
Setahun menuju implemetasi efektif KUHP 2023, CRCS bersama ISFORB menginisiasi seminar nasional untuk membahas pembatasan kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) dalam KUHP Bab 7 Pasal 300—305 dan launching Buku Ajar Penafsiran Pasal 300—305 KUHP 2023 yang dilakukan di beberapa kota. Salah satu kota yang disambangi adalah Padang, Sumatera Barat, tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Andalas. Empat pemateri hadir untuk menuangkan tinjauannya dari sudut pandang kepakarannya masing-masing.
Dr. Samsul “Anchu” Maarif mengawali pembabaran dengan menarik benang merah terkait hukum pidana dan KBB, “Tidak dapat dipungkiri, nature dari KUHP itu adalah membatasi hak. Maka yang menjadi concern adalah bagaimana pembatasan itu tidak melanggar hak warganegara, terutama dalam hal beragama atau berkeyakinan.” Oleh karena itu, tukasnya, implementasi KUHP yang baru ini harus sesuai dengan norma konstitusi yang menjamin KBB yakni UUD 1945 hasil Amandemen pasal 28 E dan pasal 29 ayat 2; UU No. 39/1999 tentang HAM, pasal 22; UU No. 12/2005 tentang pengesahan ICCPR/KIHSP Pasal 18. Berdasarkan norma konstitusi tersebut, negara wajib melindungi hak warga untuk berkeyakinan (forum internum) dan kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan (forum eksternum) dengan batasan-batasan khusus. Anchu menggarisbawahi tujuan utama dari digantinya pasal 156a menjadi pasal 300 pada KUHP 2023 ini adalah, “Agar setiap orang terlindungi dari potensi gangguan atas dasar agama.” Dengan kata lain, yang dilindungi ialah individu, bukan agamanya.
Tinjuan kritis terhadap KUHP 2023 disampaikan oleh Beni Kharisma Arrasul, LL.M, dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas. Bertolak dari teori antinomi hukum dalam perlindungan HAM, Beni menguliti bagaimana KUHP 2023 yang akan berlaku tahun depan ini dalam kondisi tertentu akan selalu berhadapan dengan pertentangan antara kebebasan kolektif (collective freedom) dan kebebasan kebebasan individual (individual freedom). Jelasnya, collective freedom, dalam hal ini, urusannya dengan beragama, berkeyakinan dan beribadah, sedangkan individual freedom itu manifestasinya adalah kebebasan untuk menyampaikan pendapat, pikiran, melalui tulisan maupun lisan. Keduanya, berbeda dan tidak boleh dicampurkan. “Percayalah di negara ini, jika ekpresi kebebasan individualnya adalah olok-olok suatu agama atau kepercayaan, yang pasti akan dilindungi itu adalah collective freedom,” tegasnya. Namun, collective freedom dapat dibatalkan dalam kasus-kasus khusus seperti saat pandemi Covid-19 ketika terjadi hak asasi untuk berkumpul dan beribadah ke tempat ibadah dibatasi demi hak untuk selamat dan sehat.
Implementasi KUHP 2023 mendapat sorotan tajam dalam materi berikutnya. Berangkat dari perspektif hukum pidana, Dr. Edita Elda, dosen Hukum Pidana Faklutas Hukum Universitas Andalas, mengawali diskusi dengan dalil KUHP 1/23 (sebutan untuk UU No.1 Tahun 2023/KUHP Baru), “Dalam hukum pidana, segala sesuatu itu pada prinsipnya terkait dengan azas legalitas. Tidak boleh suatu perbuatan itu dihukum, diberikan ancaman hukuman sanksi pidana, sebelum ada aturan yang mengaturnya. Jadi hukum pidana adalah hukum publik.” Hukum pidana hanya akan bekerja ketika hukum yang lain seperti mediasi di luar pengadilan atau mediasi nonpenal tidak mampun memberikan solusi. Jadi sebisa mungkin sistem hukum pidana menjadi ultimum remedium, atau jalan terakhir untuk menyelesaikan suatu masalah hukum. Persis di sinilah letak keistimewaan hukum pidana dan perlindungan negara terhadap warga negara. Hukum ini tidak secara sewenang-wenang digunakan untuk menghukum orang, karena tujuan utamanya tidak semata menindak pelaku atau memulihkan korban, tetapi pemulihan dan rasa aman dalam masyarakat melalui penegakan norma hukum. Menurutnya, perubahan dalam KUHP baru ini membuat pidana penjara tidak lagi menjadi pilihan “favorit” atau jalan satu-satunya. Yang juga penting diupayakan dalam implementasi KUHP yang baru ini adalah penyamaan persepsi dan pemahaman atas regulasi dari berbagai pihak, terutama aparat-aparat penegak hukum.
Pemaparan materi seminar ini dipungkasi telaah trajektori regulasi agama di Indonesia oleh Dr. Zulfadli, Ketua Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas. Melalui perspektif politik dan sejarah demokrasi di Indonesia, Zulfadli menyoroti delik pidana agama pada KUHP. “Agama itu punya peran penting dalam konstitusi kita, sehingga, demokrasi yang dikembangkan itu adalah demokrasi yang ramah terhadap agama, bukan demokrasi yang memusuhi agama, bukan juga demokrasi yang berbasis pada agama tertentu,” jelasnya.
Meneruskan gagasan Godly Nationalism dari Jeremi Menchik, Zulfadli menjelaskan bahwa Indonesia adalah salah satu negara demokrasi yang memiliki keunikannya sendiri oleh karena mendasarkan salah satu solidaritas nasionalismenya pada agama (lihat Persoalan-persoalan Terkait Demokrasi Religius di Indonesia). Agama telah menjadi aspek penting kehidupan politik di Indonesia. Berkaitan dengan tindak pidana agama di Indonesia, Zulfadli mengamini bahwa dalam regulasi yang berlaku sering kali menjadi alat untuk mendiskriminasi kelompok-kelompok minoritas yang rentan yang bertentangan dengan keyakinan kelompok arus utama, terutama di tahun-tahun politik pasca-Reformasi 1998 yang melibatkan tekanan massa yang cukup besar. Berkaca dari dinamika tersebut, penerapan prinsip HAM dalam regulasi beragama atau berkeyakinan dalam KUHP 2023 ini menjanjikan sebuah kemajuan kehidupan demokrasi di Indonesia yang menjunjung hak-hak kelompok agama minoritas rentan.
Seminar nasional ini mengharap tumbuhnya kesadaran kewarganegaraan yang tidak terbatas pada diskusi di dalam ruangan. Kesadaran ini seyogianya meluas pada upaya aktif warga negara untuk merefleksikan kesadaran berbangsa dan bernegara yang berprinsip HAM, di antaranya ialah KBB. Pada dasarnya, kewarganegaraan adalah laku keseharian (everyday citizenship). Fakta bahwa masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan hidup berdampingan dan saling menghormati menunjukkan bahwa warga Indonesia itu telah memiliki modal dan potensi untuk terlibat mengusung gagasan norma konstitusi. KUHP, dalam hal ini, adalah pintu masuknya, karena ia yang mengatur potensi membatasi hak. Yang jadi PR ialah bagaimana pembatasannya tidak melanggar norma-norma konstitusi yang menjamin hak dan kebebasan warga negara? Hal ini mensyaratkan kehadiran partisipasi warga negara, aktivis, dan insan akademis sehingga KUHP tidak digunakan secara sewenang-wenang.
______________________
Refan Aditya adalah alumnus Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM, angkatan 2022. Baca tulisan Refan lainnya di sini.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh