Subandri Simbolon | CRCS | Berita
Agar tak salah arah, kebijakan seharusnya berdasar pada riset. Kesenjangan antara kebijakan dengan pengetahuan acapkali berujung pada kebijakan yang tak menyelesaikan masalah. Termasuk di sini kebijakan yang berkenaan dengan umat beragama.
Untuk menjembatani pemerintah dengan akademisi, pada 14 Februari 2017 Balitbang Kementerian Agama bekerja sama dengan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina mengadakan diskusi dengan topik mengenai definisi agama dan penodaan agama sebagai rangkaian dari serial diskusi “Analisis Kebijakan: Riset dan Kebijakan Terkait Kehidupan Beragama di Indonesia”. Serial diskusi ini direncanakan akan menghasilkan buku terkait tema-tema seperti intoleransi, konflik agama, kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan kerukunan antarumat beragama. Forum diskusi itu dihadiri berbagai kalangan dari pihak Kemenag, termasuk Menteri Agama Lukman H. Saifuddin, para akademisi dan aktivis. Dua dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Dr Samsul Maarif dan Dr Zainal Abidin Bagir, menjadi pembicara dalam forum itu.
Definisi Agama
Samsul Maarif memaparkan ulasannya dengan tajuk “Meninjau Ulang Definisi Agama, Agama Dunia, dan Agama Leluhur”. Ia menyampaikan bahwa definisi agama saat ini cenderung diskriminatif karena menggunakan paradigma “agama dunia” (world religion) untuk menilai agama lokal. Paradigma ini dalam diskursus klasik Barat prototipenya adalah Kristen sedangkan dalam konteks Indonesia adalah Islam. Agama-agama lokal, dalam paradigma ini, cenderung menempati posisi yang lebih rendah. Penggunaan paradigma agama dunia itu bukan saja menyusup ke dalam cara pengambilan kebijakan oleh pemerintah, melainkan juga telah menghantui dunia akademik di Indonesia.
Berdasar pada kritik itu, Samsul menyampaikan bahwa pemahaman mengenai agama yang cenderung esensialis harus dihindari, karena agama mesti dipahami secara diskursif berdasarkan konteks waktu, tempat, dan sejarahnya. Yang sebenarnya lebih diperlukan adalah mempertimbangkan definisi dari segi efektifitasnya dalam memecahkan masalah. Dalam hal ini, definisi yang dibuat seharusnya dapat membebaskan kelompok-kelompok tertentu, utamanya kalangan penganut agama leluhur, dari perlakukan diskriminatif.
Di samping itu, Samsul menegaskan bahwa kebijakan dan studi terhadap para penganut agama leluhur mesti dilakukan dalam konteks keragaman agama, yakni bahwa para penganut agama leluhur mendapat kebebasan untuk mendefenisikan agama mereka sendiri. Pemerintah diharapkan dapat memfasilitiasi self-determinism warganya dan melihat mereka sebagai warga negara yang setara. Definisi yang baik adalah definisi yang mampu memberikan hak-hak yang setara pada semua penganut agama, baik agama-agama dunia maupun agama-agama leluhur dan kepercayaan, di Indonesia.
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Dalam forum yang sama, Dr Zainal Abidin Bagir berbicara untuk tema “Kajian tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia dan Implikasinya untuk Kebijakan”.
Zainal memaparkan diskusi mutakhir tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) baik di tingkat internasional maupun nasional serta tema-tema yang menonjol. Ia menegaskan bahwa dalam diskursus di tingkat internasional KBB bukanlah konsep yang sudah fixed dan statis, namun mengalami perkembangan hingga saat ini. Di antara masalah yang masih kerap muncul hingga kini dalam diskusi KBB adalah pertentangan antara mereka yang mengklaim universalitas KBB, sebagai bagian dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan negara-negara yang menggunakan sudut pandang partikularistik, yang merelatifkan KBB.
Terlepas dari itu, perkembangan yang menarik adalah regionalisasi HAM, yaitu diadopsinya HAM oleh beberapa regional, termasuk Uni Eropa, ASEAN, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Lebih jauh, meskipun ada kecenderungan partikularistik itu, dalam perkembangannya HAM ASEAN dan OKI cenderung mengalami konvergensi ke HAM internasional.
Di Indonesia sendiri, Zainal melihat beberapa perkembangan penting HAM setelah 1998, termasuk ratifikasi beberapa kovenan, dan masuknya klausul khusus mengenai HAM dalam amandemen Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, terjadi pengarusutamaan KBB dalam berbagai UU. Perkembangan ini menurut Zainal menjadi sebuah nilai plus bagi Indonesia jika dibandingkan dengan perkembangan regional, khususnya jika dibandingkan dengan banyak negara ASEAN dan OKI. Di Indonesia pun, partikularisasi KBB terjadi, yakni dalam menghadapkan HAM dengan apa yang dianggap sebagai kultur Indonesia dan aspirasi keagamaan sebagian kelompok beragama, khususnya muslim. Salah satu bentuk partikularitas itu diekspresikan dalam konsep “kerukunan”, yang hingga tingkat tertentu menjadi pembatas kebebasan.
Di bagian akhir paparannya, Zainal mengajukan beberapa rekomendasi untuk pengembangan kajian dan perumusan kebijakan terkait KBB. Pertama, “membumikan” KBB dalam tradisi kultural atau keagaman untuk memperluas tingkat penerimaan publik. Kedua, perlunya ada kajian komparatif dengan praktik-praktik kebijakan KBB di negara-negara lain untuk memperkaya perspektif dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang menyumbang atau menghambat keberhasilan perumusan maupun implementasi kebijakan. Ketiga, perlunya ada perhatian pada best practices dari praktik-praktik yang sudah terjadi agar kajian kebijakan tak hanya melihat aspek legal secara abstrak namun juga situasi dan kondisi yang memungkinkan keberhasilan perumusan dan penerapan kebijakan.
Batas minimal?
Dalam sesi tanya jawab, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengajukan satu pertanyaan tentang batas minimal yang harus dilakukan negara dalam Perlindungan Umat Beragama (PUB). Andreas Harsono, dari Human Rights Watch, menjawab bahwa batas minimal adalah tidak terjadinya kekerasan kepada kelompok keagamaan manapun. Zainal melanjutkan dengan menyampaikan bahwa hak-hak administrasi kependudukan, kebebasan beribadah harus dipenuhi bagi semua pemeluk agama, terlepas dari bagaimana agama didefinisikan.
Kasus-kasus yang acapkali terjadi adalah sulitnya sebagian kalangan untuk mendapatkan hal-hak konstitusionalnya. Di beberapa daerah, hak-hak dasar pemeluk agama leluhur belum terlayani secara penuh. Misalnya, seorang anak tidak bisa dimasukkan dalam Kartu Keluarga orang tuanya hanya karena perkawinan mereka berdasarkan agama leluhur dan tak dapat dicatat dalam pencatatan sipil. Hal ini para gilirannya berakibat pada hilang atau berkurangnya akses-akses dalam bidang lain seperti pendidikan, kesehatan dan hak politik.
Di akhir diskusi, Menteri Agama menyampaikan bahwa Kementerian Agama terbuka untuk menerima masukan dari semua pihak, khususnya dalam upaya merumuskan RUU Perlindungan Umat Beragama yang sedang diproses.
Berita
Divisi Riset & Redaktur Web | CRCS | Perspektif
Perbincangan tentang apakah Front Pembela Islam (FPI) harus dibubarkan mengemuka lagi. Bagi satu pihak, aksi-aksi intoleran dan vigilantisme FPI membahayakan nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi kebinekaan. Pihak ini juga berpandangan bahwa FPI tidak jarang menjadi alat elite untuk menghajar rival politik.
Di pihak lain, para pencinta FPI bersikeras bahwa FPI harus tetap ada karena, kalaupun tak setuju dengan aksi kekerasannya, masyarakat Islam mestilah mempunyai representasi gerakan yang menggalakkan misi nahi munkar. Para pencinta FPI juga kerap mengemukakan bahwa selain memberantas kemunkaran, FPI juga mengajak pada yang makruf, seperti aksi-aksi kemanusiaan untuk korban bencana. Hal lain yang turut mengemuka dalam perbincangan ini adalah bahwa pembubaran ormas, sekalipun berhaluan keras seperti FPI, justru bertentangan dengan demokrasi.
Menghangatnya perbincangan ini dipicu oleh aksi-aksi besar di sekitar Pilkada Jakarta. Tiga kali Aksi Bela Islam (1410, 411, dan 212) pada tahun lalu telah secara signifikan mengubah cara orang memandang FPI. Bisa dikatakan, FPI berhasil menarik banyak massa melampaui batas-batas konvensional sebelumnya. Banyak orang dari ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang dalam kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak mematuhi himbauan para pemimpin ormas Islam terbesar itu dan justru bermakmum pada FPI. Slogan “Super Damai” dalam Aksi Bela Islam III telah relatif mengubah citra FPI yang kerap diidentikkan sebagai ormas intoleran dan vigilantis.
Namun demikian, pihak di sisi lain tetap berpandangan bahwa FPI tetap menyimpan agenda sama: “NKRI Bersyariah”. Lebih dari itu, di samping vigilantis, FPI telah berbuat hal-hal yang inginnya mengatasi hukum. Aksi Bela Islam, juga aksi-aksi di sekitar proses persidangan Ahok, dipandang sebagai satu bentuk pemaksaan kehendak dan upaya mendikte proses hukum. Menurut pihak ini, pembiaran FPI berpotensi membahayakan negara berprinsip rule of law ini dan menjatuhkan hukum ke tangan “kerumunan”, sehingga yang terjadi bukanlah demokrasi melainkan “mobocracy”.
Turut mengikuti perbincangan di atas, di bawah ini redaktur laman dan Divisi Riset CRCS mengemukakan kembali satu bagian tulisan dari hasil penelitian CRCS. Ini bertujuan agar kita tidak segera lupa pada apa yang pernah dilakukan FPI, seakan-akan FPI adalah ormas yang baru saja lahir. Sudah lebih dari 16 tahun FPI berdiri, dan dia memiliki jejak sejarah, dengan sisi putih dan hitamnya. Menjawab pertanyaan apakah FPI perlu dibubarkan, berikut adalah salinan (dengan sedikit penyesuaian namun sama sekali tak mengubah substansi) dari satu bagian dalam Laporan Tahunan CRCS 2010 halaman 29-31. (Untuk mengunduh Laporan Tahunan CRCS, silakan ke sini.)
Wednesday Forum is a weekly discussion on religion-related ideas and practices organized by both the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), the Graduate School of Universitas Gadjah Mada, and Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS), Yogyakarta. This forum is an academic space open for public, encouraged especially for our graduate students, faculty members, researches, Indonesian and overseas scholars. It is aimed for scholars to share their research on the field pertaining to religion, and twenty through thirty presenters have become speaker in the forum every year. We invite those who have researches or (ongoing) papers on the field to do presentation in the forum.
Topics
The topics discussed include, but are not limited to, interfaith dialogue; conflict resolution and peace building; religious education; art and spirituality or mysticism; religion and pop culture; religious violence and radicalism; indigenous religions; religion and ecology; religion and politics; and philosophical ideas on religion.
Attendees
The forum is attended by CRCS and ICRS graduate students and faculty members, visiting professors, activists, and students from other universities. Basically the forum is open for public.
Date and Venue
The forum is held every Wednesday, from 1 to 2.30 pm, in the Room 406 of the Graduate School Building, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta. For the coming semester, the forum will start on January 25, 2017.
Application
Application to be a presenter can be made by an email to the organizer: subandri.simbolon@mail.ugm.ac.id. Send the abstact of your research and your brief CV, primarily your study background, activity, and research. The forum committees will evaluate the applications and select the presenters.
Tasawuf adalah nafas dari ihsan, satu sifat yang mesti dimiliki seorang muslim untuk menyempurnakan iman dan islam. Dengan mempelajari dan melaksanakan ajaran tasawuf, seorang hamba diharapkan memanifestasikan sifat-sifat ketuhanan di muka bumi; manusia yang mencintai seluruh entitas tanpa membedakan identitas. Setidaknya itulah yang dapat diringkas dari acara International Conference on Sufism (ICS) bertema Building Love and Peace for Indonesian Society yang diadakan pada 18 November 2016 di Fakultas Filsafat UGM, dan dihelat atas kerja sama Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Fakultas Filsafat, dan Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM. Konferensi ini juga mengungkap kembali sejarah bahwa tasawuf merupakan pendekatan utama dari para pendakwah Islam di Nusantara.
Jekonia Tarigan | CRCS UGM | SPK News
Pada hari keempat Sekolah Pengelolaan Keragamaan (SPK) angkatan ke-VIII tahun 2016 ini, tampak para peserta mulai dapat melihat muara dari upaya pendidikan yang dilakukan dalam SPK ini. Setelah beberapa hari bergaul dengan materi-materi yang menjadi landasan pembangunan kesadaran akan keberagaman dan penghargaan subjektifitas semua entitas dalam keberagaman, seperti teori identitas, reifikasi agama di Indonesia, dan lain sebagainya, para peserta dibawa ke ranah upaya mempraktikkan apa yang telah dipelajari.
Hal ini terwujud dalam topik “Advokasi Berbasis Riset” yang disampaikan oleh Kharisma Nugroho, seorang peneliti dan konsultan kebijakan-kebijakan publik dari KSI (Knowledge Sector Initiative) sebuah lembaga riset kerjasama Indonesia dan Australia yang bergerak dalam upaya mengangkat pengetahuan atau kearifan lokal dalam pembuatan kebijakan-kebijakan di tingkat daerah maupun nasional.
Dalam sesi ini disampaikan, semua peserta SPK perlu sampai pada titik di mana mereka terpanggil untuk melalukan sebuah upaya advokasi, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai atau ideal-ideal yang diyakini kebenarannya, misalnya mengadvokasi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah adat mereka yang ingin dicaplok oleh perusahaan multinasional.
Namun fasilitator menekankan bahwa kerja advokasi bukanlah kerja otot (kerja keras) semata, sehingga basisnya bukan hanya emosi dan pemaksaan kehendak. Lebih dari itu, kerja advokasi adalah kerja otak (kerja cerdas), yang berarti bahwa orang-orang yang mengadvokasi harus tahu benar apa yang ia bela dan bagaimana cara membuat pembelaan dan perjuangannya itu berhasil.
Untuk itu, fasilitator menjelaskan ada tiga pengetahuan penting yang harus dimiliki oleh setiap peserta SPK, yakni: pertama, scientific knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang berbasis teori sebagaimana yang dapat diperoleh dalam kehidupan akademik di kampus; kedua, financial knowledge, yaitu pengetahuan atau riset yang didorong oleh lembaga-lembaga donor tertentu yang menghendaki adanya kajian tentang sebuah topik atau kejadian sebelum mereka memberikan bantuan, dll; dan yang ketiga, bureaucratic knowledge, yaitu pengetahuan terkait pemahaman pemerintah atas sebuah hal atau peristiwa yang ingin diadvokasi oleh satu lembaga swadaya masyarakat tertentu. Ini karena pemerintah mempunyai logikanya tersendiri terkait sebuah kebijakan yang akan diambil yang membuat mereka tidak hanya perlu fokus pada satu hal yang diadvokasi oleh satu LSM atau lembaga riset, tetapi juga melihat urgensi dan keberlangsungan pelaksanaan kebijakan yang akan dibuat nantinya.
Dalam SPK ini dijelaskan pula bahwa para advokator perlu menjaga kredibilitas, dengan menjaga kualitas riset. Fasilitator mengingatkan bahwa advokasi berbasis riset atau penelitian harus benar-benar teliti dan mencari terus hal-hal yang ada di balik fenomena, dan bukan hanya melihat kulit luarnya saja.
Fasilitator memberikan contoh, ada sebuah penelitian tentang program BPJS di tahun 2015 yang menyatakan bahwa pelaksanaan BPJS buruk, terjadi antrian panjang, masyarakat bingung dan kebutuhan perempuan kurang diperhatikan. Informasi ini jelas baik, namun tidak menjawab pertanyaan “apa yang menyebabkannya fenomena tersebut terjadi?” Secara sederhana, fasilitator kemudian membuat penelitian dengan memperhatikan data-data bidang kesehatan sepuluh tahun terakhir. Dari data yang dimiliki, fasilitator menemukan bahwa dalam sebuah penelitian dengan metode wawancara ditemukan bahwa masyarakat yang merasa sakit selama satu bulan hanya sekitar 25%, namun setelah adanya BPJS masyarakat menjadi lebih mudah mengakses layanan kesehatan, sehingga permintaan layanan kesehatan naik hingga 60%.
Sebelum adanya BPJS mungkin masyarakat tidak terlalu banyak mengakses layanan kesehatan dikarenakan biaya yang mahal, namun setelah ada BPJS permintaan layanan kesehatan naik hampir 100% sementara jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis tidak bertambah secara signifikan. Dari hasi penelitian ini penting sekali untuk menemukan akar dari sebuah persoalan, sehingga saat dilakukan upaya advokasi isu yang dibahas adalah isu yang esensial dan dapat menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan.
Hal lain yang juga sangat penting dari sebuah upaya advokasi adalah perubahan paradigma dari para pelaku advokasi. Advokasi tidak selalu soal mengubah undang-undang atau sebuah kebijakan. Lebih dari itu, bukti dari perubahan itu tidak pula selalu soal pendirian lembaga tingkat nasional sampai daerah yang dimaksudkan untuk menangani satu isu tertentu, sebab belum tentu perubahan undang-undang dan pendirian lembaga itu merupakan jaminan terjadinya perubahan. Bisa jadi ini justru adalah jebakan baru (institutional trap) yang menjadikan perubahan semakin lambat terjadi. Oleh karena itu, fasilitator mengingatkan ada beberapa aspek yang menandai terjadinya perubahan setelah upaya advokasi yaitu:
Aksi Super Damai 212 patut diapresiasi sebagai bukti kemajuan dan kedewasaan umat Islam Indonesia dalam mengekspresikan aspirasi politiknya. Kesejukan yang hadir dalam aksi ini sudah seharusnya diapresiasi.
Namun demikian, bagi peserta aksi, tujuan mereka bukan sekadar membuktikan bahwa Aksi Bela Islam adalah gerakan damai. Ratusan ribu atau bahkan lebih dari sejuta orang bersusah payah mendatangi Jakarta dalam aksi 212. Sebagian bahkan rela jalan kaki berhari-hari demi “membela Islam”, dengan tuntutan memenjarakan Ahok. Menariknya, meskipun Ahok tidak ditahan, para peserta aksi 212 tampak pulang dengan perasaan menang.
Sampai esai ini ditulis, perayaan kemenangan masih berlanjut. Linimasa masih dibanjiri konten dan unggahan yang menunjukkan kedahsyatan momen setengah hari di bawah Monas itu. Sebagian bahkan menawarkan cenderamata dan kaos untuk mengenang momen kemenangan.
Lantas pertanyaannya: apa yang sebenarnya telah dimenangkan?
Perang Posisi, Bukan Perang Manuver
Bagi banyak orang, partisipasi dalam aksi 212 bisa menjadi bagian dari momen langka yang tidak terlupakan. Berada di tengah lautan manusia untuk “membela Islam” merupakan kepuasan spiritual. Aksi yang begitu besar, yang dilakukan dengan tertib dan tanpa menyisakan sampah, adalah sebuah kemenangan dalam melawan wacana atau tuduhan tentang ancaman kekerasan dan makar.