
Tak kurang dari 70 tandu berhias ala singgasana kerajaan Tiongkok mengelilingi Lasem, kecamatan kecil di Rembang. Hari itu (20/4) ribuan anggota komunitas klenteng dan simpatisan budaya Tionghoa dari berbagai kota bergabung dalam arak-arakan Makco, salah satu dewata dalam agama rakyat Tionghoa (Chinese folk religion). Acara bertajuk “Kirab Akbar HUT Yang Mulia (YM) Mak Co Thian Siang Sing Bo” ini merupakan gelaran kirab perdana setelah 13 tahun absen. Partisipan dan panitianya bukan hanya berasal dari etnis Tionghoa, melainkan lintas etnis dari berbagai kota di Indonesia. Kirab Makco di Lasem menunjukkan bahwa dewi laut asal Tiongkok ini telah menjadi bagian dari khazanah budaya Nusantara.
Sekilas Makco, Dewi Laut yang Kosmopolit
Tian Shang Sheng Mu (天上聖母) atau Mazu adalah dewi samudra pelindung para pelaut dan nelayan yang paling banyak dipuja di Asia Tenggara. Di Nusantara, ia dikenal dengan sebutan Makco (atau Ma Co). Dalam legenda Tionghoa, Makco ialah seorang gadis pesisir bernama Liem Bik Nio yang lahir di Mezhuo, Provinsi Fujian tahun 960 SM. Di samping handal dalam ilmu perbintangan dan peredaran cuaca yang berguna bagi para nelayan, ia juga terampil dalam ilmu pengobatan dan penolong banyak orang (Hay, 2013).
Sejarah sepak terjang pelayaran orang Tionghoa dan jalur sutra laut tidak bisa lepas dari legenda Makco. Ketika perkapalan masih mengandalkan angin, benda langit, dan tingkah perubahan gelombang laut sebagai navigasi, pengetahuan tentang musim dan pola cuaca menjadi bekal penting dalam pelayaran (Shaffer, 1994). Namun, berbagai teknologi dan pengetahuan tradisional itu tidak cukup untuk mengantisipasi berbagai kondisi samudra lepas yang sukar diprediksi. Di sinilah yang religius, yang sakral, mendapat ruang dalam ekspedisi laut Tionghoa. Pemujaan kepada Makco menumbuhkan rasa aman, harapan, dan percaya diri menghadapi rintangan.
Kemasyhuran Makco meluas seiring dengan menyebarnya para pelancong Tionghoa melintasi laut Cina selatan. Klenteng-klenteng pemujaan Makco dibangun di berbagai tempat singgah, terutama wilayah bandar atau kota pelabuhan. Sebaran klenteng tersebut ikut membentuk jaringan dagang dan pelayaran. Nelayan dan pelaut yang hendak berlayar dari Fujian selalu membawa serta rupang dewi pujaannya ke mana pun mereka berlayar (Chee-Beng, 2013). Dikisahkan, pada masa Dinasti Ming (1409 M), Laksamana Cheng Ho tak pernah lupa memimpin upacara sembahyang kepada Makco sebelum memulai lawatan untuk memohon penjagaan selama perjalanan (Sidharta, 2014). Kemasyhuran Makco berkelana hingga ke negeri-negeri seberang kampung asalnya. Karena eksistensi dan pengaruhnya yang mendunia ini, UNESCO memasukkan Makco ke dalam daftar warisan budaya dunia tak benda pada tahun 2009.
Selama ratusan tahun, pemujaan Makco telah menjadi bagian penting dari dinamika kebudayaan di Asia Tenggara (CGTN, 2019). Di Indonesia, terkhusus di Jawa, kepercayaan terhadap perlindungan Makco tidak berhenti di samudra lepas, tetapi juga meliputi sungai-sungai yang menjadi jalur transportasi strategis seperti sungai Brantas. Tak heran, di sepanjang sungai ini berdiri klenteng-klenteng Makco yang berserak ke timur melewati Lasem, Tuban, Gresik, sampai Surabaya; dan dari Surabaya ke selatan, melewati Mojokerto, Jombang, Kediri, sampai Tulungagung (Sidharta, 2014).
Wajah Kosmopolitanisme Makco di Lasem: Perayaan lintas Etnis dan Agama
Kosmopolitanisme mengandaikan suatu proses agensi aktif yang menerjemahkan fenomena global secara dialogis dan dinamis ke dalam konteks lokal (Delanty, 2006). Kosmopolitanisme bukanlah gerak satu arah (top-down) yang berpotensi menghilangkan apa yang telah mengakar dalam lokalitas. Ia adalah sebuah proses yang membuka beraneka kemungkinan kreativitas lokal dalam membaca dan merespon wacana global.
Artikulasi kosmopolitanisme Makco kembali mendapat momentumnya dalam Kirab Akbar Makco Lasem. Gegap gempita kirab Makco menampilkan sebuah fenomena pesta rakyat yang “menunda” sekat-sekat perbedaan. Lasem memang mengilustrasikan sebuah kota dengan kehidupan antaretnis dan agama yang harmonis yang dibangun atas memori bersama (shared memory) tentang leluhur Lasem dan ingatan tentang perjuangan bersama antara orang Jawa dan Tionghoa dalam peristiwa Perang Kuning (Ahnaf, 2020). Keyakinan sedarah dan seperjuangan ini menciptakan apa yang disebut civic engagement.
Akan tetapi, denyut keharmonisan tersebut tidak lekas terasa ketika kita mengunjungi Lasem di hari-hari biasa (simak “Berpikir Ulang atas Eksistensi Masyarakat Keturunan Tionghoa di Lasem”). Imajinasi sebagai “Tiongkok Kecil” pun dipatahkan oleh perjumpaan di lapangan. Kehidupan Lasem nyatanya tak “se-tiongkok-itu”. Lanskap bangunan-banguan kuno berlanggam Tiongkok dengan atap ekor walet adalah satu cerita, tetapi denyut aktivitas warga keturunan Tionghoa di Lasem adalah cerita lain.
Secara demografis, populasi masyarakat keturunan Tionghoa di Lasem tak lagi menjadi mayoritas dan jauh menurun. Sebagian besar anak mudanya memilih meninggalkan Lasem dan hijrah ke kota lain. Mereka pun tak lagi berbahasa mandarin. Dalam kehidupan religius, semakin sedikit warga Tionghoa Lasem yang datang ke klenteng karena telah berpindah agama. Sebagian rumah-rumah kuno bergaya Tiongkok di Lasem beralih fungsi jadi tempat komersil. Dalam satu dekade terakhir, belum ada acara rakyat yang bisa memberi petunjuk realita hubungan antaretnis dan agama di Lasem.
Persis di titik inilah kirab Makco hadir sebagai fenomena kerakyatan yang menginterupsi keseharian Lasem itu. Dalam arak-arakan tersebut, para pengiring rela antri bahkan berebut untuk ikut menggotong Makco. Ketika tandu berhenti dan diayun-ayun, wajah-wajah Jawa dan Tionghoa bergantian bahu-membahu menggoyang tandu, meraup berkah Makco, seraya meluapkan kegembiraan. Bahkan, ketika hujan deras mengguyur, arak-arakan terus berjalan.
Ada juga grup musik dari klenteng Gudo, Jombang, yang memainkan melodi dengan serunai yang familiar di telinga muslim, seperti Syiir Tanpa Waton—yang lebih dikenal dengan sholawat Gusdur—dan yalal wathon, beriring tabuhan tambur dan simbal khas musik barongsai. Ketika rombongan tersebut beraksi melewati daerah Kauman, euforia seketika membuncah di kalangan santri Pesantren Al-Hidayah yang sedari pagi menanti di pinggir gang dan jalan. Maklum, bagi mereka ini bisa jadi perayaan interreligius yang pertama, sementara pemukim lokal setidaknya masih mengingat momen ini 13 tahun lalu. Pada momen inilah Tionghoa-Jawa melebur dan merayakan kegembiraan bersama.
Arak-arakan Makco tersebut menggarisbawahi pentingnya performatif turn untuk melihat dinamika sebuah hubungan antarmasyarakat dalam suatu ruang dan waktu. Kompleksitas partisipasi masyarakat lintas etnis tak jarang muncul dan tampak saat momen-momen tertentu di luar rutinitas keseharian. Kirab Makco secara gamblang menampakkan wajah aktual hubungan antaretnis dan agama yang dinamis sekaligus kompleks.
Karsa komunitas klenteng-klenteng Makco di Indonesia sebagai agensi lokal untuk merayakan Kirab Makco di Lasem mengilustrasikan wajah kosmopolitanisme Makco. Performativitasnya menampilkan ekspresi religius yang meleburkan ragam perbedaan identitas dan mengentalkan identitas bersama. Boleh dikatakan, Makco bukan saja fenomena global yang terabadikan sebagai warisan dunia, melainkan juga merupakan fenomena kosmopolit yang selalu direproduksi dan mewarnai kebudayaan lokal. Kirab Makco telah membuka ruang artikulasi kosmopolitanisme di Indonesia.
Barangkali, salah satu irama pengiring tandu Makco hari itu bisa melukiskan hubungan antaretnis di Lasem. Lagu ini berbahasa Jawa berjudul Bojo Loro atau ‘istri dua’. Bukan liriknya, melainkan nadanya yang memparodikan lagu Meng Li Qing Ren (Kekasih dalam Mimpi), lagu tema serial kungfu Pendekar Ulat Sutra yang populer tahun 90-an di Indonesia. Ketika serunai mulai bermelodi dan tambur dibunyikan, Jawa dan Tionghoa, semuanya berdendang.
______________________
Refan Aditya adalah alumnus Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Refan lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh; dan 17 tentang Kemitraan untuk Mencapai Tujuan