• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • Pusat TI
  • Perpustakaan
  • Penelitian
Universitas Gadjah Mada
  • About Us
    • About CRCS
    • Vision & Mission
    • People
      • Faculty Members and Lecturers
      • Staff Members
      • Students
      • Alumni
    • Facilities
    • Library
  • Master’s Program
    • Overview
    • Curriculum
    • Courses
    • Schedule
    • Admission
    • Scholarship
    • Accreditation and Certification
    • Academic Collaborations
      • Crossculture Religious Studies Summer School
      • Florida International University
    • Student Satisfaction Survey
    • Academic Documents
  • Article
    • Perspective
    • Book Review
    • Event Report
    • Class Journal
    • Interview
    • Wed Forum Report
    • Thesis Review
    • News
  • Publication
    • Reports
    • Books
    • Newsletter
    • Monthly Update
    • Infographic
  • Research
    • CRCS Researchs
    • Resource Center
  • Community Engagement
    • Film
      • Indonesian Pluralities
      • Our Land is the Sea
    • Wednesday Forum
    • ICIR
    • Amerta Movement
  • Beranda
  • Berita
  • Menafsir Ayat, Memperjuangkan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan


Menafsir Ayat, Memperjuangkan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan


  • Berita, Berita, Event report, Kilas Berita
  • 30 January 2025, 15.48
  • Oleh: crcs ugm
  • 0

Dalam KUHP  2023, bab agama atau kepercayaan mendapat ruang tersendiri melalui pasal 300—305. Penafsiran yang tepat terhadap isi pasal-pasal tersebut menjadi langkah vital agar implementasinya relevan dengan realitas sosial masyarakat dan pemajuan hak asasi manusia.

Kendati bukan negara agama, Indonesia menempatkan agama sebagai  salah satu pilar penting dalam kehidupan sosial dan bernegara. Dengan kata lain, keberadaan agama perlu dilindungi oleh negara. Namun, sebelum 2023, KUHP yang dipunyai Indonesia merupakan warisan negara sekuler Belanda sehingga agama tidak mendapatkan tempat dalam undang-undang tersebut. Karenanya, sejak Seminar Hukum Nasional I 1963 ada keinginan kuat untuk memiliki “delik agama” dalam suatu KUHP Nasional.

Selepas Reformasi 1998, gagasan untuk memiliki “delik agama” di KUHP makin menguat dengan semangat bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan ini merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan kata lain, terjadi pergeseran paradigma: bukan lagi agamanya yang dilindungi, melainkan individu atau kelompok orang yang mengidentifikasi dengan agama atau kepercayaan tertentu.

Oleh karenanya, keberadaan bab agama atau kepercayaan di KUHP 2023 yang akan berlaku efektif pada 2026 ini merupakan sebuah kemajuan. Keseluruhan pasal 300—305 dapat dipahami sebagai upaya untuk melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan warga negaranya. “Namun, KUHP yang baru ini mengandung unsur lama maupun baru. Sehingga dalam penafsiran kami tampak terjadi ketegangan dari dua paradigma itu. Karena itu penafsiran menjadi penting,“ ujar Zainal Abidin Bagir, salah satu tim penulis Buku Ajar Penafsiran Pasal 300—305 KUHP 2023, pada peluncuran buku ajar yang dilaksanakan serentak secara bauran di delapan kota (23/01). 

Lebih lanjut, Bagir juga menggarisbawahi bahwa perlindungan terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan ini berlaku untuk semua rakyat Indonesia, tidak terbatas pada agama atau kepercayaan tertentu. Penting untuk digarisbawahi, sampai hari ini, tidak ada definisi resmi tentang agama dalam legislasi apa pun di Indonesia. Bahkan, instrumen hukum internasional pun tidak memiliki definisi resmi tentang agama. “Tidak penting bagaimana kita mendefinisikan agama. Setiap agama atau kepercayaan yang dipeluk oleh rakyat Indonesia adalah sah dan pemeluknya dilindungi negara,” tegas Bagir. Perlindungan terhadap praktik beragama atau berkeyakinan  ini tidak terbatas pada keberagaman antaragama, tetapi juga keberagaman internal dalam agama—baik dalam hal penafsiran maupun praktik beragama. “Oleh karena itu, perlindungan ini diberikan kepada seluruh warga negara dan tidak bergantung apakah penafsiran, keyakinan atau praktik tersebut sejalan dengan kelompok tertentu,” pungkasnya. 

Semangat perlindungan terhadap seluruh warga negara ini juga menjadi sorotan Prof. Dr. Eddy Hiariej  yang menjadi penanggap. Wakil menteri hukum ini menggarisbawahi dua tilikan sejarah yang menjiwai perumusan pasal-pasal ini. Pertama, pasal terkait penodaan agama yang ada di Indonesia sebelum ini lahir sebagai respons terhadap ekskalasi Peristiwa Kanigoro, Madiun, pada 1965. Oleh karena itu, keberadaaannya perlu direvisi karena sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat. Kedua, ia juga melakukan perbandingan dengan keberadaan kembali “delik agama” dalam KUHP Belanda yang diamandemen pada 1987 untuk melindungi golongan minoritas. Dalam praktik penegakan hukum, pasal ini sering digunakan untuk menindas minoritas, bukan untuk melindunginya. “Oleh karena itu, pasal-pasal dalam KUHP baru ini harus ditafsirkan secara ketat sehingga tidak dijadikan sebagai senjata untuk menindas,” jelas Hiariej. Penafsiran terhadap pasal-pasal ini juga akan memberikan parameter bagi aparat penegak hukum, terutama hakim, ketika menangani perkara terkait agama atau kepercayaan.

Yang Masih Mengganjal dalam Penafsiran

Menanggapi masalah tersebut dari sisi aparat penegak hukum, Dr. Dessy Meutia Firdaus mencermati tantangan pembuktian unsur-unsur pidana dari perkara terkait agama atau kepercayaan, terutama terkait hal-hal keagamaan yang masih diperdebatkan. Menurutnya, meskipun kasus terkait keagamaan tidak banyak, tetapi kerap menimbulkan gejolak atau keresahan di masyarakat. Plt. Direktur Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) ini mengemukakan kasus Ahmadiyah sebagai contoh. “Sebagian menganggapnya sedikit menyimpang … karena berbeda. Sebagian kelompok masih bisa menerima, sebagian yang lain dianggap meresahkan. Oleh karena itu, kami amat sangat memerlukan pendapat ahli dalam pembuktian pasal atau berkas perkara tersebut,” jelasnya.  

Sementara itu, Yohanes Priyana memulai tanggapannya dengan menyoriti istilah “penafsiran” dalam konteks hukum pidana. Menurut hematnya, yang umum ada dalam hukum pidana itu penjelasan, bukan penafsiran. Hukum pidana  sangat menghindari penafsiran. “Kalaupun ada itu gramatikal atau etimologi saja. Di luar kedua itu paling ekstentif. Analogi pun tidak diperkenankan karena nanti tidak karu-karuan,” jelasnya.

Terlepas dari itu, Hakim Agung Mahkamah Agung RI ini berpendapat bahwa para hakim seyogianya memperlakukan KUHP yang baru ini secara restoratif: tidak hanya memulihkan korban dan pelaku, tetapi juga memulihkan masyarakat. Namun, lanjutnya, tugas berat ini semakin menantang karena pasal 300—305 KUHP yang baru justru membuka peluang dalam menciptakan kegemparan publik. “Hukum pidana materiil tidak boleh multitafsir, sementara sanksi-sanksi dalam pasal-pasal ini multitafsir,” sorotnya. Terdapat dua pilihan sanksi dalam pasal 300—305 KUHP yaitu denda atau penjara, yang konsekuensinya jauh berbeda. Parameter atau kritetria terkait dua sanksi tersebut memang tidak disinggung dalam penjelasan KUHP maupun penafsirannya sehingga membuka peluang intervensi kuasa dan ekonomi. 

Dari sisi akademisi, Dr. Sri Wiyanti Eddyono mengapresiasi keberadaan buku ajar ini karena menjadi referensi spesifik, mendalam, dan komprehensif terkait isu KBB. “Buku ini sangat aktual karena KUHP baru diterapkan 2026, kita sudah punya pegangan dalam melihat pasal-pasal tersebut,” jelas dosen Fakultas Hukum UGM ini. Ia juga menggarisbawahi bahwa keberadaan buku ajar ini juga menunjukkan keterkaitan erat antara hukum pidana dan hak asasi manusia. “Selama ini, hukum pidana dan hukum HAM seolah terpisah. Padahal, hukum pidana bertujuan melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan negara. Ketika kita bicara HAM, kita tidak bisa melepaskan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya.” Lebih lanjut, ia mengusulkan agar buku ini dilengkapi dengan contoh-contoh kasus hukum dari berbagai tempat di Indonesia, termasuk analisis putusannya, yang problematik maupun yang baik. 

Di sisi lain, Ivan Wagner dari LBH Kalimantan Barat menekankan bahwa semangat KUHP yang baru ini ialah semangat untuk lepas dari hukum kolonial. Oleh karena itu, regulasi hukum tersebut juga harus didukung oleh aparat penegak hukum yang juga tidak berparadigma kolonial. 

Pembahasan terkait isu KBB di di KUHP kemudian dilanjutkan secara terpisah di delapan kota yang menjadi tempat peluncuran buku ajar ini yaitu The Centre for Human Rights, Multiculturalism, and Migration (CHRM2) Universitas Jember; Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri; Indonesian Consortium for Religious Studies, bekerja sama dengan Prodi Agama dan Lintas Budaya dan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada; Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto;  Pusat Studi Kebijakan Kriminal, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung; Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta; Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah UIN Bukittinggi; serta Fakultas Hukum dan Syaria,  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak. Di samping menyosialisasikan buku ajar terkait penafsiran pasal-pasal di KUHP 2023, acara peluncuran ini juga mengumpulkan masukan secara langsung dari masyarakat, terutama aparat penegak hukum yang akan banyak bergulat dengan KUHP yang baru. Harapannya, keberadaan KUHP yang baru benar-benar menjadi instrumen yang dapat menjamin dan melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan seluruh warga negara Indonesia.  

______________________

Baca tulisan terkait Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan lainnya di sini.

Foto tajuk artikel ini oleh Rezza Prasetyo.

Artikel ini merupakan salah satu usaha CRCS UGM untuk mendukung SDGs nomor  4 tentang Pendidikan Berkualitas dan nomor 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Pelembagaan yang Tangguh.

Tags: kebebasan beragama atau berkeyakinan KUHP 2023

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Instagram

For people who learn religious studies, it is comm For people who learn religious studies, it is common to say that "religion", as a concept and category, is Western modern invention. It is European origin, exported globally through colonialism and Christian mission. Despite its noble intention to decolonize modern social categories, it suffers from historical inaccuracy. Precolonial Islamic Malay and Javanese texts in the 16th and 17th century reflect a strong sense of reified religion, one whose meaning closely resembles the modern concept.

Come and join @wednesdayforum discussion at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
I N S P I R A S I Secara satir, penyandang disabil I N S P I R A S I
Secara satir, penyandang disabilitas baru mendapatkan sorotan ketika dia mampu berprestasi, mampu mengatasi segala rintangan dan kekurangan. Singkat kata, penyandang disabilitas kemudian menjadi sumber inspirasi bagi nondisabilitas. Budi Irawanto menyebutnya sebagai "inspirational porn". Simak ulasan lengkapnya di situs web crcs ugm.
Human are the creature who live between the mounta Human are the creature who live between the mountain and the sea. Yet, human are not the only one who live between the mountain and the sea. Human are the one who lives by absorbing what above and beneath the mountain and the sea. Yet, human are the same creature who disrupt and destroy the mountain, the sea, and everything between. Not all human, but always human. By exploring what/who/why/and how the life between the mountain and the sea is changing, we learn to collaborate and work together, human and non-human, for future generation—no matter what you belief, your cultural background.

Come and join @wednesdayforum with Arahmaiani at UGM Graduate School building, 3rd floor. We provide snacks and drinks, don't forget to bring your tumbler. This event is free and open to public.
R A G A Ada beberapa definisi menarik tentang raga R A G A
Ada beberapa definisi menarik tentang raga di KBBI. Raga tidak hanya berarti tubuh seperti yang biasa kita pahami dalam olah raga dan jiwa raga. Raga juga dapat berarti keranjang buah dari rotan, bola sepak takraw, atau dalam bahasa Dayak raga berarti satuan potongan daging yang agak besar. Kesemua  pengertian itu menyiratkan raga sebagai upaya aktif berdaya cipta yang melibatkan alam. Nyatanya memang keberadaan dan keberlangsungan raga itu tak bisa lepas dari alam. Bagi masyarakat Dondong, Gunungkidul, raga mereka mengada dan bergantung pada keberadaan telaga. Sebaliknya, keberlangsungan telaga membutuhkan juga campur tangan raga warga. 

Simak pandangan batin @yohanes_leo27  dalam festival telaga Gunungkidul di web crcs ugm
Follow on Instagram

Twitter

Tweets by crcsugm

Universitas Gadjah Mada

Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, 3rd Floor
Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta, 55284
Email address: crcs@ugm.ac.id

 

© CRCS - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju