Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang disahkan pada awal Januari 2023 telah memancing kontroversi di media dalam dan luar negeri. Salah satu perubahan yang belum banyak dibahas adalah pasal-pasal terkait agama. Dalam tulisannya di harian Kompas (5 Januari 2023), Rumadi Ahmad menunjukkan adanya beberapa kemajuan. Namun, tak sedikit media internasional yang justru mengkritik keras dan mengklaim adanya pasal-pasal bermasalah, termasuk perluasan pasal tentang kriminalisasi blasphemy (penodaan agama), bahkan apostasy (meninggalkan agama).
KBB
Konversi Agama dalam Tarik Ulur Universalitas dan Relativitas HAM
Vikry Reinaldo Paais – 25 Oktober 2022
Praktik konversi agama atau berpindah agama cenderung menjadi isu sensasional dan hangat diperbincangkan. Fenomena ini terjadi di setiap kalangan, entah itu figur publik—seperti para artis dan elite politik, masyarakat awam, terlebih lagi jika dilakukan oleh petinggi agama. Tak pelak, isu konversi agama menuai pro dan kontra. Beberapa mendukungnya atas nama hak asasi manusia (HAM). Ada pula yang menampiknya atas dalil ketidaktaatan dan pembangkangan terhadap ajaran agama. Padahal, tak bisa dimungkiri, konversi agama akan selalu ada sepanjang agama-agama itu eksis.
Hampir tidak mungkin untuk memiliki satu gambaran tunggal tentang model kebebasan beragama Eropa. Meningkatnya jumlah pemerintah Eropa yang menetapkan pembatasan agama adalah bukti bagaimana sekularisme gagal memfasilitasi hak untuk meyakini dan menjalankan agama seseorang.
Implementasi KBB yang lebih baik hanya dapat terjadi ketika lelaki berpartisipasi aktif bersama perempuan untuk mencari paradigma baru yang berpihak pada kesetaraan.
Salah satu isu mendasar yang penting untuk diklarifikasi mengenai KBB adalah bahwa yang dilindungi oleh KBB adalah manusia sebagai subjek hak, bukan agama.
Sebenarnya yang menjadi masalah itu bukan soal apakah Islam itu kompatibel dengan HAM dan KBB atau tidak, melainkan apa konsep Islam tentang HAM dan KBB itu sendiri.