
Misa tahun baru Cina dan berdoa kepada dewa-dewa di dalam Klenteng menggunakan Doa Bapa Kami, emang boleh?
Sebagai salah satu tempat awal perjumpaan misi Katolik sekaligus permukiman penting masyarakat keturunan Tionghoa di Jawa, Muntilan melahirkan karakter identitas hibrida Katolik-Tionghoa yang khas. Dinamika identitas tersebut menjadi salah satu fokus presentasi Astrid Syifa Salsabila, alumnus CRCS 2022, dalam Wednesday Forum (7/5/2025) berjudul “Chinese Catholics of Muntilan: Between The Church and The Chinese Temple”. Ia membagikan hasil penelitiannya selama 6 bulan di Muntilan di tengah komunitas Katolik keturunan Tionghoa.
Bethlehem van Java dan Lika-liku Riwayat Katolik Tionghoa
Dikenal sebagai “Betlehem van Java”, Muntilan menyimpan jejak awal misionaris Katolik di Pulau Jawa. Agama Katolik masuk ke Muntilan dibawa oleh Franciscus Georgius Josephus van Lith, S.J (1863–1926) dari ordo Jesuit pada akhir abad ke-19. Menariknya, sekitar 70 tahun sebelum kedatangan misionaris Katolik, komunitas Tionghoa telah terlebih dahulu eksis di Muntilan. Lantas mengapa banyak komunitas Tionghoa, yang lebih dahulu tinggal di Muntilan, memilih untuk berpindah ke Katolik?
Setidaknya terdapat dua momen yang mendorong komunitas Tionghoa menjadi Katolik. Pertama, akses pendidikan yang terbatas. Saat itu, akibat politik segregasi ras dan pengaturan sistem pendidikan pemerintah kolonial Belanda, anak-anak keturunan Tionghoa—khususnya yang bukan dari keluarga kaya—sulit mengakses pendidikan di sekolah publik. Anak-anak keturunan Tionghoa di Muntilan hanya dapat mengakses pendidikan melalui sekolah-sekolah misionaris, salah satunya ialah sekolah Hollandsche-Chinese yang didirikan oleh misionaris Katolik pada 1917. Kedua, gejolak politik masa Orde Baru. Kebijakan diskriminasi anti-Tionghoa memaksa banyak orang Tionghoa “mencari jalan aman” dengan memilih salah satu agama “yang diakui”, di antaranya ialah Katolik.
Identitas Katolik Tionghoa di Tanah Jawa
Perjumpaan karakteristik Katolik dan Tionghoa di Muntilan serta gejolak politik warisan kolonial melahirkan identitas Katolik Tionghoa. Dalam kerangka hybrid identity Homi K. Bhabha (1994), identitas Katolik Tionghoa di Muntilan menunjukkan kompleksitas proses dari orang Katolik dan orang Tionghoa untuk merekonstruksi, menegosiasi, dan mereproduksi identitas Katolik Tionghoa. Kendati seorang keturunan Tionghoa telah menganut Katolik, ia tetap dapat mempraktikan karakter Tionghoa-nya di Klenteng. Hal ini terlihat dalam partisipasi dan relasi komunitas atau umat Katolik Tionghoa di dalam rumah ibadah (klenteng dan gereja).
Klenteng Hok An Kiong merupakan salah satu rumah ibadah PTITD (Perhimpunan Tempat Ibadah Tridharma) di Muntilan yang dibangun pada akhir abad ke-19. Dalam pengertian yang formal, Klenteng Tridharma menjadi rumah ibadah yang terbatas bagi pemeluk Konghucu, Taoisme dan Buddha. Namun, nyatanya Klenteng di Muntilan ini terbuka bagi agama dan etnis apa saja. Asumsi eksklusif yang dilekatkan pada Klenteng hanya bagi pemeluk Konghucu, Taoisme dan Buddha merupakan hasil konstruksi sosial yang dipicu oleh politisasi agama di Indonesia. Hal ini membuat praktik “agama” menjadi kaku dan rigid: Katolik hanya dapat beribadah dan berpartisipasi di gereja saja, begitu juga sebaliknya.
Kendati terjadi kekauan dalam norma beragama resmi, umat Katolik keturunan Tionghoa di Muntilan terus terhubung dengan Klenteng. Orang Katolik Tionghoa pergi ke Klenteng untuk berdoa kepada Kong Co dan Mak Co sebagai leluhur mereka. Praktik ini pun dimaknai sebagai praktik filial piety, sebuah ajaran Konghucu yang mengharuskan anak-anak taat dan mendoakan orang tua dan leluhur (dan sebaliknya). Adapun partisipasi personal orang Katolik Tionghoa di Klenteng untuk berdoa kepada leluhur Kong Co dan mak Co ini tidak didasari pada ortodoksi agama, tetapi pada pengalaman dan pemahaman peribadi yang diwariskan dalam keluarga. Pada era Orde Baru, praktik agama dan etnis Tionghoa sangat dibatasi di ruang publik sehingga rumah atau keluarga menjadi satu-satunya tempat untuk mengenal dan mempelajari karakteristik Tionghoa. Hal ini melahirkan keragaman pemahaman dan praktik beragama. Kendati menurut asumsi formal hidup beragama hal tersebut dipandang “sesat”, bagi mereka praktik tersebut merupakan ekspresi beragama yang autentik.
Dinamika Misa Tahun Baru Cina di Muntilan
Misa Tahun Baru Cina di Muntilan dilakukan pertama kali di Gereja St. Antonius Padua tahun 2004. Keberadaan Misa Sincia ini memang bukan yang pertama di Indonesia. Beberapa gereja Katolik di Indonesia dengan umat mayoritas Tionghoa sudah melakukannya. Awalnya, Misa Tahun Baru Cina di Muntilan diprakarsai oleh Pastor keturunan Tionghoa. Ketika Pastor itu pindah ke paroki yang lain, umat Katolik Tionghoa di Muntilan tetap mempertahankan Misa ini dengan mengundang Pastor sebelumnya dalam Misa Tahun Baru Cina di Muntilan. Selain itu, Pastor yang menjadi Kepala Paroki di Muntilan merupakan lulusan sekolah dari Hong Kong yang membuatnya mempertahankan eksistensi Misa Tahun Baru Cina di Paroki Muntilan.
Salah satu tantangan yang dialami oleh komunitas Katolik Tionghoa dalam mengelola Misa Tahun Baru Cina adalah keterputusan komunitas dengan berbagai karakteristik Tionghoa sebagai salah satu dampak politik diskriminasi Orde Baru. Akibatnya, banyak masyarakat keturunan Tionghoa di Muntilan yang merasa tidak familiar dengan karakteristik Tionghoa.
Tantangan selanjutnya ialah bagaimana kaum awam dari komunitas Katolik Tionghoa dapat mendialogkan karakteristik Tionghoa dan karakteristik Katolik. Hal ini berkaitan dengan posisi kaum awam dalam gereja yang dianggap kurang mapan untuk berbicara tentang karakteristik Katolik. Penolakan terhadap Misa Tahun Baru Cina pun muncul dalam tubuh gereja. Beberapa umat Katolik Tionghoa menganggap bahwa Misa Tahun Baru Cina tidak penting karena tidak tercatat dalam kalender liturgi gerejawi.
Kendati demikian, hal ini tidak mengendorkan praktik Misa ini di Muntilan. Dukungan finansial bagi gereja dari beberapa anggota komunitas Katolik Tionghoa juga menjadi pertimbangan bagi Misa Tahun Baru Cina untuk terus dilakukan. Di sisi lain, antusiasme umat dalam Misa Tahun Baru Cina itu sangat tinggi karena adanya pembagian angpau dari pihak gereja kepada umat.
Identitas Katolik Tionghoa di Muntilan, pada akhirnya, sangat beragam dan dinamis. Sebab setiap individu memiliki cara dan dinamikanya sendiri dalam menghidupi dan mengekspresikan identitas Katolik Tionghoanya. Ekspresi identitas Katolik Tionghoa di Muntilan merupakan bagian integral dari keberagaman pengalaman beragama dan telah melampaui doktrin kaku gereja yang seringkali menyingkirkan pengalaman-pengalaman dinamis beragama jemaat akar rumput.
______________________
Sonia Putri Ana Awa Matalu adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2024. Baca tulisan Puma lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh.