• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Pos oleh
  • page. 10
Pos oleh :

BUKU BARU CRCS – Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia

BeritaBerita Utama Tuesday, 4 July 2017

Buku terbaru CRCS, terbit Juni 2017, tentang sejarah politik rekognisi terhadapa penganut agama leluhur di Indonesia, oleh Dr. Samsul Maarif.

Konservatisme Agama dan Demokrasi

HeadlineNewsOpinionsPerspective Friday, 23 June 2017

Konservatisme tak perlu menjadi sumber kecemasan. Isu yang lebih penting bersifat sangat praktis: bagaimana negara, khususnya aparat penegak hukum, mampu menjaga ruang deliberasi yang aman.

CALL FOR APPLICATIONS: A Workshop on Interfaith Mediation with Imam Ashafa and Pastor Wuye

HeadlineNews Thursday, 15 June 2017

CALL FOR APPLICATIONS. The Institutionalization of Interfaith Mediation: A Workshop with Imam Muhammad Ashafa & Pastor James Wuye. Deadline: July 15, 2017.

Merajut Persaudaraan, Mengikis Sikap Intoleran

BeritaHeadlineNews Thursday, 8 June 2017

A. S. Sudjatna | CRCS | Liputan

Hadirnya kelompok-kelompok radikal-intoleran yang kerap melakukan kekerasan atas nama agama adalah suatu tantangan iman. Dalam menghadapi kelompok ini, umat beriman semestinya tidak membalasnya dengan kekerasan yang serupa, tetapi harus dengan cara-cara yang selayaknya dilakukan orang beriman, yakni cara yang penuh kasih dan kelembutan.
Itulah di antara yang diungkapkan Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ, dalam seminar nasional bertajuk Merajut Persaudaraan, Mengikis Sikap Intoleran yang dihelat di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma pada 16 Mei 2017. “Yang paling membuat tantangan iman semakin besar di dalam diri kita adalah kalau yang menjadi marah besar itu kita sendiri. Itu tantangan iman untuk diri kita sendiri,” ungkapnya
Oleh sebab itu, menurut Romo Kardinal, gejala arus balik yang tengah terjadi di masyarakat akhir-akhir ini atas perilaku kelompok radikal itu hendaklah pula diwaspadai agar tidak melenceng dari batas-batas yang telah ditentukan negara dan diajarkan agama. Perlawanan atas perilaku intoleran dan kekerasan dari kelompok radikal mesti tetap mengedepankan Pancasila, keutuhan NKRI, dan menjunjung tinggi kebinekaan.
Dalam hal ini, Romo Kardinal menyatakan apresiasi terhadap Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang konsisten menjaga persaudaraan di antara umat beragama dan menegaskan bahwa Islam harus menjadi rahmat bagi semua, rahmat bagi seluruh ciptaan Tuhan. “Saya tersentuh saat pimpinan Muhammadiyah, Haidar Nashir, menyampaikan khotbah pada perayaan Idul Adha yang berjudul Menyembelih Egoisme, Merayakan Solidaritas,” ujar Romo Kardinal. Ia kemudian menyitir beberapa bagian dari khotbah Haidar Nashir tersebut yang dimuat Kompas, 11 September 2016. Menurut beliau, sikap altruis yang disebut-sebut oleh Haidar Nashir di dalam khotbahnya itu akan melahirkan sikap kasih kepada sesama tanpa sekat agama, suku, ras, dan golongan.
Terhadap umat Katolik dan Protestan, Kardinal Darmaatmadja menyerukan untuk tetap mengutamakan kasih atas sesama seperti mengasihi diri sendiri. Sebab, mengutip Yohanes, kasih kepada Tuhan harus dibuktikan lewat mengasihi sesama. “Karena barangsiapa yang tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, maka tidak mungkin mengasihi Allah yang tak dilihatnya,”  ujarnya menegaskan.
Menutup ceramahnya, Romo Kardinal menegaskan kembali pernyataanya. “Kita tegakkan negara kita berdasarkan Pancasila; kita perkokoh NKRI dan persaudaraan nasional. Namun, sikap kita yang inklusif tetap perlu dipertahankan selalu, terhadap kelompok yang radikal pun. Hukum balas-membalas tidak boleh dilakukan oleh orang beriman. Sebaliknya, kita tetap memegang teguh sikap mengasihi dan mengampuni. Kita ampuni orangnya meski kita menolak perbuatannya.”
Menanggapi Romo Kardinal, Buya Syafi’i Ma’arif sebagai pembicara selanjutnya mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Romo Kardinal itu, terutama dalam soal kasih, persis seperti ajaran Islam di dalam mengasihi sesama. “Apa yang disampaikan Kardinal itu seperti suara seorang muslim yang belum terkontaminasi.”
Buya Syafi’i menegaskan bahwa Islam sebagai rahmatan lil alamin itu universal bagi seluruh umat manusia. Kemunculan kelompok Islam radikal yang kerap melakukan kekerasan seperti itu disebabkan mereka terjebak dalam lingkaran—yang disebut Buya Syafi’i sebagai—“misguided arabism” yang sudah berlangsung berabad-abad dan membuat peradaban umat Islam—khususnya di wilayah Timur Tengah saat ini—porak poranda.
“Yang berlaku di dunia Arab sekarang ini adalah peradaban Arab yang sudah bangkrut,” tegas Buya Syafi’i. Celakanya, peradaban yang bangkrut ini dicoba untuk dibawa ke Indonesia oleh kelompok-kelompok tertentu. Tak heran jika isu sektarian yang menjadi pemicu perpecahan umat Islam di dunia Arab sana juga mulai muncul dan berkembang di Indonesia saat ini.
Buya Syafi’i menyebutkan bahwa perilaku kekerasan kelompok radikal itu muncul dikarenakan mereka mengadopsi teologi maut. “Teologi maut ini keluar dari perasaan keputusasaan. Hopeless. Tidak berdaya. Kalah. Kalau sudah kalah, ujungnya kalap,” ucapnya. Akibatnya, tak sedikit umat Islam yang akhirnya lebih memilih pindah ke negara-negara mayoritas nonmuslim, sebab di sana dirasa lebih aman dan nyaman untuk mengekspresikan diri. Sedangkan di kampung halamannya, mereka diberangus.
Pembicara ketiga, Widiyono, tokoh dari umat Buddha dan juga alumnus CRCS, menegaskan bahwa agar tidak terjebak dalam radikalisme, setiap kita mesti menyadari akan niscayanya sebuah keragaman. Kesadaran akan saling keterikatan di dalam keragaman dan bukannya saling bermusuhan sangat dibutuhkan. Di dalam ajaran Buddha, menurutnya, kesadaran akan keragaman dan saling keterhubungan di antara segala hal disebut dengan paticcasamuppada. Hilangnya kesadaran akan hal ini akan melahirkan sikap permusuhan dan tindak kekerasan yang nyata, seperti yang dapat disaksikan pada perilaku sekelompok penganut agama Budha di Sri Lanka atau Myanmar. Menurutnya, tanpa keragaman tak akan ada kehidupan.
Pembicara keempat, Romo Mateus Purwatma dari Katolik, menegaskan bahwa agar tidak terjebak dalam radikalisme ini, seorang Katolik harus menjadi misioner, menjadi seorang saksi, yakni mengamalkan ajaran Yesus di tengah masyarakat beriman secara cerdas, mengerti apa yang diimani dan dapat membaca Alkitab secara benar. Menurutnya, kemampuan membaca Alkitab secara benar ini sangatlah penting, agar saat berjumpa dengan ayat-ayat yang mengekslusikan yang lain tidak terjebak dalam pembacaan yang kaku, sehingga tak salah mengerti. Selain itu, Romo Mateus melanjutkan, seorang Katolik juga mesti menyadari bahwa ia beriman dalam konteks masyarakat majemuk, sehingga saat ia berjumpa dengan orang dari agama lain, ia tahu bagaimana cara menempatkan keimanannya di sana.
*A. S. Sudjatna adalah mahasiswa CRCS angkatan 2015.

Secularism has failed: new religious wars require fresh solution

HeadlineNewsOpinions Wednesday, 7 June 2017

The secularists must learn to accommodate religion in the public sphere while the religious leaders must help balance the public role of religion with spirituality.

Beasiswa Bebas SPP

BeritaBerita Utama Tuesday, 30 May 2017

Beasiswa bebas SPP di CRCS untuk alumni perguruan tinggi non-Islam.

1…89101112…190

Instagram

Experience "Moving with Dharma," a unique practice Experience "Moving with Dharma," a unique practice as research performance that creatively explores Buddhist teachings in the context of contemporary Indonesia. This event blends music and dance to offer new perspectives on Dharma.

Happening on Saturday, May 17th, 2025, from 7 to 9 PM WIB at Balai Budaya Minomartani.

Witness the talents of performers M Rhaka Katresna (CRCS UGM), Victorhugo Hidalgo (Gnayaw Puppet), Gutami Hayu Pangastuti (Independent Researcher-Artist), and Sakasatiya (Music Presentation, ISI Yogyakarta). The evening will be guided by MC Afkar Aristoteles M (CRCS UGM).

The event also includes welcoming remarks by Samsul Maarif (CRCS UGM) and Ahmad Jalidu (Paradance Platform), an introduction to "Buddhism in Modern Asia" by Yulianti (CRCS UGM), and a discussion moderated by Ayu Erviana (CRCS UGM) with responders Nia Agustina (Paradance Platform) and Rahmad Setyoko (ICRS UGM).

This presentation is a collaboration between CRCS UGM, ICRS, and Paradance Platform, and is part of the final term project for "Buddhism in Modern Asia" and a group research project on "Interreligious Dialogue."

#MovingWithDharma #BuddhistTeachings #ContemporaryIndonesia #MusicAndDance #PerformanceArt #DharmaDiscussion #BalaiBudayaMinomartani #YogyakartaEvents #AcademicResearch #ArtAndSpirituality
Since the end of 19th century, the Catholic Church Since the end of 19th century, the Catholic Church has conducted missionary activities among the Javanese in Muntilan, Indonesia, establishing it as the first Catholic mission site in Java. The missionary work not only impacted the Javanese but also the Chinese descendants in Muntilan. The conversion of the Chinese to Catholicism in sparked debates among the Chinese community, who perceived it as a contributing factor to the abandonment of Chinese characteristics. This contest leads to the dynamic and diverse identities of Chinese Catholics within the community, as Chinese characteristics and Catholic faith mutually influence each other.

Come and join the #wednesdayforum discussion with @astridsyifa at the UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to brong your tumbler. This event is free and open to public
Selamat kepada peserta terpilih!!! Ada namamu di s Selamat kepada peserta terpilih!!!
Ada namamu di situ?

😎

peserta terpilih akan dihubungi oleh panitia
yoohoooo... are you waiting for this announcement? yoohoooo...
are you waiting for this announcement?

#studentexchange #religiousstudies #kaburajadulu
Load More Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju