• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Event report
  • Beradaptasi lewat Agama di Tengah Abrasi Pantai Utara Jawa

Beradaptasi lewat Agama di Tengah Abrasi Pantai Utara Jawa

  • Event report, Laporan Wednesday Forum, News, News, Wednesday Forum Report
  • 30 July 2024, 11.35
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Beradaptasi lewat Agama di Tengah Abrasi Pantai Utara Jawa

Rezza Prasetyo Setiawan – 20 Juli 2024

Salah satu dampak nyata krisis iklim ialah kenaikan air laut dan abrasi yang  menenggelamkan daerah-daerah di kawasan garis pantai. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak. Lantas, bagaimana masyarakat Indonesia yang tinggal di kawasan terdampak beradaptasi dengan hal ini? Sejauh mana pemahaman dan praktik keagamaan mereka berperan dalam proses adaptasi tersebut? 

Pertanyaan itu menjadi salah satu  titik tolak disertasi Aliyuna Prastiti yang ia presentasikan dalam Wednesday Forum bertajuk “Making Sense of Religion in Adaptation Processes”, 8 Mei 2024. Dosen program studi Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, ini meneliti dua komunitas masyarakat yang tinggal pesisir utara Pulau Jawa, yaitu Bedono, Kabupaten Demak, Jawa Tengah dan Pantai Bahagia, Bekasi, Jawa Barat. 

Abrasi dan Adaptasi

Bedono dan Bekasi adalah dua di antara banyak daerah pesisir Indonesia yang mengalami abrasi. Di Bedono, pembangunan menjadi salah satu musuh utama yang menyebabkan perubahan lingkungan. Semenjak pembangunan Pelabuhan Tanjung Mas di Semarang pada tahun 1970-an, penurunan tanah terus terjadi. Pembangunan tersebut turut mengakibatkan daerah seluas 256 hektare tenggelam hingga 1,75 meter di bawah permukaan laut. Sementara itu, di Bekasi, penurunan tanah terjadi jauh lebih cepat. Desa Pantai Bahagia, Bekasi, yang terletak di muara Sungai Citarum menjadi desa yang paling cepat tenggelam di kawasan pantai utara Jawa. Sejak tahun 2000-an, abrasi perlahan meringsek ke daerah tempat tinggal warga dan telah menenggelamkan daerah seluas 1066 hektare. 

Abrasi yang terjadi di kedua wilayah tersebut mendorong warga untuk beradaptasi dan, menurut hasil temuan Aliyuna, unsur keagamaan berperan pesan dalam proses tersebut. Pada masyarakat Bedono, pengalaman proses adaptasi tersebut erat dengan keberadaan makam terapung Kyai Mudzakir. Menurut kisah setempat, Kyai Mudzakir merupakan seorang tokoh penyebar agama Islam pada awal abad ke-20 yang masyhur di Bedono. Kyai Mudzakir tidak hanya berjasa mencetak banyak kyai muda di kawasan Demak tetapi juga sering menyembuhkan penduduk sekitar yang menderita penyakit. Oleh karena karamah itulah, makam Kyai Muzakir tidak ikut tenggelam saat erosi air laut menggerus wilayah sekitarnya. Ada juga cerita tentang tumbuhnya pohon-pohon bakau secara tiba-tiba dan melindungi makam tersebut agar tidak tenggelam. Beredar juga larangan di kalangan warga dan peziarah jikalau ada yang mengambil hal-hal tertentu dari sana, seperti memetik daun-daun pohon bakau, akan tertimpa penyakit. Narasi-narasi bertaut keagamaan seperti ini, menurut Aliyuna, menghasilkan keterikatan yang sedemikian rupa pada masyarakat lokal terhadap wilayah Bedono. Ketika warga berpindah untuk menjauh dari daerah yang terbanjiri air laut, mereka tidak akan berpindah terlalu jauh dari makam tersebut.

Di Pantai Bahagia, konteks wilayah dan sejarah menghasilkan pola adaptasi keagamaan yang berbeda. Narasi keagamaan seperti qodarullah (atas takdir Allah), misalnya, digunakan oleh masyarakat generasi pertama yang tinggal di sana sebagai bentuk penerimaan terhadap perubahan lingkungan yang mereka hadapi. Narasi ini menganggap bahwa peristiwa abrasi ini merupakan kehendak Tuhan yang tidak bisa dilawan sehingga usaha apa pun akan sia-sia. Aliyuna menyebut penerimaan ini sebagai nihilistik. 

Namun, masyarakat yang lahir pada generasi berikutnya punya narasi berbeda, salah satunya mereka yang tergabung dalam kelompok sadar wisata (pokdarwis) Alipbata. Komunitas ini lebih optimis mengusahakan restorasi lingkungan melalui program-program penanaman pohon bakau atau mangrove di lahan-lahan pesisir Pantai Bahagia. Bagi Alipbata, upaya restorasi tersebut ialah untuk “membayar dosa orang tua”. Menurut keterangan mereka, orang-orang yang pertama menghuni wilayah Pantai Bahagia merupakan pelarian dari wilayah Banten akibat konflik politik 1965. Saat membuka lahan, mereka membabat hutan bakau untuk ruang tinggal dan tambak. Kawasan ini pun makin meluas hingga akhirnya menjadi wilayah administrasi resmi pada 1984. Tindakan inilah yang dianggap oleh komunitas Alipbata sebagai “dosa orang tua”. 

Dekat dengan Hidup Sehari-hari

Kendati konteks pada kedua wilayah tersebut menghasilkan pola adaptasi berbeda, Aliyuna menggarisbawahi bahwa agama menyediakan solusi-solusi yang lebih praktis bagi komunitas di Bedono dan Pantai Bahagia.`Bagi masyarakat Bedono, kepopuleran kisah makam terapung Kyai Mudzakir mengundang banyak peziarah dari luar daerah yang pada akhirnya membawa keuntungan bagi usaha-usaha penduduk lokal. Sementara itu, di Pantai Bahagia, program penanaman bakau membawa keuntungan ekonomi melalui keberadaan tempat wisata mangrove dan penyediaan benih mangrove oleh warga. Dengan kata lain, pengalaman adaptasi kedua komunitas ini tidak hanya menekankan pada relevansi narasi keagamaan, tetapi juga keuntungan ekonomi yang secara langsung turut mendukung keberlangsungan hidup penduduk terdampak abrasi.

Narasi-narasi keagamaan yang lahir seiring proses adaptasi dan resiliensi tersebut lahir secara organik di tengah umat. Aliyuna menambahkan, walaupun narasi keilmuan modern—seperti perubahan iklim dan abrasi akibat rusaknya hutan bakau—datang dari luar masyarakat, narasi keagamaan seperti makam terapung, qodarullah, dan “membayar dosa orang tua” muncul dari dinamika orang-orang di tengah komunitas itu sendiri. Relasi antara masyarakat dan laut juga muncul dalam bentuk ritual keagamaan seperti sedekah laut. Masyarakat Bedono mengadakan sedekah laut dalam bentuk doa dan sholawat sebagai ungkapan syukur. Di Pantai Bahagia, warga bergotong royong menghaturkan syukur tersebut dalam bentuk pesta laut (nadran). Dalam konteks ini, masyarakat Bedono maupun Pantai Bahagia melihat perubahan lingkungan tidak semata-mata sebagai peristiwa mekanis, tetapi juga sebagai peristiwa dengan signifikansi keagamaan.

Temuan Aliyuna tersebut menunjukkan bahwa agama berperan penting dalam dinamika adaptasi dan resiliensi masyarakat di pesisir utara Jawa dalam  menghadapi kepungan abrasi. Lebih dari mekanisme koping, narasi-narasi keagamaan tersebut ikut membentuk pola migrasi dan aktivisme lingkungan yang unik. 

______________________

Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini dokumentasi ANTARA/Aji Styawan (2019).

Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 13 tentang Penanganan Perubahan Iklim.

Tags: Agama dan Ekologi Ekologi rezza prasetyo setiawan

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

A M P A T Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan A M P A T
Baru kemarin, pemerintah YTTA melakukan aksi simsalabim dengan mencabut empat konsesi tambang di salah satu gugusan Red Line. Aksi "heroik" itu terlihat janggal ketika perusahaan yang paling bermasalah dalam perusakan lingkungan, bahkan yang menjadi pusat viral, justru dilindungi. Tentu bukan karena cocokologi dengan nama Raja Ampat sehingga hanya empat perusahaan yang dicabut konsesinya. Bukan cocokologi juga ketika Raja Ampat akan menjadi lokus tesis yang akan diuji esok di CRCS UGM. Berkebalikan dengan aksi badut jahat di Raja Ampat, @patricia_kabes akan bercerita bagaimana komunitas masyarakat di Aduwei mengelola laut dengan lestari melalui sasi. Berangkat dari negeri timur, peraih beasiswa LPDP ini justru menjadi yang pertama di angkatannya untuk menambahkan dua huruf pada akhir namanya.
For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju