Dinamika Keagamaan Talang Mamak: Sebuah Catatan Lapangan
Miftha Khalil Muflih – 10 Juni 2024
“Kau siapo, kok baru tetengok di siko?”
Pertanyaan itu meluncur dari salah seorang penjual di salah satu pasar yang ada di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Melihat ada orang yang tampak asing, sang penjual sedang bertanya siapa gerangan saya. Dengan penduduk yang terhitung sedikit, masyarakat memang akan mudah untuk menandai orang asing yang datang ke lingkungan tersebut. Merespon pertanyaan tersebut, saya mengenalkan diri sebagai mahasiswa Jogja yang sedang magang dan riset di masyarakat adat Talang Mamak. “Oh Talang Mamak yo, mereka di sano animisme kan, yang menyembah sungai, pohon,” tukasnya. Salah seorang masyarakat Talang Mamak yang membersamai saya lalu menyahut, “Awak la punyo agama, Kristen agama awak”. Ia merespons sambil tersenyum kecut.
Berjumpa dengan Talang Mamak
Perjumpaan saya dengan masyarakat adat Talang Mamak diawali ketika mengikuti program magang dari kampus. Awalnya, saya berusaha mengidentifikasi masyarakat adat Talang Mamak dengan berselancar melalui internet. Namun, yang saya temukan ialah masyarakat adat Talang Mamak yang berada di Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Saya sangat sulit menemukan literatur yang membahas masyarakat adat Talang Mamak yang ada di Jambi.
Masyarakat adat Talang Mamak memang lebih banyak bermukim di daerah Provinsi Riau. Dalam catatan KKI Warsi, masyarakat adat Talang Mamak bermukim di Kecamatan Batang Gansal, Kelayang, dan Rengat Barat. Namun, ada juga yang menyebutkan jika masyarakat adat Talang Mamak juga ada di Kecamatan Kelayang, Batang Cenaku, dan Siberida. Sebenarnya, masyarakat adat Talang Mamak yang berada di Provinsi Jambi hanya terpisah beberapa kilometer dari perbatasan Riau,tepatnya di perbatasan Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Tebo—keduanya berada di Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Tidak hanya lokasi dan persebaran masyarakat yang sulit diidentifikasi, narasi tentang sejarah dan asal usul dari masyarakat adat Talang Mamak pun serupa. Ketika menelusuri sejarah dan asal usul masyarakat adat Talang Mamak di Riau, Syafrizaldi Jpang (2020) kesulitan untuk memetakan persebaran dan asal usul masyarakat ini. Masing-masing masyarakat adat Talang Mamak punya ragam kisahnya sendiri. Namun, dari beberapa literatur yang membahas tentang Talang Mamak, terdapat titik temu narasi sejarah dan asal usul masyarakat tersebut. Asal-usul masyarakat adat Talang Mamak kerap dikaitkan dengan Kerajaan “Pagaruyung Minangkabau” dan keturunan dari “Patih Nan Sebatang”. Menurut Jeffrey Hadler (2008) dan Joel S. Khan (1993), Patih Nan Sebatang ialah tokoh yang membentuk sistem adat pertama kali di Minangkabau.
Pada umumnya, adat istiadat dan cara hidup masyarakat adat Talang Mamak di Jambi maupun di Riau memiliki kesamaan, yaitu berladang, berburu, dan memanfaatkan hasil hutan. Sejak jaman dahulu, masyarakat adat Talang Mamak mempraktikkan tradisi ladang berpindah. Rumah masyarakat biasanya akan mengikuti lokasi ladangnya. Namun, saat ini ladang berpindah tidak lagi dipraktikkan seperti dulu karena keterbatasan wilayah dan persoalan administrasi kependudukan. Mereka melakukan ladang berpindah hanya di sekitar dusun tempat tinggal. Seperti masyarakat adat Talang Mamak Jambi yang ada di Dusun Simarantihan, Desa Suo-Suo, Kecamatan Sumay, Provinsi Jambi, tempat saya melakukan riset.
Lokasi perkampungan Talang Mamak Jambi memang cukup terpencil. Untuk mengakses kota terdekat yaitu Kota Tebo yang berjarak 50 km dibutuhkan 3-4 jam perjalanan dari ujung pintu hutan dengan kendaraan. Namun, jika musim hujan, separuh perjalanan akan dilakukan dengan berjalan kaki dan waktu tempuh juga akan bertambah. Masyarakat adat Talang Mamak Jambi memang tinggal di tengah hutan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Saat ini wilayah tersebut masuk dalam konsesi perusahaan restorasi yang tidak mengizinkan pembangunan infrastruktur permanen, seperti jalan aspal atau beton.
Konversi Agama: Dari Administrasi sampai Stigmatisasi
Dalam sejarahnya, masyarakat Talang Mamak yang ada di Dusun Simarantihan ini sebenarnya tidak langsung hidup secara komunal. Dikutip dari laporan Frankfurt Zoological Society (FZS) berjudul Agroekosistem Semerantihan (2012), pada tahun 1980-an masyarakat Talang Mamak masih mendiami hutan secara terpencar. Namun pada tahun 1996, pemerintah melalui Proyek Departemen Sosial (saat ini Kementerian Sosial) membangun permukiman dan “memukimkan” masyarakat adat Talang Mamak di sana. Di samping proses administratif, masyarakat Talang Mamak Jambi diminta untuk menganut agama Islam jika ingin dibangunkan rumah. Kisah itu saya dapatkan dari Kemantan (Dukun Kampung) masyarakat adat Talang Mamak Jambi. Informasi tersebut juga dibenarkan oleh Mangara Silalahi (1998) dalam laporannya “Prospek Pemanfaatan Sumber Daya, Organisasi Sosial, dan Pola Hubungan Sosial Talang Mamak”. Menurut Silalahi, beberapa masyarakat adat memang melakukan pindah agama karena ingin dibangunkan rumah, tetapi secara bersamaan mereka terus mempraktikkan kepercayaan leluhurnya.
Persentuhan masyarakat adat Talang Mamak dengan Islam bisa dilacak juah sebelum kemerdekaan Indonesia. William Singleton (1998) menjelaskan bahwa masyarakat adat Talang Mamak memiliki keterkaitan dengan Kerajaan Pagaruyung Minangkabau melalui keberadaan kelompok adat (pengulu) dan kelompok Islam (Padri). Saya sebenarnya memang cukup yakin bahwa masyarakat Talang Mamak sudah mengenal Islam jauh sebelum program pemerintah tersebut. Dalam sebuah ritual Talang Mamak yang pernah saya ikuti, Kemantan melantunkan sebuah mantra yang terdengar familiar di telinga saya, “Bismillahirrahmanirrahim” dan “Allahummashallih”. Namun, ketika saya menanyakan kepada Kemantan tersebut, dia menjelaskan bahwa itu adalah mantra leluhur.
Saya beberapa kali menanyakan kepada masyarakat Talang Mamak Jambi, “Apakah mereka memiliki penamanaan terhadap sistem kepercayaan leluhur mereka?”. Mereka hanya menyebutkan ini adalah kepercayaan leluhur. Masyarakat adat Talang Mamak memang tidak melembagakan sistem kepercayaan mereka. Masih dalam catatan disertasi dari Singleton (1998), masyarakat adat Talang Mamak di Riau hanya mengidentifikasi identitas keagamaan mereka dengan nama Talang Mamak Langkah Lama. Menurut Singleton, istilah ini muncul untuk mengidentifikasi masyarakat Talang Mamak yang telah berpindah ke Islam dan Kristen. Mereka yang telah menganut agama baru ini disebut dengan istilah Talang Mamak Langkah Baru.
Konversi administratif ini kemudian berlanjut pada tahun 2012 ketika pemerintah mencanangkan proyek nasional pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP). Menurut Kurniawan (2012), ada 43 orang yang konversi ke agama Islam bertepatan dengan proyek tersebut. Saya juga menemukan berita serupa di Tribunnews dan Antaranews. Saat ini, selain Islam, ada beberapa masyarakat Talang Mamak Jambi yang kini menganut agama Kristen, seperti teman saya yang mengantar ke pasar.
Ninik Sudir, salah satu orang yang mualaf pada tahun 2012, punya cerita yang menarik sekaligus miris. Pada tahun 2012, mereka sebenarnya diundang dan dijemput untuk mengikuti kegiatan pameran kerajinan tangan. Mereka tidak diberitahu jika ada agenda islamisasi pada kegiatan tersebut. Kindo, tokoh pemuda Talang Mamak Jambi, juga membenarkan hal tersebut. Dia menceritakan jika pada waktu itu mereka tidak mau berpindah agama, mereka tidak akan diantar pulang kembali ke perkampungan.
Saya sempat mewawancarai beberapa masyarakat Talang Mamak terkait alasan mereka melakukan konversi agama. Salah satu dari mereka yang tidak ingin disebutkan namanya menjelaskan dengan kalimat, “Di mano ada mokonen, di situ lah awak bekumpul”. Mereka menganggap bahwa dengan berpindah agama akan ada banyak bantuan atau donasi yang datang. Seperti yang dialami oleh Deli, salah satu penghayat kepercayaan. Ia beberapa kali diminta oleh keluarganya untuk pindah agama agar bisa juga mendapatkan donasi dari pemuka agama yang datang. Mereka juga menganggap, melalui konversi agama, beberapa urusan administratif dan akses fasilitas akan lebih mudah. Paradigma seperti ini membentuk persepsi bahwa konversi agama artinya konversi pada kemudahan dan aksesibilitas. Samsul Maarif (2018) sudah menunjukkan bahwa negara secara sistematis melakukan diskriminasi terhadap penghayat atau penganut agama leluhur karena identitas keagamaan yang mereka anut.
Selain itu, dalam sebuah percakapan lainnya, saya juga mendapati cerita bahwa mereka sering kebingungan ketika ditanya tentang tuhan dan kitab suci orang Talang Mamak oleh orang luar. Masyarakat adat Talang Mamak menghidupi kepercayaan mereka melalui praktik keseharian dan pengajaran oral. Lambat laun, sebagian masyarakat adat Talang Mamak Jambi menganggap bahwa beragama harus memiliki konsep tuhan, kitab suci, dan juga nabi. Tomoko Masuzawa (2005) dan Timothy Fitzgerald (2003) menjelaskan fenomena ini sebagai standarisasi dan dominasi paradigma agama dunia yang mengeksklusi kepercayaan lokal.
Namun, saya juga menemukan ada masyarakat Talang Mamak yang berpindah agama karena kehendak pribadi atau tanpa ada paksaan. Saya juga menemukan beberapa dari masyarakat Talang Mamak teguh memegang identitas agama leluhurnya. Mereka mengatakan, kami bertahan dengan identitas ini karena inilah yang leluhur ajarkan. Tentu saja, catatan lapangan ini tidak sedang mempertentangkan berbagai keyakinan yang eksis di masyarakat Talang Mamak. Narasi-narasi tersebut menunjukkan bahwa persoalan identitas keagamaan dan dinamika sosial ekonomi yang dihadapi merupakan sesuatu yang berkelindan dan membentuk masyarakat adat Talang Mamak hari ini.
______________________
Miftha Khalil Muflih adalah mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Miftha lainnya di sini.