresentasikan dengan tepat sebab dilihat dari kaca mata agama-agama dunia (world religions), khususnya agama-agama Abrahamik (Islam, Kristen, Yahudi). Perspektif agama-agama dunia (dengan konsep-konsep kunci tentang Tuhan dan spiritualitas) yang kemudian dipaksakan untuk membaca fenomena agama-agama lokal ini seringkali berujung pada penghakiman bahwa agama-agama lokal adalah penganut “animisme”, kepercayaan akan adanya spirit yang mendiami pohon, batu, gunung, dsb. Para penganut agama-agama lokal itu lalu dikira sedang menyembah pohon, batu, gunung, itu, yang tak pelak memunculkan vonis seperti pelaku paganisme, syirik, dll. Karena cara pandang seperti ini, agama-agama lokal kerap dikaji dengan perspektif agama-agama dunia secara misionaris, yakni dengan target membuat mereka melakukan konversi ke agama-agama dunia itu.
Bila Dr. Ammar menyatakan bahwa kita tak bisa mempelajari agama tanpa membahas konsep Tuhan, Dr Maarif mengkritik bahwa dalam agama-agama lokal kita bisa membicarakan agama tanpa harus mengikutsertakan konsep Tuhan. Kata “Tuhan” itu sendiri, menurut Maarif, sebenarnya adalah adaptasi yang dilakukan misionaris Kristen masa kolonial saat menerjemahkan Bible. Kata yang dipakai untuk menyebut Yesus dalam Bible adalah “Lord”, dan ketika dicarikan padanannya dalam bahasa pribumi diambillah kata “Tuan”, yang kemudian menjadi “Tuhan”. Dengan kata lain, konsep “Tuhan” adalah bias agama-agama Abrahamik. Bahkan agama Buddha sebenarnya tak mengenal konsep Tuhan sebagaimana dipahami dalam agama-agama Abrahamik (yakni, “Tuhan-personal”). Konteks politik Indonesia pasca-1965 menyebabkan penganut Buddhisme di Indonesia harus melakukan invensi konsep Tuhan dalam konstruksi teologis mereka.
Sebagai kritik terhadap bias epistemologis agama-agama Abrahamik dalam membaca agama-agama lokal itu, Dr Maarif mengambil konsep yang pernah diajukan antara lain oleh Nurit Bird-David dalam penelitiannya tentang orang-orang suku Nayaka di India. Bird-David mengkritik konsep animisme yang bias kolonialisme itu dan menawarkan konsep “epistemologi relasional” untuk membaca agama-agama lokal. Inilah alternatif perspektif yang, menurut Maarif, lebih tepat untuk merepresentasikan agama-agama lokal Indonesia. Dalam epistemologi relasional, yang terjadi bukanlah kepercayaan akan adanya spirit atau roh di balik pohon yang kemudian disembah, melainkan relasi eksistensial antar sesama wujud yang diperlakukan sama-sama sebagai person, satu perspektif yang kemudian dipandang secara lebih luas sebagai bagian dari upaya mewujudkan keselarasan kosmos.
Dalam relasi interpersonal ini, kosmos dihuni dua macam person, yakni manusia dan non-manusia. Keduanya berkedudukan setara, dan karena itu menentang hierarki culture-nature yang dominan dalam agama-agama dunia (modern). Setiap wujud itu menjadi person ketika ia berelasi dengan person lain. Eksistensi suatu person ditentukan pada kualitas relasionalnya dengan person lain. Dalam ungkapan lain, hanya dengan menjalin relasi itulah ke-person-an (personhood) suatu wujud dapat mengaktual. Dengan memodifikasi ungkapan Descartes “saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum), epistemologi relasional ini bisa diformulasikan dengan ungkapan “saya berelasi maka saya ada.”
Dalam relasi interpersonal ini, lanjut Maarif, suatu person bisa menjadi perusak atau penyelaras. Hanya dengan etika tanggung jawab dan resiprositas secara interpersonal dengan person yang lain (baik manusia maupun non-manusia) keselarasan alam bisa lestari. Etika resiprositas ini diwujudkan antara lain dengan prinsip timbal-balik: bahwa bila seorang telah mengambil suatu dari alam maka dia wajib memberi balik ke alam. Seorang penganut agama lokal memahami tanah (adat) sebagai person lain yang karenanya dia bisa berelasi dan eksis, sehingga kehilangan tanah sama artinya dengan merenggut satu bagian penting dari eksistensinya. Berkat perspektif seperti inilah, ujar Maarif, agama-agama lokal belakangan dipandang sebagai satu alternatif yang tidak bisa diabaikan dalam diskursus mengenai ekologi dan pelestarian alam.
Tentu saja perspektif interpersonal ini bisa diragukan apakah ia berlaku secara universal untuk agama-agama lokal di seluruh dunia. Bukan tak mungkin, karena perkembangan zaman sudah banyak agama-agama lokal yang terpengaruh agama-agama dunia dan menyesuaikan diri dengan, misalnya, menginvensi konsep teologis yang sebelumnya tidak ada. Namun demikian, perspektif interpersonal ini setidaknya sanggup membawa pada kesadaran kritis untuk meminimalisasi bias-bias dalam merepresentasikan agama-agama lokal—bias-bias yang bukan hanya menghantui dunia akademis melainkan juga telah memengaruhi diskursus politik, tak terkecuali di Indonesia.