Endy Saputro* | Alumni News| CRCS
Sebagai salah satu alumni, saya merasa bangga pernah menganyam pendidikan di Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM. Anyaman tersebut paling tidak telah ikut merajut dua pola kerangka berpikir ilmiah saya.
Pertama, karakter interdisiplin pembelajaran CRCS telah membentuk pola pikir sintesis-kritis-verifikatif saya. Hal ini saya rasakan ketika pindah-kerja di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Surakarta. Semula saya bingung dituntut mengajar matakuliah Metodologi Studi Islam (MSI) di sebuah lingkungan dengan ekonomi kuantitatif sebagai domain studi. Untunglah, CRCS telah mengajari saya bagaimana meramu satu disiplin dengan disiplin lain. Saya pun mulai meracik silabus dengan memposisikan Islam sebagai lokus dan ekonomi sebagai fokus. Silabus saya rancang dengan mengurai tiga kluster paradigma studi Islam: klasik, orientalis dan post-orientalis. Bagian kedua, dengan desain by-research, saya ajak mahasiswa melihat hubungan Islam dan ekonomi. Isu-isu terkini, kali ini terkait ekspresi kelas menengah muslim Indonesia, saya diskusikan dengan mahasiswa. Kemudian, saya minta mahasiswa untuk “turun” ke lapangan melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam realitas. Mereka pun segera memadati BMT (Baitul Maal wal Tamwil), bank Islam, rumah zakat, bazar buku Islam, toko busana muslim, halal food expo, dan hotel syariah di kota Solo.
Masih dalam tarikan nafas yang sama, kesadaran mental interrelijius (inter-religious) telah memberi corak semangat-menghadirkan-yang-lain-sebagai-kawan dalam setiap perkuliahan saya. Menurut pengakuan beberapa mahasiswa, di kampus saya yang baru ini, sebagian minor dosen masih suka mengumbar kata “sesat” dan “menyimpang” di hadapan mahasiswanya. Sialnya, sebagian besar mahasiswa sekarang cerdas, dan mempertanyakan sikap dosen yang seperti itu. Kehadiran dosen yang inklusif, alhamdulillah, telah memberikan harapan bagi mahasiswa: masih ada dosen yang berpikiran berbhineka tunggal ika. Hal ini penting saya sampaikan di tengah gempuran reproduksi eksklusivisme di kalangan mahasiswa yang dilaksanakan dengan berbagai varian kontestasinya.
Dari pengalaman tersebut, saya merasa matakuliah-matakuliah yang diajarkan oleh CRCS sudah adaptif dalam membentuk manusia Indonesia yang kritis (nonesensialis) sekaligus inklusif (nondiskriminatif), tentunya dengan tidak tanpa catatan kritis.
Pertama, jika dua anyaman akademis saya di atas hanya dianggap sebagai soft-skills, CRCS perlu mentransformasikannya menjadi sebuah matakuliah. Matakuliah Teaching Religions in Diverse World perlu didesain sebagai matakuliah wajib; bahkan bisa dijadikan alternatif Sekolah Pengelolaan Keragaman, dengan subjek partisipan menyasar dosen-dosen Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Kedua, saya kira semua alumni sepakat, CRCS telah sanggup menghadirkan atmosfer intelektualitas kelas dunia. Bagaimana kemudian menghadirkan atmosfer ini pada jejaring alumni di seluruh Indonesia. Bagaimana selanjutnya kapital sosial dan kapital budaya akademik CRCS didistribusikan di seluruh pelosok Nusantara. Bagaimana selanjutnya produk mesin-mesin intelektualitas CRCS bisa disebarkan di seluruh Indonesia.
Satu hal hampir terselip dalam ingatan, bagaimana CRCS mampu memberikan sentuhan everyday life dalam setiap matakuliahnya. Everyday religions sebagai subperkuliahan di matakuliah Academic Study of Religions telah menjadi pembuka bagi mahasiswa untuk sadar mencermati kehidupan sehari-hari. Kiranya akan lebih kuat apabila pendekatan-pendekatan budaya populer turut diperkenalkan kepada mahasiswa. Selain itu, riset kuantitatif perlu segera dianyamkan di CRCS agar dapat memperkuat basis kualitatif yang menjadi karakter ilmiah produksi pengetahuan CRCS.
Demikian, semoga dapat menjadi momen untuk mengenang alumni-alumni CRCS yang tersebar di seluruh dunia. Bravo CRCS !!
* Penulis adalah Alumni CRCS angkatan 2006, pernah menjadi koordinator divisi Riset di CRCS. Saat ini menjadi anggota Staf Pengajar Studi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Surakarta.
Berita Utama
Ilma Sovri Yanti Ilyas | CRCS | Artikel
Bangunan kembar yang terdiri dari lima lantai dengan cat berwarna biru dan putih nampak kokoh dilihat dari seberang jalan (pasar induk Puspa Agra). Di dalamnya masing-masing gedung itu memiliki sekitar 76 kamar di blok A dan 76 kamar lagi di blok B dengan total 152 kamar, dan hanya 76 kamar yang dihuni oleh warga pengungsi Syiah yang berjumlah 82 KK. Selebihnya kamar diisi oleh masyarakat yang mengontrak di sana. Sementara masih ada sekitar 7 KK hingga penulis membuat tulisan ini mereka belum mendapatkan kamar, dan terpaksa tinggal menumpang di kamar lain dengan bersempit-sempitan.
Berdasarkan data yang penulis himpun, saat ini sejumlah 332 jiwa menjadi pengungsi akibat konflik yang terjadi (th 2015), terdiri dari 154 anak-anak usia sekolah dan 9 usia batita (0-3 th). Dan saat penulis berada di lokasi, terhitung hanya sekitar 234 jiwa yang menetap di rusun lima lantai tersebut. Lalu di mana yang lainnya.
“Yang lain tinggal bersama keluarganya karena menikah dengan orang luar (non pengungsi),” ujar Nur Cholish, pendamping pengungsi yang menemani penulis. “Ada juga yang bekerja di Malaysia, ada juga yang tinggal bersama orang tuanya karena mengurus orang tua yang sudah tua.”
Kondisi Pengungsi Syiah Sampang
Area rusun, mulai dari gapura Puspa Argo, dijaga 24 jam oleh petugas parkir atau satpam pada malam harinya. Dan khusus untuk warga pengungsi yang berlalu lalang dengan motor mau pun sepeda dibebaskan biaya tiket masuk area. Sementara sekitar 200 meter dari gapura, ada juga pos keamanan yang dijaga oleh petugas keamanan, tetapi nampaknya tidak begitu ketat karena pos sering terlihat kosong penjaganya. Namun pada sore hari menjelang malam pos dijaga oleh petugas keamanan.
Area rusun nampak berhalaman luas dan berjalan beton. Pepohonan tampak beberapa batang saja, selebihnya pemandangan luas bebas pohon. Kondisi penerangan lampu sekitar rusun sangat minim. Jika memasuki gedung, pada bagian bawah bangunan kembar ini terdapat lokasi parkiran untuk motor dan sepeda milik warga pengungsi Sampang dan juga ada warga lain (non pengungsi) yang mengontrak di rusun tersebut. Umumnya warga non-pengungsi tinggal di kamar lantai II Gedung B, selebihnya berada di Gedung A. Interaksi antara warga non pengungsi dengan warga pengungsi nampak biasa-biasa saja, namun terlihat warga pengungsi Sampang yang selalu menjaga sikap agar tidak menganggu aktivitas warga lain yang tinggal di rusun tersebut. Hal ini penulis simpulkan saat melihat kondisi beraktivitas di dalam dan di luar bangunan. Untuk aktivitas pengajian dan belajar anak-anak selalu menggunakan lantai 5 atau di lokasi parkiran motor (bawah).
Suasana gedung tempat para pengungsi. Dokumentasi Pribadi.Untuk kondisi kamar yang dihuni seluruh warga berukuran 6 x 6. Ada satu kamar dengan pembatas dari triplek, sedikit ruang untuk kumpul keluarga, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Ada sedikit ruang kosong yang disediakan tiap kamar untuk menjemur pakaian. Kondisi air di sana menggunakan mesin pompa air. Artinya air yang dikonsumsi adalah air tanah yang, walau jernih, namun agak sedikit bergetah bila dirasakan di badan. Pompa air sejak dua tahun terakhir ini sering mengalami kerusakan. “Sudah 8 kali rusak dan itu pun lama baru diperbaiki,” kata Fitri. “Terbayang kan bagaimana para orang tua yang tinggal di lantai atas harus mengambil air ke bawah dan membawanya lagi ke atas.”
Kondisi pembuangan atau saluran air di kamar mandi cukup rendah sehingga mudah sekali air menjadi penuh dan dapat membenamkan kaki saat menggunakan kamar mandi. Karena itu, setiap rumah terpaksa lubang saluran air dipecah agar penyaluran air lancar, walau hasilnya tidak merubah situasi yang penulis alami. Untuk sarana dan fasilitas tengah gedung yang seharusnya dapat digunakan untuk penghijauan menanam tanaman, dibiarkan kosong melompong sehingga banyak terdapat kotoran kucing mau pun ayam dan membuat aroma kurang sedap. Belum lagi teras rumah di atas milik beberapa warga terdapat kandang burung dan kotoran burung peliharaan.
Tangki air pun tidak berfungsi otomatisnya, sehingga jika air penuh akan tumpah ke bawah bak air hujan lebat jika terlambat mematikan saklar air. Risikonya pun jika saklar lampu terkena percikan air akan terjadi konslet menyebabkan listrik padam seluruh gedung dan menunggu untuk diperbaiki bukanlah hal yang cepat dapat dilakukan.
Terasing di Kampung Sendiri
Selengkapnya di satuharapan.com
Penulis adalah alumnus Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) CRCS UGM Angkatan ke VI, 2015
Keberlangsungan suatu Program Studi sangat tergantung pada kinerja para staf di dalamnya. CRCS UGM pada tahun 2015 telah menempuh usia 15 tahun. Suatu perjalanan panjang dalam menanggapi isu keragaman di Indonesia. Di tengah perjalanan itu, Program Studi ini ternyata telah mendapat pengakuan tertinggi dari BAN PT dengan akreditasi A. Tentunya, ini adalah sebuah pencapaian berkat usaha dan kerja keras staf pelopor Ilmu Agama di Indonesia ini.
Berikut ini, tim website CRCS sengaja melakukan wawancara dengan salah satu sosok di balik pencapaian prodi ini, Linah Khairiyah Pary atau biasa dipanggil Mbak Lina yang telah menjabat sebagai office manager CRCS sejak tahun 2009. Perjalanan akademisnya cukup mengagumkan karena mampu lulus dari dua program master di dua universitas yang berbeda pada saat yang hampir bersamaan. Saat menempuh pendidikan S2 di CRCS, dia juga mengambil S2 jurusan manajemen pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Seorang kolega di CRCS mengisahkan, “Mbak Lina bahkan harus jalan kaki dari UNY ke UGM lebih dari satu kali setiap hari”. Nampaknya, pengalaman inilah yang menjadikan dia mampu menata semua urusan administrasi dan akreditasi secara memuaskan.
Untuk lebih jauh mengetahui bagaimana pengalaman Mbak Lina di CRCS, simak wawancara Subandri Simbolon berikut ini:
Berkaitan dengan proses akreditasi CRCS, bagaimana suka-duka yang dihadapi Mbak Lina? Apa saja yang dilakukan baik secara personal maupun team?
Akreditasi BAN PT merupakan proses sertifikasi 5 tahunan yang wajib dijalani oleh institusi pendidikan di Indonesia. Karena ini merupakan proses 5 tahunan, tentu kendala yang dihadapi adalah menghadirkan kembali dokumen-dokumen akademik, penelitian, kerjasama, pengabdian masyarakat dll. yang telah dilakukan CRCS selama 5 tahun. Selama proses persiapan akreditasi, saya tidak merasakan kendala yang berarti karena tim akademik, keuangan dan administrasi sangat solid dalam membantu mengisi borang akreditasi BAN PT. Selain itu, CRCS memiliki lumayan banyak pengalaman dalam bidang audit. Perlu diketahui, selain audit Akreditasi oleh BAN PT yang berlangsung 5 tahun sekali, CRCS juga diaudit oleh KJM (Kantor Jaminan Mutu) UGM setiap tahun. Selain itu setiap semester, CRCS juga di audit oleh auditor internal ISO SPs UGM dan setiap 3 tahun juga diaudit oleh auditor eksternal SGS. Sejak tahun 2009, CRCS telah tersertifikasi ISO 9001:2008 oleh SGS. ISO 9001 sendiri merupakan standar international dalam bidang sistem manajemen mutu. Dengan telah tersertifikasi ISO 9001:2008, sangat wajar jika CRCS mendapat akreditasi A dengan skor 373 (dari skor maksimum 400).
Sangat mengesankan, berkat kerja keras Mbak Lina dan tim, CRCS akhirnya memperoleh Akreditasi dengan nilai A. Apa saja strategi yang Mbak Lina lakukan sehingga mampu memperoleh nilai itu?
Sekali lagi ini bukan kerja keras saya saja, proses persiapan akreditasi merupakan kerja tim. Dalam hal ini saya sangat mengapresiasi mas Catur Agus Suprono yang sangat sabar dan telaten menyediakan data-data yang saya butuhkan dalam mengisi dan mengolah borang. Selain itu, saya juga sangat mengapresiasi Mbak Nurlina Sari, staf keuangan CRCS yang sabar dan cekatan membantu mengisi borang terkait pembiayaan. Dukungan Koordinator Akademik dalam mereview kembali borang sangat penting untuk memperbaiki kualitas borang. Selain itu, bantuan teknis dari mas Bibit Suyadi semakin mensolidkan kinerja kami dalam mempersiapkan proses reakreditasi CRCS.
Terkait dengan strategi untuk memperoleh nilai A (sangat baik), ada beberapa hal yang kami lakukan: 1). Membentuk tim dan membuat job deskrispi yang jelas untuk masing-masing staf dalam membantu mengisi borang akreditasi dan menyiapkan dokumen-dokumen pendukung. 2). Membuat deadline dan mentaati deadline terkait tahapan waktu pengisian borang, review borang, penyerahan borang ke KJM UGM dan pengiriman borang ke BAN PT. 3). Mentaati ketentuan KJM UGM untuk menyerahkan borang akreditasi ke KJM UGM untuk direview oleh auditor internal UGM. Proses ini sangat penting, karena auditor internal UGM merupakan auditor BAN PT juga. Auditor internal UGM bertugas menilai borang tersebut serta memberikan masukan-masukan perbaikan. Saya merasa fasilitas yang ditawarkan KJM ini sangat “wah” dan sangat berharga. Fasilitas ini kami manfaatkan dengan baik.
Apa yang Mbak Lina Rasakan selama proses dan setelah mendapat hasil?
Selama proses persiapan akreditasi, saya berusaha untuk fokus dan teliti dalam mengisi borang dan mempersiapkan dokumen-dokumen pendukung. Selama beberapa bulan berhadapan dengan borang tentu timbul rasa bosan dan bete. nah… untuk mengatasi rasa bosan, biasanya sambil mengisi borang saya pasang headset dan mendengarkan berbagai macam musik, mulai dari Adele, John legand, Sam Smith, Kitaro, hingga Jhoni Iskandar dan Rhoma Irama (variasi musik lumayan membantu mood saya dalam mengolah borang:). Bagi saya, akreditasi merupakan sesuatu yang sangat prestisius, CRCS juga merupakan lembaga pendidikan yang prestisius, sebagai staf, saya merasa wajib untuk memberikan kinerja terbaik saya agar CRCS mendapatkan akreditasi A. Dan alhamdulillah, atas kerja keras semua staf, CRCS berhasil memperoleh nilai A.
Kesan dan pesan apa yang ingin Mbak Lina sampaikan kepada seluruh Civitas Akademika CRCS?
Pesan saya untuk teman-teman staf, semoga kita selalu solid, guyup, dan hangat dalam bekerja. Saya merasa beruntung, bekerja di CRCS dan mendapat teman-teman kerja yang saling mendukung. Pesan saya untuk mahasiswa CRCS, fokus dalam studi, jalin persahabatan dengan teman-teman dan cepatlah lulus. CRCS hanyalah salah satu batu loncatan dalam mengeksplor dunia. Makanya… cepatlah lulus.
Kamis, 8 Oktober 2015, Prof. Chaiwat Satha-Anand, guru besar ilmu politik Universitas Thammasat, Thailand, memberikan kuliah umum seputar agama dan kekerasan di Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM). Kuliah itu merupakan bagian dari Nucholish Madjid Memorial Lecture (NMML) IX yang pada tahun ini untuk pertama kalinya diselenggarakan di Yogyakarta, sekaligus dalam rangka mengisi peringatan 15 tahun program studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies [CRCS]), UGM. Satha-Anand dikenal luas sebagai akademisi sekaligus aktivis yang mengampanyekan perjuangan melawan ketidakadilan dengan pendekatan nirkekerasan berbasis keagamaan, khususnya Islam. Satha-Anand juga merupakan kawan baik dari almarhum Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Tulisan-tulisannya banyak membahas relasi agama dan kekerasan secara umum, juga resolusi konflik di Thailand secara khusus.
Ali Jafar/Wednesday Forum
Banyak dari kita yang hanya tahu tentang Ammatoans dari general perspective tentang mereka. Kehidupan traditional mereka memang sangatlah menarik. Terlebih ketika kita melihat program TV yang menghadirkan serial etnik atau sejenisnya. Ammatoans sering digambarkan sebagai sekumpulan masyarakat kecil yang “masih” percaya pada “animism” dan mengadakan ritual untuk konservasi hutan. Di beberapa progam religi di pertelevisisan Indonesia, Ammatoans ditampilkan sebagai komunitas muslim yang yang masih mempraktikan “syncretism”, karena mereka memberikan sesajen kepada hutan, gunung dan daratan. Orang Indonesia memiliki banyak sekali stereotype tentang Ammatoans, tetapi siapa sebenarnya Ammatoans yang sesungguhnya? Terkait stereotype tentang Ammatoans ini, pada rabu 16 september, Wednesday Forum yang diadakan CRCS/ICRS kembali menghadirkan Dr. Samsul Ma’arif yang telah melakukan penelitian pada Ammatoans dan mengemukakan fakta sebaliknya.
S. Sudjatna | Report | CRCS
Salah satu tokoh ulama Indonesia, K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus, mengingatkan civitas akademika Universitas Gadjah Mada soal tidak adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Ia justru menekankan pada wajibnya menuntut ilmu. Menurut Gus Mus, seharusnya setiap orang memahami bahwa hukum ilmu hanyalah satu, yakni wajib, baik wajib kifayah (wajib dipelajari oleh sebagian orang saja) ataupun wajib ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap orang). Dengan adanya kesadaran ini, maka setiap orang akan bersungguh-sungguh dalam proses belajar yang dilakukannya sebab menyadari beban tugasnya dalam mencari ilmu. Hal ini ia sampaikan dalam kuliah perdana yang diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan UGM, bertajuk “Ilmu yang Bermanfaat”, Kamis, 3 September 2015.
Selanjutnya ia menekankan pentingnya niat di dalam proses menuntut ilmu. Ia menjelaskan bahwa niat adalah fondasi dalam segala tindakan. Niat tidak hanya menentukan awal dan proses suatu perbuatan saat dilakukan, melainkan juga sangat menentukan bentuk akhir dari sesuatu itu. Karenanya, untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, menurut Gus Mus, seorang mahasiswa haruslah memiliki niat yang baik, tulus dan ikhlas. Bukan niat yang hanya mengedepankan persoalan duniawi semata, semisal pekerjaan, kedudukan atau keuntungan dalam bentuk materi. Niat haruslah dijalin dan didasarkan pada kesadaran akan ketuhanan serta tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Dengan begitu, setiap penuntut ilmu akan sadar dengan tugasnya sebagai orang yang diberi pemahaman atau ilmu oleh Tuhan untuk digunakan demi kebaikan manusia dan alam.
Mengaitkannya dengan ilmu kehutanan, menurut Gus Mus Indonesia adalah salah satu negara dengan bentang hutan terluas di dunia. Karenanya, tak heran jika negeri ini didaulat sebagai salah satu paru-paru dunia. Namun sayangnya, akhir-akhir ini luas hutan di nusantara kian menyempit disebabkan eksploitasi besar-besaran yang terjadi secara kontinu, belum lagi kerusakan hutan yang kian parah di setiap tahunnya. Hal ini seolah menunjukkan ada yang salah dengan tata kelola hutan yang ada. Tentu saja, kondisi ini sangat paradoks dengan realitas yang ada bahwa setiap tahunnya sarjana alumni fakultas kehutanan terus meningkat jumlahnya, dan UGM adalah salah satu penyumbang sarjana kehutanan terbanyak saat ini.Apa yang salah dalam hal ini? Adakah ilmu yang sudah digali selama para mahasiswa kehutanan itu kuliah tidak bermanfaat?.
Selain itu, Gus Mus juga memberi perumpamaan bahwa pelajar—di dalamnya termasuk juga mahasiswa—bukanlah laiknya sebuah komputer. Pelajar berbeda dengan komputer yang hanya menampung data tanpa mampu melakukan apa pun. Karenanya, pelajar jangan seperti komputer. Pelajar haruslah sanggup menampung ilmu sekaligus mengamalkannya, memanfaatkannya. Menurut Gus Mus, jika sekiranya tidak sanggup memberi manfaat, maka setidaknya hendaklah tidak merugikan orang lain. Selain itu, sebagai manusia, pelajar hendaklah menggunakan bukan hanya otak, melainkan juga hati.
Salah satu tips menuntut ilmu yang dilontarkan Gus Mus bagi para mahasiswa adalah hendaknya berteman dengan orang shalih. Sebab, pengaruh teman sangatlah kuat terhadap jiwa seseorang. Jika seorang mahasiswa salah berteman atau salah pergaulan, maka dapat dipastikan study-nya akan terganggu, begitu juga dengan keilmuannya. Sedangkan bagi para dosen, Gus Mus mengingatkan pentingnya mendoakan para mahasiswa agar mendapat ilmu yang bermanfaat. Ia mengingatkan, hendaklah para dosen menyadari bahwa mereka hanyalah sarana Tuhan dalam menyampaikan ilmu.