Memulihkan Literasi Agama-Agama Tionghoa
Rezza Maulana – 12 Januari 2024
By breadth of reading and the ties of courtesy, a gentleman is kept, too, from false paths (Confucius)
Eksistensi dan kiprah masyarakat keturunan Tionghoa dalam derap sejarah Nusantara seakan tenggelam oleh stigma negatif yang menyelimutinya. Padahal, dinamika pemikiran dan pergulatan mereka ikut menyumbang batu bata dalam bangunan negeri yang bernama Indonesia ini. Salah satu penyebabnya ialah minimnya kajian yang bersumber dari sudut pandang masyarakat keturunan Tionghoa itu sendiri. Kebijakan asimilasi, represi, dan aksi amuk massa yang kerap menyasar komunitas keturunan Tionghoa ikut menyumbang hilangnya berbagai dokumen penting dan sumber sejarah. Untungnya, di samping koleksi pribadi atau perorangan, beberapa arsip sejarah yang tersimpan di klenteng atau rumah ibadah masih terselamatkan.
Tulisan ini merupakan catatan perjalanan satu tahun program revitalisasi arsip perpustakaan tempat ibadah di dua kota Jawa Tengah, yaitu perpustakaan Litang Gerbang Kebajikan di Solo dan perpustakaan Klenteng Hok An Kiong di Muntilan. Program yang berlabel “Recovering Chinese Religious Printed Materials in Central Java” ini merupakan kerja sama antara University of California Los Angeles (UCLA) Library dan CRCS UGM yang didukung sepenuhnya oleh Arcadia Fund dengan tajuk Modern Endangered Archives Program (MEAP).
Bukan yang Pertama dan Bukan yang Terakhir
Usaha pendokumentasian arsip budaya dan masyarakat Tionghoa seperti ini bukanlah yang pertama sejak berakhirnya Orde Baru. Evi Sutrisno, misalnya, telah melakukan dokumentasi arsip majalah bulanan komunitas Tionghoa koleksi perpustakaan Boen Bio Surabaya (2010–2011) dan sebagian kecil Klenteng Hok An Kiong Muntilan (2014–2016). Koleksi tersebut bisa diakses gratis lewat perpustakaan Universitas Washington dengan tajuk “The Chinese-Indonesian Community documents collection from Java”.
Selain itu, pada tahun 2010 Koji Tsuda dari Tokyo University of Foreign Studies mengoordinasi program digitalisasi arsip Tionghoa yang sebagian besar merupakan koleksi pribadi Harianto Sanusi (1948–2019). Tema dan formatnya cukup beragam mulai dari sosial, budaya, pendidikan, agama, dan organisasi. Pada tahun 2015, saya beruntung bisa bertemu langsung dengan almarhum di rumahnya dan menyaksikan sendiri koleksi buku dan arsip Tionghoa yang mencapai lebih dari dari 12.000 judul.
Pada tahun 2018, Monash University meluncurkan Monash University Library’s Asian Collections yang salah satu koleksinya ialah harian Sin Po, surat kabar peranakan Tionghoa yang terbit pada 1910 di Hindia Belanda. Arsip digital Sin Po dari edisi tahun 1923 hingga 1941 kini bisa kita nikmati dan akses bebas melalui repositori Monash University Library bertajuk bertajuk “Sin Po Collection”.
Senafas dengan berbagai upaya dokumentasi tersebut, program revitalisasi arsip Tionghoa yang kami lakukan bergerak dalam dua ranah sekaligus: melakukan preservasi arsip dan literatur yang tersisa serta melengkapi koleksi literasi digital khusus Tionghoa yang tersebar secara global di perpustakaan dalam maupun luar negeri. Evi Sutrisno, dosen mata kuliah Advanced Studies of Confusianism di CRCS UGM, yang berpengalaman dalam revitalisasi arsip Tionghoa menjadi koordinator program. Tim ini juga melibatkan empat mahasiswa CRCS UGM sebagai asisten penelitian yang dibagi menjadi dua tim kerja, satu tim di Klenteng Hok An Kiong Muntilan dan satu lagi di Litang Gerbang Kebajikan Solo. Haetami menjadi supervisor tim Solo dan saya menemani tim Muntilan.
Dari Bersih-Bersih sampai Katalogisasi
Langkah pertama yang kami lakukan ialah membangun komunikasi yang intens dengan komunitas dan pengelola untuk lebih memahami kondisi arsip di masing-masing situs. Berdasarkan penjajakan dan survei awal, kondisi arsip buku di Muntilan cukup mengkhawatirkan. Koleksi buku di perpustakaan disimpan di rak buku berdebu yang berada dalam satu ruang dengan sejumlah perkakas peribadatan klenteng. Menurut salah seorang pengurus, sangat jarang ada warga yang meminjam koleksi perpustakaan atau sekadar membaca di tempat. Akibatnya, ruangan perpustakaan menjadi lebih sering terkunci dan jarang dibersihkan secara periodik. Sebagian koleksi perpustakaan juga disimpan di rumah salah satu pengurus. Oleh karena itu, buku-buku yang ada di Muntilan kami bersihkan terlebih dahulu. Buku-buku yang lembab dijemur dan buku yang dimakan rayap segera dipisahkan.
Arsip di Solo kondisinya lebih baik, koleksi tertata rapi di rak dan berada di dalam ruangan berpendingin. Kebetulan ruang perpustakaan ini merangkap dengan ruang kepala litang—Litang (禮堂)merupakan sebutan untuk rumah ibadah agama Konghucu. Ruang kepala litang ini pernah menjadi ruang kerja Haksu Tjie Tjay Ing, salah satu pemuka sekaligus pejuang eksistensi agama Konghucu di Indonesia. Terkadang ruang perpustakaan ini berubah fungsi menjadi kamar istirahat tamu litang atau ruang kelas tambahan bagi siswa SD Tripusaka yang berada satu lokasi dan dikelola oleh yayasan yang menaungi Litang Gerbang Kebajikan.
Koleksi buku di Solo diperkirakan mencapai 12.000 judul sementara di Muntilan kurang lebih terdapat 7.000 judul. Separuh dari total judul di Muntilan berbahasa Mandarin dan sisanya bahasa Indonesia. Sedangkan di Solo, sebanyak 45% buku berbahasa Mandarin, 35% berbahasa Indonesia, dan sisanya berbahasa Inggris dan Belanda. Tema buku juga cukup beragam dengan tema dominan yaitu religi, pendidikan, dan sosial budaya masyarakat Tionghoa. Di samping buku, terdapat juga koleksi majalah dan buletin komunitas.
Melihat kondisi dan jumlah arsip tersebut, sejumlah tantangan pun membentang: dari persoalan hak cipta, pemahaman dan kualitas dokumentasi, pengelolaan data, hingga dan pertimbangan finansial. Kami segera menindaklanjuti ini dengan mengadakan beberapa lokakarya terkait hak cipta di Indonesia dan manajemen pengelolaan data (metadata). Secara teknis, kami juga lebih banyak belajar mengenai aspek fotografi untuk digitalisasi arsip serta proses penyuntingannya.
Pada akhir tahun 2023, kami sudah menyelesaikan tahap katalogisasi arsip buku yang akan masuk dalam proses digitalisasi. Arsip-arsip dengan kondisi fisik yang memprihatinkan menjadi pertimbangan utama untuk didigitalisasi. Dari dua tempat ini, kami telah mengumpulkan metadata dari 1.000 judul buku dengan spesifikasi terkait agama-agama Tionghoa, Buddha, Tao, dan Konghucu. Tema-tema terkait teosofi, filsafat, dan sastra keagamaan juga termasuk di dalamnya. Beberapa buku yang terbit pada awal abad ke-20 sudah menggunakan bahasa Indonesia atau ejaan Melayu Tionghoa. Seperti kajian Ahmat B. Adam dalam The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousnesss (1995), era tersebut memang menjadi periode kebangkitan pers Tionghoa yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Selanjutnya, kami akan memulai proses digitalisasi arsip di kedua tempat.
Revitalisasi Arsip Beraroma Kopi
Laiknya seduhan kopi di pagi hari, upaya revitalisasi arsip ini rupanya membuka mata pikiran dan memantik berbagai simpul-simpul pengetahuan—bahkan ketika program ini baru saja dimulai. Saat pertama kali diajak untuk bergabung dalam program ini, saya langsung mengiyakan tanpa banyak perhitungan. Saya meyakini temuan-temuan dalam program riset ini akan menjadi anyaman penting dalam kajian-kajian akademis terkait dinamika masyarakat dan budaya Tionghoa di Indonesia. Aromanya pun sudah terasa selama proses revitalisasi ini.
Seperti yang diceritakan oleh Teresa Astrid Salsabila, mahasiswa CRCS angkatan 2022 yang menjadi asisten peneliti di Muntilan. Menurutnya, proses revitalisasi ini menyadarkan dirinya tentang kompleksitas dan kontestasi dalam agama-agama Tionghoa. “Tugas aku kan di klenteng ya, yang harus berhubungan sama Tridharma. Aku juga melihat diversity di sini. Keterlibatan di dalam klenteng (Muntilan) gak dibatasi pada agama tertentu meskipun tetap ada kontestasi,” terang Astrid.
Hal serupa juga dirasakan oleh tiga mahasiswa CRCS lain—Yohanes Baptista Lemuel Christandi, Refan Aditya, dan Ferry Mahulette—yang menjadi asisten peneliti. Perjumpaan mereka dengan arsip atau buku terbitan awal abad ke-20 memantik keingintahuan dan kesadaran lebih lanjut tentang pergulatan intelektual kaum cendekia keturunan Tionghoa di Hindia Belanda. “Banyak dapet arsip bagus, jadi makin tertarik dengan sejarahnya,” jawab Lemuel singkat. Sementara itu, bagi Refan, membaca buku-buku dan majalah seputar agama Tionghoa koleksi perpustakaan Hok An Kiong Muntilan seperti mengendarai mesin waktu. “Kita serasa menyusuri diskursus agama di Indonesia pada periode-periode krusial ketika orang-orang keturunan Tionghoa mengalami dilema yang menentukan keberagamaan mereka hari ini,” ujar Refan pada sebuah perbincangan menjelang malam tutup tahun 2023. Senada dengan rekannya, Ferry menceritakan bahwa program riset ini telah membawa warna baru dalam aktivitas dan minat kajian yang ia geluti sebelumnya. Program revitalisasi arsip ini membantu riset tesisnya tentang pertautan antara isu gender dan otoritas keagamaan dalam Konghucu.
Proses preservasi dan digitalisasi arsip memang tidak mudah, bukan hanya secara teknis melainkan juga berbagai dilema yang membayangi. Di saat yang sama, proses deteriorasi material arsip terus terjadi akibat lingkungan fisik yang tidak kondusif dan kurangnya perhatian dari pemilik arsip. Oleh karenanya, program revitalisasi arsip Tionghoa di dua tempat ibadah ini juga merupakan sebuah upaya berpacu dengan waktu, tidak hanya dengan usia fisik arsip tetapi juga durasi dan jangkauan program. Dalam konteks yang demikian, kerja kolaboratif dan estafet dari berbagai pihak—tak cuma akademisi—menjadi keniscayaan agar revitalisasi arsip ini menjadi sebuah upaya yang berkelanjutan. Bagaimana pun, upaya revitalisasi arsip ini juga sebuah usaha untuk merawat memori sebuah bangsa dengan masyarakat beragam yang bernama Indonesia, dan masyarakat keturunan Tionghoa merupakan bagian tak terpisahkan darinya.
______________________
Rezza Maulana adalah supervisor program “Recovering Chinese Religious Printed Materials in Central Java” kerja sama CRCS UGM dan UCLA Library. Baca tulisan Rezza Maulana lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini koleksi Rezza Maulana.