Nidaul Hasanah M | CRCS | Artikel
Sedekah Kedung Winong merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan Ruwat Rawat Candi Borobudur yang dilakukan selama bertahun-tahun di Dusun Gleyoran, sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur. Ruwat Rawat Borobudur sendiri merupakan kegiatan kesenian rakyat yang bertujuan untuk menjaga tradisi, budaya masyarakat yang tinggal di sekitar Candi Borobudur yang multi etnis dan multi agama. Kegiatan ini merupakan upaya untuk menjaga dan merawat Candi Borobudur beserta masyarakatnya dan ekologinya agar tetap harmoni dan tidak terdapat relasi yang eksploitatif.
Pada 3 Mei 2016 lalu, mahasiswa CRCS angkatan 2015 yang mengambil mata kuliah Advanced Study of Buddhism mengadakan kuliah lapangan (fieldtrip) dengan menghadiri acara Ruwat Rawat Borobudur selain kunjungan ke Vihara Mendut yang berada dekat Borobudur.
Bagi masyarakat dusun Gleyoran, Sungai Progo beserta ekosistemnya selama ini telah menjadi bagian yang menyatu dan penting bagi kehidupan mereka. Kedung Winong merupakan tempat bagi banyak penduduk dusun Gleyoran untuk menambatkan kehidupan disana dengan mencari bebatuan, pasir serta menjaring ikan. Karena itulah penduduk dusun Gleyoran memiliki relasi yang kuat dengan Kedung Winong yang terletak di daerah aliran Sungai Progo. Bagi mereka Sungai Progo telah memberikan kehidupan sehingga menjaga kelestariannya merupakan hal yang wajib dilakukan oleh penduduk dusun Gleyoran.
Ritual Sedekah Kedung Winong merupakan salah satu bentuk konservasi ekologi Sungai Progo. Ritual yang dilakukan dengan serangkaian doa, tarian dan persembahan hasil bumi masyarakat dusun Gleyoran secara simbolis merupakan bentuk relasi resiprokal menyatunya manusia dengan Sungai Progo. Kelestarian ekologi Sungai Progo bagi penduduk dusun Gleyoran adalah berkah kehidupan. Sungai Progo juga merupakan sungai yang memiliki relasi dengan Candi Borobudur sehingga menjaga ekologi sungai juga menjaga Borobudur dari keserakahan manusia agar harmoni tetap terjadi dan terjaga.
Tujuan lain dari Sedhekah Kedung Winong adalah memecah konsentrasi wisata sekitar Borobudur. Wisatawan biasanya terpusat pada Borobudur dan beberapa dari mereka melakukan hal yang tidak pantas pada tempat suci. Hal yang tak pantas tersebut dianggap mengotori keagungan Borobudur, dengan ritual Sedhekah Kedung Winong diharapkan dapat meminimalisir polusi yang ada di Borobudur.
Saat ini Borobudur memang menjadi magnet wisata bagi seluruh penjuru dunia. Ratusan ribu wisatawan datang demi menyaksikan peninggalan dari Wangsa Syailendra yang dibangun sekitar abad ke 7 Masehi. Pak Coro tak menampik fenomena tersebut, namun dia juga turut mengingatkan bahwa Borobudur juga tempat suci. Bertahun-tahun dia dianggap sebagai benda mati sementara kita lupa bahwa ada kesenangan yang diberikan Borobudur ketika kita menatapnya. Sedhekah Kedung Winong memang hanya dilakukan satu hari, namun Pak Coro beserta pemerhati budaya lain tetap memaksimalkan satu hari tersebut. Mereka ingin membuat Borobudur “beristirahat” sejenak dari hiruk pikuk wisatawan yang datang. Tak lupa, sedhekah ini juga merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada Borobudur atas apa yang telah diberikan. Berkat Borobudur-lah, masyarakat mampu mengambil manfaat baik segi material maupun moral.
Sekali lagi, Pak Coro mengingatkan, SedhekahKedung Winong mungkin hanya dilakukan sekali dalam setahun, namun itu tetap bisa kita jadikan pengingat bahwa keharmonisan tidak akan terjadi jika salah satu pihak dirugikan. Seluruh aspek dalam kehidupan bersatu padu menghormati satu sama lain demi terciptanya keserasian alam.
Berita
Judul
Dari Masjid ke Panggung Politik, Melacak Akar-akar Kekerasan Agama Antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang, Jawa Timur
Penulis
Muhammad Afdillah
Penerbit
CRCS 2016
ISBN
978-602-72686-6-1
Harga
Rp 70.000,-
Beberapa aspek politik dan kekerasan Sunni-Syiah di Sampang dibahas di dalam buku ini. Salah satu di antaranya penyebab konflik antara komunitas Sunni dan Syiah di Sampang. Selain itu, buku ini membahas dinamika konflik Sunni-Syiah, khususnya eskalasi konflik yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu dan kegagalan intervensi dan penanganan terhadap konflik tersebut. Buku ini juga membahas usaha – usaha rekonsiliasi kedua komunitas, khususnya setelah kekerasan terbuka yang terjadi di Bulan Desember 2011 dan Agustus 2012.
(Samsu Rizal Panggabean, Pengajar di Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada).
__________________________
Bagi yang tertarik, bisa menghubungi:
Divisi Marketing CRCS UGM
Gedung Lengkung Lantai 3
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, Indonesia 55281
Telephone/Fax : + 62-274-544976
CRCS | News
Apakah Seni? Apakah ia selalu berhubungan dengan estetika atau keindahan, atau sesuatu yang melahirkan kesadaran dan perubahan? Dan apakah agama? Apakah ia adalah sesuatu yang ada begitu saja dari langit atau ada melalui proses sejarah yang kemudian mendapatkan pengesahan dari negara?
Sebuah pameran seni bertema agama tengah berlangsung di sebuah rumah seni Lir Space, Yogyakarta dari 3 sampai 17 September 2016. Namun jangan berharap melihat keindahan didalam pameran ini karena yang dipamerkan bukan benda-benda estetis relijius, semisal kaligrafi atau lukisan-lukisan spiritual, tetapi sesuatu yang lain yang menggugah kesadaran.
Kegiatan seni bertajuk Exhibition Laboratory ini memilih beberapa seniman muda untuk menjalani proses selama tiga bulan agar dapat mempersiapkan pameran tunggal masing-masing. Kali ini dua seniman muda dengan latar belakang yang berbeda diundang untuk berproses mempersiapkan karyanya masing-masing. Salah satunya adalah Daud Sihombing, salah satu fresh graduate Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM.
Dalam pamerannya ini Daud Sihombing memilih tema REIFIKASI, yang secara sederhana bisa diartikan sebagai proses pembentukan agama dari yang mula-mula abstrak menjadi sebuah wujud yang sistematis. Ia memilih untuk menciptakan pamerannya berdasarkan esai singkat yang diterbitkannya pada tahun 2015: “Agama di Indonesia: Awal Mula dan Problematikanya”. Tulisan tersebut berangkat dari konsep reifikasi dalam buku “The Meaning and End of Religion” karya Wilfred C.Smith yang kemudian dikaitkan dengan praktek standardisasi agama di Indonesia. Praktik standardisasi atau penyesuaian untuk kemudian dapat diakui sebagai agama ini tercantum pada Peraturan Menteri Agama No. 9 Tahun 1952, yang menyebutkan beberapa persyaratan seperti; percaya akan satu Tuhan (monotheis), memiliki kitab satu kitab suci, memiliki nabi sebagai pembawa risalah, dan memiliki tata agama dan ibadah bagi para pemeluknya.
Dalam pameran ini, Daud membuat visualisasi bagi esai tersebut sekaligus menciptakan sebuah peristiwa seni dan menjadikan ruang galeri sebagai sebuah kantor badan sertifikasi. Melalui keberadaan kantor lembaga ini, Daud mencoba melihat bagaimana sebuah kepercayaan dapat perlahan masuk ke dalam kategori agama yang diakui oleh negara melalui simulasi kerja sebuah lembaga pemerintah dalam melakukan sertifikasi. Pengunjung pameran ini dapat menjalankan sebuah simulasi untuk mendaftarkan agama atau kepercayaan mereka dari tahap pendaftaran hingga lolos dengan pengakuan yang sah. Kehadiran badan sertifikasi fiktif (yang saat ini belum dimiliki oleh negara) ini tidak saja akan menunjukkan bagaimana praktik standardisasi di Indonesia, yang konon kerap mempersulit posisi kepercayaan lokal untuk dapat diakui oleh negara namun juga menjadi celah untuk membicarakan sikap negara saat ini terhadap kekayaan budaya.
Pameran bisa dikunjungi di:
Lir Space, 3 – 17 September 2016, Jam 12.00 – 20.00 WIB
Jl. Anggrek I/33, Baciro, Yogyakarta.
Suhadi | CRCS | Artikel
Akhir Juli 2016 lalu terjadi kekerasan di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Sebagian sumber menyebutkan tidak kurang dari tiga vihara, delapan kelenteng, satu bangunan yayasan sosial dan tiga bangunan lain dirusak oleh massa. Terdapat enam mobil juga dirusak atau dibakar oleh massa.
Kekerasan tersebut sangat patut disayangkan, meskipun demikian apresiasi kepada masyarakat Tanjungbalai dan aparat keamanan penting dikemukakan. Sebab, setidaknya kekerasan yang terjadi tidak meluas menjadi kekerasan horizontal lebih besar dalam jangka waktu yang panjang. Meskipun sudah terjadi agak lama, refleksi terhadap peristiwa kerusuhan tersebut tetap penting untuk meminimalisir kemungkinan berulangnya kekerasan sejenis, baik di Tanjungbalai ataupun di tempat lain.
Pendekatan Keamanan
Pada satu sisi, terjadinya pergerakan massa sampai merusak cukup banyak bangunan menunjukkan terlambatnya aparat keamanan bergerak melindungi warga dan patut menjadi catatan penting. Polisi seharusnya sudah bertindak cepat pada hari Jumat (29 Juli) malam itu, ketika massa dimobilisasi.
Di sisi lain, tindakan polisi, setelah kerusuhan terjadi, untuk melokalisir kerusuhan secara cepat, misalnya dengan menjaga keamanan wilayah dan memperketat keluar-masuk orang ke wilayah tersebut, patut diapresiasi. Dalam kasus-kasus kekerasan yang lain, tidak jarang aparat keamanan menjadi bagian dari masalah, atau setidaknya ragu-ragu, untuk dengan cepat mengambil keputusan bahwa kekerasan harus segera dihentikan. Pernyataan Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Rina Sari Ginting, tidak lama setelah kerusuhan terjadi bahwa pelaku kekerasan melanggar pidana merupakan statemen yang jelas dan tegas bagaimana negara seharusnya hadir ditengah situasi yang genting.
Kerja bakti membersihkan puing-puing dan bekas kerusuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan ratusan warga masyarakat Tanjungbalai sehari setelah kerusuhan terjadi dapat dimaknai sebagai isyarat publik bahwa situasi keamanan di Tanjungbalai dapat kembali normal dengan cepat. Ini penting disampaikan, karena dalam beberapa kejadian lain, ketika ketegasan aparat tidak tampak, apalagi jika ada upaya memanfaatkan situasi konflik untuk tujuan politik, situasi di suatu wilayah sulit untuk kembali normal.
Pendekatan Dialog untuk Perdamaian
Kerusuhan Tanjungbalai bukan pertama kali terjadi di daerah tersebut. Sebelumnya, kerusuhan serupa pernah terjadi pada tahun 1979, 1989, dan 1998 (Komnas HAM 2016). Artinya, meskipun dalam kehidupan sehari-hari berlangsung praktik koeksistensi di masyarakat, potensi konflik bisa berkembang dan pada momen-momen tertentu meledak menjadi kekerasan massa.
Oleh sebab itu, pendekatan keamanan saja tidak akan memadai. Dialog antar kelompok di masyarakat menjadi niscaya dibutuhkan. Dalam konteks masyarakat Tanjungbalai, dialog tersebut mungkin bisa kita sebut dialog multikultural untuk perdamaian.
Disebut dialog multikultural sebab tidak saja menyangkut agama, tetapi juga etnik. Seperti ditunjukkan kasus Tanjungbalai, seorang warga berketurunan Tionghoa, berusia 41 tahun, yang memprotes nyaringnya pengeras suara adzan di samping rumahnya, menyulut diserangnya rumah ibadah umat Khonghucu dan umat Buddha.
Disebut untuk perdamaian karena fokus atau tujuan utamanya adalah perdamaian. Tidak semua dialog memiliki tujuan perdamaian secara langsung. Sebut saja, salah satu contohnya dialog teologis, seperti dialog antar ahli kitab suci agama-agama. Meskipun bisa juga mengarah pada perdamaian, dialog teologis bisa mengarah pada pengayaan teologis an sich dan tidak memiliki pengaruh langsung pada aspek sosial di masyarakat.
Jika kita mengikuti perkembangan wacana antar etnik pasca kerusuhan Tanjungbalai yang berkembang di media, terutama di media sosial, sangat jelas bahwa prasangka antar etnik berkembang luas dan mendalam. Diantara karakter prasangka adalah persepsi negatif dan generalisasi-berlebih (Suhadi & Rubi 2012, konsep tentang prasangka bisa dibaca dalam salah satu artikel buku Kajian Integratif Ilmu, Agama dan Budaya atas Bencana).
Persepsi negatif terhadap suatu kelompok etnik atau agama tertentu, apalagi jika mendapatkan dukungan dari praktik orang-orang dalam komunitas bersangkutan, pada gilirannya dapat berkembang menjadi legitimasi yang efektif untuk meminggirkan, menyerang atau menghancurkan kelompok yang dianggap memiliki perilaku negatif itu. Dukungan fakta praktik negatif tersebut bisa saja ditemukan hanya pada satu-dua orang, atau dalam jumlah lebih besar tetapi terbatas. Di sini terjadi proses transformasi dari identifikasi individu ke identifikasi kelompok.
Lebih-lebih karena bekerjanya prasangka juga bersifat generalisasi-berlebih, maka seringkali sasaran kekerasan yang mengandung unsur prasangka dapat mengenai anggota komunitas yang lebih luas. Bahkan, korban kekerasan bisa jadi adalah orang-orang yang tidak setuju atau menentang sikap negatif dari anggota komunitasnya.
Hal inilah yang persis terjadi di Tanjungbalai. Tindakan satu orang disambut dengan balasan kekerasan yang luas kepada komunitas etnik dan agama yang dianggap memiliki kesamaan identitas. Kekerasan seperti itu tentu tidak sekonyong-konyong terjadi. Sebelumnya berkembang prasangka yang mungkin telah meluas dan mendalam di masyarakat. Penting diingat bahwa pada tahun 2010 telah muncul keresahan terkait dengan upaya penurunan patung Buddha di Tanjung Balai. Peristiwa itu seharusnya sudah menjadi pengingat bahwa ada hubungan sosial yang harus diperbaiki di sana (lihat, misalnya tribunnews.com dan blasemarang.kemenag.go.id)
Agar tidak terulang kembali, kekerasan dan konflik seperti itu tidak bisa dipulihkan hanya dengan pendekatan keamanan. Dialog di tingkat masyarakat menjadi prasyarat penting proeksistensi yang berkelanjutan di Tanjungbalai.
Abu-Nimer (2000) dalam sebuah tulisannya dengan judul “The Miracle of Transformation through Interfaith Dialogue” menyebutkan dialog merupakan alat yang sangat menolong untuk memperdalam pemahaman individu mengenai berbagai cara pandang dan perspektif orang lain.
Dalam masyarakat yang menyimpan ketegangan relasional, mereka mesti membangun dulu sikap saling percaya (trust). Baru setelah itu masing-masing kelompok dapat membicarakan keberatan-keberatan yang dirasakan masing-masing dalam praktik kehidupan sehari-hari mereka. Alih-alih merasa tidak ada masalah, lebih baik dalam dialog mengakui dengan jujur masalah-masalah yang ada selama ini menjadi prasangka.
Pada praktiknya tentu ini tidak mudah. Membangun sikap saling percaya untuk mengungkapkan masalah-masalah yang ada perlu proses panjang, lebih dari satu-dua kali pertemuan bersama. Namun jika hal itu dapat dilampaui, kesepakatan-kesepakatan relasional bisa mulai dirumuskan bersama.
Lebih dari itu, dialog dapat berkembang menjadi kerjasama kongkrit antar kelompok, menyangkut hal sehari-hari terkait, misalnya, masalah lingkungan, kesehatan, kepemudaan, penyelenggaraan festival bersama atau hal lain.
Untuk memperkuat bahwa dialog merupakan kebutuhan yang tumbuh dari komunitas antar kelompok di masyarakat lokal Tanjungbalai sendiri, nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya lokal yang tumbuh di mayarakat penting menjadi panduan bersama. Sejarah lokal di Tanjungbalai menunjukkan keberadaan etnik Batak, Melayu, Tionghoa, Jawa, dan yang lain telah hidup bersama dalam waktu sangat lama. Dalam pengalaman hidup bersama mereka pasti terdapat best practices nilai-nilai dan praktik-praktik kerjasama yang dapat dijadikan pelajaran, baik yang masih terus berlangsung maupun yang perlu digali untuk dihidupkan kembali.
Dialog dan kerjasama bisa jadi mendapat penentangan dari pihak tertentu di masyarakat. Sebab mungkin saja ada pihak-pihak dalam masyarakat yang berkepentingan dengan konflik.Untuk itu pemerintah dan aparat keamanan penting memberi jaminan rasa aman bagi proses berlangsungnya dialog dan kerjasama tersebut. Dialog yang lebih genuine sebaiknya melibatkan masyarakat akar rumput, meskipun keberadaan tokoh agama dan tokoh masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Memulainya dengan kaum muda mungkin menjadi pilihan yang lebih mudah dan realistis.
__________________
Suhadi adalah dosen di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Di samping itu juga mengajar di Prodi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM. Suhadi adalah juga Southeast Asia KAICIID fellow untuk program dialog antaragama dan dialog antar budaya.
George Sicilia| CRCS | Artikel
[perfectpullquote align=”full” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=”14″]“Di Indonesia, kita sudah terbiasa dengan situasi yang heterogen, beda dengan Eropa. Tetapi dengan intensitas perjumpaan yang semakin tinggi dan iklim yang demokratis, sekarang kita pun, harus belajar ulang bagaimana mengelola keragaman itu.”[/perfectpullquote]
JAKARTA, 11 Juni 2016 – Bertempat di LBH Jakarta, pertemuan ketiga Sekolah Guru Kebinekaan (SGK) – YCG berlangsung dengan penuh semangat. Teman belajar para guru kali ini adalah Dr. Zainal Abidin Bagir dari Center of Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)-UGM. Topik SGK kali ini adalah Penguatan Keragaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan melalui Nilai Agama, Adat, Hukum dan HAM. Karena keluasan topik, fokus utama adalah nilai Agama. Agama di sini tidak sekadar nilai atau teks suatu agama, tetapi dalam pemahaman yang lebih luas yang memungkinkan orang-orang dari latar belakang yang berbeda untuk berada bersama-sama.
Perjumpaan adalah modalitas
Pak Zainal mengawali dengan merefleksikan pengalamannya mengajar di CRCS. Program Studi yang didirikan paska momentum Reformasi itu memang istimewa karena pada masa itu terjadi banyak sekali konflik yang beberapa di antaranya bernuansa agama. Beragam orang dari latar belakang agama, etnis, disiplin keilmuan juga motivasi datang untuk belajar bersama-sama. Beberapa di antaranya datang dengan prasangka. Tetapi satu hal yang pasti menurut beliau, hal yang sangat penting dan mahal harganya adalah mengupayakan pertemuan-pertemuan antara orang-orang yang beragam, yang membuat mereka mampu melangkahi pemikiran awalnya dan melihat yang berbeda sebagai sesama manusia. Sayangnya hal ini kurang terfasilitasi dalam sistem pendidikan agama di sekolah-sekolah.
“Karena semua yang ada di sini adalah pendidik dan ketika bicara pendidikan tidak hanya pengajaran, dan salah satu strategi pendidikan adalah mempertemukan orang dengan segala macam keterbatasan, termasuk keterbatasan struktur dan sistem. Kalau ada satu poin penting yang perlu saya sampaikan sebagai refleksi pengalaman saya adalah kemampuan untuk bersikap kritis. Dan saya kira salah satu tujuan pendidikan adalah bersikap kritis. Bukan tentang kemampuan mengkritik, tetapi kemampuan melihat satu isu dari berbagai sudut pandang dan tidak menerima segala pengetahuan dan informasi mentah-mentah, tapi dipikir ulang dan dilihat dari berbagai sisi. Tujuan terpenting prodi kami adalah mempersiapkan orang berpikir kritis melihat realitas”, kata Bagir.
Kebangkitan Identitas Agama dan Meningkatnya Keragaman Agama
Ada dua hal yang ditengarai saat ini yaitu kebangkitan identitas agama dan meningkatnya keragaman agama. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di Eropa dan beberapa negara lainnya. Identitas agama tiba-tiba menjadi penting untuk ditampakkan dalam 15-20 tahun terakhir. Cara orang beragama saat ini atau ekspresi yang ditunjukkan dalam busana berbeda dengan satu atau dua dekade yang lalu. Mungkin tak begitu disadari oleh generasi saat ini, tetapi pasti terasa perubahannya bagi angkatan-angkatan sebelumnya.
Keragaman agama juga meningkat. Bukan tentang pertambahan jumlah, tetapi bahwa migrasi di berbagai tempat telah membuka jalan bagi masuknya berbagai hal dari tanah asal ke tempat yang baru. Mulai dari sekadar kuliner, hingga budaya dan agama. Beberapa agama yang sebelumnya sudah ada tetapi tidak tampak di permukaan, di iklim demokrasi ini juga mulai menampakkan wajahnya. Kemudahan transportasi, informasi, membuat jarak semakin sempit dan batas-batas mengabur.
Orang-orang di Eropa selama ini terbiasa dengan kehidupan yang cenderung homogen. Tetapi dengan migrasi yang semakin banyak, Eropa harus beradaptasi dengan dunia yang semakin heterogen. “Di Indonesia, kita sudah terbiasa dengan situasi yang heterogen, beda dengan Eropa. Tetapi dengan intensitas perjumpaan yang semakin tinggi dan iklim yang demokratis, sekarang kita pun, harus belajar ulang bagaimana mengelola keragaman itu”, ungkap Bagir. Ruang besar untuk berekspresi dalam demokrasi, turut diisi dengan ragam ujaran kebencian. Indonesia memiliki Bhinneka Tunggal Ika tetapi tantangan semakin besar, sehingga ini adalah saatnya mempertanyakan lagi kemampuan kita mengelola keragaman.
“Sekarang kita diuji betul, apakah kita benar-benar toleran atau tidak karena ini ruang besar untuk agama menunjukkan dirinya”, katanya lagi terkait ambivalensi agama.
Berpikir Kritis Menyikapi Ambivalensi Agama
Sisi negatif dalam cara orang beragama dapat berupa penghilangan hak orang lain hingga kekerasan. Namun, ada juga potensi besar kebaikan agama seperti saling memperkaya dan juga saling menguatkan nilai-nilai kebaikan dan kehidupan. Berbicara agama memang tidak harus hanya melihat sisi negatif tetapi juga potensi kebaikan yang berperan besar bagi orang yang meyakini agama tersebut dan memberi dampak sosial.
Tantangannya tentu saja, kita perlu memahami ambivalensi atau ke-mendua-an potensi agama, agar dapat meminimalisir yang negatif dan memperkuat potensi kebaikan agama. Agama tidak hidup dalam ruang vakum yang sebatas ajaran dan teks semata, tafsir agama pun sebenarnya beragam, selalu bertemu dengan konteks sosial politik yang bisa mendukung potensi kebaikan agama ataunpun sebaliknya. Tafsiran yang beragam itu pun bisa tereduksi, menjadi tidak seimbang. Jadi ketika bicara ke-mendua-an, ada soal konteks dimana berbagai persoalan karena agama tidak selalu karena agama itu sendiri, tetapi hal lain atau pertemuan teks dan konflik. Bersikap kritis menjadi sangat penting di sini!
Membicarakan toleransi dan intoleransi, tidak selalu karena agamanya toleran atau tidak, tetapi bisa juga karena kebijakan negara. Di Indonesia ada keluhan masyarakat jadi lebih tidak toleran, mungkin bukan karena masyarakat, tetapi juga ada peran negara. Di setiap masyarakat selalu ada kelompok yang ekstrim dan intoleran, di masyarakat paling demokratis sekalipun. Sampai pada tingkat tertentu tidak apa-apa, orang tidak harus suka pada setiap orang. Itu baru menjadi masalah ketika negara membiarkan dan memberi ruang yang besar bagi orang bersikap intoleran sehingga jadi arus lebih kuat. Itu intoleransi karena negara.
Memang lembaga atau pemimpin agama pun, disadari atau tidak, bisa memainkan peran yang mengarah pada sisi negatif atau pada potensi kebaikan. Pada momen-momen seperti pilkada, kadang agama dijadikan alat atau disebut juga instrumentalisasi agama. Kita perlu selalu berpikir ulang dan kritis melihat konteks agama.
Tetapi sebagaimana dikatakan sebelumnya, selalu ada potensi kebaikan dalam agama. Sebagian besar agama yang punya akar yang mirip. Di antaranya agama kerap muncul untuk mengupayakan keadilan sosial. Jarang agama dimiliki sekelompok orang kaya, justru agama kritis terhadap kelompok yang berkuasa sehingga para nabinya dikejar, dipersekusi, dsb. Itu cerita yang mirip dalam banyak agama. Agama dapat merespon isu-isu kontemporer dengan kembali pada nilai profetik mula-mula yaitu membela orang tertindas, mempertahankan keutuhan ciptaan Tuhan, memperjuangkan keadilan sosial. Itu adalah potensi dalam inti agama yang sulit dipisahkan.
Aturan Emas (Golden Rules)
Golden rule itu simpel. Kurang lebih, jangan lakukan kepada orang lain apa yang kamu tidak ingin lakukan padamu, atau lakukan pada orang lain apa yang kamu ingin orang lakukan padamu. Kemunculan agama-agama seperti Kong Hu Chu, Buddha, dan Hindu pada zaman aksial adalah karena kelelahan manusia berperang terus-menerus. Lahan untuk agama semakin subur saat Kristen, Islam, dll muncul. Juga tumbuh kesadaran soal compassion/kasih sayang/welas asih. Dalam Islam, Tuhan juga dikenal sebagai Allah Yang Pengasih dan Penyayang (compassionate).
Beberapa contoh aturan emas yang ditemukan dalam berbagai agama:
Buddha: “Treat not others in ways that you yourself would find hurtful” ( Buddha, Udana-Varga 5.18)
Christianity: “In everything, do to others as you would have them do to you; for this is the law and the prophets” (Jesus, Matthew 7:12)
Confusianism: “One word which sums up the basis of all good conduct … loving-kindness. Do not do to others what do you do not want done to yourself” (Confucius Analects 15:23)
Hinduism: “This is the sum of duty: do not do to others what would cause pain if done to you” (Mahabharata 5:1517)
Islam: “Not one of you truly believes until you wish for others what you wish for yourself” (The Prophet Muhammad, Hadith)
Kalau mau diringkas lagi, salah satu istilah yang sering digunakan adalah altruisme, yaitu berbuat pada orang lain bukan karena kepentingan diri kita sendiri tapi kepentingan orang lain. Orang yang membahagiakan orang lain, intensitas kebahagiaannya jauh lebih tinggi dari pada yang membahagiakan diri sendiri walaupun keduanya sama-sama bahagia. Itu adalah contoh bahwa altruisme itu pada akhirnya kembali ke diri sendiri juga kebahagiaannya.
Hak Asasi Manusia
Dalam babak berikutnya, yang menunjukkan kemajuan jaman ini, salah satu tafsiran tentang munculnya deklarasi HAM adalah pelembagaan prinsip resiprositas. Dalam artinya, kalau saya tidak senang orang lain melakukan sesuatu pada saya, maka saya tidak akan melakukan hal itu pada orang lain. Semua orang sama-sama manusia dan ingin diperlakukan sama. Itu semangat relijius, penghargaan terhadap setiap manusia terlepas dari apapun identitasnya. HAM memang ada instrumennya, tapi ini adalah nilai kultural yang mendasari itu. Usia HAM belum ada 100 tahun sementara sejarah manusia sudah lama. Tetapi semangat seperti ini baru 100 tahun terakhir dimana orang menyepakati sesuatu untuk kepentingan bersama. Itu juga karena tingkat kekerasan yang luar biasa pada PD I dan PD II. Bisa bandingkan dengan apa yang disebut Karen Armstrong sebagai jaman aksial, dimana orang mulai lelah dengan begitu banyak kekerasan dan lahirlah beberapa jenius spiritual. PD I dan II korbannya itu luar biasa dan menggoncang kesadaran manusia, salah satu hasilnya adalah HAM sebagai institusionalisasi prinsip resiprositas.
Pengelolaan Keragaman dan Dunia Pendidikan Kita
Kalau bicara lingkup pendidikan, kita bicara pedagogi, prinsip pendidikan, tapi yang penting pula adalah ruang perjumpaan yang menghadirkan manusia sebagai manusia. Setiap orang bisa punya macam-macam prasangka dan semuanya itu tidak berubah walau menerima berbagai pengajaran. Hanya ketika orang tersebut bertemu orang lain, ia bisa melampaui identitas yang ada dan melihat yang liyan sebagai manusia. Bertemu manusia sebagai manusia.
Sistem pendidikan kita cenderung tidak memungkinkan ruang perjumpaan, maka strategi yang dibutuhkan adalah menghadirkan ruang perjumpaan tersebut. Pertemuan memang perlu dirancang, tetapi sebaiknya bersifat alamiah. Beberapa sekolah sudah mencoba mengupayakan perjumpaan dalam pelajaran agama walaupun tetap ada tuntutan memberi mata pelajaran per agama. Kalau guru mau, ruang-ruang perjumpaan itu bisa diusahakan karena ketakutan, prasangka, dan lainnya mungkin berubah karena perjumpaan.
Sekarang, siapkah kita mengelola keragaman kita dengan lebih baik?
Tulisan ini dipublikasikan di Facebook Yayasan Cahaya Guru
________________
George Cicilia adalah alumnus Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) Angkatan pertama. Saat ini aktif di Yayasan Cahaya Guru.
Batas Waktu Pendaftaran: 25 Agustus 2016
Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-/CRCS) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, membuka pendaftaran untuk:
Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) VIII (Nasional)
04-14 Oktober 2016
Program
Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) mengundang aktivis dan pengajar/peneliti yang mempunyai komitmen dalam mempromosikan pemeliharaan keragaman untuk mengikuti kegiatan ini. Program ini bertujuan untuk memperkuat kemampuan aktivis dan akademisi dalam menghubungkan antara dunia riset dan advokasi. SPK membekali peserta dengan keahlian dalam mengintegrasikan teori dan praktek dalam rangka penguatan basis pengetahuan untuk advokasi terkait isu keragaman. Setiap peserta diharapkan terlibat dalam kelompok penelitian mengenai isu-isu pluralisme di daerah masing-masing setelah selesai mengikuti sekolah ini.
Kami menerima peserta dari kalangan: