Ambiguitas dan Toleransi dalam Tradisi Masyarakat Muslim
Afkar Aristoteles Mukhaer – 25 September 2024
Sepanjang sejarah peradaban Islam, perdebatan tafsir selalu hadir dengan saling menghargai perbedaan pendapat.
Realitas pemahaman dan praktik ajaran Islam sebagai aturan universal masih ambigu. Meski tuntunannya termaktub dalam pegangan dasar—Al-Qur’an dan hadis—interpretasinya selalu terbuka untuk dibahas dari perspektif dan ideologi tertentu. Cendekiawan dan ulama kerap berbeda paham atas interpretasi ajaran Islam sehingga mendorong terbentuknya ragam tafsir dan tarekat dalam Islam.
Ismail Fajrie Alatas, Associate Professor of Middle Eastern dan Islamic Studies di New York University dan Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada berpendapat, ambiguitas praktik ajaran Islam hadir sejak lama, termasuk pada kalangan ulama dan cendekiawan sampai hari ini. Ambiguitas ini bukan berasal dari Islam sebagai agama, melainkan muncul dari masyarakat muslim yang menginterpretasi ajaran Islam. Ambiguitas ini akan selalu melekat dalam masyarakat muslim, sehingga menciptakan pelbagai pemikiran, tafsir, dan perdebatan.
Bersama Martin Slama, peneliti senior Austrian Academy of Sciences, Fajrie menjadi narasumber seminar Anthropology of Religion bertajuk “Islam, Ambiguity, and (In)Tolerance” di Gedung Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), 14 Agustus 2024. Seminar ini diadakan kolaboratif antara Departemen Antropologi UGM, CRCS, dan ICRS.
Ambiguitas dalam tradisi Islam
Ambiguitas yang muncul dalam masyarakat muslim menjadi fokus utama di berbagai kajian antropologi dalam 30 tahun terakhir. Kajian antropologi yang menyoroti ambiguitas dalam tradisi Islam disingkap oleh Clifford Geertz dalam Islam Observed (1968). Dia menemukan bahwa masyarakat muslim di Maroko dan Indonesia memiliki perbedaan dalam praktik tradisi Islam yang disebabkan oleh perbedaan pemikiran subjektif masyarakatnya.
Gagasan Geertz menjadi upaya merumuskan teori umum tentang agama yang kemudian dikembangkan oleh Ernest Gellner. Lewat Muslim Society (1981), Gellner berargumen bahwa perilaku masyarakat dikendalikan oleh norma, aturan, atau pola yang membentuk struktur sosial. Begitu pula dalam masyarakat muslim, ajaran Islam menjadi paham dasar yang memengaruhi kehidupan mereka.
Baik Geertz maupun Gellner membuka kajian antropologi Islam secara akademis. Namun, keduanya mendapatkan kritik, salah satunya dari Talal Asad lewat The Idea of an Anthropology of Islam (1986). Dalam kajiannya, Asad menyarankan melihat ambiguitas pada masyarakat muslim melalui kacamata ekonomi politik. Bagi Asad, masyarakat muslim memang menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar dalam praktik keagamaan. Hanya saja, tafsir atau interpretasi dari penghubungan diri dengan wacana kitab suci tersebut tergantung pada konteks masa—termasuk ekonomi politik—dan sosok penafsirnya.
Pandangan Asad ini, terang Fajrie, memengaruhi perspektif baru dalam kajian antropologi Islam. Asad menganjurkan pentingnya analisis gagasan ortodoksi yang selama ini disangkal oleh para antropolog ketika mengkaji tradisi Islam. Ortodoksi dalam pemikiran Asad bukan sekadar seperangkat norma, melainkan hasil dari relasi kuasa yang menimbulkan pengaturan, penegakan, serta pakem untuk praktik-praktik yang dianggap benar dan salah.
Oleh karena itu, Fajrie menyimpulkan, ambiguitas yang melekat dalam peradaban masyarakat muslim melahirkan perbedaan, mulai dari gagasan, tradisi keagamaan, politik, hingga pengembangan peradaban Islam sendiri. Meski perbedaan gagasan ini selalu muncul, masyarakat muslim pramodern menoleransi ambiguitas wacana Islam, bahkan menghargai kontradiksi dan ambiguitas tersebut.
Fajrie menerangkan pendapat ambiguitas dalam tradisi Islam dari Shahab Ahmed melalui What is Islam? (2016) dan Thomas Bauer dalam A Culture of Ambiguity: An Alternative History of Islam (2021). Menurut Ahmed, eksplorasi ambiguitas ini dihargai secara positif sebagai dorongan untuk menggali makna dan mencari kebenaran dari wahyu ilahi. Al-Qur’an dan hadis Nabi punya makna yang luas sehingga melahirkan ambiguitas yang menuntut para ulama berefleksi dan berlatih lewat ambiguitas sastra. Sementara itu, Bauer berpendapat, tradisi toleransi terhadap ambiguitas menunjukkan bahwa setiap manusia punya, “Hak atas validitas yang sama.”
Titik balik toleransi terhadap ambiguitas ini terjadi seiring datangnya modernitas. Ahmed dan Bauer menggarisbawahi bahwa modernitas menghendaki pembentukan standar umum. Fajrie menjelaskan, standar umum ini mensyaratkan masyarakat muslim harus, “Tunduk pada ‘Islam’ yang kini dipahami sebagai sistem ideologi yang jelas, lugas, dan tegas.” Standarisasi ini, tentunya, ditetapkan oleh otoritas berdasarkan pemahamannya sendiri mengenai suatu konsep.
Toleransi Ambiguitas Jawa
Seminar ini merupakan awal dari proyek buku esai tentang ambiguitas dan toleransi peradaban muslim di Asia Tenggara. Kajian antropologi Islam selama ini lebih banyak menyorot peradaban muslim dari Balkan hingga Benggala. Menurut Fajrie dan Martin, fenomena ini bisa dilihat di Asia Tenggara, khususnya di Jawa yang memiliki peninggalan catatan sejarah klasik.
Martin menyoroti Jawa sebagai contoh untuk melihat ambiguitas dan toleransi masyarakat muslim Asia Tenggara. Masyarakat kebudayaan Jawa menjunjung tinggi “toleransi” dan berwawasan “relativisme”. Mengutip Benedict Anderson (1965), masyarakat Jawa mengenal toleransi sebagai, “Dimensi luas yang mengagumkan sebagai ungkapan rasa hormat terhadap keragaman manusia.,” Contohnya, kebudayaan wayang mengadaptasi cerita India dengan aspek lokalitas. Dalam beberapa kasus, kebudayaan Jawa berasilimasi dengan sistem keagamaan.
Ada beberapa catatan perselisihan dalam sejarah Jawa yang dapat disebut sebagai tindakan “intoleran”, salah satunya kasus Syekh Siti Jenar. Ajaran wahdatul wujud ahli mistik sufi abad ke-16 ini ditentang para Wali Sanga, sampai membuatnya dieksekusi mati. Kasus tersebut merupakan cerminan dari fenomena yang disebut Karl Popper (2002) sebagai “paradoks toleransi”. Karya-karya kolonial, dalam mendeskripsikan hubungan keberagamaan di Jawa kerap menggambarkan pandangan ini—Islam sebagai sumber intoleran.
Alih-alih melihat secara hitam-putih, Martin menyarankan untuk mempertimbangkan ambiguitas dalam mendalami fenomena intoleransi di kalangan masyarakat muslim di Jawa. Ambiguitas tersebut semakin pudar karena relasi kuasa, seperti yang dijelaskan Fajrie, sehingga mendorong penolakan atas perbedaan.
Melalui seminar ini, Fajrie dan Martin mengajak untuk menelaah hubungan toleransi dan intoleransi Islam dengan kacamata yang lebih luas dalam kajian antropologi. Mereka menyarankan pendekatan dari aspek penghayatan dan pemahaman masyarakat muslim yang selalu terbuka. Di sisi lain, keberadaan ortodoksi sebagai upaya pembentukan aturan universal justru mendorong intoleransi dalam penerapan ajaran Islam.
______________________
Afkar Aristoteles Mukhaer adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Afkar lainnya di sini.
Foto tajuk artikel: Danca Prima R/Himmah (2015)