Subandri Simbolon | CRCS | Artikel
“Hubungan yang sangat interaktif dan cair antar berbagai etnis dan agama di Lasem sudah terbangun sejak zaman nenek moyang kami”, demikian ungkap H.M. Zaim Ahmad Ma’shoem Pembina Pondok Pesantren Kauman, dalam menerima kunjungan Field Study CRCS UGM Sabtu, 7 Mei 2016. Pandangan Gus Zaim ini menggaris bawahi bahwa kultur koeksistensi tidak bisa dibangun secara instan, tetapi membutuhkan basis kultural yang dialami sebuah masyarakat dalam kurun waktu yang lama.
Gus Zaim menyampaikan ‘petuah’ yang berharga ini kepada rombongan mahasiswa CRCS saat melakukan studi lapangan di Lasem. CRCS memilih Lasem untuk belajar bagaimana satu masyarakat dari berbagai ragam agama dan etnis dapat hidup harmonis. Lasem adalah kota pesisir pantai utara Jawa dengan kultur Islam tradisional yang sangat kuat. Kultur ini seakan menyatu dengan keberadaan warga Tionghoa non-Muslim yang sangat menonjol dalam tata ruang dan kebudayaan Lasem. Menurut Munawar Azis, alumni CRCS yang meneliti Lasem dalam tesisnya, hubungan antar etnis dan antar agama sudah dimulai sejak zaman Majapahit. Kota yang dijuluki “Kota Tiongkok Kecil” ini menjadikan masyarakat Tionghoa, Arab dan Jawa dapat hidup berdampingan. Kehadiran Ponpes Kauman di tengah bangunan-bangunan lama masyarakat Tionghoa menjadi tanda keharmonisan masyarakat di kota kecil ini.
Masyaraat Lasem relatif beruntung karena mewarisi kultur toleransi dari nenek moyang mereka. Akar historis kultur damai ini, menurut Gus Zaim, “kalau kita runut ke atas, punjernya Lasem itu ada pada abad ke-8 hingga tingkat ke- 9.” Sejak dulu, Lasem telah menjadi daerah pertemuan antara berbagai etnis antara Portugis, Belanda, China, Arab dan Jawa. Umumnya mereka adalah pedagang dan kebanyakan yang datang adalah laki-laki. Sejak itulah terjadi proses asimilasi dengan masyarakat lokal. Perkawinan itulah yang kemudian menghasilkan keturunan yang membaur secara rasial. Proses ini menjadi sumber penting terjadinya akulturasi budaya di Lasem.
Tidak mudah untuk memutuskan sebuah identitas etnik di daerah ini. Orang mengatakan dirinya China, belum tentu adalah China. Demikian juga dengan mereka yang Arab, Belanda atau pun Jawa. Pembentukan karakter multi-identitas etnik ini menghasilkan suatu hubungan yang sangat cair. “Jika ada orang baru datang ke Lasem, mereka akan heran ketika melihat orang saling gojlok-gojlokan setengah mati” kisah Gus Zaim. Kedekatan yang sangat cair itu tidak lagi dipisahkan oleh tembok-tembok perbedaan. Semua identitas dileburkan menjadi satu di Lasem.
Situasi hubungan yang sangat akrab di Lasem menghasilkan suatu masyarakat dimana sumbu-sumbu kekerasan hampir tidak ada. Mengutip pernyataan dari seorang tokoh inteligen nasional, Guz Zaim bercerita bahwa aparat keamanan “pernah mencoba membakar Lasem, tetapi tidak pernah berhasil karena hubungan yang sangat cair seperti ini. Jadi Lasem bukan sumbunya panjang, tapi tanpa sumbu.” Situasi tanpa sumbu inilah yang membedakan Lasem dengan masyarakat multi etnis lainnya sehingga tidak pernah muncul huru-hara antar golongan.
Pengaruh Orde Baru: Diskontinuitas Kampung China
Pada masa Orde Baru, terjadi tekanan terhadap kelompok etnis China. Isu pribumisasi membuat banyak warga etnik Tionghoa menghilangkan identitasnya. “Nama Lim Sie Yoing harus menggantinya dengan nama Sudono atau Salim, nama King Ho dengan nama Kristianto” jelas Gus Zaim. Tetapi hal yang serupa tidak terjadi pada kelompok etnik lainnya. “Seperti nama Muhammad Zaim contohnya tidak harus mengganti nama menjadi Jaya Haditirto, nama Taufiq tidak harus diganti menjadi Mangkubumi” lanjutnya. Tekanan terhadap orang China ini menjadi sangat jelas ketika melakukan pembandingan itu.
Tekanan ini membuat warga etnik Tionghoa di Lasem akhirnya tidak terlalu ekspresif. Ketakutan-ketakutan itu memaksa mereka untuk sebisa mungkin menghilangkan identitas diri. “Tulisan-tulisan China yang ada di pintu-pintu mereka tutup dengan menggunakan seng, dikempul bahkan ditutup dengan semen dan bahkan dihilangkan dengan menggunakan kapak,” kisah Gus Zaim. Akhirnya, sebagian tulisan-tulisan itu hilang. Padahal, menurut Gus Zaim, tulisan itu sangat istimewa karena memiliki makna tentang kebijaksanaan sangat bagus.
Tekanan atas warga China pada masa Orde Baru menyisakan luka lama. Mereka bahkan harus menjadi penganut agama-agama resmi walau mereka punya cara tersendiri dalam beragama. Bahkan, pada tahun 1967 pernah dikeluarkan Inpres (Instruksi Preside) No.14 tahun 1967 yang isinya melarang mengadakan perayaan-perayaan, pesta agama dan adat istiadat China. Tekanan dari pemerintah ini membuat kota Lasem mengalami masa diskontiniutas dalam kebudayaan China di Lasem.
Pasca Orde Baru: Trauma Healing ala Gus Zaim
Berujungnya Orde Baru pada 1998, memberikan harapan baru bagi kelompok etnis China di Nusantara. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, keluar Kepres (Keputusan Presiden) no 6 tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967. Dengan tegas, Gus Dur menyatakan bahwa masyarakat China adalah bagian dari Bangsa Indonesia. Selain itu, Gus Dur juga memberikan kebebasan beragama dengan mengangkat Kong Hu Chu sebagai agama resmi di Negara Indonesia.
Akan tetapi, kebebasan itu tidak serta merta membebaskan orang China di Lasem dari ketakutan-ketakutan lamanya. Simbol-simbol China masih ditutupi seperti tulisan di depan pintu. Gus Zaim menjadi salah satu pelopor agar tulisan ini dibuka. Gus Zaim langsung menunjukkan salah satu pintu di depan pesantrennya. Bagi dia, tulisan itu dipenuhi dengan makna yang mendalam. “Semoga panjang umur setinggi gunung dan semoga luas rezekinya sedalam samudera”. Bagi Gus Zaim, tidak ada salahnya kalau itu dipertahankan dan itu sama sekali tidak melawan Aqidah seperti yang dipahami oleh beberapa orang. “Yang berdoa mereka, saya yang mengamini. Mereka berdoa pada Kong Hu Chu dan Tuhan mereka sendiri, saya amin juga pada Tuhan saya sendiri. Kan boleh seperti doa bersama ala Gus Dur. Boleh-boleh saja,” tegas Gus Zaim.
Melihat situasi traumatik ini, Gus Zaim sering melakukan kunjungan ke rumah-rumah etnis China di sekitar pesantren. Awalnya, masyarakat China merasa gamang dengan kedatangan Beliau. “Saat itu ada terdengar ‘wah, ternyata orang-orang pesantren itu baik-baik ya’”, kisah Gus Zaim. Bagi mereka, pesantren itu identik dengan kekerasan. Kehadiran Gus Zaim merombak paradigma lama itu dalam diri orang China yang mereka kunjungi. Selain kunjungan, para santri juga selalu membantu masyarakat China yang sedang punya hajatan. Demikian juga sebaliknya. Hal ini membuat hubungan yang dulu cair menjadi cair kembali. Menurut Gus Zaim, dia dan bersama teman-teman lainnya hanya mencoba mengembalikan dan melestarikan situasi damai yang dulu telah dilahirkan oleh para leluhur. “Saya bukan yang mempelopori, tidak. Saya hanya melanjutkan atau membuka kembali lembaran-lembaran yang dulu pernah ada dan ditutup. Itu hubungan interaksi di Lasem. Sangat cair” kisahnya.
Penuturan Gus Zaim ditutup dengan sebuah harapan agar toleransi di Lasem dapat dipancarkan ke seluruh Indonesia dan dunia. Gus Zaim menegaskan, “Saya sendiri ingin agar hubungan interaktif dan cair seperti ini bisa menjadi contoh bagi toleransi, hubungan antar etnis, antar suku bangsa, antar agama, tidak hanya di indonesia tetapi di international”
Berita
Konflik kekerasan bernuansa agama (Islam – Kristen) yang melanda Kota Ambon dan Maluku pada tahun 1999-2004 dan menghilangkan ribuan nyawa telah lama usai. Namun luka yang ditinggalkannya belum sepenuhnya sembuh. Generasi baru anak-anak muda Ambon adalah mereka yang di masa konflik masih kanak-kanak dan kini mewarisi ingatan tentang konflik berdarah itu. Namun Ambon adalah juga contoh terpenting keberhasilan masyarakatnya membangun perdamaian. Konflik dan perdamaian di wilayah ini adalah sumber pengetahuan penting tentang bagaimana keragaman identitas dikelola dan hidup bersama dibangun.
Dalam kunjungannya ke Ambon, Zainal Abidin Bagir, dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, menjadi pembicara dalam diskusi publik tentang “Teori dan Praktik Pluralisme dan Multikulturalisme” di Jurusan Teologia, Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri Ambon. Diskusi terbuka (18/5/2016) yang dihadiri sekitar 50 mahasiswa dan dosen tersebut berlangsung cukup dinamis dalam sesi tanya jawab.
Presentasi Zainal tentang pengelolaan keragaman menjelaskan teori-teori mengenai pluralisme, multikulturalisme, resolusi konflik dan bina damai. Di akhir diskusi, seorang mahasiswa STAKPN mengajukan pertanyaan bagaimana Ambon bisa belajar dari teori-teori itu. Zainal menjawab, “…kita memang perlu belajar teori-teori. Tetapi kita juga perlu belajar dari pengalaman sendiri yang amat kaya. Teori-teori itu dibangun berdasarkan pengalaman di banyak tempat. Untuk konteks Ambon, ada banyak hal dan pengalaman yang bisa dipelajari. Yang tidak kalah penting,” sambung Zainal, “kita perlu terus belajar mengenal sejarah sendiri untuk mengerti latar belakang situasi hari ini. Dengan pengetahuan itu kita dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam memahami dan mengelola realitas keragaman hari ini maupun di masa depan.”
Diskusi ini adalah bagian dari kerjasama Prodi Agama dan Lintas Budaya UGM dan STAKPN Ambon sejak tahun lalu. Jurusan Teologia STAKPN pada tahun 2015 membuka Program Studi Agama dan Budaya pada tingkat S-1, dan kini diketuai alumnus CRCS, Dr. Yance Rumahuru. Kerjasama CRCS dengan STAKPN Ambon sudah menghadirkan beberapa pembicara lain sejak akhir tahun 2015.
Pada akhir 2015 ada dua pembicara dari CRCS yang menyampaikan materi di STAKPN. Di bulan November 2015 Marthen Tahun, peneliti CRCS memberikan kuliah umum tentang Relasi intra-Kristen antara gereja-gereja Pantekosta dan non-Pantekosta di Indonesia. Kemudian pada awal Desember Greg Vanderbilt, dosen tamu di CRCS, berbicara tentang Pendidikan Agama Kristen dan spiritualitas dari perspektif Mennonite. Pada awal Januari 2016, Robert Hefner berbicara tentang Demokrasi dalam masyarakat multikultur. Pada bulan berikutnya, Kelli Swazey, pengajar di CRCS, memaparkan hasil risetnya mengenai Pengelolaan Pariwisata dalam konteks relasi Muslim-Kristen pasca konflik di Banda. STAKPN sendiri selama 7 bulan terakhir (November 2015 – Mei 2016) telah menjadi tuan rumah bagi Marthen Tahun, peneliti CRCS, yang sedang melakukan penelitian lapangan di kota Ambon.
Di antara kerjasama lain yang telah direncanakan adalah membuat short course mengenai pengelolaan keragaman di STAKPN untuk publik Ambon. Yance berharap Prodi Agama dan Budaya di STAKPN dapat berkontribusi dalam membangun Maluku yang multikultural. Merefleksikan pengalamannya ketika menjadi mahasiswa di CRCS, ia bahkan berupaya agar ada mahasiswa-mahasiswa non-Kristen yang menjadi mahasiswa di STAKPN Ambon.
Ketua STAKPN Ambon, Dr. Agusthin Kakiay berharap kerjasama ini akan terus berjalan dengan produktif. Saat ini sekolah tinggi ini sedang berkembang dan mempersiapkan diri untuk menjadi Institut Agama Kristen Protestan.
(Tim web CRCS)
Asep A.S | CRCS | News
Gunungkidul ditengarai sebagai kabupaten dengan tingkat intoleransi paling tinggi di Yogyakarta. Setidaknya, itulah salah satu hal yang terungkap dalam acara launching buku sekaligus diskusi mengenai laporan advokasi kebebasan beragama bertajuk “Yogyakarta City of (In)tolerance?,” Senin, 2 Mei 2016, di Sekolah Pascasarjana UGM. Informasi mengenai masih tingginya angka kasus intoleransi di Kabupaten ini diketahui setelah Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) melakukan pendokumentasian atas kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan di kabupaten tersebut yang terjadi selama kurun waktu 2011 hingga 2015. Di dalam laporannya, ANBTI mengkategorikan beragam kasus pelanggaran tersebut ke dalam empat kategori, yakni (1) pelanggaran oleh negara atas keinginan mengontrol ekspresi keagamaan; (2) pelanggaran yang terjadi akibat perilaku intoleran yang dilakukan oleh negara dan non-negara; (3) pelanggaran yang terjadi akibat kegagalan negara di dalam mengatasi baik diskriminasi ataupun pelanggaran sosial atas kelompok-kelompok agama tertentu; serta (4) pelanggaran yang terjadi karena menerapkan kebijakan tertentu yang merugikan agama-agama minoritas.
Pada diskusi yang dihelat oleh Program Studi Agama dan Lintas Budaya atau CRCS melaui program Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) dan ANBTI ini pembicara dari ANBTI, Agnes Dwi Rusjiati, menyebutkan beberapa contoh peristiwa pelanggaran yang terjadi di Gunungkidul, seperti pengusiran Pendeta Agustinus, penutupan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Semanu dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) Playen yang telah memiliki IMB, penyerangan dan penutupan atas Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII) Widoro, penolakan acara perayaan Paskah Adiyuswo Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gunugkidul yang disertai penganiayaan terhadap aktivis lintas iman, serta penolakan pendirian Gua Maria Wahyu Ibuku di wilayah Giriwening. Memang, belakangan ini Yogyakarta yang kerap disebut-sebut sebagai City of Tolerance sedang dirundung banyak problema dalam hal toleransi, baik antar maupun antara umat beragama maupun antar kelompok ormas. Terbukti, sebagaimana disebutkan oleh Agnes, kasus-kasus intoleransi seperti penyerangan dan pembubaran diskusi, perusakan situs makam, penyerangan terhadap doa rosario, intimidasi terhadap kelompok tertentu seperti Syiah dan LGBT, penghentian ibadah di gereja, serta usaha penutupan rumah ibadah kerap terjadi di provinsi yang berjuluk kota budaya ini.
Di dalam kesempatan tersebut, Agnes juga memaparkan bahwa peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di kerap kali seputar persoalan penolakan pelaksanaan ibadah maupun keberadaan rumah ibadah umat Kristen, baik yang telah dibangun maupun masih dalam proses pembangunan. Selain itu, ia juga mengeluhkan bahwa setiap pertemuan yang difasilitasi oleh Pemda mengenai persoalan rumah ibadah ini akan berujung pada penghentian rumah ibadah, selain juga proses yang berlarut-larut dan kurangnya peran aktif pemerintah dalam menangani kasus-kasus semacam ini. Kerap kali, pemerintah baru bertindak setelah ada inisiasi dari warga. Isu kristenisasi, pemurtadan, dan adanya penolakan dari masyarakat muslim yang kemudian mendesak pemerintah daerah untuk melakukan penghentian rumah ibadah menjadi pola khas dalam kasus kebebasan beragama dan berkepercayaan yang terjadi di ini.
Senada dengan Agnes, Kristiana Riyadi—pembicara dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)—menyebutkan bahwa peran FKUB di dalam membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama masihlah sangat minim. Bahkan, FKUB sendiri secara internal masihlah menyisakan konflik, hal ini sangat berbeda dengan kondisi sebelum adanya FKUB yang merupakan keputusan menteri, di mana kala itu forum komunikasi antar agama masih bernama Forum Lintas Iman. Hal ini terjadi, menurut Kristiana, disebabkan oleh penekanan pada proporsionalitas yang diatur dalam SK menteri tahun 2006. Tentu saja, Islam yang mayoritas akan memiliki jumlah wakil yang lebih banyak di dalam FKUB. Sebagai contoh, pimpinan FKUB yang berjumlah lima orang dengan asumsi merupakan wakil dari setiap agama yang diakui oleh negara, tiga di antaranya diduduki oleh wakil dari umat Islam. Sehingga, dengan pertimbangan tertentu, akhirnya khusus FKUB , sesuai dengan keputusan Bupati , memiliki tujuh orang pimpinan agar dapat mengakomodir semua agama.
Persoalan lain yang dihadapi oleh FKUB adalah soal menyerap aspirasi. FKUB semestinya menyerap semua aspirasi masyarakat dan umat beragama. Namun, proses ini menjadi bumerang tersendiri bagi tujuan didirikannya FKUB saat harus berhadapan dengan aspirasi dari kelompok ormas intoleran yang mau tidak mau harus diserap juga. Selain itu, keterpusatan keputusan pada ketua menjadi persoalan tersendiri yang tak dapat dihindari. Sebab, hal ini kerap kali tidak mencerminkan keterwakilan umat beragama yang minoritas. Belum lagi persoalan pengambilan beberapa keputusan terkait persoalan keagamaan ini tidak sepenuhnya berada dalam lingkup FKUB, melainkan pada rapat Muspida, di mana FKUB hanya diwakili oleh satu orang saja, yakni ketua FKUB. Tak heran jika keputusan-keputusan yang dihasilkan kerap kali kontraproduktif dengan visi dan misi didirikannya FKUB itu sendiri. Persoalan lainnya, misalnya, sosialisasi perbedaan peraturan pendirian rumah ibadah sebelum 2006. Sosialisasi mengenai hal ini hampir dapat dikatakan tidak dilakukan. Sehingga masyarakat menganggap peraturan mengenai pembangunan rumah ibadah setelah 2006 bersifat general, sehingga kerap kali terjadi konflik di lapangan karena adanya ketidakpahaman ini. Biasanya kasus perizinan keberadaan rumah ibadah lama yang muncul sebagai akibatnya. Padahal perizinan rumah ibadah yang telah dibangun sebelum tahun 2006 berbeda dengan perizinan rumah ibadah yang dibangun setelah tahun tersebut.
Mengenai persoalan penolakan rumah ibadah ini, pembicara lainnya yang merupakan alumni SPK, Pendeta Stefanus Iwan Listyanto, menyebutkan bahwa terjadinya hal tersebut juga disebabkan oleh adanya persoalan internal dalam golongan agama tertentu. Tak dapat dipungkiri, menurut pendeta dari Semanu ini, adanya persaingan antar gereja membuat umat Kristen pasif saat ada gereja di luar golongannya yang dipersoalkan keberadaannya oleh umat lain. Hal ini menjadi gejala global yang terjadi sehingga kelompok Kristen yang sedang menghadapi masalah dengan rumah ibadahnya kerap harus berjuang sendiri tanpa adanya bantuan dari sesama pemeluk Kristen lainnya. Menurutnya, belum adanya kesadaran mengenai perspektif HAM dan adanya persaingan antar gereja juga memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan penyelesaian konflik. Hal ini menandakan masih adanya persoalan di antara umat beragama secara internal. Dengan nada bercanda dan sindiran, ia berkata bahwa mungkin saja ada golongan seagama yang sorak sorai saat sebuah rumah ibadah ditutup atau dipermasalahkan. Karenanya, ia menekankan pentingnya membangun jejaring baik antara maupun antar umat beragama. Dengan berjejaring, menurutnya, seseorang atau kelompok bisa saling bantu melengkapi data pendokumentasian jika terjadi persoalan yang mungkin akan memudahkan proses penyelesaian masalah. Selain itu, memiliki sudut pandang dari pihak korban juga penting untuk membangun empati, agar persaingan itu dapat tetap berjalan secara sehat.
Sedangkan pembicara terakhir, M. Iqbal Ahnaf dari CRCS, menyebutkan bahwa maraknya tindakan intoleransi yang terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini disebabkan oleh banyak faktor. Namun secara ringkas, Iqbal mengerucutkannya ke dalam tiga faktor yang saling terkait dan berinteraksi satu sama lain, yaitu (1) krisis keistimewaan; (2) industrialisasi; dan (3) penebalan identitas. Walaupun masih berupa hipotesis, menurut Iqbal, namun gejala yang menunjukkan ke arah tersebut cukup jelas adanya. “Saya kira, ini sangat terkait dengan pemegang otoritas tertinggi di Jogjakarta. Saya kira kita ingat belum lama ini RUU keistimewaan Jogjakarta mulai mengusik otoritas yang paling mapan di Jogjakarta.” Ungkapnya mengawali penjelasan mengenai persoalan krisis keistimewaan ini. Menurut Iqbal, perubahan peraturan di tampuk pimpinan Yogyakarta ini mencerminkan proses perubahan sosial yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian memicu krisis otoritas keistimewaan yang meniscayakan kebutuhan akan kekuatan basis sumber daya di Yogyakarta. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan citra keistimewaan itu. Oleh sebab itu kebutuhan akan sumber daya ini kemudian melibatkan perkembangan industrialisasi sebagai salah satu usaha mendapatkan suplai sumber daya.
Menurut Iqbal, pembangunan hotel yang kian marak serta bentuk pembangunan dan industrialisasi lainnya kemungkinan dilakukan untuk memapankan basis-basis sumber daya itu. Konsekuensi dari adanya industrialisasi ini adalah sekuritisasi. Sebab, para investor maupun pengusaha tentu membutuhkan stabilitas keamanan yang cukup untuk menjalankan bisnisnya itu. Karena itu diperlukan kekuatan-kekuatan yang bisa mempertahankan dan mendukung keamanan tersebut. Di bagian inilah kemudian perubahan sosial yang terjadi di masyarakat yang melaju pada arah penebalan identitas dan kian rigidnya batas-batas sosial, baik berlandaskan agama maupun etnik, bertemu dengan realitas kebutuhan akan sekuritisasi ini. Sehingga, tak heran jika kemudian aspek skuritisasi ini diambil alih oleh kelompok-kelompok atau kekuatan-kekuatan yang bergerak di arena penebalan identitas itu. Hal ini semacam simbiosis mutualisme. Kita dapat memahami dengan mudah bahwa ketika seseorang mengalami krisis, maka ia akan membutuhkan dukungan untuk mengembalikan sumberdaya yang hilang. Sumberdaya itu bisa bersifat ekonomi maupun sosial. Industrialisasi ini dapat diidentifikasi sebagai sumber daya yang bersifat ekonomi, sedangkan dukungan kelompok tertentu itu merupakan sumber daya yang bersifat sosial. Kebutuhan akan dukungan sosial inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu—baik keagamaan maupun etnik—untuk merapat pada otoritas kekuasaan di Yogyakarta. Kontestasi antar kelompok itulah yang terkadang menghadirkan konflik. Pergulatan ketiga hal tersebut itulah yang kemudian meniscayakan hal-hal lainnya semisal institusionalisasi kelompok-kelompok pelaku kekerasan dan semakin lemahnya kekuatan moderat kritis. Institusionalisasi ini merupakan bentuk pemapanan oleh sistem yang ada terhadap kelompok-kelompok tertentu. Sehingga, walaupun minoritas, kelompok-kelompok ini dapat bertahan, eksis, dan dominan. Akibatnya, ada kasus-kasus serupa yang kemudian direspons berbeda, tergantung kelompok mana yang merespons dan apa kepentingannya. Kasus pembangunan hotel atau sampah visual, misalnya, menurut Iqbal, diprotes sedemikian rupa. Namun, saat ada rumah ibadah ditutup, tak banyak orang yang peduli.
Di dalam sesi tanya jawab, terungkap pula beberapa fakta mengenai tindakan intoleran yang ternyata tak hanya didominasi oleh ormas atau kelompok-kelompok tertentu, melainkan pula dilakukan oleh negara. Menurut Agnes, pemerintah pernah melakukan kerja sama dengan ormas intoleran dalam melakukan intimidasi terhadap kelompok tertentu, seperti yang terjadi pada kasus GKII. Selain itu, aparat yang berjaga di lapangan saat terjadi konflik akibat adanya tindakan intoleransi kerap tidak bertindak mencegah tindakan intoleransi yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu, mereka justru terkesan hanya menjaga kelompok tertentu itu agar tidak melakukan tindak kekerasan sehingga tidak dapat dikriminalisasikan. Sedangkan perilaku intoleransinya dibiarkan begitu saja. Selain itu, dalam sesi ini juga terungkap bahwa soal tindakan intoleransi terutama dalam hal keberagamaan tidaklah didominasi oleh agama tertentu, melainkan seringnya dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas, baik internal maupun antar agama. Di Atambua misalnya, menurut Agnes, pernah pula terjadi penolakan pembangunan rumah ibadah agama tertentu dari kelompok minoritas yang dilakukan oleh umat agama yang sama yang mayoritas. Atau, dalam kasus Tolikara dan beberapa wilayah di Indonesia Timur, misalnya, tindakan intoleransi kerap pula menimpa kaum muslim yang minoritas, sebagaimana halnya yang terjadi terhadap umat Kristen dan umat lainnya yang tinggal di wilayah mayoritas umat Islam. Sehingga, menurut Iqbal, menjadi penting untuk memperkuat kelompok-kelompok rentan yang ada. Selain itu, penting pula untuk menanamkan sikap toleransi, kesadaran akan HAM, dan menghilangkan kecurigaan di antara para pemeluk agama yang ada. Sebab, sebagaimana disimpulkan oleh moderator pada acara tersebut, Subandri Simbolon, kedamaian tidak hadir bukan hanya sebab bangkitnya kaum intoleran, namun juga sebab diamnya para pecinta perdamaian.
Azis Anwar Fachrudin | CRCS | Report
“Pengalaman mistis ialah pengalaman akan Yang Misterius, dan karena itu tak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” demikian ungkap Dr. Ammar Fauzi, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jakarta, dalam seminar tentang esoterisme Islam dan agama-agama lokal Indonesia pada 17 Mei 2016. “Orang yang bisa berkata-kata tentang pengalaman mistis,” lanjut Ammar mengutip Ibn ‘Arabi, “adalah orang yang tidak tahu.”
Dalam seminar yang diselenggarakan atas kerjasama Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) dan STFI Sadra di Sekolah Pascasarjana UGM itu, Dr Ammar Fauzi berbicara tentang beberapa konsep kunci dalam esoterisme Islam, terutama yang dirumuskan oleh Ibn ‘Arabi. Di antara konsep kunci itu ialah bahwa dalam kondisi ketika seseorang telah tenggelam dalam pengalaman mistis berjumpa dengan Tuhan maka yang terjadi pada dirinya ialah kondisi “bingung” (tahayyur) yang tak bisa dirasionalisasi dalam konsep-konsep dan karena itu upaya membungkusnya dalam kata-kata sama dengan reduksi.
Paradigma inilah yang kemudian membawa Ibn Arabi untuk menafsirkan ayat “waman yusyrik billah faqad dhalla dhalalan ba’idan” tidak dalam pengertian yang secara umum dikenal (“siapa menyekutukan Allah maka ia teramat sesat”). Kata “yusrik” di situ, dengan ditakwil (dikembalikan ke makna asalnya), bisa pula bermakna “menyamai atau berbagi sifat (syāraka)”, sehingga kita seorang hamba ber-yusyrik kepada Tuhannya—dan dengan demikian semakin mendekat pada aras Wujud-Nya—semakin ia akan mengalami dhalla, “kehilangan arah”, yakni kondisi ketika realitas empiris dan distingsi-distingsi yang dibuat manusia tidak lagi relevan baginya. Karena tafsir seperti ini, Dr Ammar mengklaim, sebenarnya Ibn ‘Arabi bisa disebut lebih literaris ketimbang Ibn Taimiyah yang sering diklaim sebagai ulama literalis dan pernah mengkafirkan ajaran wahdatul-wujud ala Ibn ‘Arabi.
Hal lain yang dibincangkan Ammar ialah tentang pendekatan fenomenologis yang mutlak harus diikutkan dalam setiap perbincangan tentang esoterisme. Esoterisme Islam, juga sebenarnya agama-agama lain, berpusat pada pengalaman, dan karena itu ia diketahui dengan dialami, bukan semata diperbincangkan dalam konsep-konsep dan dianalisis dengan rasio. Orang yang sudah mengetahui sisi esoteris agama mestilah orang yang pernah mencerap pengalaman itu. Caranya ialah dengan melibatkan rasa, satu konsep yang juga merupakan kata kunci—bahkan sekaligus pusat—dalam dunia kebatinan Jawa.
Hal yang terakhir inilah antara lain yang menunjukkan adanya benang merah antara Ibn Arabi dan esoterisme Islam-Jawa sebagaimana diungkapkan oleh pembicara lain, Herman Sinung Janutama, seorang praktisi kebatinan Jawa. Bila dalam Ibn Arabi kondisi perjumpaan dengan Tuhan ditandai dengan tahayyur, maka dalam kebatinan Jawa kondisi bertemu atau manunggal dengan Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Sangkan Paraning Dumadi (Asal Segala Wujud) adalah suwung, kondisi “kosong-sunyi”, ketika waktu dan tempat tak lagi relevan. Esoterisme Islam-Jawa, lanjut Herman, berbasis pada Jagad Alit atau alam mikrokosmos—sebagai kontras bagi Islam-eksoteris yang berbasis Jagad Agung atau alam makrokosmos.
Alam mikrokosmos itu, menurut Herman, merujuk pada Sapta Pratala Suksma, yakni fakta-fakta menyangkut realitas di alam esoteris manusia, yang untuk mengaksesnya membutuhkan rasa. Satu operasi jarwo-dhosok dilakukan secara menarik oleh Herman: kata “arsy”, yakni singgasana tempat ‘bersemayam’ Hyang Maha Suksma, ketika ditulis dalam aksara Hanacaraka menjadi ha-ra- sa, atau ra-sa. Maka olah rasa adalah keharusan dalam mencerap pengalaman esoteris dalam Islam-Jawa. (Hal terakhir ini turut mengingatkan satu ungkapan terkenal dalam tasawuf: “Qalbul-mu’min ‘arsyu-‘Llah,” hati orang beriman adalah singgasana Allah.)
Benang merah esoterisme Islam-Jawa itu juga tampak ketika Herman menunjukkan kitab Atassadhur Adammakna, serat karya Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Cakraningrat atau Adipati Danureja VI, yang menulis serat itu berdasar pada ajaran dari Sri Sultan Hamengku Buwono V. Dalam serat Karana-Jati di kitab yang ditulis KPH Cakraningrat itu tampak terurai konsep-konsep kunci tentang manusia yang fana—yang sebenarnya tidak ada—yang bisa ada sebab mendapat limpahan wujud dari Sang Wujud, Dat kang Esa. Bahkan kata kunci seperti “tajalli” (pengejawantahan Tuhan) pun disebut secara eksplisit dalam serat itu. Pemahaman ini pada gilirannya membawa pada pemahaman selanjutnya bahwa karena segala yang ada di alam semesta adalah sesama pengejawantahan (tajalli)-Nya maka seorang manusia Jawa yang paripurna mestilah menjaga prinsip “hamemayu karyenak tyasing sasama”, senantiasa menjaga perasaan dan hati orang lain dengan kata-kata dan perilaku yang benar dan tepat, sebagai wujud menjaga keselarasan alam (hamemayu hayuning bawana) yang tak lain merupakan wadag pengejawantahan Tuhan.
Satu operasi etimologis juga sempat diutarakan oleh Herman tentang akar kehidupan manusia yang—dalam Wirid Hidayat Jati wejangan kedua, Wedharan Wahananing Dat (Penjabaran Wadag Dzat)—disebut “kayu”, yang kemungkinan berasal dari bahasa Arab, “hayyu”, yang hidup. (Maka wirid “ya kayu” berarti “ya hayyu”, memanggil satu dari asma Allah.) Hal ini direspon oleh Dr Ammar bahwa bisa jadi istilah itu berhubungan dengan konsep “hayulah” dalam filsafat Wujud. Kata Arab “hayulah” diambil dari bahasa Yunani, “hyle”, yang selain berarti substansi dari sesuatu, atau Forma dalam filsafat Plato, juga bisa berarti—dalam filsafat Aristoteles—“kayu” (wood), kayu sebagai materi yang mendasari perubahan. Operasi etimologis ini ialah satu dari sekian banyak hal yang menandakan adanya keterhubungan erat antara filsafat Wujud, khususnya dari Ibn Arabi, dan esoterisme Islam-Jawa.
Namun demikian, uraian dari kedua pembicara di atas ditanggapi oleh pembicara lain, Dr. Samsul Maarif, dosen CRCS, dengan secara kritis menawarkan alternatif perspektif yang sudah dikembangkan dalam studi mutakhir agama-agama lokal (indigenous religions). Agama-agama lokal, ujar Maarif, sering tidak direpresentasikan dengan tepat sebab dilihat dari kaca mata agama-agama dunia (world religions), khususnya agama-agama Abrahamik (Islam, Kristen, Yahudi). Perspektif agama-agama dunia (dengan konsep-konsep kunci tentang Tuhan dan spiritualitas) yang kemudian dipaksakan untuk membaca fenomena agama-agama lokal ini seringkali berujung pada penghakiman bahwa agama-agama lokal adalah penganut “animisme”, kepercayaan akan adanya spirit yang mendiami pohon, batu, gunung, dsb. Para penganut agama-agama lokal itu lalu dikira sedang menyembah pohon, batu, gunung, itu, yang tak pelak memunculkan vonis seperti pelaku paganisme, syirik, dll. Karena cara pandang seperti ini, agama-agama lokal kerap dikaji dengan perspektif agama-agama dunia secara misionaris, yakni dengan target membuat mereka melakukan konversi ke agama-agama dunia itu.
Bila Dr. Ammar menyatakan bahwa kita tak bisa mempelajari agama tanpa membahas konsep Tuhan, Dr Maarif mengkritik bahwa dalam agama-agama lokal kita bisa membicarakan agama tanpa harus mengikutsertakan konsep Tuhan. Kata “Tuhan” itu sendiri, menurut Maarif, sebenarnya adalah adaptasi yang dilakukan misionaris Kristen masa kolonial saat menerjemahkan Bible. Kata yang dipakai untuk menyebut Yesus dalam Bible adalah “Lord”, dan ketika dicarikan padanannya dalam bahasa pribumi diambillah kata “Tuan”, yang kemudian menjadi “Tuhan”. Dengan kata lain, konsep “Tuhan” adalah bias agama-agama Abrahamik. Bahkan agama Buddha sebenarnya tak mengenal konsep Tuhan sebagaimana dipahami dalam agama-agama Abrahamik (yakni, “Tuhan-personal”). Konteks politik Indonesia pasca-1965 menyebabkan penganut Buddhisme di Indonesia harus melakukan invensi konsep Tuhan dalam konstruksi teologis mereka.
Sebagai kritik terhadap bias epistemologis agama-agama Abrahamik dalam membaca agama-agama lokal itu, Dr Maarif mengambil konsep yang pernah diajukan antara lain oleh Nurit Bird-David dalam penelitiannya tentang orang-orang suku Nayaka di India. Bird-David mengkritik konsep animisme yang bias kolonialisme itu dan menawarkan konsep “epistemologi relasional” untuk membaca agama-agama lokal. Inilah alternatif perspektif yang, menurut Maarif, lebih tepat untuk merepresentasikan agama-agama lokal Indonesia. Dalam epistemologi relasional, yang terjadi bukanlah kepercayaan akan adanya spirit atau roh di balik pohon yang kemudian disembah, melainkan relasi eksistensial antar sesama wujud yang diperlakukan sama-sama sebagai person, satu perspektif yang kemudian dipandang secara lebih luas sebagai bagian dari upaya mewujudkan keselarasan kosmos.
Dalam relasi interpersonal ini, kosmos dihuni dua macam person, yakni manusia dan non-manusia. Keduanya berkedudukan setara, dan karena itu menentang hierarki culture-nature yang dominan dalam agama-agama dunia (modern). Setiap wujud itu menjadi person ketika ia berelasi dengan person lain. Eksistensi suatu person ditentukan pada kualitas relasionalnya dengan person lain. Dalam ungkapan lain, hanya dengan menjalin relasi itulah ke-person-an (personhood) suatu wujud dapat mengaktual. Dengan memodifikasi ungkapan Descartes “saya berpikir maka saya ada” (cogito ergo sum), epistemologi relasional ini bisa diformulasikan dengan ungkapan “saya berelasi maka saya ada.”
Dalam relasi interpersonal ini, lanjut Maarif, suatu person bisa menjadi perusak atau penyelaras. Hanya dengan etika tanggung jawab dan resiprositas secara interpersonal dengan person yang lain (baik manusia maupun non-manusia) keselarasan alam bisa lestari. Etika resiprositas ini diwujudkan antara lain dengan prinsip timbal-balik: bahwa bila seorang telah mengambil suatu dari alam maka dia wajib memberi balik ke alam. Seorang penganut agama lokal memahami tanah (adat) sebagai person lain yang karenanya dia bisa berelasi dan eksis, sehingga kehilangan tanah sama artinya dengan merenggut satu bagian penting dari eksistensinya. Berkat perspektif seperti inilah, ujar Maarif, agama-agama lokal belakangan dipandang sebagai satu alternatif yang tidak bisa diabaikan dalam diskursus mengenai ekologi dan pelestarian alam.
Tentu saja perspektif interpersonal ini bisa diragukan apakah ia berlaku secara universal untuk agama-agama lokal di seluruh dunia. Bukan tak mungkin, karena perkembangan zaman sudah banyak agama-agama lokal yang terpengaruh agama-agama dunia dan menyesuaikan diri dengan, misalnya, menginvensi konsep teologis yang sebelumnya tidak ada. Namun demikian, perspektif interpersonal ini setidaknya sanggup membawa pada kesadaran kritis untuk meminimalisasi bias-bias dalam merepresentasikan agama-agama lokal—bias-bias yang bukan hanya menghantui dunia akademis melainkan juga telah memengaruhi diskursus politik, tak terkecuali di Indonesia.
Ali Ja’far | CRCS | Artikel
“Perubahan besar-besaran pada Klenteng-Vihara Buddha terjadi setelah peristiwa 1965, dimana semua yang berhubungan dengan China dilarang berkembang di Indonesia. Nama-nama warung atau orang yang dulunya menggunakan nama China, harus berubah dan memakai nama Indonesia” kata Romo Tjoti Surya di Vihara Buddha kepada mahasiswa CRCS-Advanced Study of Buddhism, yang melakukan kunjungan pada selasa 22 Maret 2016. Beliau menjelaskan juga bahwa pada waktu itu, umat Buddha juga harus mengalami masa sulit karena banyaknya pemeluk Buddha yang berasal dari China.
Salah satu dampak anti China ada pada Klenteng-Vihara Buddha Praba dan daerah disekitarnya adalah pada nomenclature. Pada awalnya, toko-toko itu mengunakan nama-nama China, tetapi mereka harus mengganti nama itu menjadi nama Indonesia. Begitu juga pemeluk Konghucu disini, mereka punya dua nama, nama Indonesia dan nama China. Bahkan bertahun-tahun mereka harus memperjuangkan keyakinan mereka sampai pada akhirnya Presiden Abdurrahman Wahid mencabut pelarangan itu dan Konghucu diakui sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Tempat pemujaan yang berusia lebih dari 100 tahun ini merupakan gabungan dari Klenteng dan Vihara. Klenteng berada di depan dan Vihara berada di belakang. Penyatuan ini karena adanya kedekatan historis antara pemeluk Buddha dengan orang China di Indonesia. kedekatan Buddha dengan China bisa dilihat dalam rupang Dewi “Kwan Yin” dalam dialek Hokkian yang merujuk pada Avalokitesvara, Buddha yang Welas Asih. Selain itu juga ada kedekatan ajaran, dimana dalam Buddha, label agama tidaklah penting, yang paling penting adalah pengamalan dan pengajaran Dharma. Selama ajaran Dharma itu masih ada, maka perbedaan agama pun tidak masalah.
Vihara Buddha Praba sendiri adalah Buddha dengan aliran Buddhayana, yaitu aliran yang berkembang di Indonesia yang menggabungkan dua unsur aliran besar Buddha, Theravada dan Mahayana. Aliran Mahayana berada di Utara dan Timur Asia yang melintas dari China sampai ke Jepang dan lainya. Sedangkan Theravada menempati kawasan selatan, seperti Thailand, Burma. Namun begitu, Budhayana melihat dua aliran ini sebagai “Yana” atau kendaraan menuju pencerahan seperti yang diajarkan sang Guru Agung. Penggabungan Theravada dan Mahayana dalam aliran Buddhayana awalnya juga dilandasi alasan politis dimana terdapat asimilasi antara agama dan kebudayaan yang ada.
Dalam Kunjungan ini, mahasiswa CRCS diajak untuk keliling Klenteng-Vihara dan mengenal ajaran Buddha lebih dalam, terutama bagaimana Vihara ini bisa bersatu dengan Klenteng, melihat budaya China lebih dekat dan mengenali ajaran Buddha yang lebih menekankan pada penyebaran Dharma dari pada penyebaran agama.
Vihara kedua yang dikunjungi adalah Vihara Karangdjati yang beraliran Theravada. Berbeda dengan sebelumnya, Vihara Karangdjati tidak bernuansakan China, tetapi lebih ke Jawa, dimana terdapat pendopo untuk menerima tamu dan ruang meditasi yang khusus. Pak Tri Widianto menjelaskan bahwa pokok ajaran Buddha bukanlah ajaran eksklusif yang tertentu untuk pemeluk Buddha saja, tetapi untuk seluruh umat manusia. Bahkan di Vihara Karangdjati, ada juga dari agama lain yang datang saat meditasi.
Hal yang sering disalahartikan selama ini adalah meditasi hanya milik umat Buddha, tetapi tidak. Meditasi adalah laku spiritual untuk mengenali gerak gerik otak kita dan mengasah mental menghadapi masalah. Ini adalah latihan mengolah kepekaan yang tidak dibatasi oleh agama tertentu. Pengolahan kepekaan ini penting karena betapapun banyaknya kata bijak yang kita miliki, itu tak ada manfaatnya ketika tidak dipraktikkan.
Didirikan pada tahun 1958, usia Vihara Karang Jati yang juga berlokasi di desa Karang Jati, lebih tua dari pada usia kampung itu. Sehingga, meskipun mayoritas penduduk sekitar beragama Islam, tidak pernah ada keributan atau gesekan antar agama. Hal ini karena Vihara Karang Jati selalu menekankan keharmonisan dan perasaan kasih (compassion), pada seluruh umat manusia.
Vihara Karang Jati menaungi Puja bakti, pusat pelayanan keagamaan, dan pendidikan. Khusus untuk meditasi, kegiatan ini dibuka untuk umum. Artinya, siapapun dan dari agama dan golongan manapun boleh mengikutinya. Kegiatan yang dilakukan tiap malam jumat ini bahkan pernah diikuti oleh beberapa turis mancanegara.
Ribka Ninaris Barus | CRCS | Book Review
Keberagaman merupakan salah satu konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang telah disadari sejak awal berdirinya republik ini, sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika” dijadikan menjadi salah satu falsafah hidup Bangsa Indonesia. Terjadinya konflik-konflik yang berkaitan dengan keberagaman, baik agama dan etnitsitas, memunculkan keresahan sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman dan damai. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator kurangnya kesadaran dan/atau pemahaman masyarakat akan arti keberagaman. Berkaitan dengan hal tersebut, sekolah merupakan salah satu ruang yang dianggap penting untuk mengakomodir pengetahuan dan pemahaman keberagaman. Sekolah tidak hanya dimaknai sebagai ruang untuk memperoleh pengetahuan untuk mengukur kemampuan kognitif dan prestasi akademis, melainkan sebagai ruang untuk memeroleh nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara kontekstual.
Buku berjudul “Mengelola Keragaman di Sekolah” yang diterbitkan oleh CRCS pada Februari 2016, merupakan salah satu buku yang berkaitan dengan pengelolaan keberagaman di Indonesia, khususnya di sekolah. Buku ini memuat tiga belas artikel yang ditulis oleh para guru yang berasal dari beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, melalui Kompetisi Esai Guru yang diselenggarakan oleh penerbit. Ide dalam artikel-artikel tersebut berdasarkan pada pengalaman proses belajar-mengajar yang dialami langsung oleh para penulis.
Secara holistik, keberagaman yang ditampilkan dan dibahas dalam buku ini tidak terbatas pada agama, etnis, budaya/adat-istiadat, bahasa, gender dan status sosial. Keberagaman dalam pengertian yang lebih luas mencangkup keberagaman kecerdasan naradidik, yang dibahas oleh Sangidah Rofiah dalam artikel berjudul “Pembelajaran Berbasis Keragaman Kecerdasan dengan Pendekatan Neuro Linguistik Programming (NLP) pada Mata Pelajaran PAI”, sampai pada keberagaman respon dan metode mengajar yang diterapkan oleh para pendidik. Dengan demikian, buku ini menyediakan pemahaman yang lebih luas pada makna keberagaman itu sendiri.
Buku ini menunjukkan potret pengelolaan keragaman melaui pendidikan formal yang dilaksanakan di sekolah negeri dan swasta baik yang berbasis agama dan bersifat homogen, maupun sekolah inklusi. Ada beberapa sekolah yang secara institusional sudah menerapkan kurikulum dan metode pengelolaan keragaman dalam proses belajar mengajar untuk membangun toleransi peserta didik, seperti yang diterapkan di Sekolah Negeri Satu Muntilan, Sekolah Tumbuh Yogyakarta, dan Yayasan Budi Mulia Yogyakarta. Sementara itu, beberapa penulis masih berupaya mengelola keragaman melalui mata pelajaran yang diampu dengan menerapkan metode pengajaran yang kreatif. Pentingnya pengelolaan keragaman dalam konteks Indonesia dan peran sekolah dalam upaya tersebut diutarakan oleh semua penulis dalam buku ini, meski sebagian menyampaikan secara implisit.
Pengelolaan keragaman dalam lingkup sekolah bukan sesuatu yang mudah dilakukan, dimana hal tersebut menuntut kesadaran banyak pihak, mulai dari naradidik, pendidik, dan para pemangku kepentingan di sekolah. Metode-metode yang telah diterapkan oleh para penulis, seperti debat, fieldtrip, diskusi kelompok, menempatkan naradidik sebagai subjek aktif dalam proses belajar-mengajar dalam upaya menggali nilai-nilai keragaman. Upaya yang demikian diharapkan dapat memperdalam pemahaman naradidik tentang keberagaman yang tidak terfokus hanya pada ranah kognitif dan bersifat normatif, tetapi juga pada ranah afektif dan praksis. Dengan demikian, pemahaman akan makna kebhinakaan diwujudkan dalam hidup yang toleran dan damai. Peran para pendidik dan pemangku kepentingan juga sangat penting dalam upaya pengelolaan keragaman. Wawasan pengetahuan dan kreatifitas para guru serta kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh stakeholders memiliki peran yang sangat penting dalam upaya tersebut. Imam Mutakhim secara khusus memaparkan hal tersebut dalam artikelnya di bagian akhir buku ini. Mutakhim berpendapat bahwa seluruh unsur meliputi guru, kepala sekolah, karyawan, dll., merupakan elemen yang saling terkait dan penting dalam mengelola keragaman di sekolah (p.178). Jika salah satu pihak bersifat pasif maka kemungkinan hal tersebut sulit terlaksana.
Book Title: Mengelola Keragaman di Sekolah, Gagasan dan Pengalaman Guru | Author: Anis Farikhatin, Arifah Suryaningsih, Dani Bilkis Saida Aminah, dkk | Pubhlisher: CRCS UGM | Year: Februari 2016 | Paperback: xi + 96 pages | ISBN: 978-602-72686-5-4
Download books here