Beradaptasi lewat Agama di Tengah Abrasi Pantai Utara Jawa
Rezza Prasetyo Setiawan – 20 Juli 2024
Salah satu dampak nyata krisis iklim ialah kenaikan air laut dan abrasi yang menenggelamkan daerah-daerah di kawasan garis pantai. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, Indonesia menjadi salah satu wilayah yang paling terdampak. Lantas, bagaimana masyarakat Indonesia yang tinggal di kawasan terdampak beradaptasi dengan hal ini? Sejauh mana pemahaman dan praktik keagamaan mereka berperan dalam proses adaptasi tersebut?
Pertanyaan itu menjadi salah satu titik tolak disertasi Aliyuna Prastiti yang ia presentasikan dalam Wednesday Forum bertajuk “Making Sense of Religion in Adaptation Processes”, 8 Mei 2024. Dosen program studi Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, ini meneliti dua komunitas masyarakat yang tinggal pesisir utara Pulau Jawa, yaitu Bedono, Kabupaten Demak, Jawa Tengah dan Pantai Bahagia, Bekasi, Jawa Barat.
Abrasi dan Adaptasi
Bedono dan Bekasi adalah dua di antara banyak daerah pesisir Indonesia yang mengalami abrasi. Di Bedono, pembangunan menjadi salah satu musuh utama yang menyebabkan perubahan lingkungan. Semenjak pembangunan Pelabuhan Tanjung Mas di Semarang pada tahun 1970-an, penurunan tanah terus terjadi. Pembangunan tersebut turut mengakibatkan daerah seluas 256 hektare tenggelam hingga 1,75 meter di bawah permukaan laut. Sementara itu, di Bekasi, penurunan tanah terjadi jauh lebih cepat. Desa Pantai Bahagia, Bekasi, yang terletak di muara Sungai Citarum menjadi desa yang paling cepat tenggelam di kawasan pantai utara Jawa. Sejak tahun 2000-an, abrasi perlahan meringsek ke daerah tempat tinggal warga dan telah menenggelamkan daerah seluas 1066 hektare.
Abrasi yang terjadi di kedua wilayah tersebut mendorong warga untuk beradaptasi dan, menurut hasil temuan Aliyuna, unsur keagamaan berperan pesan dalam proses tersebut. Pada masyarakat Bedono, pengalaman proses adaptasi tersebut erat dengan keberadaan makam terapung Kyai Mudzakir. Menurut kisah setempat, Kyai Mudzakir merupakan seorang tokoh penyebar agama Islam pada awal abad ke-20 yang masyhur di Bedono. Kyai Mudzakir tidak hanya berjasa mencetak banyak kyai muda di kawasan Demak tetapi juga sering menyembuhkan penduduk sekitar yang menderita penyakit. Oleh karena karamah itulah, makam Kyai Muzakir tidak ikut tenggelam saat erosi air laut menggerus wilayah sekitarnya. Ada juga cerita tentang tumbuhnya pohon-pohon bakau secara tiba-tiba dan melindungi makam tersebut agar tidak tenggelam. Beredar juga larangan di kalangan warga dan peziarah jikalau ada yang mengambil hal-hal tertentu dari sana, seperti memetik daun-daun pohon bakau, akan tertimpa penyakit. Narasi-narasi bertaut keagamaan seperti ini, menurut Aliyuna, menghasilkan keterikatan yang sedemikian rupa pada masyarakat lokal terhadap wilayah Bedono. Ketika warga berpindah untuk menjauh dari daerah yang terbanjiri air laut, mereka tidak akan berpindah terlalu jauh dari makam tersebut.
Di Pantai Bahagia, konteks wilayah dan sejarah menghasilkan pola adaptasi keagamaan yang berbeda. Narasi keagamaan seperti qodarullah (atas takdir Allah), misalnya, digunakan oleh masyarakat generasi pertama yang tinggal di sana sebagai bentuk penerimaan terhadap perubahan lingkungan yang mereka hadapi. Narasi ini menganggap bahwa peristiwa abrasi ini merupakan kehendak Tuhan yang tidak bisa dilawan sehingga usaha apa pun akan sia-sia. Aliyuna menyebut penerimaan ini sebagai nihilistik.
Namun, masyarakat yang lahir pada generasi berikutnya punya narasi berbeda, salah satunya mereka yang tergabung dalam kelompok sadar wisata (pokdarwis) Alipbata. Komunitas ini lebih optimis mengusahakan restorasi lingkungan melalui program-program penanaman pohon bakau atau mangrove di lahan-lahan pesisir Pantai Bahagia. Bagi Alipbata, upaya restorasi tersebut ialah untuk “membayar dosa orang tua”. Menurut keterangan mereka, orang-orang yang pertama menghuni wilayah Pantai Bahagia merupakan pelarian dari wilayah Banten akibat konflik politik 1965. Saat membuka lahan, mereka membabat hutan bakau untuk ruang tinggal dan tambak. Kawasan ini pun makin meluas hingga akhirnya menjadi wilayah administrasi resmi pada 1984. Tindakan inilah yang dianggap oleh komunitas Alipbata sebagai “dosa orang tua”.
Dekat dengan Hidup Sehari-hari
Kendati konteks pada kedua wilayah tersebut menghasilkan pola adaptasi berbeda, Aliyuna menggarisbawahi bahwa agama menyediakan solusi-solusi yang lebih praktis bagi komunitas di Bedono dan Pantai Bahagia.`Bagi masyarakat Bedono, kepopuleran kisah makam terapung Kyai Mudzakir mengundang banyak peziarah dari luar daerah yang pada akhirnya membawa keuntungan bagi usaha-usaha penduduk lokal. Sementara itu, di Pantai Bahagia, program penanaman bakau membawa keuntungan ekonomi melalui keberadaan tempat wisata mangrove dan penyediaan benih mangrove oleh warga. Dengan kata lain, pengalaman adaptasi kedua komunitas ini tidak hanya menekankan pada relevansi narasi keagamaan, tetapi juga keuntungan ekonomi yang secara langsung turut mendukung keberlangsungan hidup penduduk terdampak abrasi.
Narasi-narasi keagamaan yang lahir seiring proses adaptasi dan resiliensi tersebut lahir secara organik di tengah umat. Aliyuna menambahkan, walaupun narasi keilmuan modern—seperti perubahan iklim dan abrasi akibat rusaknya hutan bakau—datang dari luar masyarakat, narasi keagamaan seperti makam terapung, qodarullah, dan “membayar dosa orang tua” muncul dari dinamika orang-orang di tengah komunitas itu sendiri. Relasi antara masyarakat dan laut juga muncul dalam bentuk ritual keagamaan seperti sedekah laut. Masyarakat Bedono mengadakan sedekah laut dalam bentuk doa dan sholawat sebagai ungkapan syukur. Di Pantai Bahagia, warga bergotong royong menghaturkan syukur tersebut dalam bentuk pesta laut (nadran). Dalam konteks ini, masyarakat Bedono maupun Pantai Bahagia melihat perubahan lingkungan tidak semata-mata sebagai peristiwa mekanis, tetapi juga sebagai peristiwa dengan signifikansi keagamaan.
Temuan Aliyuna tersebut menunjukkan bahwa agama berperan penting dalam dinamika adaptasi dan resiliensi masyarakat di pesisir utara Jawa dalam menghadapi kepungan abrasi. Lebih dari mekanisme koping, narasi-narasi keagamaan tersebut ikut membentuk pola migrasi dan aktivisme lingkungan yang unik.
______________________
Rezza Prasetyo Setiawan adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Rezza lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini dokumentasi ANTARA/Aji Styawan (2019).
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 13 tentang Penanganan Perubahan Iklim.