![](https://crcs.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/455/2025/01/Unknown-5-680x510.jpeg)
Menafsir Ayat, Memperjuangkan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan
30 Januari 2025
Dalam KUHP 2023, bab agama atau kepercayaan mendapat ruang tersendiri melalui pasal 300-3005. Penafsiran yang tepat terhadap isi pasal-pasal tersebut menjadi langkah vital agar implementasinya relevan dengan realitas sosial masyarakat dan pemajuan hak asasi manusia.
Kendati bukan negara agama, Indonesia menempatkan agama sebagai salah satu pilar penting dalam kehidupan sosial dan bernegara. Keberadaan agama perlu dilindungi oleh negara. karena itu, sejak Seminar Hukum Nasional I (1963) ada keinginan untuk memiliki “delik agama” dalam suatu KUHP Nasional. Sebelumnya, KUHP yang dipunyai Indonesia merupakan warisan negara sekuler Belanda sehingga agama tidak mendapatkan tempat dalam undang-undang tersebut. Selepas Reformasi 1998, gagasan untuk memiliki “delik agama” di KUHP makin menguat dengan semangat bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan ini merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan kata lain, terjadi pergeseran paradigma: bukan lagi agamanya yang dilindungi, melainkan individu atau kelompok orang yang mengidentifikasi dengan agama atau kepercayaan tertentu.
Oleh karenanya, keberadaan bab agama atau kepercayaan di KUHP 2023 yang akan berlaku efektif pada 2026 ini merupakan sebuah kemajuan. Keseluruhan pasal 300—305 dapat dipahami sebagai upaya untuk melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan warga negaranya. “Namun, KUHP yang baru ini mengandung unsur-unsur lama maupun baru. Sehingga dalam penafsiran kami tampak terjadi ketegangan dari dua paradigma itu. Karena itu penafsiran menjadi penting, “ ujar Zainal Abidin Bagir, salah satu tim penulis Buku Ajar Penafsiran Pasal 300—305 KUHP 2023, dalam paparannya pada peluncuran buku ajar yang dilaksanakan serentak secara bauran di delapan kota (23/01).
Lebih lanjut, Bagir juga menggarisbawahi bahwa perlindungan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan ini berlaku untuk semua rakyat Indonesia, tidak terbatas pada agama atau kepercayaan tertentu. Penting untuk digarisbawahi, sampai hari ini, tidak ada definisi resmi tentang agama dalam legislasi apa pun di Indonesia. Bahkan, instrumen hukum internasional pun tidak memiliki definisi resmi tentang agama. “Tidak penting bagaimana kita mendefinisikan agama. Setiap agama atau kepercayaan yang dipeluk oleh rakyat Indonesia adalah sah dan pemeluknya dilindungi negara,” tegas Bagir. Perlindungan terhadap praktik beragama atau berkeyakinan ini tidak terbatas pada keberagaman antaragama, tetapi juga keberagaman internal dalam agama—baik dalam hal penafsiran maupun praktik beragama. “Oleh karena itu, perlindungan ini diberikan kepada seluruh warga negara dan tidak bergantung apakah penafsiran, keyakinan atau praktik tersebut sejalan dengan kelompok tertentu,” pungkasnya.
Semangat perlindungan terhadap seluruh warga negara ini juga menjadi sorotan Prof. Dr. Eddy Hiariej yang menjadi penanggap. Wakil menteri hukum ini melakukan menggarisbawahi dua tilikan sejarah yang menjiwai perumusan pasal-pasal ini. Pertama, pasal terkait penodaan agama yang ada di Indonesia sebelum ini lahir sebagai respons terhadap ekskalasi Peristiwa Kanigoro, Madiun pada 1965. Oleh karena itu, keberadaaannya perlu direvisi karena sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat. Kedua, ia juga melakukan perbandingan dengan keberadaan kembali “delik agama” dalam KUHP Belanda yang diamandemen pada 1987 untuk melindungi golongan minoritas. Dalam praktik penegakan hukum, pasal ini sering digunakan untuk menindas minoritas, bukan untuk melindunginya. “Oleh karena itu, pasal-pasal dalam KUHP baru ini harus ditafsirkan secara ketat sehingga tidak dijadikan sebagai senjata untuk menindas,” jelas Hiariej. Penafsiran terhadap pasal-pasal ini juga akan memberikan parameter bagi aparat penegak hukum, terutama hakim, ketika menangani perkara terkait agama atau kepercayaan.
Yang Masih Mengganjal dalam Penafsiran
Menanggapi masalah tersebut dari sisi aparat penegak hukum, Dr. Dessy Meutia Firdaus mencermati tantangan pembuktian unsur-unsur pidana dari perkara terkait agama atau kepercayaan, terutama terkait hal-hal keagamaan yang masih diperdebatkan. Menurutnya, meskipun kasus terkait keagamaan tidak banyak, tetapi kerap menimbulkan gejolak atau keresahan di masyarakat. Plt. Direktur Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) ini mengemukakan kasus Ahmadiyah sebagai contoh. “Sebagian menganggapnya sedikit menyimpang … karena berbeda. Sebagian kelompok masih bisa menerima, sebagian yang lain dianggap meresahkan. Oleh karena itu, kami amat sangat memerlukan pendapat ahli dalam pembuktian pasal atau berkas perkara tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, Yohanes Priyana memulai tanggapannya dengan menyoriti istilah “penafsiran” dalam konteks hukum pidana. Menurut hematnya, yang umum ada dalam hukum pidana itu penjelasan, bukan penafsiran. Hukum pidana sangat menghindari penafsiran. “Kalaupun ada itu gramatikal atau etimologi saja. Di luar kedua itu paling ekstentif. Analogi pun tidak diperkenankan karena nanti tidak karu-karuan,” jelasnya.
Terlepas dari itu, Hakim Agung Mahkamah Agung RI ini berpendapat bahwa para hakim seyogianya memperlakukan KUHP yang baru ini secara restoratif: tidak hanya memulihkan korban dan pelaku, tetapi juga memulihkan masyarakat. Namun, lanjutnya, tugas berat ini semakin menantang karena pasal 300—305 KUHP yang baru justru membuka peluang dalam menciptakan kegemparan publik. “Hukum pidana materiil tidak boleh multitafsir, sementara sanksi-sanksi dalam pasal-pasal ini multitafsir,” sorotnya. Terdapat dua pilihan sanksi dalam pasal 300—305 KUHP yaitu denda atau penjara, yang konsekuensinya jauh berbeda. Parameter atau kritetria terkait dua sanksi tersebut memang tidak disinggung dalam penjelasan KUHP maupun penafsirannya sehingga membuka peluang intervensi kuasa dan ekonomi.
Dari sisi akademisi, Dr. Sri Wiyanti Eddyono mengapresiasi keberadaan buku ajar ini karena menjadi referensi spesifik, mendalam, dan komprehensif terutama terkait isu KBB. “Buku ini sangat aktual karena KUHP baru diterapkan 2026, kita sudah punya pegangan dalam melihat pasal-pasal tersebut,” jelas dosen Fakultas Hukum UGM ini. Ia juga menggarisbawahi bahwa keberadaan buku ajar ini juga menunjukkan keterkaitan erat antara hukum pidana dan hak asasi manusia. “Selama ini, hukum pidana dan hukum HAM seolah terpisah. Hukum pidana bertujuan melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan negara. Ketika kita bicara HAM, kita tidak bisa melepaskan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya.” Lebih lanjut, ia mengusulkan agar buku ini dilengkapi dengan contoh-contoh kasus hukum dari berbagai tempat di Indonesia, termasuk analisis putusannya, yang problematik maupun yang baik.
Di sisi lain, Ivan Wagner dari LBH Kalimantan Barat menekankan bahwa semangat KUHP yang baru ini ialah semangat untuk lepas dari hukum kolonial. Oleh karena itu, regulasi hukum tersebut juga harus didukung oleh aparat penegak hukum yang juga tidak berparadigma kolonial.
Pembahasan terkait isu KBB di di KUHP kemudian dilanjutkan secara terpisah di 8 kota yang menjadi tempat peluncuran buku ajar ini yaitu, The Centre for Human Rights, Multiculturalism, and Migration (CHRM2) Universitas Jember; Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri; Indonesian Consortium for Religious Studies, bekerja sama dengan Prodi Agama dan Lintas Budaya dan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada; Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; Pusat Studi Kebijakan Kriminal, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung; Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta; Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah UIN Bukittinggi; serta Fakultas Hukum dan Syaria, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak. Di samping menyosialisasikan buku ajar terkait penafsiran pasal-pasal di KUHP 2023, acara peluncuran ini juga mengumpulkan masukan secara langsung dari masyarakat, terutama aparat penegak hukum yang akan banyak bergulat dengan KUHP yang baru. Harapannya, keberadaan KUHP yang baru benar-benar menjadi instrumen yang dapat menjamin dan melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan seluruh warga negara Indonesia.
______________________
Baca tulisan terkait Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan lainnya di sini.
Foto tajuk artikel ini oleh Rezza Prasetyo.
Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor 4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh.