Yang Terpenting Apa yang Ada di dalam Jiwaku:
Waria dalam Himpitan Normativitas Agama
Nanda Tsani – 04 Oktober 2023
Mungkin kita cukup familiar dengan dokumentasi keseharian religiusitas waria di Pulau Jawa, misal dari buku-buku Masthuriyah Sa’dan dan liputan dokumenter beberapa media yang berlatar Pesantren Alfatah Yogyakarta. Namun, tidak banyak yang mengulas dinamika pengalaman keagamaan waria di luar Jawa, utamanya di Indonesia bagian timur. Khanis Suvianita, alumnus program doktoral Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM, meneliti pengalaman keagamaan dari 57 waria di Gorontalo dan Maumere. Temuan tersebut ia diskusikan dalam Wednesday Forum, 13 September 2023, bertajuk “Lived Religion and Waria Religious Experiences in Eastern Indonesia”.
Berbeda dari tipikal studi agama dan gender yang berpijak pada kajian teks atau tafsir kitab suci terhadap realitas ragam gender, kali ini Khanis menoreka suara dari ragam gender itu sendiri. Bagaimana waria menghayati peran sosial dan religiusitas di tengah masyarakat yang religius? Atau sebaliknya, bagaimana umat muslim Gorontalo dan Katolik Maumere memengaruhi penghayatan waria atas gender dan ketubuhannya?
Waria: Bergulat dengan Diri dan Dikotomi Negara
Usia 6—11 tahun merupakan masa awal individu waria merasakan berbeda dengan kediriannya yang sulit dijelaskan. Waria merasa terganggu oleh berbagai hal yang terkait dengan maskulinitas dan tersiksa ketika dipaksa bertingkah laku sebagai pria. Mereka lebih senang memakai hal-hal feminin dan berekspresi laiknya perempuan. Namun, ekspresi gender tersebut tak jarang memaksa mereka untuk meninggalkan bangku sekolah akibat perundungan dan ketidaknyamanan terhadap aturan seragam yang mengharuskan memakai pakaian laki-laki. Pada masa pubertas tersebut, beberapa individu merasakan keanehan dengan ketubuhan mereka sendiri ketika mengetahui bahwa tonjolan payudara—sebagai simbol feminitas paling dinanti itu—tidak tumbuh di dada mereka. Dalam bingkai transeksualitas, sebagian waria melakukan operasi implan payudara sebagai perwujudan afirmasi feminitas sementara operasi transisi genital kerap kali diabaikan.
Ideologi pembangunan Soeharto di era Orde Baru mengharuskan setiap orang untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi, di antaranya transmigrasi dan urbanisasi. Hal ini menjadi katalis bagi waria untuk tampil dan bekerja di industri hiburan dan industri kecantikan. Penampil dan penyanyi waria sering dipanggil dalam acara televisi hingga acara partai. Di sisi lain, Orde Baru juga memperkuat diskursus peran biner gender tradisional melalui ideologi keluarga seperti konsep “perempuan sempurna” (ibuisme) dan “laki-laki komplit” dalam asas kekeluargaan. Dengan situasi semacam ini, waria hanya diterima sebagai eskapisme dan hiburan bagi masyarakat dengan peran gender yang rigid, bukan sebagai identitas warga negara yang memiliki hak untuk berkumpul dan menyuarakan aspirasi. Keberadaan waria dianggap tidak sesuai dengan haluan negara. Akibatnya, diskriminasi dan kekerasan terhadap waria tidak terelakkan.
Waria di Timur, Waria di Tengah Kita
Gorontalo dan Maumere merupakan dua kota di Indonesia timur yang memiliki corak keagamaan berbeda. Sekitar 97% penduduk Gorontalo beragama Islam sementara 88% populasi Maumere adalah Katolik. Kendati demikian, keduanya merupakan dua wilayah di Indonesia timur yang kental dengan dinamika keberagamaan. Gorontalo bahkan menyematkan dirinya sebagai Serambi Madinah.
Menurut penelusuran Khanis, jauh sebelum masyarakat Gorontalo mengenal terminologi transgender dari akronim LGB(T), orang dengan ragam gender dan seksualitas merupakan realitas yang menjadi bagian dari masyarakat. Term lokal terdahulu menyebutnya “bayasa”, “salabai” (pengaruh calabai dari Bugis), dan “hunusa” (serapan bahasa Arab: khunṡa). Kemudian, sebutan “waria”, “dorce”, “banci”, atau “bencong” muncul akibat pengaruh media televisi dan jaringan waria di Jakarta era Soeharto pada pertengahan 1990-an.
Posisi waria kian terjepit pasca-Orde Baru ketika moralitas Islam politik menjadi norma dominan di masyarakat. Pemberlakuan Perda No. 10 2003 terkait Pencegahan Maksiat menguatkan kontestasi antara waria dan pemuka agama. Waria dilihat sebagai kerangka produk konspirasi Barat dan cenderung dipahami sebatas pelaku homoseksual. Di sisi lain, keberadaan waria dianggap sebagai ekses dari kegagalan pemenuhan kesejahteraan. Dengan pandangan semacam ini, waria menjadi sasaran program rehabilitasi sosial pemerintah yang ingin mengembalikannya kepada “fitrah” agar mudah mendapat pekerjaan.
Di tengah situasi tersebut, waria menegosiasikan eksistensinya dengan situasi keagamaan di ruang publik melalui posisi “tahu diri.” Misalnya, mereka tahu diri untuk dendong (berdandan) dengan gaya ideal perempuan muslim tradisional seperti mengenakan hijab pada acara-acara tertentu. Khanis juga menengarai bahwa waria di Gorontalo juga aktif dalam ritual keagamaan sehari-hari seperti jamaah dan salat Jumat di masjid. Mereka juga mulai membangun modal sosial dan ekonomi (social and economic capitals) di tengah masyarakat, misalnya dengan berpartisipasi dalam acara komunitas keagamaan seperti khitan, akikah, walimah, dan maulid. Komunitas Waria di Gorontalo juga membentuk organisasi untuk menjaga kemandirian ekonomi dan melakukan aksi sosial, seperti penggalangan dana bagi korban terdampak tsunami Palu 2018. Kendati demikian, suara-suara miring terhadap aksi mereka juga kerap muncul dari beberapa kelompok Islam, misalnya dengan melabeli waria sebagai so’e atau sial. Namun, komunitas waria di Gorontalo tidak terlalu ambil pusing. “Saya menolong sesama karena saya muslim. Allah melihat isi hati hamba-Nya, bukan pakaiannya,” pungkas seorang waria yang menjadi responden Khanis.
Meski terjadi perbedaan pendapat di antara komunitas keagamaan, beberapa kelompok muslim Gorontalo membersamai komunitas waria dalam menyuarakan keragaman gender. Kelompok muslim ini memberikan perspektif keagamaan alternatif melalui diskursus dari sejarah peradaban dan pemikiran Islam terkait keragaman gender (Bacaan lanjut terkait sekutu muslim terhadap keragaman gender dan seksualitas di Indonesia era kontemporer dapat dilihat dalam Gender, Sexuality and Islam in Contemporary Indonesia: Queer Muslims and their Allies karya Diego Garcia Rodriguez).
Seperti di Gorontalo, Maumere juga memiliki sebutan khas atau lokal untuk kelompok waria sebelum istilah “waria” digunakan yaitu “kobek”, “banci kobek”, atau “re’ku”. Dalam lensa wacana identitas gender kontemporer, istilah “kobek” atau “banci kobek” merupakan terminologi yang sangat queer. “Kobek” berarti ‘mangkuk yang terbalik’, orang lain tidak dapat menerka atau menamai apa yang ada di dalam mangkuk terbalik tersebut sampai seseorang yang membalikkan mangkuk memberi tahu apa yang ada di dalamnya. Orang lain tidak dapat memaksakan gender seseorang berdasarkan tampilan luar (karakteristik seks/genital) sampai orang yang bersangkutan memberi tahu identitas gendernya yang sungguh dihayatinya.
Iklim Maumere sebagai “Kota HAM” berpengaruh terhadap rekognisi sosial waria pasca-Orde Baru. Pendekatan HAM dalam pembangunan daerah membuka jalan seorang waria untuk dipilih melalui pemilihan langsung sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa di Desa Habi, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka. Hendrika Mayora Victoria adalah waria terbuka pertama di Indonesia yang memegang jabatan publik.
Dari sisi keagamaan, pelayanan pastoral menjadi panduan masyarakat dalam memperlakukan waria menurut Kekristenan. Secara teologis, menurut Khanis, tidak ada ajaran spesifik yang membahas transgenderisme. Pun tidak ada pernyataan resmi dari gereja Katolik setempat mengenai waria. Gereja lebih menekankan pada kemanusiaannya sebagai anak Tuhan yang mengutamakan ajaran kasih Yesus. Oleh sebab itu, waria di Maumere aktif terlibat dalam agenda gereja dan acara sosial keagamaan Katolik guna “menjaga keluarga,” semacam posisi “tahu diri” waria di Gorontalo.
Senada dengan makna di balik term “kobek”, gereja Katolik di Maumere memaknai waria sebagai bagian dari misteri Tuhan. Pemahaman kita masih terbatas untuk menerka maksud Tuhan menciptakan waria dan kejanggalan (queer) lainnya yang boleh jadi belum masuk dalam kategori normativitas gender dan seksualitas di masyarakat.
Setelah mendengar dan mencatat pengalaman waria di dua wilayah tersebut, Khanis mengajukan dua rekomendasi. Pertama, kita perlu merekonstruksi bagaimana gender dipelajari dan dipahami. Menjalani hidup dengan ekspresi gender dan seksualitas yang kita yakini bukanlah dosa melainkan suatu kejujuran diri. Kedua, yang tidak kalah penting ialah mengontekstualisasikan universalitas nilai religius atas keragaman gender di tengah realitas lokal. Waria, yang menjadi subjek penelitian Khanis, mengembalikan kebingungannya, kebingungan Anda, kebingungan kita akan kelindan agama, gender, dan ketubuhan kepada esensi kemanusiaan: “Yang terpenting apa yang ada di dalam jiwaku.”
______________________
Nanda Tsani adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2023. Baca tulisan Nanda lainnya di sini.
Foto tajuk di artikel ini ialah Eka/Ekorantt