Ali Jafar/Wednesday Forum
Banyak dari kita yang hanya tahu tentang Ammatoans dari general perspective tentang mereka. Kehidupan traditional mereka memang sangatlah menarik. Terlebih ketika kita melihat program TV yang menghadirkan serial etnik atau sejenisnya. Ammatoans sering digambarkan sebagai sekumpulan masyarakat kecil yang “masih” percaya pada “animism” dan mengadakan ritual untuk konservasi hutan. Di beberapa progam religi di pertelevisisan Indonesia, Ammatoans ditampilkan sebagai komunitas muslim yang yang masih mempraktikan “syncretism”, karena mereka memberikan sesajen kepada hutan, gunung dan daratan. Orang Indonesia memiliki banyak sekali stereotype tentang Ammatoans, tetapi siapa sebenarnya Ammatoans yang sesungguhnya? Terkait stereotype tentang Ammatoans ini, pada rabu 16 september, Wednesday Forum yang diadakan CRCS/ICRS kembali menghadirkan Dr. Samsul Ma’arif yang telah melakukan penelitian pada Ammatoans dan mengemukakan fakta sebaliknya.
Ma’arif mengadakan penelitianya tentang masyarakat Ammatoans untuk tujuan disertasinya. Dia tinggal bersama mereka dan menemukan kearifan lokal masyarakat Ammatoans dalam menjaga hutan. Ma’arif menjelaskan bahwa Ammatoan hanyalah sekumpulan masyarakat kecil, tidak lebih dari lima ribu jiwa, yang menjaga hutan sebagai bagian dari praktik keagamaan. Pelestarian hutan ini berdasarkan kepercayaan mereka bahwa hubungan antara manusia dan hutan adalah hubungan antar-subject. Ammatoans memandang bahwa hutan adalah subject sebagaimana manusia itu sendiri.
Ammatoans adalah penduduk pribumi di Indonesia yang melestarikan hutan dari pembalakaan liar. Ma’arif juga menjelaskan bahwa Ammatoans membagi wilayah mereka menjadi dua, wilayah, wilayah dalam dan wilayah luar. Hal ini untuk menjaga hubungan mereka dengan hutan. Fasilitas publik seperti sekolahan, masjid dan klinik ditempatkan di wilayah luar, sedangkan mereka tinggal di wilayah dalam. Sebagai bentuk kedekatan mereka dengan hutan, mereka juga membagi hutan kedalam tiga area. Area pertama adalah area konsevasi atau sering juga disebut sebagai “Hutan Lindung”, yang mana semua bentuk eksploitasi hutan dilarang di area ini. Area yang kedua adalah “Battasaya” yang eksploitasinya sangat dibatasi sekali, jika ada orang yang mengambil kayu dari hutan ini, maka mereka harus menanam tumbuhan yang lain. Yang ketiga adalah “Hutan Rakyat” atau hutan yang memang disediakan untuk eksploitasi, masyarakaat Ammatoans mengunakan suberdaya hutan ini untuk kebutuhan mereka sehari-hari.
Kedekatan masyarakat Ammatoans dengan hutan berdasarkan keyakinan kosmologis mereka, bahwa hutan, daratan dan pegunungan tidaklah berbeda dari manusia. Keduanya ada dalam hubungan timbal balik yang disebut “Ruppanna” yang berarti wajah. Ada juga monster yang berusaha menhancurkan hubungan ini. Dalam kepercayaan Ammatoans, hubungan manusia dengan hutan adalah hubungan antar-subjek, sebuah relasi antara satu dengan yang lainya. Daratan, pegunungan dan hutan bukanah objek untuk dieksploitasi, karena mereka juga termasuk subjek.
Hubungan antar-subjek juga berarti bahwa apa yang dilakukan Ammatoans, dari pengorbanan, peribadatan dan pemberian sesajen kepada hutan bertujuan untuk terus menerus menjalin komunikasi satu sama lain. Konservasi hutan adalah ikatan untuk saling bertanggung jawab satu sama lain. Manusia bertanggung jawab untuk konservasi hutan. Bagi Ammatoans, apa yang diperoleh adalah untuk dibagi, dan berbagi tidak hanya untuk manusia tetapi juga untuk hutan. Dalam praktik keagamaan, akhir-akhir ini Ammatoans mengalami sedikit perbedaan dengan nenek moyangnya. Hal ini kerena pengaruh dunia luar.
Ammatoans tidak sepenuhnya bertahan dari pengaruh luar, seperti Islam dan modernitas. Walaupun Ammatoans mengaku diri mereka sebagai muslim, tetapi mereka mempraktikkan Islam dengan cara yang berbeda. Mereka memberikan sesajen ke gunung, daratan dan hutan sebagai bentuk praktik keagamaan mereka. Agama dalam kepercayaan masyarakat Ammatoan tidak hanya terkait hubungan dengan tuhan saja, tetapi juga memahami relasi kosmos antar manusia. Ma’arif membuktikan bahwa ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang mendukung ide ini, bahwa selain manusia ada juga subjek-subjek lain yang mampu berserah kepada Allah. Meskipun terjadi perpindahan ke Islam dan pengaruh modernitas, agama lokal Ammatoans terus bertahan dan terus dijalanai sebagai akar budaya yang kompleks.
Selama sesi pertanyaan dan komentar, Ma’arif menjelaskan bahwa Ammatoans sekarang sedang berjuang untuk melindungi hutan dari perusahaan karet dan tekanan luar yang ingin mengeksploitasi sumberdaya mereka. Semenjak wilayah Ammatoan menjadi semakin sempit, mereka kembali beradaptasi dengan kembali membentuk batasan wilayah luar dan dalam.
Berkaitan dengan pertanyaan, bagaimana Ammatoan memahami bencana, Ma’arif menjelaskan bahwa dalam pemahaman masyarakat Ammatoan, segala sesuatu termasuk bencana, kesuburan dan lainya memiliki hubungan satu sama lain. Mereka percaya pada prinsip kausalitas, dimana datangnya bencana alam seperti banjir dan gempa bumi adalah karena adanya hubungan yang perlu untuk di perbaiki.
Ma’arif telah mempresentasikan penelitianya tentang Ammatoan tiga kali dalam Wednesday Forum, dan presentasinya masih menyedot banyak perhatian dari audience yang masih penasaran dengan kearifan Ammatoan dalam melestarikan hutan. Dalam Wednesday Forum selanjutnya, CRCS/ICRS bersama dengan yayasan Kampun Halaman akan menghadirkan Karatagan Ciremai, sebuah film tentang remaja Sunda Wiwitan, yang juga berkaitan dengan agama lokal di Indonesia.